Nyawa Tebusan
Marzuki Wardi
Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok |
Cerpen ini dikurasi sebagai syarat peserta Peningkatan Apresiasi Sastra bagi Sastrawan di Nusa Tenggara Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB pada 2024. Ia juga dibukukan dalam bentuk antologi bersama 60 karya sastrawan oleh lembaga tersebut.
Sebelum
memutuskan untuk keluar, Sadimin menyelip sebilah belati di sakunya. Sebab,
dari pola ketukan, ia sudah bisa memastikan bahwa yang berdiri di balik pintu
adalah Oak[1]
Rekas.
“Jangan
coba-coba sembunyikan ayahmu. Waktumu tinggal dua minggu. Kalau bulan sudah tanggal dan dia belum pulang juga,
bersiap-siaplah kamu jadi tebusan!” ancamnya.
Sadimin
memindahkan jemarinya dari gagang belati setelah memastikan tidak ada
tanda-tanda atau gerakan lelaki tua itu menyerang. Ia berdiri tepat di tengah
garis pintu. Selain menghalau agar laki-laki berleher jerapah itu masuk ke
rumahnya, ia juga berusaha menunjukkan keberaniannya.
“Kenapa harus
saya? Dan saya memang tak tahu ayah di mana.”
“Karena kamu
satu-satunya anak laki-lakinya.”
“Tapi…?”
“Hanya ada dua
pilihan, bawa ayahmu hidup atau mati, atau kamu jadi gantinya nanti pada ritual
garep[2]
pada akhir bulan ini!”
Jari telunjuk dan tengah Oak Rekas nyaris menusuk mata Sadimin.
Bersama seorang tokoh pemuda dan dua tokoh kampung lainnya laki-laki
berkaki jenjang itu kemudian merenggang pergi. Sadimin ingin mengejar, tetapi itu
percuma. Deras langkah mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungi kampung
dengan repoq[3]
tempat tinggal Sadimin. Lagi pula, memelas asih hanya akan merendahkan martabat
Sadimin sebagai seorang laki-laki di mata mereka.
Di sisi lain
Sadimin bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah
yang sebetulnya bukan ulahnya. Ia menelan ludah kering dan tergidik
membayangkan ritual garep. Seingatnya ritual itu selalu menelan korban
kematian. Oak Rekas dikenal
sebagai sosok yang tegas dan sangat memegang teguh ucapannya. Jadi, apa yang
diancamkannya barusan bisa dikatakan pasti terjadi.
Ayah Sadimin bagai
memasuki alam gaib. Kabarnya raib tanpa jejak sejak ia meninggalkan rumah
hampir sepuluh tahun lalu. Kalaupun bisa ditemukan, pastilah ia bersi keras tak
mau pulang karena tahu dirinya akan diadili di persidangan adat.
“Bebinjat!”[4]
teriak Sadimin di tengah kebingungannya. Bayangan wajah ayahnya yang sedang
menari culas sambil menjulur-julurkan lidah seperti seekor anjing berkelebat
dalam kepalanya.
Setiap tanggal
lima belas bulan atas,[5]
tetua adat itu selalu
menyambangi Sadimin. Entah dari mana keyakinannya muncul bahwa pada tanggal itu
ayah kembali ke rumah. Laki-laki yang suka memamah buah pinang itu satu-satunya
orang yang tidak puas atas hasil ritual garep
yang dilakukan sepuluh tahun silam. Ia yakin bahwa bala kekeringan di
kampung itu takkan berhenti sebelum ritual yang menelan nyawa Rejun Menjong itu
dilaksanakan ulang.
Sadimin ingat
persis, meski saat itu usianya masih cukup belia, tapi kejadian—terutama
kejadian ganjil dan mengerikan—terekam kuat dalam kepalanya. Hampir semua warga
meninggalkan aktivitasnya demi menyaksikan jalannya persidangan di Balai Sangkep[6]
adat malam itu.
“Dari mana
kamu tahu pelaku pencurian sapimu adalah Rejun Menjong?” tanya Oak Rekas
kepada Leman, ayah Sadimin, saat persidangan dimulai.
“Apa kamu lupa
bagaimana buasnya dulu ia mencuri?”
“Bohong! Saya
berani bersumpah, saya tak tahu apa-apa. Malam itu saya menginap di ladang
sayur saya!” Rejun Menjong berkilah.
“Mau disuruh
menelan surau sekalian modinnya, mana ada maling yang mau ngaku, Oak!”
Dulu, saat
usianya masih muda Rejun Menjong memang dikenal sebagai maling yang disegani.
Keberingasannya menggondol barang-barang berharga milik orang lain sampai
tersiar ke kampung-kampung tetangga. Ketangkasan langkah, fostur tubuh yang
tinggi dan gempal, serta ilmu kanuragan yang mumpuni, membuat orang-orang yang mendengar
namanya saja sudah bergetar ketakutan, apalagi sampai berurusan dengannya.
Bagaimanapun, itu
adalah masa lalunya. Setelah lima tahun diusir dan diasingkan dari kampung, dan
hanya sesekali pulang menengok kondisi keluarganya, laki-laki berambut
awut-awutan itu diizinkan kembali ke kampung. Tentu saja setelah memenuhi
syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk
tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya.
“Sumpah! Leman
bohong,” sanggah laki-laki berjuluk Ampan
Lolat[7]
itu.
“Ya, perkataan
Rejun Menjong ada benarnya juga. Dia, kan, akhir-akhir ini sering nginap di
ladang. Apalagi dia juga sudah rajin beribadah. Mana mungkin dia berani
melanggar sumpahnya di hadapan warga dulu.”
“Ah, semua
orang kan bisa pura-pura alim, Oak. Coba ingat-ingat, selama bangsat ini
dibuang dari kampung, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke
sini, sapi saya langsung digasak?” Jawaban Leman meyakinkan. “Dan aku yakin
dugaanku ini benar, karena Rejun Menjong malam itu tidak berada di rumahnya!”
tutupnya mengakhiri sanggahannya.
Bulan sabit
sudah merangkak di atas atap balai sangkep. Sementara, belum ada keputusan yang
tepat. Sebagai seorang pemuka tokoh adat, Oak Rekas tentu tidak boleh
mengambil keputusan serampangan. Tapi, di satu sisi, ia juga harus bersikap
tegas. Setelah dirunding dengan para tetua kampung dan tokoh adat lainnya,
mereka akhirnya sepakat menyelenggarakan ritual garep malam itu juga sebagai satu-satunya jalan keluar masalah.
Tempat
pelaksanaan pun langsung disiapkan. Ayah Sadimin dan Rejun Menjong duduk di
tengah dikelilingi para tetua, tokoh kampung, dan semua warga yang hadir. Meski
dikerumuni hampir ratusan orang, suasana Balai Sangkep seketika menjadi
hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari mulut sanggar.
Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki
pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?
Oak Rekas
menyodorkan dua cangkir serupa mangkuk berisi air suci. Leman meraih cangkir
yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya
hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Rejun Menjong setelah
memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam
sambil menggigit jari. Kalau tidak Leman, pastilah Rejun Menjong yang sebentar
lagi akan terkapar di tempat itu, pikir mereka.
Seperti halnya
Leman, Rejun Menjong pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah
cangkir itu saja. Suasana di seputar balai semakin mencekam. Hampir ratusan
pasang mata itu terpaku pada tubuh Rejun Menjong, menunggu kepastian sebuah
kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara
mereka yang tergeletak di tempat. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat
pun pulang dengan perasaan lega malam itu.
Namun, rasa
lega itu tak bertahan lama. Berselang dua hari, pada pagi yang bergerimis
tipis, warga kampung dihebohkan dengan penemuan mayat Rejun Menjong di bawah
pohon pisang di halaman belakang rumahnya. Mayat itu sudah dikerubungi lalat
meski tanpa luka tusukan, memar, bakar, dan tanda-tanda penganiayaan
semacamnya.
“Akhirnya
terbukti sudah apa yang kita tunggu-tunggu!”
“Saya
benar-benar tak menyangka!”
“Ternyata
tobat hanya dijadikan topeng!”
“Iya benar.”
“Mampus kau!”
“Sekarang
kampung kita sudah aman!”
Demikianlah
komentar orang-orang atas peristiwa itu. Pada mulanya warga kampung percaya
kematian itu adalah jawaban dari teka-teki masalah yang dibuktikan melalui
ritual sakral tersebut. Namun, belakangan rahasia itu terkuak setelah Leman sejak
itu tiba-tiba kabur dari rumah. Dan benar saja, setelah diselidiki memang
dialah dalang pembunuhan tersebut.
***
Sesuai
janjinya, tepat setelah dua minggu, sore ini Oak Rekas datang lagi ke
rumah Sadimin bersama para pengawalnya.
“Bagaimana?
Apa ayahmu sudah pulang?”
Mulut Sadimin
kaku. Percuma saja menjawab pertanyaan itu jika ayahnya belum pulang.
Pertanyaan itu membuatnya tidak punya pilihan selain menyerahkan diri demi
keamanan kampungnya. Dan, mengetahui hidupnya akan berakhir sebentar lagi pada
secangkir air suci membuat tubuh Sadimin nyaris limbung. Namun, bukankah mati
membuktikan sebuah kebenaran dan pengorbanan adalah sebuah kehormatan?
Dua pengawal itu
menyeret tubuh Sadimin setelah diberi kode dengan jentikan jari. Bayangan
tentang ayahnya yang menari-nari culas kembali merubung kepala laki-laki
bertubuh ceking itu. Sepanjang perjalan menuju ritual garep ia mengumpat
berkali-kali, meski ia tahu itu tak ada gunanya.
Di Balai
Sangkep Sadimin dihadapkan di depan para tetua adat, tokoh kampung, dan
beberapa warga yang hadir. Rasanya waktu kembali berputar. Kejadian sepuluh
tahun silam seolah diulang begitu saja dengan tokoh yang berbeda. Ritual garep segera dilaksanakan demi
menghentikan musim kemarau. Oak Rekas membuka ritual dengan merapal
beberapa mantra.
“Apa kamu
sudah siap meminum air suci?” tanyanya menyuguhkan ceret dan sebuah cangkir.
Sadimin menghela
napas lalu mengangguk lesu. Laki-laki yang mengenakan sapuq[8]
itu menggeser posisi duduknya, kemudian berdiri dan menghampirinya. Ia
membungkuk setelah akhirnya mendekatkan cangkir ke mulut Sadimin. Rupanya ia
sendiri yang akan meminumkan air suci itu.
“Aku harus
memastikan air ini masuk ke kerongkonganmu!” bisiknya.
Sadimin mendongak
lalu membuka mulut. Penglihatannya mulai kabur seketika air itu mengalir ke
lambungnya. Bayangan ayahnya yang menjulur-julurkan lidah lagi-lagi melintas
sebelum akhirnya tubuhnya rubuh.
[1] Panggilan untuk orang yang lebih
tua. Maknanya kurang lebih sama dengan paman (kalau disematkan pada laki-laki)
atau bibi (kalau disematkan pada perempuan).
[2] Semacam ritual untuk membuktikan
sebuah kebenaran dengan meminum secangkir air yang diyakini sakral. Ritual ini
biasanya digelar jika ada kasus pencurian di kampung, dan pelakunya diduga kuat
dari warga kampung tersebut tetapi ia enggan mengakui. Dengan demikian, salah
satu cara untuk membersihkan kampung dari tindakan kriminal semacam itu ialah
dengan ritual garep. Jika tertuduh terbukti salah, biasanya ia akan mengalami
penyakit kutukan bahkan tak jarang berujung kematian.
[3] Pemukiman kecil di tengah
persawahan.
[4] Umpatan dalam bahasa Sasak yang
kurang lebih maknanya mirip dengan ungkapan bajingan.
[5] Penanggalan menurut (metode)
adat, yang tidak sama dengan bulan-bulan masehi.
[6] Musyawarah atau persidangan
[7] Nama sebuah ilmu kanuragan yang
pemiliknya konon kebal senjata jenis apa pun (terutama besi). Lolat maksudnya
licin, konon kalau ditebas senjata itu menjadi licin di tubuhnya.
[8] Semacam pakaian adat yang
dipakai dengan diikat di kepala