Memahami Sasak dan Rinjani dari
Kacamata Spiritual
Oleh: Marzuki Wardi
Judul Buku : Rinjani Perspektif Ekosufisme
Penulis : H. L. Agus Fathurrahman
Penerbit : Mera Books
Terbit : Pertama, Juli 2025
Tebal : 170 halaman
ISBN : 978-623-8302-14-7
Dulu,
sekitar tahun 90-an, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya
sering mendengar cerita di kalangan anak-anak seusia saya yang mengatakan
begini, “Kalau Rinjani tidak sering disuntik oleh Maulana Syaikh,[1]
mungkin ia sudah meletus, dan kalau Rinjani meletus habislah kita.”
Pikiran
saya saat itu membayangkan ulama kharismatik pulau Lombok tersebut membawa
suntikan raksasa serupa galah lalu ditancapkannya ke pundak Rinjani dan air di
dalam spetnya mengalir deras ke dalam tanah yang membuatnya menjadi dingin. Tentu
saja alasan konyolnya ialah jika manusia memerlukan suntikan kecil, maka gunung
yang demikian besar pasti membutuhkan suntikan yang besar pula.
Saya
tidak tahu apakah cerita itu benar atau hoaks. Yang jelas tidak jarang
orang-orang tua pada saat itu membenarkan hal tersebut. Dan sepertinya itu
memang benar adanya. Sebab, beberapa saat yang lalu (setelah saya dewasa) saya
pernah mendengar penggalan audio ceramah Maulana Syaikh tentang keistimewaan
gunung Rinjani yang konon dijadikan tempat pertemuan ruh para waliyullah
sedunia.
Pada
momen lain, pada Agustus 2015, saya mendaki gunung tertinggi di pulau Lombok
tersebut dan kurang ajarnya itulah pertama kali saya ke sana. Meski tujuannya
rekreatif, pemimpin rombongan kami waktu itu menjelaskan beberapa pantangan yang
harus ditaati selama mendaki seperti tidak kencing dan berludah sembarangan, tidak
berkata kotor, melakukan hal tidak senonoh dengan lawan jenis, dan beberapa
pantangan lainnya. Bahkan, kami sempat mendengar beberapa cerita tentang tulah
yang didapat oleh mereka yang melanggar pantangan tersebut seperti kesurupan,
tersesat, dan lainnya.
Pada
saat kami di segara anak, kami turun mandi ke sungai air kalak. Kami menemukan
banyak orang aneh berpakaian serba putih sedang mandi. Pakaian mereka serupa
orang ihram di tanah suci Makkah. Mereka bahkan tidur di sana, menyandarkan
kepala di atas batu sehingga kami sempat melangkahi kepala mereka. Demikian
pula ketika perjalanan pulang, kami menemukan orang dengan pakaian yang nyaris
sama saat di sungai kalak. Hanya saja ia sedang menaruh semacam sesajen di
sebuah gundukan di bagian sisi gunung.
Apa
yang saya dengar, saksikan, dan alami sejak kecil mengenai Rinjani tersebut
kemudian menyiratkan pertanyaan besar di benak saya saat ini, “Ada apa sebenarnya
dengan Rinjani? Kenapa ia begitu istimewa di mata masyarakat Sasak?” Dua
pertanyaan ini ternyata terjawab setelah saya menuntaskan buku berjudul Rinjani Perspektif Ekosufisme ini.
Masyarakat
Sasak dan Rinjani memang dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Selain sebagai ikon daerah Lombok, Rinjani adalah identitas Lombok itu
sendiri sehingga ketika orang menyebut Lombok sering kali yang terbayang di
benak mereka adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia tersebut. Sebaliknya, ketika
orang menyebut Rinjani, secara otomatis merujuk ke pulau Lombok itu sendiri.
Ditinjau
lebih jauh, hubungan tersebut lebih bersifat emosional-spiritual. Artinya, antara
bangsa Sasak dan Rinjani memiliki kedekatan batin yang erat. Masyarakat Sasak
memandang gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu bukan sebagai gundukan tanah yang menjulang ke langit
belaka. Namun, mereka lebih menganggapnya
sebagai pusat kosmos yang mengalirkan energi kehidupan dan penghidupan bagi
mereka. Misalnya, fungsinya sebagai sumber mata air yang mengalir ke seluruh
pulau Lombok adalah wujud kasih sayang Rinjani kepada mereka, dan karena itu
mereka pun harus memberi kasih sayang kepada Rinjani.
Kasih
sayang itu kemudian diejawantahkan melalui sikap dan perilaku seperti pemole yang berarti memuliakan segala
anugerah Tuhan di muka bumi melalui ritual. Selain itu, ada juga sikap semaiq yang berarti mengambil manfaat
secukupnya dari alam. Sikap pemole dan
semaiq ini diekspresikan melalui
berbagai ritual untuk menata perilaku selama berada di kawasan Rinjani. Ritual
ini biasanya dipimpin oleh tetua adat yang disebut lokaq.
Hal
inilah kiranya yang dilakukan oleh Tuan Guru Pancor sebagai seorang tokoh agama
dan spiritual besar di pulau Lombok. Dengan kata lain, beliau hendak menjaga
keharmonisan manusia dengan alam yang dalam hal ini ialah Rinjani melalui
ritual tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Mengingat Rinjani sebagai
inen paer yang berarti induk tanah air
(Sasak), maka ia harus dijaga dengan
baik demi kelestariannya dan keselamatan manusia sekitarnya.
Hal
itu disebutkan juga oleh penulis buku ini bahwa secara spiritual Maulana Syaikh
juga meyakini Rinjani sebagai tempat pertemuan waliyullah seluruh dunia. Tidak
menutup kemungkinan inilah yang disebut sebagai upaya menyuntik Rinjani melalui
ritual spiritual (doa) untuk kebaikan Rinjani. Hanya saja itu diungkapkan
dengan bahasa metaforis.
Kemudian,
pengalaman melihat para pendaki berpakaian serba putih dan pantangan yang saya
sebut di atas dijelaskan pada halaman 158 sampai 162. Ternyata mereka adalah para
pendaki tradisi yang memang punya rangkaian proses pendakian yang telah
ditentukan di antaranya pertama, persiapan
mental-spritual. Seorang pendaki
tradisi harus melakukan persiapan mental puasa mutih, mejaga kesucian diri,
larangan memotong hewan, larangan tidur di dalam rumah, larangan berselisih
dengan istri dan anggota keluarga lainnya, dan larangan mengomentari sesuatu.
Kedua, persiapan
perbekalan. Persiapan ini berupa penyediaan alat masak seperlunya, beras sejai (seperempat kilogram) setiap
orang, sangu perjalanan dan sangu khalwat berupa jagung sepuq (jagung sangria), dan beberapa
perlengkapan lainnya. Adapun, yang wajib dibawa setiap pendaki ialah kain pembasaq (kain putih) untuk mandi dan
pakaian khalwat.
Ketiga, penjawaq dalam
perjalanan. Penjawaq dalam hal ini
ialah orang yang menjadi penunjuk jalan sekaligus membawa pendaki mencapai
tujuan. Biasanya posisi ini dilakoni oleh guru spiritual, orang yang dituakan,
atau orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal-hal spiritual.
Keempat, penjambeq dan
sembeq. Penjambeq berfungsi sebagai
media komunikasi dengan pengkosmos non-manusia selama perjalanan para pendaki
di Rinjani. Di samping itu, ia juga sebagai tanda sudah ada orang yang lebih
dahulu yang melakukan pendakian selain mereka. Sementara, sembeq yakni tumbukan sirih pinang dan kapur sirih yang dicoretkan
di kening semua pendaki. Sembeq ini
sebagai tanda pengenal spiritual kepada pengkosmos yang masuk ke wilayah
rinjani agar tidak diganggu oleh energy kosmik yang lebih kuat.
Kelima, sikap
pendaki tradisi. Selama dalam perjalanan, saat di lokasi, dan perjalanan
pulang, para pendaki harus menjaga adab dan sikap mereka. Adapun, beberapa
sikap tersebut berupa: menjaga kesucian niat yang ditanamkan sejak berangkat;
menjaga sikap harmonis dengan sesama pendaki dan pengkosmos selama pendakian;
menjaga perkataan, tidak menyebut nama asli hewan tertentu yang memang dilarang
disebut; menggunakan kode-kode tertentu untuk saling memanggil; tidak
mendahului rombongan lain kecuali diizinkan.
Salah
satu hal yang menjadikan buku ini tambah menarik ialah penulis tidak hanya
berbicara mengenai relasi antara masyarakat sasak dengan Rinjani secara ekologis
semata. Namun, ia berupaya mengkaji relasi antara sejarah peradaban, topografi,
dan kebudayaan Sasak dengan pendekatan filologis yang pada akhirnya membentuk
cara pandang bangsa Sasak dalam menjalani kehidupan.
Hal
ini dapat kita lihat dari bagaimana Mamiq Agus (sapaan akrab penulis buku ini)
mengeksplorasi asal-usul arsitektur rumah lumbung alang yang menurut hasil
penelitian Setiadi Sopandi berusia sekitar 3.500 tahun sebelum masehi (SM), penelusuran
asal-usul kata Anjani yang lekat
dengan gunung Rinjani melalui manuskrip kuno, dan beberapa ungkapan arkais
masyarakat Sasak tentang kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semua
itu dimanifestasikan oleh masyarakat Sasak melalui perilaku yang sarat dengan nilai
tradisional-spiritual.
Nilai-nilai
tersebut dibahas secara rinci nyaris di semua bab (lima bab) dalam buku ini. Oleh
karena itu, jika Anda ingin memahami peradaban Sasak lebih mendalam, buku ini menjadi
rujukan yang penting. Terutama bagi generasi muda agar tali kekang peradabannya
tidak terlepas dari pasak leluhurnya.
Lombok Tengah, 07 Oktober 2025. Pukul
00:06
Marzuki Wardi,
penikmat buku dan kopi. Saat ini ia sedang dimabuk sastra dan bahasa. Karenanya,
ia mendalami Aksara Sasak di Bencingah Institut, sebuah lembaga non formal yang
fokus dalam mengkaji sejarah, budaya, bahasa, dan spiritual yang didirikan oleh
Mamiq Agus FN. Sesekali ia juga menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar