Perempuan
Penjahit Kenangan
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di SKH Bhirawa Surabaya pada 24 September 2021 |
Awalnya
tak banyak yang tahu atau lebih tepatnya percaya pada profesi perempuan tua itu.
Karena memang tak ada benda yang sesuai menunjukkan identitas profesinya. Di
depannya hanya ada papan berukuran pas-pasan bertulis “Penjahit Kenangan”
dengan tulisan kecil di bawahnya yang mirip sub bab judul buku “menerima permak
dan jahit kenangan-kenangan yang dikoyak waktu”. Juga sebuah tas tenteng
berukuran sedang yang sudah lusuh dan berwarna belel. Itu saja. Pelang dan
sebuah tas yang besar kemungkinan sudah berusia lima kali pergantian presiden.
Orang-orang
yang beraktivitas dan berlalu-lalang di tempat itu kemudian menduga-duga bahwa
ia pasti seorang pengemis. Mengingat banyak cara pengemis di negeri ini mengambil
simpati orang. Mulai dari berpura-pura berpenampilan kumal sampai berpenampilan
mahal dengan mengumbar janji-janji muluk. Si perempuan tua adalah jenis yang
pertama; wajah keriput, rambut masih utuh (maksudnya tidak botak) tapi hampir beruban
seluruhnya, tubuh kuyu dan kumal. Namun, karena memang tak pernah ada yang
terlihat mengulurkan rupiah, orang-orang jadi mulai menaruh rasa percaya
padanya.
“Apa
ibu juga menjahit sepatu?” tanya seorang laki-laki berpenampilan parlente yang
kebetulan lewat di area itu.
“Tidak.
Saya hanya menjahit kenangan. Kamu sudah baca pelang di depan saya? Apa di sana
ada yang bertulis sepatu?”
“Sudah.
Tapi aku kira pelang itu hanyalah pemanis seperti pelang pedagang-pedagang boba
muda kreatif saat ini,” sahut laki-laki itu sedikit heran.
“Anak
muda jaman sekarang mana ada yang peduli arti sebuah kenangan!”
Laki-laki
muda itu lalu beranjak pergi tanpa banyak bicara. Barangkali sebilah pertanyaan
masih menggantung dalam kepalanya. Menjahit kenangan? Terdengar aneh. Sangat
aneh, bahkan. Tapi, percuma ngomong panjang lebar dengan orang tua. Kalah atau
salah sedikit, kata-kata serapah bisa menyembur dari mulutnya. Kalaupun menang,
apa artinya menang berdebat dengan nenek-nenek yang sudah mulai pikun?
Begitulah
hari-hari si perempuan tua berlangsung. Akhir-akhir ini, nyaris tak ada orang
yang memakai jasanya menjahit kenangan. Dulu, ketika orang-orang masih begitu
peduli arti penting sebuah kenangan, hari-harinya disibukkan untuk menyulam kenangan
demi kenangan. Satu orang bisa menjahit dua, tiga, sampai lima kenangan dalam
sehari. Mereka takut kalau-kalau kenangan-kenangan mereka lebih dulu dilumat
waktu sebelum kematian menjemput. Sehingga mereka tak bisa mewariskannya ke
anak cucu. Itu dulu ketika warisan kenangan masih sama berharganya dengan
warisan harta.
Kini,
ketika semua kehidupan nyaris dikendalikan teknologi, orang tak lagi peduli
makna sebuah kenangan. Hidup memang serba mudah dan praktis. Mau pergi kota,
tinggal menggeber sepeda motor. Hanya dalam hitungan menit sudah bisa sampai
tujuan dengan kejauhan berpuluh-puluh kilometer. Tidak perlu menunggu angkot
lagi seperti dulu-dulu. Lapar? Tinggal ambil dan mengusap gawai, berbagai jenis
menu kesukaan bisa dipilih sesuka hati di gerai-gerai online. Silaturrahmi tatap muka digeser kehadiran fitur-fitur
canggih di gawai. Hampir jarang ada tukar kata dan rasa secara nyata lagi saat
ini. Mungkinkah kenangan terlahir dari keserba praktis-an semacam ini?
Karena
itu pula si perempuan tua mencoba peruntungan di luar. Ia merasa perlu
mengenalkan diri ke tempat yang lebih ramai ketimbang hanya berdiam diri
menunggu pelanggan di rumah. Dan tempat yang ia pilih ini menurutnya bisa
memenuhi harapannya tersebut. Di sudut sebuah persimpangan kota yang di mana ada
beberapa gedung mewah di dekatnya. Ada hotel bintang lima, gedung pemerintahan,
deretan toko yang menyediakan aneka barang, dan beberapa supermarket. Bukankah
itu kombinasi yang cukup sempurna? Pemerintah dan bos-bos besar.
Aroma
sore sudah mulai menguar. Peluh yang tadi mengalir di wajah perempuan tua itu
sudah kering diserap kulit keriputnya. Konon, wajah orang yang sudah keriput
dua kali lebih cepat menyerap keringat—karena pori-pori membesar. Ia mengusap
alisnya dengan punggung tangan kanan, lebih kepada mengeringkan. Pandangannya
melompat ke tas hitam di sampingnya. Perasaannya sedikit tergores haru. Bukan
karena sulitnya uang, karena dari dulu memang ia sudah terbiasa besar tanpa
gelimang uang. Ia hanya baru menyadari dunia tempatnya hidup saat ini sudah
demikian jauh berubah. Terutama dari cara manusia berinteraksi. Akankah dunia
ini indah tanpa kenangan-kenangan? Ia mendesah, lalu mengangkat bokongnya, tapi
gerakannya keburu tercekat suara samar diantara deru kendaraan.
“Apa
benar Anda penjahit kenangan?”
Ia
mengangkat wajah. Sesosok perempuan berambut sebahu, lebat, dan lurus menyembul
di depannya. Cukup muda untuk memahami arti sebuah kenangan.
“Betul.”
Ia menatap wajah perempuan muda itu lagi dengan sedikit keraguan menggantung di
wajah. “Kamu sudah menjahit kenangan sebelumnya?” lanjutnya kemudian.
“Belum.”
“Dari
mana kamu tahu perihal menjahit kenangan?”
“Dari
ayah saya. Ayah saya mewariskan cukup banyak kenangan.”
Perempuan
dengan bercak-bercak samar di wajahnya itu sedikit termenung setelah akhirnya
mengeluarkan isi tasnya.
“Baiklah
kalau begitu, kenangan apa yang ingin kamu jahit?”
“Saya
punya kenangan menyakitkan di masa lalu. Bisakah Anda menghilangkannya?”
“Kenapa
kamu ingin menghilangkannya?”
“Aku
tidak ingin mengingatnya lagi.”
“Kenapa
kamu tidak ingin mengingatnya?”
“Karena
kalau aku mengingatnya hidupku selalu diselimuti kesedihan.”
“Kamu
tahu, menjahit kenangan bukan berarti menghilangkannya. Menjahit di sini justru
menyatukan ingatan-ingatan masa lalu di dalam kepala ke dalam hati agar ia
tetap terasa dalam hidup. Sebab, banyak orang yang ingat kenangan tapi lupa
rasanya. Ingatan itu soal pikiran, sedangkan kenangan masalah rasa. Itulah
kenapa kita perlu menyatukannya kembali.”
Giliran
perempuan berpipi gembil itu yang melongo sekarang. Ia mencoba menyerap
perkataan nenek penjahit kenangan ke dalam kepalanya. Barangkali ia baru
mendengar perbedaan kenangan dan ingatan.
“Lagi
pula, kita perlu semua kenangan dalam hidup ini, baik itu kenangan manis,
pahit, suka, duka, semuanya tergantung kondisi kapan kita membutuhkannya,”
balas si nenek seakan membaca isi kepala perempuan berperawakan subur itu.
“Apakah
Anda pernah merasakan sakit?”
“Semua
orang pernah merasakan sakit. Tapi definisi sakit itu berbeda-beda
masing-masing orang. Sakit bagi saya belum tentu bagi kamu, begitu juga
sebaliknya.”
“Kehilangan
dan perasaan-perasaan lainnya?”
“Jangan
tanya, seorang desainer baju tentu
punya lebih banyak baju daripada pelanggannya. Kenangan tak jauh beda dengan
baju. Semua kenangan adalah baju kita dalam hidup ini. Semakin tua seorang
semakin banyak pula baju kenangannya.”
Perempuan
itu lalu mengangguk. Barangkali tuntas sudah semua pertanyaan di kepalanya.
“Jadi,
bagaimana? Mau menjahit kenangan?” tanya perempuan tua untuk kesekian kalinya.
“Jadi,
nek,”
“Baiklah,
kalau begitu tunggu sebentar.”
Sebuah
jarum dirogohkan dari dalam tas belel dan ditunjukkannya ke perempuan yang
berdiri sekitar satu setengah meter di depannya. “Tahukah kamu, ini adalah jarum
waktu, dan benang-benang ini adalah pengikat kenangan. Warna putih artinya
ketulusan, merah berarti pengorbanan, hitam adalah kesedihan, biru kesunyian,
hijau kebahagiaan, dan kuning ialah kekecewaan,” dektenya.
Ia
mendekatkan wajahnya ke tempat duduk si perempuan tua. Diperhatikannya
lekat-lekat benda-benda yang barusan ditunjukkan itu.
“Cukup.
Kamu takkan bisa memahami arti semua ini. Jadi, kita mulai dari mana? Biar saya
memasukkan benang yang pas,” ujar si penjahit kenangan sedikit mengibaskan
tangannya, seolah ia tak sabar lagi.
“Aku
bingung mau mulai dari mana.”
“Kenapa
kamu bingung?”
“Karena
belakangan ini aku hampir tak pernah bahagia. Aku lupa cara berbahagia,” ujar
si perempuan berambut kemerah-merahan itu. Tubuhnya sedikit terguncang. Seperti
ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya ketika mengucapkan kalimatnya kali
ini. Apakah itu kerikil? Tidak mungkin. Sesakit apa pun seseorang tak ada yang sampai
berani menelan kerikil.
Si
penjahit kenangan mengurungkan aksinya. Ia menghela napas, seakan mencoba
memahami perasaan perempuan berwajah bundar yang ada di hadapannya. Karena itu
ia merasa perlu bersabar dan mendekatinya dengan sentuhan perasaan. Boleh jadi
baru kali ini juga ia menemukan seorang yang ingin menjahit kenangan macam begini.
“Kenapa
kamu bilang begitu? Kamu masih cukup muda. Kamu masih berhak hidup bahagia.”
“Nenek
juga sudah tua. Kenapa nenek sendirian saja? Kenapa tidak ditemani seseorang?
Anak atau cucu misalnya…”
“Kamu
tahu, kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang penjahit kenangan? Aku sudah
tak punya apa pun di dunia ini selain kenangan-kenangan.”
“Jadi
nenek hidup seorang diri?”
“Ya.
Ah sudahlah, jangan bahas soal itu lagi. Apa kamu jadi menjahit kenanganmu?”
Kening
perempuan muda itu berkerut. Ia tiba-tiba merasa menemukan separuh kenangannya
ada pada nenek itu. Apakah ini sebuah kebetulan? Bagaimana bisa di dunia ini ada
hal yang betul-betul mirip, termasuk kenangan? Ia tidak bisa memahami hal itu.
“Anda
tahu, aku juga memutuskan mengembara dari satu kota ke kota lain setelah beberapa
puluh tahun hidup seorang diri.”
“Kamu
masih muda. Kenapa melakukan itu?”
“Karena
di dunia ini aku sudah tak punya apa pun selain kenangan.”
Si
nenek terdiam lagi. Ia juga merasa seolah sedang bercermin. Dan perempuan
berbibir basah di depannya saat ini ialah cermin tersebut. Ya, cermin yang
begitu bening dan jernih. Cermin yang memantulkan semua bayangan hidup yang
dimilikinya. Tapi, bukankah dia adalah seorang penjahit kenangan yang tak membutuhkan
apa pun untuk mengabadikan kenangannya? Bagaimanapun juga, cermin tetaplah
cermin yang berfungsi memantulkan realitas pada diri seseorang. Tak peduli apakah
dia menyadari hal tersebut atau tidak.
Untuk
beberapa saat tak ada sepotong kalimat yang terucap dari mulut kedua perempuan
itu. Geming. Mulut mereka sama-sama terkunci setelah akhirnya mereka saling
menertawai. Menertawai hidup yang masing-masing mereka jalani. Gelap mulai
turun menyelimuti bumi. Si nenek tua mengemas semua peralatan yang ia butuhkan
untuk menjahit kenangan.
“Besok
kita bertemu lagi di tempat ini. Kita mulai menjahit kenanganmu besok pagi,” ucapnya
kemudian merenggang pergi meninggalkan perempuan muda seksi itu seorang diri.
Lombok Tengah, 18 September
2021
Wardie
Pena, seorang penikmat
kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya
sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia
bermukin di Lombok Tengah, NTB.