Sadimin
dan Pohon-Pohon Kesayangannya
Marzuki Wardi
| Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang |
Sadimin masih mengangkangi cabang sebuah
pohon duwet ketika tubuh anak-anak itu mulai lindap di tikungan pematang sawah.
Ia mengusap matanya. Bocah-bocah kumal itu selalu berhasil membuat kekesalannya
membuncah. “Suruh ayah kalian lawan saya, binjaaat!”[1]
teriaknya.
Tentu saja itu sebuah gertakan
semata. Mana berani ia berkelahi, apalagi dengan orang dewasa. Lagi pula, ia mestinya
berteriak tadi ketika anak-anak itu masih berada di bawah pohon yang ia hinggapi.
Tapi, entah kenapa kerongkongannya selalu merasa tercekat bila orang yang
membuatnya marah masih di depan matanya. Kalaupun suaranya berhasil keluar,
pastilah serak dan berdengung seperti suara tawon membuat sarang. Pada saat
seperti itu, orang-orang semakin girang mengoloknya.
Sore ini bocah-bocah kampung itu
menemukan Sadimin setengah tertidur pada salah satu cabang pohon duwet yang
berbentuk huruf Y, dekat dangau di tengah sawah. Laki-laki kotok[2]
itu mereka lihat menciumi daun-daun pohon mangga sambil memejamkan mata. Mereka
juga melihat mulut Sadimin bergumam tanpa suara, seperti sedang mengobrol
dengan daun-daun.
Itulah yang menggoyahkan iman
mereka untuk mengusili Sadimin. Diambilnya selembar daun duwet yang tergeletak
di bawah pohon lalu diolesinya dengan tahi yang mereka ciduk dari kali. Daun
itu ditusuk dengan lidi kemudian mereka junjung dengan galah dan didekatkan ke
mulut Sadimin yang sedang monyong. Sontak itu membuatnya tergeragap. Ketika
membuka mata, ia melihat lima bocah sedang tertawa terpingkal-pingkal tepat di
bawah pohon. Ia mengepalkan tangan lalu mengacunginya ke bocah-bocah yang
bertelanjang kaki itu.
Sadimin tak mengerti kenapa akhir-akhir
ini semakin banyak bocah yang mengganggunya ketika ia berada di atas pohon.
Tidak hanya mereka, para bujang di kampung itu juga membenci apa yang ia
lakukan. Pada suatu sore, misalnya, ketika ia tengah asyik mengobrol dengan daun-daun
dan tonggeret, tiba-tiba segerombolan bujang datang mengumpat dan melemparinya
dengan krikil. Sadimin akhirnya terpaksa turun lalu bersembunyi ke semak-semak
atau pohon-pohon pandan di samping pohon yang dipanjatnya.
“Dia sudah gila. Mungkin karena
ditinggal mati ayahnya!”
“Mungkin dia kerasukan Bakeq
Beraq[3]
karena kebanyakan main di sawah!”
“Jangan-jangan Sadimin berguru
aliran sesat?”
“Kita usir saja setan itu dari kampung kita!”
teriak salah satu warga.
“Tidak usah. Yang penting kita
awasi gerak-geriknya.”
“Bagaimana kalau dia melukai
anak-anak?”
“Sepertinya itu kecil kemungkinan,”
timpal seorang bujang yang dari penampilannya tampak lebih terpelajar, “orang
seperi ini hanya akan menghambat kemajuan kampung kita,” tegasnya.
“Atau kita bawa ke rumah sakit jiwa
saja?!” usul yang lain.
“Tidak perlu!”
Begitulah Sadimin di mata kebanyakan
warga kampung. Ia memang bukan orang penting sehingga mereka harus bersusah
payah membawanya ke rumah sakit jiwa. Lagi pula, sanak saudaranya juga tidak
terlalu memedulikan hidup laki-laki berleher jerapah itu, terlebih setelah
ayahnya meninggal beberapa tahun silam. Jangan tanya keberadaan ibunya, ia
telah meninggal setelah beberapa bulan Sadimin dilahirkan.
Dulu bila warga ada hajatan, Sadimin
memang sering dimintai memetik buah kelapa, kelui, nangka, atau buah lain yang
pohonnya mustahil bisa dipanjat orang normal. Hal itulah yang membuat
keberadaannya berarti di kampung tersebut. Namun, sekarang kebanyakan warga
membeli semua keperluan tersebut jika mereka punya hajatan. Sehingga tanpa jasa
itu keberadaan Sadimin tidak diperlukan lagi bahkan nyaris haram.
Sejak kecil dunia Sadimin memang tak
jauh dari seputar pohon. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah repoq[4]
yang cukup jauh di kampung itu. Di sanalah ayahnya mengajarinya hidup bersama
pohon-pohon. Setiap hari nyaris tak dilewatkan Sadimin tanpa latihan memanjat
pohon-pohon di sekitar repoq. Hidup
di tengah ladang dan jauh dari kampung butuh keahlian memanjat pohon. Tidak
hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup juga perlu keterampilan menanam dan
merawat pohon-pohon. Jadi, hidup akan seimbang dengan menanam, merawat, dan
mengambil manfaat seperlunya dari pohon. Begitulah kiranya makna pohon bagi ayah
Sadimin yang tentu tak bisa diungkapkan oleh orang yang tak pernah bersekolah
seperti dirinya.
Pesan itu seakan menjalar dalam darah
Sadimin. Sejak saat itu, ia mulai rajin menanam dan merawat pohon-pohon. Sadimin
seakan punya semacam insting botani
untuk membaca lahan mana yang membutuhkan kehadiran sebuah pohon. Dengan
cekatan tangannya yang kurus itu memindahkan benih-benih pohon yang didapatinya
dari lahan yang sudah lebat ke lahan yang masih kosong. Pekarangan repoq itu pun dipenuhi pohon-pohon subur dan rindang.
Seiring bertambahnya usia, Sadimin semakin
bersahabat dengan pohon-pohon. Apalagi sejak ayahnya meninggal, ia menganggap
batang pohon adalah tubuh ringkih ayahnya, bahkan pohon itu sendiri adalah jelmaan
ayahnya. Sadimin tumbuh menjadi anak yang mampu berkomunikasi dengan
pohon-pohon. Saban pagi ia memanjat, melompat dari cabang ke cabang, bergelantungan
dari dahan satu ke dahan lain layaknya seekor beruk. Dengan burung, kupu-kupu,
capung, tonggeret, kadal pohon, dan binatang apa saja yang hinggap di atas
pohon ia bermain.
Tentu saja itu bukan hal galib bagi
Sadimin. Ia tak merasa sedang melakukan hal aneh. Baginya, ia hanya melakukan
apa yang orang lain lakukan kepada sesuatu yang dicintainya. Dengan begitu,
tentu saja ia tidak peduli dengan tuduhan orang-orang kampung, apalagi sampai
perlu membuktikannya. Itu saja. Tidak lebih. Jika sudah merasa capai dan perlu
beristirahat barulah ia akan singgah di pohon duwet besar di dekat dangau itu
dan tidur di sana.
***
“Apa pohon-pohon itu akan kita
babat habis?”
“Betul Pak Kadis. Konsepnya, area
itu nanti akan menjadi tower spot untuk mengamati pegunungan dan area
persawahan yang asri.”
“Wah, bagus…bagus…saya kira lahan
ini sangat stratekhis. Saya yakin
bakal banyak orang tertarik berwisata ke sini jika tamannya sudah jadi sehingga
itu bisa mendongkrak ekonomi masyarakat,” jawab seorang bapak berseragam yang dipanggil
Pak Kadis.
“Betul Pak Kadis. Saya berharap
pembangun taman wisatanya bisa segera direalisasi.”
“Kalau tak ada kendala, bulan ini
sudah bisa dimulai, Pak Kades!”
Sadimin terbangun dengan suara
orang-orang berseragam di bawah pohon tempatnya tidur. Rombongan itu tampaknya
terdiri dari beberapa elemen pejabat penting di pemerintahan. Mereka menengok
ke beberapa arah sambil berjalan santai. Sesekali telunjuk mereka mengarah ke
sana ke mari.
Tak lama kemudian seorang perempuan
yang juga berseragam cokelat muda menuding ke sebuah pohon, “Orang gila…orang
gila…!” teriaknya.
Perhatian rombongan beralih ke
tempat yang dimaksud perempuan di samping Pak Kadis. Pak Kades menepar jidat. “Sial,”
bisiknya kemudian memanggil Satpol PP. “Li, bukankah saya sudah perintahkan
agar setan itu diusir dari sini?” tanyanya kesal kepada Pak Rusli.
“Siap perintah sudah dilaksanakan.
Bujang-bujang itu sudah saya perintahkan untuk mengusirnya, Pak Kades!”
“Saya ndak mau dengar alasan. Usir
dia sekarang juga,” bentak Pak Kades.
“Siap laksanakan!”
Sadimin bingung sekaligus takut
bukan kepalang. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara, Pak Rusli bergegas
mendekati pohon duwet tempat laki-laki berambut awut-awutan itu bertengger. Dikeluarkannya
sebuah pentungan lalu diayunkannya ke arah Sadimin yang semakin gelagapan. “Eee…setan turun kamu! Nakutin orang saja kamu!
Ayo cepat! Hitungan kesepuluh kamu ndak turun saya lempar pakai pentungan ini!”
teriak Pak Rusli berapi-api.
Sadimin makin kalap. Tubuhnya
gemetar. Hidungnya kembang kempis seakan oksigen di dalam tubuhnya tercerabut
keluar atmosfer. Ia menyampir bajunya ke pundak kanan lalu melorotkan tubuhnya
ke batang pohon mangga yang disinggahinya. Ia kemudian berlari tunggang
langgang ke rimbunan pohon pandan berduri di ladang sebelah.
Di tengah napasnya yang ngos-ngosan,
ia menyeka sarung lusuhnya yang ia kenakan. Beberapa bagian pahanya lecet. Pikirannya
berusaha menerka apakah ada kaitan orang-orang berseragam yang mengusirnya dengan
beringas itu dengan kelakuan bujang-bujang bila hari? Rasanya sulit ia bisa
pastikan. Beberapa ekor kupu-kupu, tawon, capung, dan tonggeret berdatangan
terbang hilir mudik di depannya. Mulut Sadimin merekah melihat kedatangan
mereka.
Lombok
Tengah, 09 November 2025
Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen,
esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media
lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar