Jumat, 26 Januari 2018

Resensi Buku

Dimuat di Harian Duta edisi Sabtu, 27 Januari 2018

Mencegah Korupsi Melalui Karya Sastra
Oleh: Marzuki Wardi

Judul Buku         : Lelucon Para Koruptor
Penulis                : Agus Noor
Penerbit              : Diva Press
Cetakan              : Pertama, Desember 2017
Tebal                  : 272 Halaman
ISBN                  : 978-602-391-472-2
Ukuran               : 14 x 20 cm
Ketika orang-orang di dunia maya sibuk menghujat, merundung, mencaci maki para pelaku korupsi (koruptor) kita belum lama ini, Agus Noor malah sebaliknya. Ia sibuk menghimpun dan mengemas kata-katanya untuk (seolah) membela mereka melalui beberapa cerita pendeknya. Sayangnya, pembelaan tersebut bukanlah pembelaan murni. Anda mungkin pernah mendengar pepatah yang mengatakan “menjunjung seseorang dengan bambu muda”, bukan? Itulah kiranya yang dilakukan Agus Noor dalam buah pikiran terbarunya yang berjudul “Lelucon Para Koruptor” ini. Apalah artinya dijunjung jika alat yang dipakai itu justru mencelakai kita.
Sedikit berbeda dengan Edy Mulyono. Dalam pengantarnya, ia menyebut dagelan, gojekan, lelucon, yang diselipkan dalam setiap cerpen di buku ini adalah upaya mimikri dari seorang Agus Noor. Yakni upaya penyesuaian diri dengan lingkungan atau keadaan untuk melindungi diri dari bahaya.
Entah apapun istilahnya. Yang pasti Agus Noor telah mampu menghadirkan bacaan menarik yang dapat mengubah cerita menjadi ceria. Sehingga dua belas cerpen dalam buku ini tak terasa dapat terselesaikan dalam (barangkali) waktu sekali duduk.
Pada cerpen berjudul “Koruptor Kita Tercinta” (hal. 65), misalnya. Siapa kiranya yang tak akan terhibur bahkan tertawa geli dengan ungkapan seperti ini?
“Para koruptor itu tidak menyadari bahwa korupsi itu sebuah seni. Perlu imajinasi seperti seorang seniman menghasilkan karya yang memesona. Korupsi itu seni tingkat tinggi. Emm, seperti apa itu…eee…istilah dalam seni?” kata seorang koruptor yang diwawancarai seorang wartawan (tokoh aku). Lalu, si wartawan menjawab dengan datar, “Seni adiluhung.” Dan si koruptor menukas kembali, “Ya, seni adiluhung. Korupsi itu perlu kehalusan budi. Dengan halus mengambil sesuatu tanpa seorang pun tahu. Mencuri, tapi yang dicuri tak pernah merasa kalau dirinya dicuri. Jadi, sekali lagi, korupsi itu seni…”
Lebih kocak dan ironis lagi pada cerpen berjudul “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” (hal. 140). Konon, seorang warga miskin di suatu kampung sangat bahagia ketika mengetahui dirinya resmi menjadi orang miskin sejak ia memiliki Kartu Tanda Miskin. Suatu hari ia bercerita tentang temannya yang sukses menjadi orang miskin. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis, untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya di UNDIP.”
Lalu si tokoh “aku” yang diceritakan jadi terkagum-kagum, “Wah, hebat banget! Semua kuliah, ya?” tanyanya. Dan si miskin pun dengan polos menjawab, “Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
Bukan hanya tertawa, Anda mungkin akan merasa miris dan jengkel setelah membaca cerita-cerita di atas. Pada cerita pertama, misalnya. Bagaimana mungkin seseorang penjahat luar biasa (koruptor) bisa berkata dengan seenaknya bahwa koruptor itu seni? Sedangkan kita tahu bahwa seni itu merupakan hal yang indah dan estetik? Begitu juga pada cerita kedua. Kesuksesan si miskin “merintis karier menjadi orang miskin” tentu bukanlah ungkapan yang biasa kita dengar. Sehingga mengundang perasaan geli, getir, jengkel, kesal, miris, ironis, atas fenomena ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri ini. Sementara, di sisi lain, para koruptor dengan seenaknya, tanpa rasa bersalah, dan makin terang-terangan menguras kekayaan Negara.
Namun, Agus Noor, sebagai seorang sastrawan kawakan tentu bukan tidak memahami hal-hal tersebut. Di sinilah justru kepiawaiannya dalam melibatkan pembaca secara emosional ke dalam cerita-ceritanya. Maka, semakin pembaca merasa jengkel pada koruptor dalam cerita-cerita ini, semakin berhasil lah penulis mempengaruhi pembaca untuk menghindari tindakan-tindakan koruptif. Oleh karena itu, bagi pencegahan budaya anti-korupsi melalui karya sastra, buku ini layak direkomendasikan.
Lombok Tengah, 04 Januari 2018.
Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di sebuah SMP swasta di Lombok Tengah (SMP Islam Al-Ikhlashiyah), ia juga menulis cerpen, esai dan resensi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...