Kamis, 17 April 2025

Cerpen

 

Nyawa Tebusan

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok

Cerpen ini dikurasi sebagai syarat peserta Peningkatan Apresiasi Sastra bagi Sastrawan di Nusa Tenggara Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB pada 2024. Ia juga dibukukan dalam bentuk antologi bersama 60 karya sastrawan oleh lembaga tersebut.

Sebelum memutuskan untuk keluar, Sadimin menyelip sebilah belati di sakunya. Sebab, dari pola ketukan, ia sudah bisa memastikan bahwa yang berdiri di balik pintu adalah Oak[1] Rekas.

“Jangan coba-coba sembunyikan ayahmu. Waktumu tinggal dua minggu. Kalau bulan sudah tanggal dan dia belum pulang juga, bersiap-siaplah kamu jadi tebusan!” ancamnya.

Sadimin memindahkan jemarinya dari gagang belati setelah memastikan tidak ada tanda-tanda atau gerakan lelaki tua itu menyerang. Ia berdiri tepat di tengah garis pintu. Selain menghalau agar laki-laki berleher jerapah itu masuk ke rumahnya, ia juga berusaha menunjukkan keberaniannya.

“Kenapa harus saya? Dan saya memang tak tahu ayah di mana.”

“Karena kamu satu-satunya anak laki-lakinya.”

“Tapi…?”

“Hanya ada dua pilihan, bawa ayahmu hidup atau mati, atau kamu jadi gantinya nanti pada ritual garep[2] pada akhir bulan ini!” Jari telunjuk dan tengah Oak Rekas nyaris menusuk mata Sadimin.

Bersama seorang tokoh pemuda dan dua tokoh kampung lainnya laki-laki berkaki jenjang itu kemudian merenggang pergi. Sadimin ingin mengejar, tetapi itu percuma. Deras langkah mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungi kampung dengan repoq[3] tempat tinggal Sadimin. Lagi pula, memelas asih hanya akan merendahkan martabat Sadimin sebagai seorang laki-laki di mata mereka.

Di sisi lain Sadimin bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah yang sebetulnya bukan ulahnya. Ia menelan ludah kering dan tergidik membayangkan ritual garep. Seingatnya ritual itu selalu menelan korban kematian. Oak Rekas dikenal sebagai sosok yang tegas dan sangat memegang teguh ucapannya. Jadi, apa yang diancamkannya barusan bisa dikatakan pasti terjadi.

Ayah Sadimin bagai memasuki alam gaib. Kabarnya raib tanpa jejak sejak ia meninggalkan rumah hampir sepuluh tahun lalu. Kalaupun bisa ditemukan, pastilah ia bersi keras tak mau pulang karena tahu dirinya akan diadili di persidangan adat.

Bebinjat!”[4] teriak Sadimin di tengah kebingungannya. Bayangan wajah ayahnya yang sedang menari culas sambil menjulur-julurkan lidah seperti seekor anjing berkelebat dalam kepalanya.

Setiap tanggal lima belas bulan atas,[5] tetua adat itu selalu menyambangi Sadimin. Entah dari mana keyakinannya muncul bahwa pada tanggal itu ayah kembali ke rumah. Laki-laki yang suka memamah buah pinang itu satu-satunya orang yang tidak puas atas hasil ritual garep yang dilakukan sepuluh tahun silam. Ia yakin bahwa bala kekeringan di kampung itu takkan berhenti sebelum ritual yang menelan nyawa Rejun Menjong itu dilaksanakan ulang.

Sadimin ingat persis, meski saat itu usianya masih cukup belia, tapi kejadian—terutama kejadian ganjil dan mengerikan—terekam kuat dalam kepalanya. Hampir semua warga meninggalkan aktivitasnya demi menyaksikan jalannya persidangan di Balai Sangkep[6] adat malam itu.

“Dari mana kamu tahu pelaku pencurian sapimu adalah Rejun Menjong?” tanya Oak Rekas kepada Leman, ayah Sadimin, saat persidangan dimulai.

“Apa kamu lupa bagaimana buasnya dulu ia mencuri?”

“Bohong! Saya berani bersumpah, saya tak tahu apa-apa. Malam itu saya menginap di ladang sayur saya!” Rejun Menjong berkilah.

“Mau disuruh menelan surau sekalian modinnya, mana ada maling yang mau ngaku, Oak!”

Dulu, saat usianya masih muda Rejun Menjong memang dikenal sebagai maling yang disegani. Keberingasannya menggondol barang-barang berharga milik orang lain sampai tersiar ke kampung-kampung tetangga. Ketangkasan langkah, fostur tubuh yang tinggi dan gempal, serta ilmu kanuragan yang mumpuni, membuat orang-orang yang mendengar namanya saja sudah bergetar ketakutan, apalagi sampai berurusan dengannya.

Bagaimanapun, itu adalah masa lalunya. Setelah lima tahun diusir dan diasingkan dari kampung, dan hanya sesekali pulang menengok kondisi keluarganya, laki-laki berambut awut-awutan itu diizinkan kembali ke kampung. Tentu saja setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya.

“Sumpah! Leman bohong,” sanggah laki-laki berjuluk Ampan Lolat[7] itu.

“Ya, perkataan Rejun Menjong ada benarnya juga. Dia, kan, akhir-akhir ini sering nginap di ladang. Apalagi dia juga sudah rajin beribadah. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya di hadapan warga dulu.”

“Ah, semua orang kan bisa pura-pura alim, Oak. Coba ingat-ingat, selama bangsat ini dibuang dari kampung, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, sapi saya langsung digasak?” Jawaban Leman meyakinkan. “Dan aku yakin dugaanku ini benar, karena Rejun Menjong malam itu tidak berada di rumahnya!” tutupnya mengakhiri sanggahannya.

Bulan sabit sudah merangkak di atas atap balai sangkep. Sementara, belum ada keputusan yang tepat. Sebagai seorang pemuka tokoh adat, Oak Rekas tentu tidak boleh mengambil keputusan serampangan. Tapi, di satu sisi, ia juga harus bersikap tegas. Setelah dirunding dengan para tetua kampung dan tokoh adat lainnya, mereka akhirnya sepakat menyelenggarakan ritual garep malam itu juga sebagai satu-satunya jalan keluar masalah.

Tempat pelaksanaan pun langsung disiapkan. Ayah Sadimin dan Rejun Menjong duduk di tengah dikelilingi para tetua, tokoh kampung, dan semua warga yang hadir. Meski dikerumuni hampir ratusan orang, suasana Balai Sangkep seketika menjadi hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari mulut sanggar. Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?   

Oak Rekas menyodorkan dua cangkir serupa mangkuk berisi air suci. Leman meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Rejun Menjong setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Leman, pastilah Rejun Menjong yang sebentar lagi akan terkapar di tempat itu, pikir mereka.

Seperti halnya Leman, Rejun Menjong pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar balai semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Rejun Menjong, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka yang tergeletak di tempat. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega malam itu.

Namun, rasa lega itu tak bertahan lama. Berselang dua hari, pada pagi yang bergerimis tipis, warga kampung dihebohkan dengan penemuan mayat Rejun Menjong di bawah pohon pisang di halaman belakang rumahnya. Mayat itu sudah dikerubungi lalat meski tanpa luka tusukan, memar, bakar, dan tanda-tanda penganiayaan semacamnya.

“Akhirnya terbukti sudah apa yang kita tunggu-tunggu!”

“Saya benar-benar tak menyangka!”

“Ternyata tobat hanya dijadikan topeng!”

“Iya benar.”

“Mampus kau!”

“Sekarang kampung kita sudah aman!”

Demikianlah komentar orang-orang atas peristiwa itu. Pada mulanya warga kampung percaya kematian itu adalah jawaban dari teka-teki masalah yang dibuktikan melalui ritual sakral tersebut. Namun, belakangan rahasia itu terkuak setelah Leman sejak itu tiba-tiba kabur dari rumah. Dan benar saja, setelah diselidiki memang dialah dalang pembunuhan tersebut.

***

Sesuai janjinya, tepat setelah dua minggu, sore ini Oak Rekas datang lagi ke rumah Sadimin bersama para pengawalnya.

“Bagaimana? Apa ayahmu sudah pulang?”

Mulut Sadimin kaku. Percuma saja menjawab pertanyaan itu jika ayahnya belum pulang. Pertanyaan itu membuatnya tidak punya pilihan selain menyerahkan diri demi keamanan kampungnya. Dan, mengetahui hidupnya akan berakhir sebentar lagi pada secangkir air suci membuat tubuh Sadimin nyaris limbung. Namun, bukankah mati membuktikan sebuah kebenaran dan pengorbanan adalah sebuah kehormatan?

Dua pengawal itu menyeret tubuh Sadimin setelah diberi kode dengan jentikan jari. Bayangan tentang ayahnya yang menari-nari culas kembali merubung kepala laki-laki bertubuh ceking itu. Sepanjang perjalan menuju ritual garep ia mengumpat berkali-kali, meski ia tahu itu tak ada gunanya.

Di Balai Sangkep Sadimin dihadapkan di depan para tetua adat, tokoh kampung, dan beberapa warga yang hadir. Rasanya waktu kembali berputar. Kejadian sepuluh tahun silam seolah diulang begitu saja dengan tokoh yang berbeda. Ritual garep segera dilaksanakan demi menghentikan musim kemarau. Oak Rekas membuka ritual dengan merapal beberapa mantra.

“Apa kamu sudah siap meminum air suci?” tanyanya menyuguhkan ceret dan sebuah cangkir.

Sadimin menghela napas lalu mengangguk lesu. Laki-laki yang mengenakan sapuq[8] itu menggeser posisi duduknya, kemudian berdiri dan menghampirinya. Ia membungkuk setelah akhirnya mendekatkan cangkir ke mulut Sadimin. Rupanya ia sendiri yang akan meminumkan air suci itu.

“Aku harus memastikan air ini masuk ke kerongkonganmu!” bisiknya.

Sadimin mendongak lalu membuka mulut. Penglihatannya mulai kabur seketika air itu mengalir ke lambungnya. Bayangan ayahnya yang menjulur-julurkan lidah lagi-lagi melintas sebelum akhirnya tubuhnya rubuh.

Lombok Tengah, 13 November 2024.


[1] Panggilan untuk orang yang lebih tua. Maknanya kurang lebih sama dengan paman (kalau disematkan pada laki-laki) atau bibi (kalau disematkan pada perempuan).

[2] Semacam ritual untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan meminum secangkir air yang diyakini sakral. Ritual ini biasanya digelar jika ada kasus pencurian di kampung, dan pelakunya diduga kuat dari warga kampung tersebut tetapi ia enggan mengakui. Dengan demikian, salah satu cara untuk membersihkan kampung dari tindakan kriminal semacam itu ialah dengan ritual garep. Jika tertuduh terbukti salah, biasanya ia akan mengalami penyakit kutukan bahkan tak jarang berujung kematian.

 

[3] Pemukiman kecil di tengah persawahan.

[4] Umpatan dalam bahasa Sasak yang kurang lebih maknanya mirip dengan ungkapan bajingan.

[5] Penanggalan menurut (metode) adat, yang tidak sama dengan bulan-bulan masehi.

[6] Musyawarah atau persidangan

[7] Nama sebuah ilmu kanuragan yang pemiliknya konon kebal senjata jenis apa pun (terutama besi). Lolat maksudnya licin, konon kalau ditebas senjata itu menjadi licin di tubuhnya.

[8] Semacam pakaian adat yang dipakai dengan diikat di kepala

Cerpen

  Nyawa Tebusan Marzuki Wardi Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok...