Minggu, 26 Oktober 2025

Cerpen

Guru Baru dari Luar Angkasa[1]

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://id.lovepik.com/images/photo-space-astronaut-helmet.html


Guru baru itu mengaku dari luar angkasa. Ia menggantikan Pak Sadimin yang beberapa hari lalu mengundurkan diri dari sekolah itu. Pak Sadimin adalah seorang guru yang dikenal penyabar dan berhati lembut. Ia sangat sayang kepada siswa-siswanya. Tak pernah sekalipun ia menyakiti perasaan mereka apalagi sampai asal main pukul. Ia memperlakukan mereka bak mutiara. Dielus, diusap, dan digosoknya jiwa siswa-siswanya setiap hari, meskipun ia sadar bahwa yang digosoknya adalah cadas yang selalu melukainya.

Hampir setiap masuk kelas Pak Sadimin selalu dibuat menangis. Tentu bukan menangis terharu karena prestasi mereka, melainkan karena perilaku buruk mereka. Siswa-siswanya tak mengenal adab sama sekali. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dianggapnya angin lalu belaka; masuk telinga kanan keluar lewat telinga kiri; masuk telinga kiri keluar lewat telinga kanan; masuk lewat mulut dikeluarkannya lewat lubang anus. Ketika Pak Sadimin meminta untuk tenang, mereka acap kali melonjak kegirangan. Ada yang berjoget-joget sambil menjulurkan lidah. Sebagian berteriak-teriak, sebagian lain memukul-mukul meja dan mengentak-entakkan kaki. Alhasil, Pak Sadimin hanya bisa menangis haru melihat perilaku mereka.

Rekan-rekan Pak Sadimin yang lain juga diperlakukan seperti itu. Mereka sebetulnya bukan tidak berani memarahi atau memukuli siswa-siswa nakal tersebut. Hanya saja mereka malas berhadapan dengan peraturan yang serba rumit. Dulu pernah ada seorang guru baru kena sanksi karena menjambak rambut seorang siswa lalu menggamparnya lantaran kedapatan merokok. Tidak berselang lama ia dipanggil oleh atasan dan pemerintah kabupaten. Ia kena tegur dan sanksi administratif tak bisa naik jabatan dalam kurun waktu tertentu, yang tentu itu adalah aib dalam karier kedinasan.

Tidak mau mengalami nasib serupa, banyak guru yang memelas agar dipindahkan ke sekolah-sekolah lain. Ke sekolah di daerah paling terpencil sekalipun, tidak masalah, asalkan siswanya penurut. Sebagian ada yang masa bodoh. Mereka membiarkan perilaku siswa itu apa adanya. Yang penting tugas tetap dilaksanakan, gaji tetap lancar, terserah mereka mau berbuat apa. Pak Sadimin sendiri memilih mengundurkan diri. Ia merasa telah gagal menjadi seorang pendidik. Namun, bagi guru baru dari luar angkasa semua itu sepertinya tidak berlaku.

“Anak-anak, hari ini kita kedatangan guru baru dari luar angkasa,” ucap kepala sekolah masuk ke kelas sebelas, “beliau mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus akan menjadi wali kelas kalian,” sambungnya lalu keluar begitu saja.

Belum saja mulai bicara, guru baru tersebut langsung disambut gelak tawa. Suasana kelas menjadi riuh. “Wah, teman-teman, hari ini adalah hari sepesial! Ada makhluk luar angkasa yang akan mengajar di kelas kita. Hahaha!” olok Musanip, seorang ketua di kelas itu.

“Alien kali. Hahaha!” sambut yang lain.

“Tapi kok matanya nggak lebar dan menonjol kayak di film-film?” Rusli Wingcun menyahut.

“Memang dia ngerti bahasa manusia?”

Guru dari luar angkasa tampak tenang dan santai. Ia melepas tas punggung warna hitam belel di kaki meja sebelah kanan. Ia bersedekap, melangkah sedikit ke depan, lalu menyandarkan pinggangnya di sisi depan meja guru. “Tenang, saya juga ngerti bahasa kalian. Di planet tempat tinggal saya, saya juga mempelajari beragam jenis bahasa, termasuk beberapa bahasa di bumi. Apalagi saya sudah mengajar dari planet satu ke planet lain selama ratusan tahun,” jawabnya santai.

“Haluuu…!”

“Huuuuu. Bohooong!”

Begitulah kebiasaan siswa-siswa di sekolah itu. Bukan menjadi tenang, kelas justru tambah bising. Perkataan guru baru itu dianggap tak lebih sekadar lelucon konyol. Musanip ketua kelas tertawa lebar. Ia terbahak-bahak sampai tubuhnya yang tambun terguncang-guncang. Ada yang berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, sambil menyoraki guru baru. Gumpalan-gumpalan kertas juga mulai dilemparkan ke arahnya. Namun, gerakan gumpalan-gumpalan itu menjadi sangat lamban ketika mengarah ke wajah guru baru sehingga ia tampak melayang-layang di udara. Beberapa siswa yang melihat itu mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa.

“Mohon tenang dulu…” timpal guru baru. Ia maju beberapa langkah dan berhenti di depan Musanip yang masih tertawa. Diangkatnya kaca matanya untuk melihat lebih jelas wajah ketua kelas dari jarak dekat. Ia mengipas-ngipas tangan di depannya lalu menangkup mulut Musanip dengan kelima jari tangannya. Tubuh Musanip mematung seketika, dan mulutnya terkunci seperti orang bisu. Kelas mulai sepi seketika menyaksikan kejadian tersebut.

Selang beberapa detik, sang guru baru mengangkat tangan sebelah kiri seperti orang melambai. Beberapa saat kemudian, ternyata ada pukulan melayang dengan gerakan lamban ke arahnya. Seperti adegan dengan slow motion dalam film-film, pukulan itu mendarat dengan sangat pelan di telapak tangan guru baru. Gerakan itu rupanya telah dibaca lebih dulu. Guru baru bertubuh pendek itu menggenggam kepalan tangan siswa bernama Asep Budiman lalu memuntir tangannya sehingga ia kini menghadap ke depan teman-temannya.

“Perkenalan yang cukup menantang!” ujarnya santai. Dengan pelan ia mendorong punggung Asep Budiman yang cukup gempal. Tapi, tubuh itu tersuruk dengan cepat sehingga Asep berlari membungkuk dan nyaris tersungkur ke samping tempat duduknya. Gerakan itu sungguh tak lazim.

Guru baru tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk tangan. Ia melangkah lagi menuju beberapa siswa. “Kalian tahu, berapa tahun cahaya jarak antara bumi dan bintang-bintang?” tanyanya. Tentu saja siswa-siswa itu hanya bisa melongo. “Jarak bumi ke bintang itu puluhan tahun cahaya. Makanya, secara dimensi temporal, ketika kalian melihat bintang, kalian tidak hanya melihat ke luar angkasa tetapi juga melihat masa lalu.[2] Gampangnya, gerakan yang hendak kalian lakukan sudah tampak duluan di mata saya bahkan sejak dalam pikiran kalian.”

Kini semua siswa melongo. Mereka dibuat takjub. Tak pernah mereka alami kejadian ganjil seperti pagi ini di dunia nyata. Semua yang mereka saksikan barusan hanya pernah mereka tonton di film-film. Apa saja yang mengarah ke guru baru itu gerakannya menjadi sangat pelan. Sementara, yang mengarah kepada mereka menjadi demikian cepat beberapa kali lipat. Sungguh absurd.

“Pada pertemuan pertama ini kita sebenarnya hanya berkenalan. Sayang waktu kita keburu habis dipakai main-main. Tapi, anggaplah ini perkenalan pertama kita. Besok kita akan lanjut untuk saling mengenal nama.” Ia mendekati Musanip lalu mengusap wajahnya. Segera bocah tambun itu tersadar dan seketika napasnya tersengal-sengal. Rasa takut langsung memagut dadanya.

“Ternyata mengajar di bumi asyik juga,” ucap guru baru dari luar angkasa membalikkan badan kemudian berjalan ke muka kelas. Ia berjalan dengan sangat aneh. Kedua tangannya tak diayun. Tubuh pendeknya terlihat sangat ringan.  Langkah kakinya santai, tapi begitu cepat menjangkau tujuan. Kini ia berdiri di tengah pintu kelas setelah lebih dahulu meraih tasnya dengan cara yang juga aneh. “Sepertinya saya bakalan betah ngajar di sini,” sambungnya sambil tertawa. Tawanya, lagi-lagi, sangat berbeda; datar dan tidak ada jeda. Ia kemudian keluar kelas.

Siswa-siswa itu menghela napas lega. Ada yang mengusap-usap dada. Ada pula yang masih melongo seperti kena hipnotis. Di satu sisi, perasaan mereka juga tak karuan; takut, kalap, sekaligus penasaran. Kali ini mereka benar-benar merasakan hal berbeda saat kedatangan guru baru. Mereka pun berhamburan keluar kelas begitu tubuh guru baru dari luar angkasa lindap. Anehnya, sepanjang koridor yang terhubung ke ruang kepala sekolah, tak seorang pun yang terlihat sedang berjalan atau berdiri. Benar-benar sepi. Hanya suara-suara kecil dari dalam kelas lain yang terdengar. Padahal, belum satu menit guru itu keluar kelas.

Musanip, Asep Budiman, Rusli Wingcun, dan teman-teman lain berlari ke lapangan sekolah. Mereka mendongak matahari di atas kepala mereka. “Mungkinkah guru baru langsung pulang ke luar angkasa?” tanya mereka.

Lombok Tengah, 24 Oktober 2025



[1] Judul cerpen ini terinspirasi dari cerpen karya Kiki Sulistyo berjudul Muazin Pertama di Luar Angkasa. Namun, isinya sama sekali tidak punya kaitan dengan cerpen tersebut.

[2] Kalimat ini dikutip dari novel karya Blake Crouch berjudul Dark Matter.

Senin, 06 Oktober 2025

Resensi Buku

 

Memahami Sasak dan Rinjani dari Kacamata Spiritual

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber: Dokumen pribadi


Judul Buku      : Rinjani Perspektif Ekosufisme

Penulis             : H. L. Agus Fathurrahman

Penerbit           : Mera Books

Terbit               : Pertama, Juli 2025

Tebal               : 170 halaman

ISBN               : 978-623-8302-14-7

Dulu, sekitar tahun 90-an, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sering mendengar cerita di kalangan anak-anak seusia saya yang mengatakan begini, “Kalau Rinjani tidak sering disuntik oleh Maulana Syaikh,[1] mungkin ia sudah meletus, dan kalau Rinjani meletus habislah kita.”

Pikiran saya saat itu membayangkan ulama kharismatik pulau Lombok tersebut membawa suntikan raksasa serupa galah lalu ditancapkannya ke pundak Rinjani dan air di dalam spetnya mengalir deras ke dalam tanah yang membuatnya menjadi dingin. Tentu saja alasan konyolnya ialah jika manusia memerlukan suntikan kecil, maka gunung yang demikian besar pasti membutuhkan suntikan yang besar pula.

Saya tidak tahu apakah cerita itu benar atau hoaks. Yang jelas tidak jarang orang-orang tua pada saat itu membenarkan hal tersebut. Dan sepertinya itu memang benar adanya. Sebab, beberapa saat yang lalu (setelah saya dewasa) saya pernah mendengar penggalan audio ceramah Maulana Syaikh tentang keistimewaan gunung Rinjani yang konon dijadikan tempat pertemuan ruh para waliyullah sedunia.

Pada momen lain, pada Agustus 2015, saya mendaki gunung tertinggi di pulau Lombok tersebut dan kurang ajarnya itulah pertama kali saya ke sana. Meski tujuannya rekreatif, pemimpin rombongan kami waktu itu menjelaskan beberapa pantangan yang harus ditaati selama mendaki seperti tidak kencing dan berludah sembarangan, tidak berkata kotor, melakukan hal tidak senonoh dengan lawan jenis, dan beberapa pantangan lainnya. Bahkan, kami sempat mendengar beberapa cerita tentang tulah yang didapat oleh mereka yang melanggar pantangan tersebut seperti kesurupan, tersesat, dan lainnya.

Pada saat kami di segara anak, kami turun mandi ke sungai air kalak. Kami menemukan banyak orang aneh berpakaian serba putih sedang mandi. Pakaian mereka serupa orang ihram di tanah suci Makkah. Mereka bahkan tidur di sana, menyandarkan kepala di atas batu sehingga kami sempat melangkahi kepala mereka. Demikian pula ketika perjalanan pulang, kami menemukan orang dengan pakaian yang nyaris sama saat di sungai kalak. Hanya saja ia sedang menaruh semacam sesajen di sebuah gundukan di bagian sisi gunung.

Apa yang saya dengar, saksikan, dan alami sejak kecil mengenai Rinjani tersebut kemudian menyiratkan pertanyaan besar di benak saya saat ini, “Ada apa sebenarnya dengan Rinjani? Kenapa ia begitu istimewa di mata masyarakat Sasak?” Beruntung dua pertanyaan ini terjawab setelah saya menuntaskan buku berjudul Rinjani Perspektif Ekosufisme ini.

Masyarakat Sasak dan Rinjani memang dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Selain sebagai ikon daerah Lombok, Rinjani adalah identitas Lombok itu sendiri sehingga ketika orang menyebut Lombok sering kali yang terbayang di benak mereka adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia tersebut. Sebaliknya, ketika orang menyebut Rinjani, secara otomatis merujuk ke pulau Lombok itu sendiri.

Ditinjau lebih jauh, hubungan tersebut lebih bersifat emosional-spiritual. Artinya, antara bangsa Sasak dan Rinjani memiliki kedekatan batin yang erat. Masyarakat Sasak memandang gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu bukan sebagai gundukan tanah yang menjulang ke langit belaka. Namun, mereka lebih menganggapnya sebagai pusat kosmos yang mengalirkan energi kehidupan dan penghidupan bagi mereka. Misalnya, fungsinya sebagai sumber mata air yang mengalir ke seluruh pulau Lombok adalah wujud kasih sayang Rinjani kepada mereka, dan karena itu mereka pun harus memberi kasih sayang kepada Rinjani.

Kasih sayang ini tentu tidak mencapai derajaat "penghambaan" layaknya seorang hamba kepada sang Khalik. Namun, ia lebih kepada penguatan interaksi antara sesama makhluk Tuhan. Karena mereka sadar bahwa mereka hidup tidak hanya dengan sesama manusia melainkan dengan makhluk lain yang bahkan tak kasatmata. Faktanya, hal itu dimanifestasikan melalui sikap dan perilaku seperti pemole yang berarti memuliakan segala anugerah Tuhan di muka bumi melalui ritual. Selain itu, ada juga sikap semaiq yang berarti mengambil manfaat secukupnya dari alam. Sikap pemole dan semaiq ini diekspresikan melalui berbagai ritual untuk menata perilaku selama berada di kawasan Rinjani. Ritual ini biasanya dipimpin oleh tetua adat yang disebut lokaq.

Hal inilah kiranya yang dilakukan oleh Tuan Guru Pancor sebagai seorang tokoh agama dan spiritual besar di pulau Lombok. Dengan kata lain, beliau hendak menjaga keharmonisan manusia dengan alam yang dalam hal ini ialah Rinjani melalui ritual tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Mengingat Rinjani sebagai inen paer yang berarti induk tanah air (Sasak), maka ia harus dijaga dengan baik demi kelestariannya dan keselamatan manusia sekitarnya.

Hal itu disebutkan juga oleh penulis buku ini bahwa secara spiritual Maulana Syaikh juga meyakini Rinjani sebagai tempat pertemuan waliyullah seluruh dunia. Tidak menutup kemungkinan inilah yang disebut sebagai upaya menyuntik Rinjani melalui ritual spiritual (doa) untuk kebaikan Rinjani. Hanya saja itu diungkapkan dengan bahasa metaforis.

Kemudian, pengalaman melihat para pendaki berpakaian serba putih dan pantangan yang saya sebut di atas dijelaskan pada halaman 158 sampai 162. Ternyata mereka adalah para pendaki tradisi yang memang punya rangkaian proses pendakian yang telah ditentukan di antaranya pertama, persiapan mental-spritual. Seorang pendaki tradisi harus melakukan persiapan mental puasa mutih, mejaga kesucian diri, larangan memotong hewan, larangan tidur di dalam rumah, larangan berselisih dengan istri dan anggota keluarga lainnya, dan larangan mengomentari sesuatu.

Kedua, persiapan perbekalan. Persiapan ini berupa penyediaan alat masak seperlunya, beras sejai (seperempat kilogram) setiap orang, sangu perjalanan dan sangu khalwat berupa jagung sepuq (jagung sangria), dan beberapa perlengkapan lainnya. Adapun, yang wajib dibawa setiap pendaki ialah kain pembasaq (kain putih) untuk mandi dan pakaian khalwat.

Ketiga, penjawaq dalam perjalanan. Penjawaq dalam hal ini ialah orang yang menjadi penunjuk jalan sekaligus membawa pendaki mencapai tujuan. Biasanya posisi ini dilakoni oleh guru spiritual, orang yang dituakan, atau orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal-hal spiritual.

Keempat, penjambeq dan sembeq. Penjambeq berfungsi sebagai media komunikasi dengan pengkosmos non-manusia selama perjalanan para pendaki di Rinjani. Di samping itu, ia juga sebagai tanda sudah ada orang yang lebih dahulu yang melakukan pendakian selain mereka. Sementara, sembeq yakni tumbukan sirih pinang dan kapur sirih yang dicoretkan di kening semua pendaki. Sembeq ini sebagai tanda pengenal spiritual kepada pengkosmos yang masuk ke wilayah rinjani agar tidak diganggu oleh energy kosmik yang lebih kuat.

Kelima, sikap pendaki tradisi. Selama dalam perjalanan, saat di lokasi, dan perjalanan pulang, para pendaki harus menjaga adab dan sikap mereka. Adapun, beberapa sikap tersebut berupa: menjaga kesucian niat yang ditanamkan sejak berangkat; menjaga sikap harmonis dengan sesama pendaki dan pengkosmos selama pendakian; menjaga perkataan, tidak menyebut nama asli hewan tertentu yang memang dilarang disebut; menggunakan kode-kode tertentu untuk saling memanggil; tidak mendahului rombongan lain kecuali diizinkan.

Salah satu hal yang menjadikan buku ini tambah menarik ialah penulis tidak hanya berbicara mengenai relasi antara masyarakat sasak dengan Rinjani secara ekologis semata. Namun, ia berupaya mengkaji relasi antara sejarah peradaban, topografi, dan kebudayaan Sasak dengan pendekatan filologis yang pada akhirnya membentuk cara pandang bangsa Sasak dalam menjalani kehidupan.

Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Mamiq Agus (sapaan akrab penulis buku ini) mengeksplorasi asal-usul arsitektur rumah lumbung alang yang menurut hasil penelitian Setiadi Sopandi berusia sekitar 3.500 tahun sebelum masehi (SM), penelusuran asal-usul kata Anjani yang lekat dengan gunung Rinjani melalui manuskrip kuno, dan beberapa ungkapan arkais masyarakat Sasak tentang kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu dimanifestasikan oleh masyarakat Sasak melalui perilaku yang sarat dengan nilai tradisional-spiritual.

Nilai-nilai tersebut dibahas secara rinci nyaris di semua bab (lima bab) dalam buku ini. Oleh karena itu, jika Anda ingin memahami peradaban Sasak lebih mendalam, maka buku ini bisa menjadi rujukan yang penting. Terutama bagi generasi muda agar tali kekang peradabannya tidak terlepas dari pasak leluhurnya.

Lombok Tengah, 07 Oktober 2025. Pukul 00:06

Marzuki Wardi, penikmat buku dan kopi. Saat ini ia sedang dimabuk sastra dan bahasa. Karenanya, ia mendalami Aksara Sasak di Bencingah Institut, sebuah lembaga non formal yang fokus dalam mengkaji sejarah, budaya, bahasa, dan spiritual yang didirikan oleh Mamiq Agus FN. Sesekali ia juga menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku.

 



[1] Gelar populer untuk KH Zainudin Abdul Majid, seorang ulama terkemuka di pulau Lombok.

Cerpen

  Sadimin dan Pohon-Pohon Kesayangannya Marzuki Wardi Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang Sadimin masih men...