Senin, 06 Oktober 2025

Resensi Buku

 

Memahami Sasak dan Rinjani dari Kacamata Spiritual

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber: dokumen pribadi


Judul Buku      : Rinjani Perspektif Ekosufisme

Penulis             : H. L. Agus Fathurrahman

Penerbit           : Mera Books

Terbit               : Pertama, Juli 2025

Tebal               : 170 halaman

ISBN               : 978-623-8302-14-7

Dulu, sekitar tahun 90-an, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sering mendengar cerita di kalangan anak-anak seusia saya yang mengatakan begini, “Kalau Rinjani tidak sering disuntik oleh Maulana Syaikh,[1] mungkin ia sudah meletus, dan kalau Rinjani meletus habislah kita.”

Pikiran saya saat itu membayangkan ulama kharismatik pulau Lombok tersebut membawa suntikan raksasa serupa galah lalu ditancapkannya ke pundak Rinjani dan air di dalam spetnya mengalir deras ke dalam tanah yang membuatnya menjadi dingin. Tentu saja alasan konyolnya ialah jika manusia memerlukan suntikan kecil, maka gunung yang demikian besar pasti membutuhkan suntikan yang besar pula.

Saya tidak tahu apakah cerita itu benar atau hoaks. Yang jelas tidak jarang orang-orang tua pada saat itu membenarkan hal tersebut. Dan sepertinya itu memang benar adanya. Sebab, beberapa saat yang lalu (setelah saya dewasa) saya pernah mendengar penggalan audio ceramah Maulana Syaikh tentang keistimewaan gunung Rinjani yang konon dijadikan tempat pertemuan ruh para waliyullah sedunia.

Pada momen lain, pada Agustus 2015, saya mendaki gunung tertinggi di pulau Lombok tersebut dan kurang ajarnya itulah pertama kali saya ke sana. Meski tujuannya rekreatif, pemimpin rombongan kami waktu itu menjelaskan beberapa pantangan yang harus ditaati selama mendaki seperti tidak kencing dan berludah sembarangan, tidak berkata kotor, melakukan hal tidak senonoh dengan lawan jenis, dan beberapa pantangan lainnya. Bahkan, kami sempat mendengar beberapa cerita tentang tulah yang didapat oleh mereka yang melanggar pantangan tersebut seperti kesurupan, tersesat, dan lainnya.

Pada saat kami di segara anak, kami turun mandi ke sungai air kalak. Kami menemukan banyak orang aneh berpakaian serba putih sedang mandi. Pakaian mereka serupa orang ihram di tanah suci Makkah. Mereka bahkan tidur di sana, menyandarkan kepala di atas batu sehingga kami sempat melangkahi kepala mereka. Demikian pula ketika perjalanan pulang, kami menemukan orang dengan pakaian yang nyaris sama saat di sungai kalak. Hanya saja ia sedang menaruh semacam sesajen di sebuah gundukan di bagian sisi gunung.

Apa yang saya dengar, saksikan, dan alami sejak kecil mengenai Rinjani tersebut kemudian menyiratkan pertanyaan besar di benak saya saat ini, “Ada apa sebenarnya dengan Rinjani? Kenapa ia begitu istimewa di mata masyarakat Sasak?” Beruntung dua pertanyaan ini terjawab setelah saya menuntaskan buku berjudul Rinjani Perspektif Ekosufisme ini.

Masyarakat Sasak dan Rinjani memang dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Selain sebagai ikon daerah Lombok, Rinjani adalah identitas Lombok itu sendiri sehingga ketika orang menyebut Lombok sering kali yang terbayang di benak mereka adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia tersebut. Sebaliknya, ketika orang menyebut Rinjani, secara otomatis merujuk ke pulau Lombok itu sendiri.

Ditinjau lebih jauh, hubungan tersebut lebih bersifat emosional-spiritual. Artinya, antara bangsa Sasak dan Rinjani memiliki kedekatan batin yang erat. Masyarakat Sasak memandang gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu bukan sebagai gundukan tanah yang menjulang ke langit belaka. Namun, mereka lebih menganggapnya sebagai pusat kosmos yang mengalirkan energi kehidupan dan penghidupan bagi mereka. Misalnya, fungsinya sebagai sumber mata air yang mengalir ke seluruh pulau Lombok adalah wujud kasih sayang Rinjani kepada mereka, dan karena itu mereka pun harus memberi kasih sayang kepada Rinjani.

Kasih sayang ini tentu tidak mencapai derajaat "penghambaan" layaknya seorang hamba kepada sang Khalik. Namun, ia lebih kepada penguatan interaksi antara sesama makhluk Tuhan. Karena mereka sadar bahwa mereka hidup tidak hanya dengan sesama manusia melainkan dengan makhluk lain yang bahkan tak kasatmata. Faktanya, hal itu dimanifestasikan melalui sikap dan perilaku seperti pemole yang berarti memuliakan segala anugerah Tuhan di muka bumi melalui ritual. Selain itu, ada juga sikap semaiq yang berarti mengambil manfaat secukupnya dari alam. Sikap pemole dan semaiq ini diekspresikan melalui berbagai ritual untuk menata perilaku selama berada di kawasan Rinjani. Ritual ini biasanya dipimpin oleh tetua adat yang disebut lokaq.

Hal inilah kiranya yang dilakukan oleh Tuan Guru Pancor sebagai seorang tokoh agama dan spiritual besar di pulau Lombok. Dengan kata lain, beliau hendak menjaga keharmonisan manusia dengan alam yang dalam hal ini ialah Rinjani melalui ritual tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Mengingat Rinjani sebagai inen paer yang berarti induk tanah air (Sasak), maka ia harus dijaga dengan baik demi kelestariannya dan keselamatan manusia sekitarnya.

Hal itu disebutkan juga oleh penulis buku ini bahwa secara spiritual Maulana Syaikh juga meyakini Rinjani sebagai tempat pertemuan waliyullah seluruh dunia. Tidak menutup kemungkinan inilah yang disebut sebagai upaya menyuntik Rinjani melalui ritual spiritual (doa) untuk kebaikan Rinjani. Hanya saja itu diungkapkan dengan bahasa metaforis.

Kemudian, pengalaman melihat para pendaki berpakaian serba putih dan pantangan yang saya sebut di atas dijelaskan pada halaman 158 sampai 162. Ternyata mereka adalah para pendaki tradisi yang memang punya rangkaian proses pendakian yang telah ditentukan di antaranya pertama, persiapan mental-spritual. Seorang pendaki tradisi harus melakukan persiapan mental puasa mutih, mejaga kesucian diri, larangan memotong hewan, larangan tidur di dalam rumah, larangan berselisih dengan istri dan anggota keluarga lainnya, dan larangan mengomentari sesuatu.

Kedua, persiapan perbekalan. Persiapan ini berupa penyediaan alat masak seperlunya, beras sejai (seperempat kilogram) setiap orang, sangu perjalanan dan sangu khalwat berupa jagung sepuq (jagung sangria), dan beberapa perlengkapan lainnya. Adapun, yang wajib dibawa setiap pendaki ialah kain pembasaq (kain putih) untuk mandi dan pakaian khalwat.

Ketiga, penjawaq dalam perjalanan. Penjawaq dalam hal ini ialah orang yang menjadi penunjuk jalan sekaligus membawa pendaki mencapai tujuan. Biasanya posisi ini dilakoni oleh guru spiritual, orang yang dituakan, atau orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal-hal spiritual.

Keempat, penjambeq dan sembeq. Penjambeq berfungsi sebagai media komunikasi dengan pengkosmos non-manusia selama perjalanan para pendaki di Rinjani. Di samping itu, ia juga sebagai tanda sudah ada orang yang lebih dahulu yang melakukan pendakian selain mereka. Sementara, sembeq yakni tumbukan sirih pinang dan kapur sirih yang dicoretkan di kening semua pendaki. Sembeq ini sebagai tanda pengenal spiritual kepada pengkosmos yang masuk ke wilayah rinjani agar tidak diganggu oleh energy kosmik yang lebih kuat.

Kelima, sikap pendaki tradisi. Selama dalam perjalanan, saat di lokasi, dan perjalanan pulang, para pendaki harus menjaga adab dan sikap mereka. Adapun, beberapa sikap tersebut berupa: menjaga kesucian niat yang ditanamkan sejak berangkat; menjaga sikap harmonis dengan sesama pendaki dan pengkosmos selama pendakian; menjaga perkataan, tidak menyebut nama asli hewan tertentu yang memang dilarang disebut; menggunakan kode-kode tertentu untuk saling memanggil; tidak mendahului rombongan lain kecuali diizinkan.

Salah satu hal yang menjadikan buku ini tambah menarik ialah penulis tidak hanya berbicara mengenai relasi antara masyarakat sasak dengan Rinjani secara ekologis semata. Namun, ia berupaya mengkaji relasi antara sejarah peradaban, topografi, dan kebudayaan Sasak dengan pendekatan filologis yang pada akhirnya membentuk cara pandang bangsa Sasak dalam menjalani kehidupan.

Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Mamiq Agus (sapaan akrab penulis buku ini) mengeksplorasi asal-usul arsitektur rumah lumbung alang yang menurut hasil penelitian Setiadi Sopandi berusia sekitar 3.500 tahun sebelum masehi (SM), penelusuran asal-usul kata Anjani yang lekat dengan gunung Rinjani melalui manuskrip kuno, dan beberapa ungkapan arkais masyarakat Sasak tentang kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu dimanifestasikan oleh masyarakat Sasak melalui perilaku yang sarat dengan nilai tradisional-spiritual.

Nilai-nilai tersebut dibahas secara rinci nyaris di semua bab (lima bab) dalam buku ini. Oleh karena itu, jika Anda ingin memahami peradaban Sasak lebih mendalam, maka buku ini bisa menjadi rujukan yang penting. Terutama bagi generasi muda agar tali kekang peradabannya tidak terlepas dari pasak leluhurnya.

Lombok Tengah, 07 Oktober 2025. Pukul 00:06

Marzuki Wardi, penikmat buku dan kopi. Saat ini ia sedang dimabuk sastra dan bahasa. Karenanya, ia mendalami Aksara Sasak di Bencingah Institut, sebuah lembaga non formal yang fokus dalam mengkaji sejarah, budaya, bahasa, dan spiritual yang didirikan oleh Mamiq Agus FN. Sesekali ia juga menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku.

 



[1] Gelar populer untuk KH Zainudin Abdul Majid, seorang ulama terkemuka di pulau Lombok.

Resensi Buku

  Memahami Sasak dan Rinjani dari Kacamata Spiritual Oleh: Marzuki Wardi Sumber: dokumen pribadi Judul Buku       : Rinjani Perspektif E...