Belati Nyonya
Lussy
Oleh: Wardie
Pena
Dimuat di SKH Radar Mojokerto pada 14 Agustus 2021
Suara derit pintu
sel yang dibuka membuatku tergeragap dari lamunanku. Seorang polisi penjaga
berperawakan gempal masuk dan berdiri di sampingku. Aku mendongak dengan tatapan
penuh harap: semoga dia sudi mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini. Tapi
harapan itu sepertinya lebih layak disebut mimpi saat ini. Pak Polisi menunduk
dan berbisik lirih, “Sekali lagi kamu bikin onar, saya tak segan-segan melukis
pentungan ini di keningmu, pembunuh.”
Napasnya yang
berbau pesing menusuk hidungku. Bau itu mirip air urin orang yang dehidrasi
tinggi atau mungkin lebih mirip air kencing anjing. Entah apa yang dimamahnya
barusan sehingga bau mulutnya seperti itu.
“Aku
tidak pernah membunuh. Tolong jangan panggil aku pembunuh!”
“Aaah
diam, banyak bicara kamu ini!” balas Pak Polisi bercambang tipis itu lagi
menyuruk kepalaku.
Pernahkah
kau dipanggil dengan sebutan yang kau benci dan tak pernah kau lakukan? Itulah
yang kualami saat ini. Sejak masuk sel ini satu minggu lalu, seorang narapidana
perampok memanggilku pembunuh begitu ia tahu kasusku. Setelah kuingatkan beberapa
kali bahwa aku bukan sorang pembunuh, ia tetap ngotot memanggilku dengan gelar
itu. Sehingga tentu saja aku geram lalu menghadiahinya pukulan terbaikku. Penghuni
sel lainnya girang tak kepalang melihat kami adu jotos. Ruang tahanan pun
sempat berubah menjadi ring MMA setelah akhirnya para polisi yang berjaga di
luar masuk dan melerai kami.
Aku
tahu untuk menghilangkan gelar pembunuh itu memang tak cukup hanya dengan
berkilah, melainkan harus dengan bukti-bukti pendukung yang kuat. Akan tetapi
bagaimana caranya mendapatkan bukti-bukti itu agar aku tak hanya menghilangkan
gelar tersebut tapi juga bisa keluar dari sini? Aku benar-benar tak tahan lagi
hidup di bui. Kurasa waktu di sini berjalan lebih lamban dari biasanya. Satu
minggu serasa satu tahun. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya jika
dikurung selama bertahun-tahun.
Malam ketika
peristiwa pembunuhan itu terjadi aku memang berada di TKP, dan sebilah belati berada
di saku celanaku. Namun, pelaku pembunuhan itu tentu saja bukan aku. Ceritanya
agak panjang memang. Perihal ini akan aku ceritakan nanti. Sebelumnya, akan
kuceritakan dulu seorang korban pembunuhan tersebut. Namanya Nyonya Lussy. Ia
adalah seorang pelacur yang kukenal pada awal karierku sebagai seorang sopir di
sebuah perusahaan penyedia jasa transportasi di kotaku. Hingga saat ini aku belum
tahu siapa nama asli perempuan tersebut. Sejak aku mengenalnya ia hanya ingin
dipanggil Nyonya Lussy. Itu saja.
Selain berparas
cantik dan mulus, perempuan yang masih cukup muda itu berperawakan
sintal dan seksi. Payudaranya pas-pasan. Sungguh perawakan yang diidolakan
semua laki-laki. Kulitnya yang mulus selalu harum dan tampak basah. Sering kali
bulu kudukku meremang jika mengamati sekujur tubuhnya. Aku tak heran jika
hampir setiap malam tubuhnya tak pernah absen dinikmati para pelanggannya.
Tapi, dalam
hal berkendara, akulah pelanggan setia Nyonya Lussy. Aku selalu bersedia
mengantarnya ke mana pun ia hendak pergi. Sehingga ia sudah kuanggap seperti
majikanku sendiri. Kau tahu, jika di rumah kita biasa
mengenal istilah tamu adalah raja, maka
sebagai seorang sopir aku mengadopsi istilah tersebut: penumpang adalah raja
atau lebih tepatnya majikan. Itulah
kenapa Nyonya
Lussy telah kuanggap sebagai majikanku.
Malam
itu, dalam perjalanan menuju hotel yang kami tuju, Nyonya
Lussy menceritakan banyak hal mengenai kehidupan rumah tangganya padaku,
terutama perihal suaminya yang konon kini berprofesi pejabat di pemerintahan
kota.
“Aku
tahu jalan ini salah, akan tetapi lebih salah lagi jika aku nggak milih
kesalahan ini. Nggak ada pilihan lain kecuali harus memberikan pelajaran dengan
jalan yang salah. Dan, ketika kesalahan sudah nggak dapat dihentikan dengan
kebenaran lagi, maka pada saat situlah terkadang kesalahan bisa menjadi sebuah
kebenaran.” Begitulah ceracaunya di dalam mobil.
Menurutnya
suaminyalah yang menjerumuskan dirinya ke dunia malam seperti sekarang ini. Dulu
ia adalah seorang perempuan biasa sebagaimana layaknya perempuan pada umumnya,
punya cinta dan cita-cita. Akan tetapi, suaminya minggat dan bermain serong dengan
perempuan lain setelah menghadiahinya seorang anak. Konon, Nyoya Lussy tidak
mau berubah menyesuaikan kesuksesan karier sang suami yang pada saat itu mulai melonjak
di kancah perpolitikan. Cantik tapi kolot, buat apa? Alasan yang sungguh
sederhana dan klise. Tapi memang begitulah kenyataannya. Bukankah kenyataan
hidup ini memang selalu demikian? Sekalipun aku tidak tahu apakah yang
diceritakan Nyonya Lussy itu benar atau salah.
Perlahan-lahan,
cerita demi cerita Nyonya Lussy selama di perjalan, tak terasa
menemani kami sampai ke tempat tujuan malam itu. Setelah berhenti di pinggir
jalan, dari balik kaca mobil, perempuan berambut pirang bergelombang itu
menatap bangunan megah yang hendak ia masuki di seberang jalan sana. Ia
merenung dan menghela napas sejenak, “Bisa minta tolong, nggak?” tanyanya.
“Minta
tolong apa, Nyonya?”
“Ini
memang sangat berat. Tapi kali ini saja. Setelahnya, aku berjanji nggak akan
merepotkanmu lagi.”
“Apa
itu, Nyonya?”
“Bantu
aku bunuh suamiku!” Sebilah belati dan selembar foto diletakkannya begitu saja ke
dasbor mobilku. Di tengah keremangan lampu mobil, kilat belati itu sedikit
menyambar mataku. Kecil, pendek, tajam, dan tampak baru dan tentu saja tak
pernah dipakai. Nyonya Lussy kemudian lanjut menceritakan ciri-ciri suaminya
secara detail. Termasuk alamat kantor tempatnya bekerja.
Aku
tercenung dan menghempaskan tubuhku ke sandaran sambil menepuk-nepuk jidatku.
Membunuh seseorang? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu. “Kenapa ingin
membunuh suami? Bukankah Nyonya bilang jalan yang Anda tempuh ini adalah bentuk
balasan terhadap suamimu?”
“Ya,
benar. Tapi kurasa sakit hatiku belum terbayar sampai aku pastikan bangsat itu
mati.”
“Maaf
Nyonya
aku tak bisa melakukan ini.”
Belum tuntas kalimat itu kuucapkan, Nyonya Lussy terlebih dahulu
keluar mobil. Ia langsung beranjak menuju hotel itu dengan langkah
sedikit terantuk-antuk. Perasaanku benar-benar tak karuan. Membunuh orang? Ah, mungkinkah
aku bisa melakukan itu? Aku tenggelam dalam konidisi yang benar-benar membingungkan.
Aku mengaktifkan tape dan merebahkan
tubuh di kursi mobil untuk menenangkan diri. Belati yang diberikan Nyonya Lussy
itu kuamankan dalam saku celanaku biar tak dilihat orang. Akan kusimpan nanti
setelah di rumah. Siapa tahu suatu waktu aku juga berubah pikiran.
Firasatku
semakin tak karuan setelah beberapa jam aku menunggu. Malam sudah hampir berbau
pagi. Tidak biasanya ia melayani seseorang kliennya berlama-lama seperti ini.
Paling lama biasanya satu jam, Nyonya Lussy telah keluar lalu
menceritakan perihal pengalamannya di atas ranjang dengan laki-laki yang baru
selesai dilayaninya. Beberapa saat kemudian, kuputuskan untuk masuk ke hotel
dengan terlebih dulu minta izin pada staf front
office. “Aku akan mencari temanku. Katanya, tadi, dia berada di kamar nomor
B 15,” kataku pada mereka. Kemudian salah satu diantara mereka bersedia
mengantarku.
Setelah
sampai di depan kamar yang kutuju, petugas hotel itu pun kembali ke tempat
semula. Akan tetapi, pada saat pintu kamar berhasil kubuka, Nyonya
Lussy kulihat sudah terbujur kaku di dekat bed.
Darah segar masih mengucur deras dari bagian perutnya yang telah berlubang. Aku
terperanjat sambil menyapu seluruh isi kamar hotel, berusaha mencari penyebab
atau pelaku penganiayaan sadis tersebut.
Lututku
mulai bergetar. Kulihat kepala seseorang yang tak dapat kukenali hampir
tertelan di balik jendela. Aku berteriak dan memberanikan diri mengejarnya. Sambil
berlari aku mengeluarkan belati yang barusan kusimpan di saku celana. Kurasa
inilah saat yang tepat untuk memanfaatkan senjata seadanya ini. Selain untuk
melindungi diri, juga untuk membalas penganiayaan terhadap Nyonya Lussy,
pikirku.
Namun,
manusia misterius itu lenyap begitu saja tertelan gelapnya halaman belakang
hotel. Setelah kusapu kondisi sekitar, dan tidak menemukan siapa pun di sana, aku
kembali menghampiri dan merengkuh tubuh Nyonya Lussy. Tiba-tiba para petugas
hotel telah berdiri di depan pintu dengan tatapan menghakimi. Pisau Nyonya
Lussy yang masih kugenggam tanpa kusadari terlepas dari tanganku dan jatuh ke
lantai.
“Bukan
aku yang membunuhnya!” pekikku.
Tak
ada satu pun diantara mereka yang menjawab. Kecuali seseorang diantara mereka
menelpon entah siapa. Tak lama kemudian sirine
mobil polisi kudengar bertalu-talu. Beberapa personel dengan senjata
lengkap masuk dan segera mengitari kamar dengan line polisi. Aku diborgol dan tak bisa memberontak.
Hingga saat
ini aku masih berpikir siapa sebenarnya yang membunuh Nyonya Lussy? Mungkinkah
mantan suaminya yang brengsek itu? Kenapa polisi kesulitan mencari pelaku
pembunuhan itu? Apakah mereka malas menyelidik kasus tersebut karena bukan
kasus besar? Tapi, setahuku banyak kasus besar juga tak terurus oleh penegak
hukum di negeri ini.
Di sela-sela memikirkan cara menemukan
bukti-bukti itu, seketika wajah putriku Melia yang sedang gemasnya dipandang
mata, dan istriku yang sedang hamil muda merangsek kepalaku. Kenapa pula aku
mengambil belati Nyonya Lussy? Andai itu tak kulakukan, mungkin saja aku takkan
masuk bui. Hah, rasanya kepalaku mau pecah!
Lombok Tengah,
2 Agustus 2021.
Wardie Pena, menulis cerpen, esai, dan resensi
buku. Tulisan-tulisannya pernah dimuat beberapa media (lokal dan nasional),
baik cetak maupun daring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar