Alumni Guru Penggerak, Calon Kepala Sekolah Ideal?
Oleh: Marzuki Wardi
Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada Februari 2022
Pemerintah memberikan kado istimewa kepada guru di
awal tahun 2022 ini, khususnya bagi alumni guru penggerak atau mereka yang
sedang dan akan mengikuti diklat tersebut. Kado itu berupa peraturan menteri
pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (Permendikburistek) nomor 40 tahun
2021 tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah. Memang, secara substansial
peraturan menteri (permen) tersebut tidak begitu berbeda dengan permen sebelumnya
(tahun 2018). Perbedaannya hanya pada bab dua: persyaratan penugasan guru
sebagai kepala sekolah harus memiliki sertifikat guru penggerak.
Bukankah itu kabar gembira bagi alumni program segar
pemerintah tersebut? Tetapi, pertanyaannya, apakah syarat ini kemudian cukup
efektif untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah? Ada baiknya kita telisik
lebih jauh lagi apa itu guru penggerak.
Program guru
penggerak merupakan bagian dari kebijakan merdeka belajar yang diimplementasi
oleh kemdikbudristek beberapa tahun yang lalu. Spirit dari pada merdeka belajar itu sendiri ialah upaya
menciptakan profil pelajar Pancasila. Yaitu pelajar yang beriman, bertakwa
kepada Tuhan YME, dan berkahlak mulia, berjiwa gotong royong, dan berkebinekaan
global, yang mana ini kita kenal dengan upaya pembentukan karakter. Orientasi
lain dari profil pelajar Pancasila ialah membentuk siswa yang kreatif, bernalar
kritis, dan mandiri. Kemudian, pembelajaran dikembangkan tidak hanya
berdasarkan pada konten, tapi disesuaikan dengan potensi yang dimiliki siswa
(diferensiasi), dan diarahkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata
mereka.
Pergeseran
paradigma ini tentu sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran di sekolah.
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut maka guru perlu dibekali dengan
kompetensi yang memadai. Inilah yang kemudian menjadi landasan guru penggerak.
Ringkasnya, guru penggerak ialah upaya membentuk pemimpin pendidikan masa depan
melalui pendidikan dan latihan (diklat) selama sembilan bulan (sekarang enam bulan)
dengan tiga model: 70% belajar di tempat kerja dan komunitas praktik, 20%
belajar dari rekan dan guru lain, dan 10% sisanya belajar dengan narasumber,
fasilitator, dan pendamping.
Ada tiga
garis besar cakupan materi untuk mencapai tujuan tersebut; paradigma dan visi
guru penggerak, praktik pembelajaran yang berpihak pada murid, dan pemimpin
pembelajaran dalam pengembangan sekolah. Jika kita cermati lebih jauh lagi,
materi ini dielaborasi secara sistematis ke arah pembentukan kompetensi:
mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen
sekolah, dan memimpin pengembangan sekolah.[1]
Kompetensi
inilah yang tidak menjadi pra-syarat dalam penugasan kepala sekolah sebelumnya.
Mereka yang mengemban tugas di bawah 2018, misalnya, baru mendapatkan diklat
penguatan kepala sekolah setelah berlakunya permendikbud nomor 6 tahun 2018.
Dan, itu pun dilaksanakan dengan durasi yang tidak begitu banyak; 71 JP atau
setara dua minggu. Artinya, mekanisme penugasan kepala sekolah saat itu masih
berbasis jenjang karier, pengalaman, dan senioritas.[2]
Jika kita bandingkan dengan tingkat kompleksitas tugas dan fungsi kepala
sekolah, tentu jumlah jam itu belum cukup untuk membentuk kompetensi
kepemimpinan yang memadai. Tidak mengherankan banyak di antara mereka yang
gagap wacana dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sedikit
peningkatan terdapat pada tahun 2018 dengan diterapkannya permendikbud nomor 6
tahun 2018. Untuk dapat ditugaskan sebagai kepala sekolah, seorang guru harus
memiliki Nomor Register Kepala Sekolah (NRKS) atau disebut juga NUK yang bisa
diperoleh setelah mengikuti diklat calon kepala sekolah selama 300 jam (setara
tiga bulan). Dari segi pengembangan materi, memang tidak terlalu jauh berbeda
dengan diklat guru penggerak. Hanya saja fokus diklat calon kepala sekolah
lebih menekankan kompetensi manajerial dan supervisi. Namun, secara keseluruhan
dua syarat penugasan kepala sekolah di atas, saya kira belum dapat mengimbangi
diklat guru penggerak. Sebab, secara kompleksitas materi dan durasi pelatihan,
diklat guru penggerak jauh lebih padat ketimbang diklat kepala sekolah.
Kembali ke
pertanyaan di atas, apakah diklat guru penggerak cukup efektif untuk
meningkatkan kompetensi (calon) kepala sekolah atau otomatis lebih baik dengan
mereka yang bukan alumni guru penggerak? Saya kira demikian, selama guru
tersebut berkomitmen untuk menerapkan ilmu yang sudah diperolehnya. Dengan
empat peran utama yang sudah dijelaskan di atas, ia bisa mengembangkan sumber
daya dan ekosistem pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan saat ini.
Lagi pula, menjadi kepala sekolah adalah sebuah jabatan. Jikapun tidak memilih
meningkatkan karier sebagai kepala sekolah, setidaknya ilmu dan mental
kepemimpin yang sudah terbentuk akan mendukung terwujudnya visi pendidikan yang
sudah dirumuskan pemerintah.
Saya melihat
secara konseptual guru penggerak adalah upaya pengembangan kompetensi
kepemimpinan secara holistik (holistic
leadership development). Sehingga ia sangat relevan dengan kondisi
pendidikan saat ini. Jadi, menurut hemat saya, alumni guru penggerak adalah
bakal calon kepala sekolah yang ideal.
Marzuki Wardi adalah
seorang guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Sisik, Kecamatan Pringgarata, Lombok
Tengah. Selain menjalani tugas sebagai seorang guru, ia aktif menulis cerpen,
esai, resensi buku di berbagai media lokal dan nasional. Selain itu ia juga
menulis sejumlah buku di antaranya 5
Langkah Mudah Menyusun Kalimat Bahasa Inggris, Bocah Penakluk Badai (Kumpulan Cerita Anak). Naskah buku terbarunya
Silaq
Temaen Pekakas (berbahasa
Sasak Lombok) masuk sebagai finalis Sayembara Dikbud NTB 2021 dan dibukukan
oleh lembaga tersebut. Ia
bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata.