Guru
Baru dari Luar Angkasa[1]
Oleh:
Marzuki Wardi
Sumber gambar: https://id.lovepik.com/images/photo-space-astronaut-helmet.html
Guru
baru itu mengaku dari luar angkasa. Ia menggantikan Pak Sadimin yang beberapa
hari lalu mengundurkan diri dari sekolah itu. Pak Sadimin adalah seorang guru yang
dikenal penyabar dan berhati lembut. Ia sangat sayang kepada siswa-siswanya. Tak
pernah sekalipun ia menyakiti perasaan mereka apalagi sampai asal main pukul. Ia
memperlakukan mereka bak mutiara. Dielus, diusap, dan digosoknya jiwa
siswa-siswanya setiap hari, meskipun ia sadar bahwa yang digosoknya adalah
cadas yang selalu melukainya.
Hampir
setiap masuk kelas Pak Sadimin selalu dibuat menangis. Tentu bukan menangis
terharu karena prestasi mereka, melainkan karena perilaku buruk mereka. Siswa-siswanya
tak mengenal adab sama sekali. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dianggapnya
angin lalu belaka; masuk telinga kanan keluar lewat telinga kiri; masuk telinga
kiri keluar lewat telinga kanan; masuk lewat mulut dikeluarkannya lewat lubang
anus. Ketika Pak Sadimin meminta untuk tenang, mereka acap kali melonjak
kegirangan. Ada yang berjoget-joget sambil menjulurkan lidah. Sebagian berteriak-teriak,
sebagian lain memukul-mukul meja dan mengentak-entakkan kaki. Alhasil, Pak
Sadimin hanya bisa menangis haru melihat perilaku mereka.
Rekan-rekan
Pak Sadimin yang lain juga diperlakukan seperti itu. Mereka sebetulnya bukan
tidak berani memarahi atau memukuli siswa-siswa nakal tersebut. Hanya saja
mereka malas berhadapan dengan peraturan yang serba rumit. Dulu pernah ada
seorang guru baru kena sanksi karena menjambak rambut seorang siswa lalu menggamparnya
lantaran kedapatan merokok. Tidak berselang lama ia dipanggil oleh atasan dan
pemerintah kabupaten. Ia kena tegur dan sanksi administratif tak bisa naik
jabatan dalam kurun waktu tertentu, yang tentu itu adalah aib dalam karier
kedinasan.
Tidak
mau mengalami nasib serupa, banyak guru yang memelas agar dipindahkan ke
sekolah-sekolah lain. Ke sekolah di daerah paling terpencil sekalipun, tidak
masalah, asalkan siswanya penurut. Sebagian ada yang masa bodoh. Mereka
membiarkan perilaku siswa itu apa adanya. Yang penting tugas tetap
dilaksanakan, gaji tetap lancar, terserah mereka mau berbuat apa. Pak Sadimin
sendiri memilih mengundurkan diri. Ia merasa telah gagal menjadi seorang
pendidik. Namun, bagi guru baru dari luar angkasa semua itu sepertinya tidak
berlaku.
“Anak-anak,
hari ini kita kedatangan guru baru dari luar angkasa,” ucap kepala sekolah
masuk ke kelas sebelas, “beliau mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus akan
menjadi wali kelas kalian,” sambungnya lalu keluar begitu saja.
Belum
saja mulai bicara, guru baru tersebut langsung disambut gelak tawa. Suasana
kelas menjadi riuh. “Wah, teman-teman, hari ini adalah hari sepesial! Ada
makhluk luar angkasa yang akan mengajar di kelas kita. Hahaha!” olok Musanip,
seorang ketua di kelas itu.
“Alien
kali. Hahaha!” sambut yang lain.
“Tapi
kok matanya nggak lebar dan menonjol kayak di film-film?” Rusli Wingcun
menyahut.
“Memang
dia ngerti bahasa manusia?”
Guru
dari luar angkasa tampak tenang dan santai. Ia melepas tas punggung warna hitam
belel di kaki meja sebelah kanan. Ia bersedekap, melangkah sedikit ke depan,
lalu menyandarkan pinggangnya di sisi depan meja guru. “Tenang, saya juga
ngerti bahasa kalian. Di planet tempat tinggal saya, saya juga mempelajari
beragam jenis bahasa, termasuk beberapa bahasa di bumi. Apalagi saya sudah
mengajar dari planet satu ke planet lain selama ratusan tahun,” jawabnya santai.
“Haluuu…!”
“Huuuuu.
Bohooong!”
Begitulah
kebiasaan siswa-siswa di sekolah itu. Bukan menjadi tenang, kelas justru tambah
bising. Perkataan guru baru itu dianggap tak lebih sekadar lelucon konyol. Musanip
ketua kelas tertawa lebar. Ia terbahak-bahak sampai tubuhnya yang tambun
terguncang-guncang. Ada yang berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, sambil
menyoraki guru baru. Gumpalan-gumpalan kertas juga mulai dilemparkan ke arahnya.
Namun, gerakan gumpalan-gumpalan itu menjadi sangat lamban ketika mengarah ke
wajah guru baru sehingga ia tampak melayang-layang di udara. Beberapa siswa
yang melihat itu mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa.
“Mohon
tenang dulu…” timpal guru baru. Ia maju beberapa langkah dan berhenti di depan Musanip
yang masih tertawa. Diangkatnya kaca matanya untuk melihat lebih jelas wajah
ketua kelas dari jarak dekat. Ia mengipas-ngipas tangan di depannya lalu
menangkup mulut Musanip dengan kelima jari tangannya. Tubuh Musanip mematung
seketika, dan mulutnya terkunci seperti orang bisu. Kelas mulai sepi seketika
menyaksikan kejadian tersebut.
Selang
beberapa detik, sang guru baru mengangkat tangan sebelah kiri seperti orang
melambai. Beberapa saat kemudian, ternyata ada pukulan melayang dengan gerakan
lamban ke arahnya. Seperti adegan dengan slow
motion dalam film-film, pukulan itu mendarat dengan sangat pelan di telapak
tangan guru baru. Gerakan itu rupanya telah dibaca lebih dulu. Guru baru bertubuh
pendek itu menggenggam kepalan tangan siswa bernama Asep Budiman lalu memuntir
tangannya sehingga ia kini menghadap ke depan teman-temannya.
“Perkenalan
yang cukup menantang!” ujarnya santai. Dengan pelan ia mendorong punggung Asep
Budiman yang cukup gempal. Tapi, tubuh itu tersuruk dengan cepat sehingga Asep
berlari membungkuk dan nyaris tersungkur ke samping tempat duduknya. Gerakan
itu sungguh tak lazim.
Guru
baru tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk tangan. Ia melangkah lagi menuju
beberapa siswa. “Kalian tahu, berapa tahun cahaya jarak antara bumi dan
bintang-bintang?” tanyanya. Tentu saja siswa-siswa itu hanya bisa melongo. “Jarak
bumi ke bintang itu puluhan tahun cahaya. Makanya, secara dimensi temporal,
ketika kalian melihat bintang, kalian tidak hanya melihat ke luar angkasa
tetapi juga melihat masa lalu.[2]
Gampangnya, gerakan yang hendak kalian lakukan sudah tampak duluan di mata saya
bahkan sejak dalam pikiran kalian.”
Kini
semua siswa melongo. Mereka dibuat takjub. Tak pernah mereka alami kejadian
ganjil seperti pagi ini di dunia nyata. Semua yang mereka saksikan barusan
hanya pernah mereka tonton di film-film. Apa saja yang mengarah ke guru baru itu
gerakannya menjadi sangat pelan. Sementara, yang mengarah kepada mereka menjadi
demikian cepat beberapa kali lipat. Sungguh absurd.
“Pada
pertemuan pertama ini kita sebenarnya hanya berkenalan. Sayang waktu kita
keburu habis dipakai main-main. Tapi, anggaplah ini perkenalan pertama kita. Besok
kita akan lanjut untuk saling mengenal nama.” Ia mendekati Musanip lalu
mengusap wajahnya. Segera bocah tambun itu tersadar dan seketika napasnya
tersengal-sengal. Rasa takut langsung memagut dadanya.
“Ternyata
mengajar di bumi asyik juga,” ucap guru baru dari luar angkasa membalikkan
badan kemudian berjalan ke muka kelas. Ia berjalan dengan sangat aneh. Kedua
tangannya tak diayun. Tubuh pendeknya terlihat sangat ringan. Langkah kakinya santai, tapi begitu cepat menjangkau
tujuan. Kini ia berdiri di tengah pintu kelas setelah lebih dahulu meraih
tasnya dengan cara yang juga aneh. “Sepertinya saya bakalan betah ngajar di
sini,” sambungnya sambil tertawa. Tawanya, lagi-lagi, sangat berbeda; datar dan
tidak ada jeda. Ia kemudian keluar kelas.
Siswa-siswa
itu menghela napas lega. Ada yang mengusap-usap dada. Ada pula yang masih
melongo seperti kena hipnotis. Di satu sisi, perasaan mereka juga tak karuan;
takut, kalap, sekaligus penasaran. Kali ini mereka benar-benar merasakan hal berbeda
saat kedatangan guru baru. Mereka pun berhamburan keluar kelas begitu tubuh
guru baru dari luar angkasa lindap. Anehnya, sepanjang koridor yang terhubung
ke ruang kepala sekolah, tak seorang pun yang terlihat sedang berjalan atau
berdiri. Benar-benar sepi. Hanya suara-suara kecil dari dalam kelas lain yang
terdengar. Padahal, belum satu menit guru itu keluar kelas.
Musanip,
Asep Budiman, Rusli Wingcun, dan teman-teman lain berlari ke lapangan sekolah.
Mereka mendongak matahari di atas kepala mereka. “Mungkinkah guru baru langsung
pulang ke luar angkasa?” tanya mereka.
Lombok Tengah, 24 Oktober
2025
[1] Judul cerpen ini terinspirasi
dari cerpen karya Kiki Sulistyo berjudul Muazin
Pertama di Luar Angkasa. Namun, isinya sama sekali tidak punya kaitan
dengan cerpen tersebut.
[2] Kalimat ini dikutip dari novel
karya Blake Crouch berjudul Dark Matter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar