Rabu, 28 Juni 2023

Cerpen

 Wasiat Kiai Seman

ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat


Kiai Seman turun dari dipannya dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering. Mimpi yang selalu menyisakan rasa takut itu datang lagi. Ia tahu persis bahwa  bulan Dzulhijjah sudah masuk. Artinya, ibadah haji di tanah suci sudah sangat dekat sehingga wajar jika terus-terusan bermimpi tentang ibadah haji dan seputarnya. Akan tetapi, di satu sisi, mimpi itu bukan akhir-akhir ini saja menghinggapinya, melainkan sejak dua bulan lalu, tepatnya selepas bulan puasa.

Ia melangkah ke dispenser dekat dipannya, dan menuangkan segelas air lalu meminumnya dengan gaya seolah ia tak pernah minum selama bertahun-tahun. Ketika rasa haus mulai hilang dan perasaannya agak tenang, tiba-tiba ia teringat dengan kata-kata Kiai Saidi, seorang tokoh sepuh di kampungnya yang dikenal memiliki karomah. Orang yang bermimpi tentang tanah suci berkali-kali adalah satu di antara tanda kematian. Konon, begitulah ia selalu berpesan kepada warga kampung.

Perasaannya jadi semakin tak karuan, antara cemas, gelisah, dan takut. Apalagi, penyakit asmanya akhir-akhir ini kerap kambuh, meskipun tidak begitu parah dan membuatnya terbaring lemas di kamar. Tetapi, hal itu seakan menguatkan firasatnya bahwa laki-laki berjanggut panjang berjubah putih yang selalu datang dalam mimpinya itu adalah Malaikat Maut. Ia menarik napas panjang kemudian beranjak ke kamar mandi untuk berwudu dan salat malam. Ia berusaha ikhlas menerima takdir Ilahi ini kalaupun Malaikat maut memang benar-benar menjemputnya.

“Seperti yang kalian tahu, sampai saat ini bapak belum ada pengganti. Mau tidak mau, salah satu di antara kalian harus siap menggantikan bapak jadi kiai di kampung ini,” ujar Kiai Seman di hadapan anak-anaknya.

“Ripin anak laki-laki yang paling tua, Pak. Biasanya, kan, kriteria seperti dialah yang dipilih sebagai badal.” jawab Marsitah menunjuk Syamsul Aripin.

Marsitah adalah anak tertua dari enam bersaudara. Ia menikah dengan seorang sopir truk di kampung sebelah, masih di desa yang sama. Satu adik perempuannya menikah ke luar kota. Satu orang laki-laki berada di tanah rantau, dan tiga lainnya masih di rumah.

“Tidak mesti begitu. Siapa pun bisa, asalkan anak laki-laki. Tapi kalau Ripin siap ya tidak apa-apa. Bagaimana, Pin?”

“Bapak, kan, tahu meskipun saya ini jadi pegawai, saya tak bisa agama,” jawab anak kelima Kiai Seman itu.

“Yang penting bisa baca tulis Al-Quran dulu, selanjutnya kamu bisa mengembangkan diri. Asal ada keinginan untuk belajar, dan yang terpenting adalah kamu siap di-tahallul.

“Maaf, Pak, saya belum siap. Menjadi kiai beban moralnya berat! Kenapa tidak Sujarman saja, Pak. Dia, kan, baru lulus SMA, otaknya masih segar. Dia bisa belajar atau masuk pesantren,” sambungnya.

“Bagaimana, Man, siap kamu?”

“Maaf, Pak, saya juga ndak mau jadi kiai,” tolak Sujar tegas.

“Kenapa?”

“Saya mau jadi sarjana ekonomi saja, Pak, biar saya jadi orang kaya, biar disegani orang-orang.

“Sarjana juga bisa jadi kiai. Kamu lihat sekarang banyak, kan, kiai atau ustaz bergelar sarjana.”

“Ya, Pak, betul. Tapi saya ndak mau jadi sarjana agama. Lagi pula, kiai jaman sekarang sudah ndak begitu disegani. Di media sosial, mereka jadi bahan pergunjingan bahkan olok-olokan.”

“Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Buktinya sampai saat ini bapak masih disegani warga. Bukan itu juga tujuan kita jadi kiai, tapi sebagai bentuk dakwah kita, menolong agama Allah.”

“Itu bagi mereka yang tua-tua, Pak, yang masih awam. Beda dengan anak-anak muda sekarang. Coba bapak perhatikan kondisi bujang di kampung kita dan orang-orang di media sosial. Apalagi saya juga, kan, masih muda.

“Kamu mau jadi kiai di media sosial atau di kehidupan sosial? Sudahlah kalau tak mau jangan berkilah begitu!”

Setelah melewati musyawarah yang cukup alot, akhirnya tak satu pun anak Kiai Seman yang bersedia menggantikan posisinya. Hal yang ia takuti rasanya sudah di depan mata: meninggal tanpa meninggalkan pengganti. Lalu, siapa lagi yang akan mengurusi masyarakat?  

Rasa sesal mulai terbetik dalam benak Kiai Seman. Kenapa ia tidak menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren? Jika itu dulu dilakukan, tentu saja saat ini ia tak perlu repot-repot mencari pengganti. Ia juga merasa kecolongan, tak mampu membaca kemungkinan yang akan terjadi saat ini. Rasa sesal itu perlahan berubah menjadi rasa sedih, karena ia tidak bisa menahallulkan salah satu anaknya menjadi kiai. Ia merasa dirinya menjadi pemutus generasi kiai di kalangan keluarganya.

Kiai Seman memang bukan secara kebetulan menjadi seorang pemuka agama di kampungnya. Ia punya darah kiai. Nama kelahiran yang sebetulnya ialah Usman Harun. Hanya saja lidah masyarakat Sasak menyebutnya Seman. Bapaknya bernama Kiai Said Harun, juga seorang kiai yang terkenal wara dan zuhud di kalangan masyarakat. Beliaulah yang menahalullnya dulu pada saat diangkat menjadi kiai. Dan, bapaknya juga dulu ditahallul oleh kakeknya, Kiai Harun Rasyid. Begitu seterusnya dengan para pendahulu Kiai Seman.

Kini, sudah genap empat puluh delapan tahun ia memimpin masyarakat di kampungnya. Keberadaannya di sana laksana embun yang mengairi lahan-lahan kering. Ia memang tidak punya pondok pesantren, tapi ia mengajari masyarakat awam cara melaksanakan ibadah sehari-hari. Dengan penuh kesabaran, ia juga menuntun mereka memahami berbagai persoalan agama. Masalah rumah tangga hingga tetangga juga tak luput ia selesaikan. Beberapa acara keagamaan seperti mahallul qiyam, tahlilan, dan mauilidan dinakhodainya. Karenanya, ia berpikir harus menemukan sosok pengganti meski bukan dari keturunan atau keluarganya. Akan tetapi siapa orang yang tepat mengisi posisi itu?

Perasaan Kiai Seman semakin kalut. Di sisi lain, apa yang dikatakan Sujarman juga ada benarnya. Ia pernah menyaksikan beberapa bujang dengan entengnya menenggak tuak dan mabuk-mabukan di ujung kampung pada saat acara pesta. Orang tua-orang tua zaman ini juga mulai malas mengajari anak mereka mengaji atau setidaknya menyerahkannya ke guru ngaji. Ia menyadari kondisi ini sungguh berbeda ketika awal-awal ia menjadi kiai dulu. Perhatian mereka terhadap urusan agama lebih dinomor satukan dari pada urusan dunia.

“Ada apa kiai mengumpulkan kami?” tanya warga.

Sore ini Kiai Seman mengumpulkan semua warga kampung di musala. Di hadapan mereka ia mengulang apa yang pernah disampaikannya kemarin lusa di hadapan anak-anaknya.

“Insya Allah, musim haji ini saya akan berlayar lagi, tapi ini mungkin haji saya yang terakhir, mungkin saya tidak akan pulang lagi. Karenanya, harus ada yang mengganti saya sebagai kiai di sini.”

Para warga melongo, antara percaya dan tidak dengan panutan mereka tersebut. Mereka heran kenapa tiba-tiba Kiai Seman berwasiat seperti orang yang mau meninggal? Padahal, ia masih terlihat bugar. Tidak ada orang yang tahu juga Kiai Seman mendaftar haji tahun ini. Ada apa sebenarnya dengan kiai? tanya mereka dalam hati. Ah, usia kiai, kan, sudah hampir delapan puluhan, wajar ia mulai ngomong tak karuan, pikir beberapa di antara mereka.

Hal yang dialami Kiai Seman saat berwasiat di depan anak-anaknya seakan terulang. Bahkan lebih dari itu, beberapa warga mulai meragukan kondisi ingatan dan kejiwaannya.

Baiklah kalau tidak ada juga yang siap, musyawarahkanlah pemimpin kalian besok. Saya titip musala ini sama kalian. Ingat, makmurkanlah rumah Allah agar kampung kita makmur dan selamat!” pesannya.

Langit sudah berwarna magenta. Tak lama selepas Kiai Seman berwasiat, azan magrib berkumandang. Ia pun mengimami salat jamaah seperti biasanya. Dan itulah terakhir kalinya ia mengimami salat. Pada bulan haji, tepat ketika jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah, Kiai Seman benar-benar mengembuskan napas terakhir tanpa seorang penggantinya sebagai kiai kampung. Masyarakat dilanda kekalutan. Siapa yang akan menjadi pempimpin kami di kampung ini?

Lombok Tengah, 19 Juni 2023

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, resesensi buku, dan buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media cetak dan daring. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Catatan:

· Kiai dalam cerita ini ialah kiai kampung yang identik dengan tugas kemasyarakatan atau memimpin masyarakat. Bukan kiai yang memimpin atau mengajar di pesantren.

· Tahallul adalah tradisi pencukuran rambut dalam rangka pengangkatan seorang menjadi kiai. Acara dilakukan secara resmi layaknya acara pencukuran rambut bayi.

· Istilah berlayar dalam hal ini bermakna naik Haji. Tetapi, masyarakat Sasak juga sering mengartikannya sebagai kematian.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...