Selasa, 23 Februari 2021

Resensi Buku

 

Mengedukasi Dampak Pemakaian Gadget Berlebihan pada Anak

Oleh: Marzuki Wardi

Foto cover buku


Judul                : Gara-Gara Game Online

Penulis             : Fery Lorena Yani, Yosep Rustandi, dkk.

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Tahun Terbit   : Pertama, September 2020

Tebal               : 144 halaman

ISBN                 : 978-623-253-007-2

Harga              : 39.000

Angka pemain game (online) atau lebih dikenal dengan sebutan gamer akhir-akhir ini semakin meningkat, terlebih di masa pandemi covid-19 ini. Menurut salah satu sumber, jumlah gamer di Indonesia pada 2020 lalu mencapai sekitar 100 juta orang. Jumlah itu menjadikan Indonesia dengan gamer terbanyak nomor satu se-Asia Tenggara.[1]

Meningkatknya angka gamer tersebut, jika ditilik dari segi ekonomi, secara tidak langsung berdampak pada peningkatan siklus perekonomian rakyat. Sebab, semakin berkembangnya game akan membuka peluang (usaha) baru bagi para gamer, khususnya di kalangan anak muda. Sehingga mampu menumbuhkan profesi-profesi baru seperti gaming content creator, game caster, game developing, dan beberapa jenis profesi lain yang berkaitan. Bahkan sektor e-sport tersebut diwartakan menghasilkan sekitar 13,8 triliun pada tahun lalu.[2]

Namun, di sisi lain, game juga tidak selamanya membawa dampak positif. Bahkan, dampak negatifnya, menurut saya, lebih banyak daripada dampak positifnya. Faktanya, tidak sedikit orang tua yang mengeluh melihat anaknya yang mulai kecanduan game sejak dini. Mereka (orang tua) merasa kesulitan berkomunikasi ketika anak sedang asyik bermain. Mengingat berbagai jenis game pada ponsel pintar memang tidak dapat dihentikan sementara waktu (pause). Sehingga tidak jarang si anak merasa terganggu lantas berujung marah bila terus-terusan diajak bicara.

AS Laksana menggambarkan buruknya dampak game tersebut dalam esainya yang berjudul “Anak Ini Ketempelan Jin”.[3] Menurutnya, aktivitas game online menyebabkan kesenjangan psikis antara orang tua dengan anak. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang tua hanya bisa memfasilitasi anak dengan gadget-gadget canggih dengan dalih agar ia tidak ketinggalan zaman. Tapi, di sisi lain mereka tidak mengimbanginya dengan kontrol dan upaya memberikan pemahaman fungsi lain daripada teknologi tersebut. Alhasil, si anak hadir di tengah-tengah anggota keluarga tercinta, tapi ia tenggelam dalam dunia yang ia buat sendiri dengan kawan sesama gamer-nya. Ujung-ujungnya, orang tua koalahan menghadapi kondisi anak yang bak kesurupan jin.

Tidak hanya gangguan psikis, bermain game online berlebihan bahkan dapat membahayakan fisik. Itulah yang dialami oleh Cika, tokoh dalam cerpen berjudul “Gara-Gara Game Online” dalam buku kumpuan cerpen anak ini (halaman 44). Ia tersesat dan nyaris hilang di sebuah lokasi wisata andai saja tidak ditemukan oleh petugas penjaga lokasi. Sementara, bus yang ia tumpangi bersama teman-temannya sudah cukup jauh melaju menuju lokasi wisata berikutnya.

Sebelumnya Cika berkali-kali diingatkan untuk menghentikan aktivitas bermain game sejak dalam perjalanan. Selain agar bisa menikmati momen liburan, juga tentu agar ia bisa mengikuti tahapan aktivitas yang dilalui bersama teman-temannya. Bu Mifta, ketika bus berhenti di sebuah SPBU, sempat membujuk dan menawari Cika untuk turun ke toilet kalau-kalau ia merasa ingin buang air. Sebab, Bu Mifta tahu betul bahwa area yang dituju masih sangat jauh. Alih-alih mematuhi, Cika malah mengabaikan bujuk manis gurunya tersebut.

Kalau nasihat guru saja sudah tidak didengar, apalagi peringatan dari teman-temannya. Benar saja. Cika melewati semua aktivitas penting dan seru sepanjang perjalanan. Ia terus asyik bermain game meskipun sudah sampai di tempat wisata pertama. Dan, petaka itu tiba ketika gadget dan power bank miliknya mati. Ia yang sejak tadi menekuri layar gadget sambil berjalan, tiba-tiba sadar dirinya sudah tertinggal jauh oleh rombongan ketika mengangkat wajah. Tengok kiri, kanan, depan, belakang, tidak ada satu pun orang berada di sekitarnya. Cika berteriak dan berusaha mencari teman atau orang yang dikenalinya. Bocah SD itu pun mulai menyesal, gelisah, lalu menangis tersedu sedan.

Hal serupa juga dialami oleh Alya, tokoh pada cerpen lain berjudul Selfie yang juga ditulis oleh Fery Lorena Yanni. Bahkan lebih parah lagi, bocah yang punya kebiasaan swafoto berlebihan itu hampir saja terseret arus sungai di sebuah lokasi wisata yang ia kunjungi bersama rombongan kelas IV, V, dan VI SD. Saking asyiknya menelusuri spot menarik untuk berswafoto, ia sampai tak sadar telah menuju area yang berbahaya. Akibatnya, ia tak memerhatikan pijakan kakinya ketika berswafoto sehingga ia pun terpeleset dan jatuh ke sungai. Tentu saja semua pengunjung Kebun Raya kemudian dihebohkan dengan aksiden tersebut. Beruntung saja dua orang guru sigap ke tempat kejadian lalu menyelamatkan Alya.

Dampak pemakaian gadget berlebihan pada anak menjadi fokus perhatian Fery Lorena Yanni terhadap dua cerpennya dalam buku ini. Tema ini saya kira sangat aktual untuk diketengahkan saat ini di mana fenomena ketergantungan anak terhadap gadget sedang begitu maraknya. Dengan bahasa sederhana dan alur yang mengalir, Fery mampu menyampaikan pesannya dalam dua cerita tersebut dengan baik. Terlebih setiap cerita disertai ilustrasi menarik—meskipun berwarna hitam—yang dapat mengambil hati pembaca di kalangan anak. Seperti beberapa contoh di bawah ini misalnya.

Ilustrasi cerpen gara-gara game online.

Ilustrasi cerpen berjudul Selfie

Hanya saja Fery tidak mendeskripsikan latar tempat kejadian di dalam ceritanya. Seperti dalam cerita Gara-Gara Game Online misalnya, diceritakan bahwa begitu tiba di lokasi wisata Cika terus-terusan menunduk menekuri game. Dan dalam jangka waktu beberapa saat ia tidak memperhatikan ke mana arah rombongan berjalan. Ketika ia tersesat dan mencari-cari rombongan, di sana tidak dideskripsikan atau diilustasikan secara rinci tempat apa saja yang ia lalui, misalnya semacam jalan setapak yang di kiri-kananya disesaki pepohonan. Atau misalnya jalan menuju air terjun dengan rerimbunan semak-belukar di sampingnya, kebun binatang, sungai, kolam renang, atau lokasi wisata lainnya. Hal ini menyebabkan absennya plot dalam sebuah cerita yang dapat mengurangi keseruan cerita. 

Andai saja Fery melakukan hal itu (menambahkan deskripsi atau ilustrasi latar tempat) seperti gambar di bawah ini misalnya.

Sumber: https://www.yukepo.com/hiburan/tips/tersesat-di-hutan-dan-bekal-habis-cari-saja-10-tumbuhan-ini-bisa-dimakan/

 Apalagi dibumbui diksi-diksi menegangkan, tentu akan lebih mengaduk perasaan pembaca. Dengan demikian, hal itu akan menambah daya tarik dan keseruan cerita. Akan tetapi, hal ini tentu tidak mengurangi ruh (tema) keseluruhan cerita. 11 cerita anak dengan beragam tema yang terdapat dalam buku hasil kompetisi menulis cerpen lintang 2019 ini saya rasa layak untuk dijadikan bahan pengembangan pendidikan nilai (karakter). Sebab cerita biasanya selalu lebih melekat di ingatan anak ketimbang seruan, instruksi, dan perintah. Lebih-lebih jika cerita itu mampu menyentuh emosional pembaca.

Saya teringat ungkapan Pak Munib Chatib—seorang pegiat pendidikan dan penulis buku-buku tema pendidikan—pada waktu mengikuti seminar beliau, bahwa media pendidikan karakter itu harus mampu menyentuh perasaan atau hati siswa. Saya kira buku yang diterbitkan Indiva ini mempunyai magnet itu.

Lombok Tengah, 23 Februari 2021



[1]https://republika.co.id/berita/qkg7el463/jumlah-emgamers-onlineem-indonesia-terbanyak-di-asia-tenggara

[2] Ibid

[3] Rubrik Saujana Jawa Pos edisi 10 Maret 2019

1 komentar:

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...