Minggu, 09 November 2025

Cerpen

 

Sadimin dan Pohon-Pohon Kesayangannya

Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang

Sadimin masih mengangkangi cabang sebuah pohon duwet ketika tubuh anak-anak itu mulai lindap di tikungan pematang sawah. Ia mengusap matanya. Bocah-bocah kumal itu selalu berhasil membuat kekesalannya membuncah. “Suruh ayah kalian lawan saya, binjaaat!”[1] teriaknya.

Tentu saja itu sebuah gertakan semata. Mana berani ia berkelahi, apalagi dengan orang dewasa. Lagi pula, ia mestinya berteriak tadi ketika anak-anak itu masih berada di bawah pohon yang ia hinggapi. Tapi, entah kenapa kerongkongannya selalu merasa tercekat bila orang yang membuatnya marah masih di depan matanya. Kalaupun suaranya berhasil keluar, pastilah serak dan berdengung seperti suara tawon membuat sarang. Pada saat seperti itu, orang-orang semakin girang mengoloknya.

Sore ini bocah-bocah kampung itu menemukan Sadimin setengah tertidur pada salah satu cabang pohon duwet yang berbentuk huruf Y, dekat dangau di tengah sawah. Laki-laki kotok[2] itu mereka lihat menciumi daun-daun pohon mangga sambil memejamkan mata. Mereka juga melihat mulut Sadimin bergumam tanpa suara, seperti sedang mengobrol dengan daun-daun.

Itulah yang menggoyahkan iman mereka untuk mengusili Sadimin. Diambilnya selembar daun duwet yang tergeletak di bawah pohon lalu diolesinya dengan tahi yang mereka ciduk dari kali. Daun itu ditusuk dengan lidi kemudian mereka junjung dengan galah dan didekatkan ke mulut Sadimin yang sedang monyong. Sontak itu membuatnya tergeragap. Ketika membuka mata, ia melihat lima bocah sedang tertawa terpingkal-pingkal tepat di bawah pohon. Ia mengepalkan tangan lalu mengacunginya ke bocah-bocah yang bertelanjang kaki itu.

Sadimin tak mengerti kenapa akhir-akhir ini semakin banyak bocah yang mengganggunya ketika ia berada di atas pohon. Tidak hanya mereka, para bujang di kampung itu juga membenci apa yang ia lakukan. Pada suatu sore, misalnya, ketika ia tengah asyik mengobrol dengan daun-daun dan tonggeret, tiba-tiba segerombolan bujang datang mengumpat dan melemparinya dengan krikil. Sadimin akhirnya terpaksa turun lalu bersembunyi ke semak-semak atau pohon-pohon pandan di samping pohon yang dipanjatnya.

“Dia sudah gila. Mungkin karena ditinggal mati ayahnya!”

“Mungkin dia kerasukan Bakeq Beraq[3] karena kebanyakan main di sawah!”

“Jangan-jangan Sadimin berguru aliran sesat?”

 “Kita usir saja setan itu dari kampung kita!” teriak salah satu warga.

“Tidak usah. Yang penting kita awasi gerak-geriknya.”

“Bagaimana kalau dia melukai anak-anak?”

“Sepertinya itu kecil kemungkinan,” timpal seorang bujang yang dari penampilannya tampak lebih terpelajar, “orang seperi ini hanya akan menghambat kemajuan kampung kita,” tegasnya.

“Atau kita bawa ke rumah sakit jiwa saja?!” usul yang lain.

“Tidak perlu!”

Begitulah Sadimin di mata kebanyakan warga kampung. Ia memang bukan orang penting sehingga mereka harus bersusah payah membawanya ke rumah sakit jiwa. Lagi pula, sanak saudaranya juga tidak terlalu memedulikan hidup laki-laki berleher jerapah itu, terlebih setelah ayahnya meninggal beberapa tahun silam. Jangan tanya keberadaan ibunya, ia telah meninggal setelah beberapa bulan Sadimin dilahirkan.

 

Dulu bila warga ada hajatan, Sadimin memang sering dimintai memetik buah kelapa, kelui, nangka, atau buah lain yang pohonnya mustahil bisa dipanjat orang normal. Hal itulah yang membuat keberadaannya berarti di kampung tersebut. Namun, sekarang kebanyakan warga membeli semua keperluan tersebut jika mereka punya hajatan. Sehingga tanpa jasa itu keberadaan Sadimin tidak diperlukan lagi bahkan nyaris haram.

Sejak kecil dunia Sadimin memang tak jauh dari seputar pohon. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah repoq[4] yang cukup jauh di kampung itu. Di sanalah ayahnya mengajarinya hidup bersama pohon-pohon. Setiap hari nyaris tak dilewatkan Sadimin tanpa latihan memanjat pohon-pohon di sekitar repoq. Hidup di tengah ladang dan jauh dari kampung butuh keahlian memanjat pohon. Tidak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup juga perlu keterampilan menanam dan merawat pohon-pohon. Jadi, hidup akan seimbang dengan menanam, merawat, dan mengambil manfaat seperlunya dari pohon. Begitulah kiranya makna pohon bagi ayah Sadimin yang tentu tak bisa diungkapkan oleh orang yang tak pernah bersekolah seperti dirinya.

Pesan itu seakan menjalar dalam darah Sadimin. Sejak saat itu, ia mulai rajin menanam dan merawat pohon-pohon. Sadimin seakan punya semacam insting botani untuk membaca lahan mana yang membutuhkan kehadiran sebuah pohon. Dengan cekatan tangannya yang kurus itu memindahkan benih-benih pohon yang didapatinya dari lahan yang sudah lebat ke lahan yang masih kosong. Pekarangan repoq itu pun dipenuhi pohon-pohon subur dan rindang.

Seiring bertambahnya usia, Sadimin semakin bersahabat dengan pohon-pohon. Apalagi sejak ayahnya meninggal, ia menganggap batang pohon adalah tubuh ringkih ayahnya, bahkan pohon itu sendiri adalah jelmaan ayahnya. Sadimin tumbuh menjadi anak yang mampu berkomunikasi dengan pohon-pohon. Saban pagi ia memanjat, melompat dari cabang ke cabang, bergelantungan dari dahan satu ke dahan lain layaknya seekor beruk. Dengan burung, kupu-kupu, capung, tonggeret, kadal pohon, dan binatang apa saja yang hinggap di atas pohon ia bermain.

Tentu saja itu bukan hal galib bagi Sadimin. Ia tak merasa sedang melakukan hal aneh. Baginya, ia hanya melakukan apa yang orang lain lakukan kepada sesuatu yang dicintainya. Dengan begitu, tentu saja ia tidak peduli dengan tuduhan orang-orang kampung, apalagi sampai perlu membuktikannya. Itu saja. Tidak lebih. Jika sudah merasa capai dan perlu beristirahat barulah ia akan singgah di pohon duwet besar di dekat dangau itu dan tidur di sana.

***

“Apa pohon-pohon itu akan kita babat habis?”

“Betul Pak Kadis. Konsepnya, area itu nanti akan menjadi tower spot untuk mengamati pegunungan dan area persawahan yang asri.”

“Wah, bagus…bagus…saya kira lahan ini sangat stratekhis. Saya yakin bakal banyak orang tertarik berwisata ke sini jika tamannya sudah jadi sehingga itu bisa mendongkrak ekonomi masyarakat,” jawab seorang bapak berseragam yang dipanggil Pak Kadis.

“Betul Pak Kadis. Saya berharap pembangun taman wisatanya bisa segera direalisasi.”

“Kalau tak ada kendala, bulan ini sudah bisa dimulai, Pak Kades!”

Sadimin terbangun dengan suara orang-orang berseragam di bawah pohon tempatnya tidur. Rombongan itu tampaknya terdiri dari beberapa elemen pejabat penting di pemerintahan. Mereka menengok ke beberapa arah sambil berjalan santai. Sesekali telunjuk mereka mengarah ke sana ke mari.

Tak lama kemudian seorang perempuan yang juga berseragam cokelat muda menuding ke sebuah pohon, “Orang gila…orang gila…!” teriaknya.

Perhatian rombongan beralih ke tempat yang dimaksud perempuan di samping Pak Kadis. Pak Kades menepar jidat. “Sial,” bisiknya kemudian memanggil Satpol PP. “Li, bukankah saya sudah perintahkan agar setan itu diusir dari sini?” tanyanya kesal kepada Pak Rusli.

“Siap perintah sudah dilaksanakan. Bujang-bujang itu sudah saya perintahkan untuk mengusirnya, Pak Kades!”

“Saya ndak mau dengar alasan. Usir dia sekarang juga,” bentak Pak Kades.

“Siap laksanakan!”

Sadimin bingung sekaligus takut bukan kepalang. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara, Pak Rusli bergegas mendekati pohon duwet tempat laki-laki berambut awut-awutan itu bertengger. Dikeluarkannya sebuah pentungan lalu diayunkannya ke arah Sadimin yang semakin gelagapan. “Eee…setan turun kamu! Nakutin orang saja kamu! Ayo cepat! Hitungan kesepuluh kamu ndak turun saya lempar pakai pentungan ini!” teriak Pak Rusli berapi-api.

Sadimin makin kalap. Tubuhnya gemetar. Hidungnya kembang kempis seakan oksigen di dalam tubuhnya tercerabut keluar atmosfer. Ia menyampir bajunya ke pundak kanan lalu melorotkan tubuhnya ke batang pohon mangga yang disinggahinya. Ia kemudian berlari tunggang langgang ke rimbunan pohon pandan berduri di ladang sebelah.

Di tengah napasnya yang ngos-ngosan, ia menyeka sarung lusuhnya yang ia kenakan. Beberapa bagian pahanya lecet. Pikirannya berusaha menerka apakah ada kaitan orang-orang berseragam yang mengusirnya dengan beringas itu dengan kelakuan bujang-bujang bila hari? Rasanya sulit ia bisa pastikan. Beberapa ekor kupu-kupu, tawon, capung, dan tonggeret berdatangan terbang hilir mudik di depannya. Mulut Sadimin merekah melihat kedatangan mereka.

 

Lombok Tengah, 09 November 2025

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.



[1] Kata-kata serapah dalam bahasa Sasak

[2] Laki-laki yang tidak pernah menikah

[3] Semacam jin yang jahat

[4] Rumah di tengah sawah atau kebun yang jauh dari pemukiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Sadimin dan Pohon-Pohon Kesayangannya Marzuki Wardi Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang Sadimin masih men...