Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat
untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan
Oleh:
Marzuki Wardi
![]() |
sumber: dokumen pribadi |
Judul Buku : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis :
Paulo Freire
Penerbit : Narasi
Terbit :
Keenam, 2024
Tebal :
220 halaman
ISBN : 978-602-5792-42-7
Paulo
Freire dikenal sebagai tokoh intelektual Brazil yang menggagas pendidikan
dengan ideologi radikal sebagai jalan pembebasan rakyat dari ketertindasan. Ia hidup
di lingkungan keluarga kelas menengah bahkan dapat dikategorikan miskin. Sejak
kecil ia mengalami sendiri masa-masa kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh
kesemena-menaan pemerintah pada saat itu, termasuk dalam pendidikan di mana
rakyat miskin mendapat diskriminasi. Karena itu, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed) ia mengawalinya dengan
memaparkan praktik pendidikan bagi kaum tertindas di lingkungan tempat
tinggalnya.
Freire
membedakan pandangan idealisme pendidikan dari sisi pemahaman manusia terhadap
realitas. Menurutnya ada tiga jenis manusia dalam memandang realitas. Yang
pertama ialah sektarian kanan yaitu mereka yang beranggapan bahwa masa depan
dapat ditentukan saat ini sehingga ia tidak dapat diubah pada masa mendatang.
Dengan demikian, apa yang terjadi pada saat ini tidak dapat diubah karena
merupakan hasil dari apa yang ditanam pada masa lalu. Yang kedua ialah
sektarian kiri yang berpandangan bahwa masa depan adalah hal yang telah
ditentukan dan tidak dapat diubah (fatalisme). Terakhir ialah kaum radikal yang
meyakini nilai-nilai kebebasan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.
Apa
keterkaitan antara tiga perbedaan pandangan terhadap realitas tersebut? Menurut
Freire dua golongan (sektarian kiri dan kanan) di atas cenderung menjadi objek
kaum penindas. Sebab, mereka menolak kebebasan. Mereka, terutama golongan kiri,
cenderung meyakini bahwa kondisi apa pun yang mereka alami merupakan sebuah
takdir hidup yang harus dijalani, bukan pilihan. Berbeda dengan golongan
radikal yang meyakini bahwa kebebasan adalah hakikat eksistensi manusia. Karena
itu, menurut mereka kebebasan harus diperjuangkan agar manusia tidak menjadi
tawanan dalam lingkaran kepastian.
Menurut
Freire kaum tertindas tidak dapat menjadi individu yang diinginkannya sendiri. Sebab,
mereka cenderung memosisikan diri sebagai bawahan atau budak dari kaum
penindas. Mereka merasa tidak punya kuasa untuk menolak kehendak kaum penindas
alih-alih menjadi seperti mereka. Menjadi bagi mereka adalah menuruti
apa yang didektekan oleh kaum penindas. Sebaliknya, kaum penindas memandang
bahwa menjadi berarti memiliki (kaum tertindas).
Hal
tersebut tentu bukan retorika semata. Freire mewancarai secara langsung masyarakat
yang menjadi objek kaum penindas. Salah satunya ialah masyarakat agraris di
mana para petani rata-rata tidak berani mengungkapkan apa yang mereka keluhkan
dan inginkan kepada majikannya. Hal itu dikarenakan mereka menyadari bahwa diri
mereka bergantung sepenuhnya pada majikan. Sayangnya protes yang mestinya
dilayangkan kepada atasan mereka itu dilampiaskan kepada anak dan istri. Mereka
memarahi anak dan istri yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
masalah dengan majikannya.
Selain
itu, hasil wawancara penelitian (tema) yang dilakukan Freire di kawasan
penduduk penyewa tanah di Santiago, menujukkan betapa kaum tertindas tidak
berani meyakini diri bahwa represi atasan yang mereka alami sebagai sebuah
penindasan. Singkatnya, wawancara Freire menemukan adanya hubungan antara pekerja
yang mendapat gaji rendah, merasa dieksploitasi, dan mabuk-mabukan sebagai
perlawanan terhadap realitas. Hal itu mereka lakukan sebagai sebuah cara untuk
mengatasi frustasi ketidakberdayaan mereka. Dalam pandangan mereka (kaum
tertindas) itulah solusi atas penurunan nilai diri mereka.
Kondisi
ini diperparah dengan praktik pendidikan yang Freire sebut pendidikan gaya
bank yaitu pembelajaran di mana guru hanya menerangkan atau menceritakan materi
pelajaran yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan realitas yang terjadi.
Dengan kata lain, guru hanya berperan sebagai narator yang menyampaikan materi
pelajaran dan murid sebagai wadah yang menampung apa yang disampaikan oleh
guru. Hanya guru orang yang memiliki ilmu, dan murid tidak tahu apa-apa, dan
karena itu mereka harus mengikuti apa pun yang diinstruksikan guru.
Atas
dasar itulah Freire menggagas pendidikan untuk kaum tertindas yaitu pendidikan hadap-masalah.
Fokus pendidikan ini adalah menciptakan situasi pembelajaran di mana objek yang
dipahami menghubungkan pelaku pemahaman⸻guru di satu sisi dan murid di sisi
lain. Dalam Pendidikan gaya ini, guru dan murid berperan sebagai subjek dalam
mengamati realitas. Mereka sama-sama aktif dalam memecahkan suatu masalah dalam
proses pembelajaran.
Salah
satu corak utama dari pendidikan ini ialah adanya dialektika dalam pembelajaran
yakni dialog antara guru dengan siswa dengan menyeimbangkan refleksi-aksi
alih-alih dominasi aktivisme dan verbalisme. Melalui dialog yang hidup daya
kritis siswa akan tumbuh sehingga menghasilkan pemikiran yang kritis. Bagi
pendidik hadap-masalah yang menggunakan dialogika, isi pelajaran bukanlah
hadiah atau pemaksaan⸻sedikit informasi yang dimasukkan guru ke dalam diri
murid⸻namun sebagai sebuah “penyajian kembali” yang tertata, sistematis, dan
berkembang kepada murid tentang hal apa yang ingin murid tahu (halaman 88).
Contoh
penerapan pembelajaran hadap-masalah dipaparkan secara rinci pada halaman 129
sampai 133 dengan tema pembangunan. Tim mengundang dua atau lebih ekonom
dari berbagai macam sekolah pemikiran, dan menceritakan program yang sedang
dilaksanakan kepada mereka, serta mengundang mereka untuk melakukan wawancara
dengan bahasa yang bisa dimengerti orang yang diteliti (murid). Inti dari pembelajaran
tersebut ialah menghubungkan para intelektual dengan realitas, dan memberikan
orang-orang kesempatan (murid) untuk mengkritisi pemikiran intelektual.
Inti
tema diberikan dengan sedikit dramatisasi tanpa solusi. Dramatisasi berperan
sebagai kodifikasi, sebagai sebuah situasi hadap-masalah yang akan
didiskusikan. Sumber daya untuk pengajaran yang lain ialah membaca dan diskusi
mengenai artikel majalah, koran, bab pada buku (diawali dengan penghubung⸻tim
pengajar dan ahli). Kegiatan diskusi dapat berupa pertanyaan hasil analisis
editorial seperti mengapa koran yang berbeda memiliki interpretasi yang
berbeda dari fakta yang sama? Kemampuan ini akan membantu mengembangkan
kritis, sehingga orang-orang akan merespon koran atau siaran berita tidak
sebagai objek yang pasif dari pernyataan yang langsung ditujukan kepada mereka,
namun sebagai kesadaran yang akan dibebaskan.
Satu
hal yang paling penting dari sudut pandang pendidikan pembebasan⸻hadap-masalah⸻adalah
orang-orang merasakan menjadi pemilik dari pemikiran mereka dengan
mendiskusikan pemikiran dan pandangan dunia secara eksplisit maupun implisit
yang terwujud dalam usulan mereka dan rekan sesame mereka (halaman 133).
Melalui
buku yang terdiri dari empat bab ini Freire menegaskan bahwa pendidikan sejatinya
adalah medium untuk memanusiakan manusia alih-alih untuk menindas orang lain sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum nekrofilia (penindas). Di lain sisi, ketika kaum
tertindas sudah dapat keluar dari kondisi ketertindasan, Freire juga mewanti-wanti
agar mereka tidak berbalik menjadi penindas. Jadi, pendidikan yang ideal
menurut Freire ialah ketika ia mampu mengaktualisasi eksistensi manusia sebagai
makhluk yang merdeka di dengah dunia di mana mereka berada.
Secara
substansial materi buku ini memang cukup kompleks. Untuk mencernanya secara
utuh kita perlu mengkajinya secara ekstensif, terutama menelisik latar belakang
penulis dan penulisan buku tersebut. Antara pelaku dan objek penindasan,
misalnya, selain penulis tidak mengurainya secara rinci, bahasa yang dipakai juga
filosofis. Namun demikian, meskipun bukan buku yang mengurai teori pendidikan secara
sistematis dan praktis untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu, gagasan
besar Freire mengenai pendidikan yang memerdekakan dalam buku Pendidikan
Kaum Tertindas ini layak untuk direnungi dan diimplementasi.
Sintung,
28 Juli 2025