Senin, 28 Juli 2025

Resensi Buku

Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan

Oleh: Marzuki Wardi

sumber: dokumen pribadi


Judul Buku      : Pendidikan Kaum Tertindas

Penulis             : Paulo Freire

Penerbit          : Narasi

Terbit              : Keenam, 2024

Tebal               : 220 halaman

ISBN               : 978-602-5792-42-7

Paulo Freire dikenal sebagai tokoh intelektual Brazil yang menggagas pendidikan dengan ideologi radikal sebagai jalan pembebasan rakyat dari ketertindasan. Ia hidup di lingkungan keluarga kelas menengah bahkan dapat dikategorikan miskin. Sejak kecil ia mengalami sendiri masa-masa kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh kesemena-menaan pemerintah pada saat itu, termasuk dalam pendidikan di mana rakyat miskin mendapat diskriminasi. Karena itu, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed) ia mengawalinya dengan memaparkan praktik pendidikan bagi kaum tertindas di lingkungan tempat tinggalnya.

Freire membedakan pandangan idealisme pendidikan dari sisi pemahaman manusia terhadap realitas. Menurutnya ada tiga jenis manusia dalam memandang realitas. Yang pertama ialah sektarian kanan yaitu mereka yang beranggapan bahwa masa depan dapat ditentukan saat ini sehingga ia tidak dapat diubah pada masa mendatang. Dengan demikian, apa yang terjadi pada saat ini tidak dapat diubah karena merupakan hasil dari apa yang ditanam pada masa lalu. Yang kedua ialah sektarian kiri yang berpandangan bahwa masa depan adalah hal yang telah ditentukan dan tidak dapat diubah (fatalisme). Terakhir ialah kaum radikal yang meyakini nilai-nilai kebebasan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.

Apa keterkaitan antara tiga perbedaan pandangan terhadap realitas tersebut? Menurut Freire dua golongan (sektarian kiri dan kanan) di atas cenderung menjadi objek kaum penindas. Sebab, mereka menolak kebebasan. Mereka, terutama golongan kiri, cenderung meyakini bahwa kondisi apa pun yang mereka alami merupakan sebuah takdir hidup yang harus dijalani, bukan pilihan. Berbeda dengan golongan radikal yang meyakini bahwa kebebasan adalah hakikat eksistensi manusia. Karena itu, menurut mereka kebebasan harus diperjuangkan agar manusia tidak menjadi tawanan dalam lingkaran kepastian.

Menurut Freire kaum tertindas tidak dapat menjadi individu yang diinginkannya sendiri. Sebab, mereka cenderung memosisikan diri sebagai bawahan atau budak dari kaum penindas. Mereka merasa tidak punya kuasa untuk menolak kehendak kaum penindas alih-alih menjadi seperti mereka. Menjadi bagi mereka adalah menuruti apa yang didektekan oleh kaum penindas. Sebaliknya, kaum penindas memandang bahwa menjadi berarti memiliki (kaum tertindas).

Hal tersebut tentu bukan retorika semata. Freire mewancarai secara langsung masyarakat yang menjadi objek kaum penindas. Salah satunya ialah masyarakat agraris di mana para petani rata-rata tidak berani mengungkapkan apa yang mereka keluhkan dan inginkan kepada majikannya. Hal itu dikarenakan mereka menyadari bahwa diri mereka bergantung sepenuhnya pada majikan. Sayangnya protes yang mestinya dilayangkan kepada atasan mereka itu dilampiaskan kepada anak dan istri. Mereka memarahi anak dan istri yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalah dengan majikannya.

Selain itu, hasil wawancara penelitian (tema) yang dilakukan Freire di kawasan penduduk penyewa tanah di Santiago, menujukkan betapa kaum tertindas tidak berani meyakini diri bahwa represi atasan yang mereka alami sebagai sebuah penindasan. Singkatnya, wawancara Freire menemukan adanya hubungan antara pekerja yang mendapat gaji rendah, merasa dieksploitasi, dan mabuk-mabukan sebagai perlawanan terhadap realitas. Hal itu mereka lakukan sebagai sebuah cara untuk mengatasi frustasi ketidakberdayaan mereka. Dalam pandangan mereka (kaum tertindas) itulah solusi atas penurunan nilai diri mereka.

Kondisi ini diperparah dengan praktik pendidikan yang Freire sebut pendidikan gaya bank yaitu pembelajaran di mana guru hanya menerangkan atau menceritakan materi pelajaran yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan realitas yang terjadi. Dengan kata lain, guru hanya berperan sebagai narator yang menyampaikan materi pelajaran dan murid sebagai wadah yang menampung apa yang disampaikan oleh guru. Hanya guru orang yang memiliki ilmu, dan murid tidak tahu apa-apa, dan karena itu mereka harus mengikuti apa pun yang diinstruksikan guru.

Atas dasar itulah Freire menggagas pendidikan untuk kaum tertindas yaitu pendidikan hadap-masalah. Fokus pendidikan ini adalah menciptakan situasi pembelajaran di mana objek yang dipahami menghubungkan pelaku pemahaman⸻guru di satu sisi dan murid di sisi lain. Dalam Pendidikan gaya ini, guru dan murid berperan sebagai subjek dalam mengamati realitas. Mereka sama-sama aktif dalam memecahkan suatu masalah dalam proses pembelajaran.

Salah satu corak utama dari pendidikan ini ialah adanya dialektika dalam pembelajaran yakni dialog antara guru dengan siswa dengan menyeimbangkan refleksi-aksi alih-alih dominasi aktivisme dan verbalisme. Melalui dialog yang hidup daya kritis siswa akan tumbuh sehingga menghasilkan pemikiran yang kritis. Bagi pendidik hadap-masalah yang menggunakan dialogika, isi pelajaran bukanlah hadiah atau pemaksaan⸻sedikit informasi yang dimasukkan guru ke dalam diri murid⸻namun sebagai sebuah “penyajian kembali” yang tertata, sistematis, dan berkembang kepada murid tentang hal apa yang ingin murid tahu (halaman 88).

Contoh penerapan pembelajaran hadap-masalah dipaparkan secara rinci pada halaman 129 sampai 133 dengan tema pembangunan. Tim mengundang dua atau lebih ekonom dari berbagai macam sekolah pemikiran, dan menceritakan program yang sedang dilaksanakan kepada mereka, serta mengundang mereka untuk melakukan wawancara dengan bahasa yang bisa dimengerti orang yang diteliti (murid). Inti dari pembelajaran tersebut ialah menghubungkan para intelektual dengan realitas, dan memberikan orang-orang kesempatan (murid) untuk mengkritisi pemikiran intelektual.

Inti tema diberikan dengan sedikit dramatisasi tanpa solusi. Dramatisasi berperan sebagai kodifikasi, sebagai sebuah situasi hadap-masalah yang akan didiskusikan. Sumber daya untuk pengajaran yang lain ialah membaca dan diskusi mengenai artikel majalah, koran, bab pada buku (diawali dengan penghubung⸻tim pengajar dan ahli). Kegiatan diskusi dapat berupa pertanyaan hasil analisis editorial seperti mengapa koran yang berbeda memiliki interpretasi yang berbeda dari fakta yang sama? Kemampuan ini akan membantu mengembangkan kritis, sehingga orang-orang akan merespon koran atau siaran berita tidak sebagai objek yang pasif dari pernyataan yang langsung ditujukan kepada mereka, namun sebagai kesadaran yang akan dibebaskan.

Satu hal yang paling penting dari sudut pandang pendidikan pembebasan⸻hadap-masalah⸻adalah orang-orang merasakan menjadi pemilik dari pemikiran mereka dengan mendiskusikan pemikiran dan pandangan dunia secara eksplisit maupun implisit yang terwujud dalam usulan mereka dan rekan sesame mereka (halaman 133).

Melalui buku yang terdiri dari empat bab ini Freire menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah medium untuk memanusiakan manusia alih-alih untuk menindas orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh kaum nekrofilia (penindas). Di lain sisi, ketika kaum tertindas sudah dapat keluar dari kondisi ketertindasan, Freire juga mewanti-wanti agar mereka tidak berbalik menjadi penindas. Jadi, pendidikan yang ideal menurut Freire ialah ketika ia mampu mengaktualisasi eksistensi manusia sebagai makhluk yang merdeka di dengah dunia di mana mereka berada.

Secara substansial materi buku ini memang cukup kompleks. Untuk mencernanya secara utuh kita perlu mengkajinya secara ekstensif, terutama menelisik latar belakang penulis dan penulisan buku tersebut. Antara pelaku dan objek penindasan, misalnya, selain penulis tidak mengurainya secara rinci, bahasa yang dipakai juga filosofis. Namun demikian, meskipun bukan buku yang mengurai teori pendidikan secara sistematis dan praktis untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu, gagasan besar Freire mengenai pendidikan yang memerdekakan dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas ini layak untuk direnungi dan diimplementasi.

 

Sintung, 28 Juli 2025

Resensi Buku

Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan Oleh: Marzuki Wardi sumber: dokumen pribad...