Merarik
Menilik Salah Satu Budaya Unik Suku Sasak Lombok
Oleh: Wardie PenaSumber: Dokumen pribadi
Dalam
suatu pertemuan penulis di kota Bogor, seorang perempuan Sunda sempat bertanya ketika
dia mengetahui status pernikahan saya. “Waktu nikah dulu, berarti Bapak nyongkolan, ya?” katanya. Sebagai
seorang yang asing dan baru pertama kali bertemu dengannya, tentu saya cukup
kaget. Terlebih, ketika seorang teman laki-laki dari perempuan tersebut yang berdiri
tak jauh darinya menyahut dengan mimik heran, “Wah,
jadi Mas menculik dong?” Spontan dua pertanyaan tersebut kemudian menimbulkan
keingintahuan teman-teman yang berasal dari daerah lain di Nusantara. Mereka
meminta saya menjelaskan secara kronologis, apa dan kenapa menculik itu biasa
ditempuh dalam proses pernikahan adat Sasak.
Tentu
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi seperti saat ini, orang-orang
bisa saja dengan mudah mengeksplorasi apa yang ingin mereka ketahui. Termasuk
perihal adat-istiadat atau budaya daerah lain di Nusantara. Namun, apa yang
didapat dari internet terkadang boleh
jadi tidak memuaskan hasrat keingintahuan mereka. Karena itu, tidak heran jika
mereka meminta saya untuk menjelaskan detail salah satu ikon budaya di daerah
Lombok, NTB ini: merarik.
Timbulnya
pertanyaan di atas tidak terlepas dari stereotip bahwa menculik merupakan sebuah
keniscayaan dalam proses pernikahan adat Sasak. Disamping itu, adanya istilah
“memaling” sebagai langkah awal dalam prosesi tersebut juga merupakan salah
satu faktor yang menyetarakan merarik dengan
kawin lari—meskipun tidak semua pasangan menempuh cara ini.
Sejauh
ini, memang terdapat perbedaan pendapat dari tokoh adat Sasak mengenai hal
tersebut. Haji Lalu Syapruddin, misalnya. Menurut pendapat beliau, banyak yang
keliru dalam memahami kata maling dalam proses merarik. Maling dalam hal
ini tidak dapat diartikan sama dengan
maling pada umumnya yang dilakukan oleh pencuri. Namun, maling dalam merarik itu
maksudnya adalah dipalingkan dari
kekuasaan sang Ayah dari pihak perempuan. Bukan maling atau mencuri sebagaimana
yang dipahami secara umum.[1]
Selain
beliau, tokoh lain yang mengomentari tradisi ini adalah M. Yamin. Merarik berasal dari kata arik yang berarti adik perempuan. Karena itu, merarik secara bahasa berarti menikahi seorang gadis untuk
dijadikan seorang istri kemudian dipanggil arik
oleh suaminya dalam kehidupan keseharian mereka.[2]
Pendapat
ini kemudian hampir mirip dengan pendapatnya Lalu Lukman. Menurut beliau, kata merarik berasal dari dua kata, mara yang berarti datang dan “ri’” yang
berarti diri. Jadi, merarik berarti mendatangkan diri atau
menyerahkan diri. Yaitu, penyerahan diri dari dua makhluk yang berlainan jenis
untuk hidup bersama.[3]
Walaupun
para tokoh di atas memiliki pandangan yang berbeda tentang istilah merarik. Tapi, setidaknya, benang merah
yang dapat kita tarik adalah proses dari merarik
ini dilangsungkan tanpa pengetahuan Ayah atau keluarga dari perempuan yang
hendak dinikahi. Lagi pula, sebagaimana fokus di awal tadi, yang ingin saya
sampaikan dalam tulisan ini adalah faktor yang mendorong pemuda Sasak dalam proses merarik. Adapun, beberapa faktor di bawah ini merupakan hasil pengamatan
secara langsung di lapangan dan komunikasi dengan beberapa tokoh adat.
1.
Tradisi suku Sasak
Masyarakat
Sasak yang pada umumnya melangsungkan pernikahan dengan kawin lari ini tidak
terlepas dari rangkaian histrois. Yakni, karena memang cara tersebut sudah
menjadi tradisi dari para leluhur Sasak. Sehingga sampai saat ini warisan tersebut
masih berkembang, baik di kalangan masyarakat primitif maupun yang cenderung
dinilai modern.
2.
Restu Orang Tua
Selain
telah menjadi tradisi, tidak jarang juga masyarakat yang melakukan kawin lari karena alasan tidak direstui oleh orang
tua perempuan. Karena dengan cara itu, keluarga dari pihak perempuan mau tidak
mau akan merestui anaknya ketika ia dilarikan, sebab jika anaknya dikembalikan
maka itu akan menjadi aib atau fitnah besar keluarganya.
3.
Rivalitas (Persaingan)
Dalam
tradisi Sasak, dikenal adanya istilah beberayean
(pacaran) dan midang (mengunjungi
rumah seorang gadis). Hal ini menimbulkan adanya keleluasaan dari pihak
laki-laki untuk mendatangi rumah si gadis yang ia inginkan dengan cara
baik-baik (midang) dan memungkinan beraye
(pacar) si gadis lebih dari satu orang pria.
Oleh
sebab itu, pria yang satu akan merasa khawatir apabila suatu waktu pacarnya
akan dibawa lari pemuda lain yang menjadi saingannya. Maka, untuk menghindari
kemungkinan ini, pemuda yang menjadi pacarnya akan menculik si gadis terlebih
dahulu sebelum pemuda saingannya tersebut. Filosofinya, dalam bahasa Sasak,
adalah “Pataq reket pare rau, semarang
ceket iye mauq” yang kurang lebih bermakna siapa yang cerdik, dialah yang
dapat.
4.
Kondisi Ekonomi
Dalam
hal pernikahan, masyarakat Sasak terkenal dengan ungkapan mereka, “Edaq ceriten mayit ndeq tetukaq” atau
masyarakat lain dengan dialeq yang berbeda mengatakan, “Ndeq arak ceritene mayit ndeqne gin tetukaq” (tidak ada ceritanya
mayit yang tidak akan dikubur). Ungkapan ini membuktikan keyakinan mereka yang
kuat bahwa sesulit apapun kendala dalam keuangan, pasti akan dilewati (terlunasi)
juga.
Atas
dasar itu, banyak pemuda Sasak nekad untuk menikah dengan cara kawin lari meskipun mereka terhimpit
secara ekonomis (keuangan). Tidak lain yang diharapkan untuk menyelesaikan
biaya nikah adalah pinjaman uang baik dari keluarga, kerabat, teman, maupun
tanggungan dari orang tua sendiri. Namun, berkat keyakinan mereka yang sangat
kuat, hutang tersebut pasti dilunasi dalam jangka waktu yang tidak lama sesuai
dengan perjanjian dengan pihak yang memberi hutang.
Disamping
kondisi di atas, masyarakat Sasak juga seringkali dihadapkan pada sebuah
pertimbangan yakni apabila pihak laki-laki yang hendak menikah dengan cara
melamar, mereka biasanya dianggap sudah memiliki persiapan ekonomi yang matang
sehingga orang tua si gadis calon istrinya tidak jarang meminta uang mahar yang
tinggi. Maka, untuk menghindari ini, si pemuda tersebut terpaksa menempuh kawin lari, sebab tawar menawar mahar
dapat dilaksanakan di kemudian hari pada proses membicarakan ajikrama atau pesuka (mahar) dengan orang tua.
5.
Maskulinitas (Kejantanan)
Pemuda
Sasak rata-rata memiliki nyali (keberanian) yang cukup tinggi dalam menunjukkan
kejantanan mereka. Ini terlihat ketika mereka mengadu keberanian dalam berbagai
acara tradisional seperti peresean[4]
dan sebagainya. Mereka, terutama masyarakat primitif, akan merasa bangga
ketika bisa menunjukan kejantanan mereka di muka umum.
Penjiwaan
seperti ini akan terbawa dalam hal pernikahan sehingga membawa lari seorang
gadis yang menjadi calon istrinya adalah pilihan utama. Hal ini merupakan
sebuah kebanggaan yang dapat ditunjukkan kepada pemuda (Sasak) lainnya.
Disamping itu, si gadis juga terkadang akan merasa bangga ketika ia bisa dibawa
lari oleh seorang pemuda yang akan menjadi calon suaminya.
6.
Superioritas
Faktor
yang terakhir ini dapat berlansung apabila seorang pemuda berkeinginan untuk
menikah dengan seorang gadis yang ia kenal dekat, namun si gadis merasa belum
siap atau tidak mau menikah dengan pria tersebut. Maka alternatif terakhirnya
adalah dengan membawa lari si gadis tersebut. Adapun tekhnik yang sering ditempuh
dalam proses ini adalah dengan tim yang terdiri dari dua atau lebih orang. Satu
orang bertugas untuk mengelabui si
gadis agar bisa keluar dari kekuasaan orang tua atau keluarganya. Satu orang
lainnya bertugas menjemput dan membawa si gadis ke suatu tempat atau lansung ke
rumah calon suaminya.
Lombok
Tengah, 26 Desember 2017.
Wardie Pena, menulis
Cerpen, Esai dan Resensi. Beberapa diantaranya telah dimuat di berbagai media
lokal dan nasional. Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan
masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (Penerbit MM, 2016).
[1] Disampaikan dalam Pelatihan dan
Pembekalan Pengurus Bale Sangkep Desa Sintung dan Desa Kekait di Universitas
Muhammadiyah Mataram pada tanggal 30 April.
[2] Aniq Ahmad, F.
2012. Konflik Peran Gender Pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok, Conference
Proceedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII),
halaman 2324.
[3] Ibid.
[4] Tradisi adu ketangkasan (semacam
olahraga) dengan saling memukuli dengan sebuah tongkat yang terbuat dari rotan.