Sabtu, 27 Januari 2018

Cernak

Prestasi Nadia
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Media Solo Pos, Edisi Minggu 28 Januari 2018

Siang ini Nadia pulang sekolah dengan mimik cemberut. Seperti biasa, Mama selalu bertanya mengenai pelajaran-pelajaran sekolah setiap dia pulang. Tapi melihat wajah Nadia, pertanyaan Mama jadi berbeda.
“Kamu kenapa, nak? Kok tumben sekali nggak ngucapin salam?” sambut Mama dari pintu.
Nadia tak langsung menyahut. Ia menyalami Mama, lalu membuka sepatu dan menaruhnya di atas rak sepatu.
“Eitz, anak Mama kok begitu? Kenapa?” tanya Mama lagi.
“Nadia kesal Ma,” jawab Nadia singkat.
“Makanya ada apa sayang?”
“Nih hasil ulangan Nadia hari ini!”
Mama langsung mengambil selembar kertas yang diulurkan Nadia. Di sana ada angka 75 yang dilingkari. “Loh, ini kan nilai Nadia sudah lumayan bagus,” lanjut Mama.
“Iya Ma, tapi ada yang lebih tinggi dari itu.”
“Nah, itu artinya kamu harus belajar lebih giat lagi, nak.”
“Masalahnya yang dapat nilai tertinggi itu nyontek, Ma.”
“Jangan berpikir negatif gitu dong, sayang.”
“Nadia lihat sendiri kok, Ma.”
“Terus kenapa kamu nggak tegur dia?”
“Nadia takut diancam, Ma. Beni itu kan anak paling ditakuti di kelas Nadia.”
Mendengar alasan Nadia, Mama lantas tersenyum.
“Kenapa Mama malah tersenyum?” Nadia tambah kesal.
“Karena dengan sikap kamu seperti itu malah akan merugikan banyak pihak. Pertama, Beni itu sendiri, kamu, teman-temanmu yang lain, Bapak dan Ibu guru juga. Nah, jadi sebaiknya kamu ngomong secara baik-baik kepada Beni dan juga kepada Bapak atau Ibu guru. Siapa tahu dengan begitu Beni akan mengakui kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi.”
“Ah, nggak Ma. Biarin aja dah. Nggak mungkin Beni mau mengakui kesalahannya.”
“Kok pesimis gitu? Kamu kan belum coba, nak.”
“Tapi Ma…?”
“Sudaaah, jangan tapi-tapian lagi. Begini, kalau tindakan teman kamu itu terus-terusan kamu biarin, apa artinya sebuah prestasi? Yakin saja, semua masalah bisa diselesaikan jika dibicarakan dengan baik-baik.”
Nadia mendengus. Ia mendongakkan pandangan ke wajah Mama.
“Jadi, gimana? Ingat, anak pintar harus berani bela kebenaran dan pandai menyelesaikan masalah.” Mama memastikan.
Nadia akhirnya mengangguk. Dilihatnya lagi wajah Mama yang masih menyimpul senyum sambil mengusap-usap rambutnya. 
***
 Esok harinya, Nadia melakukan semua saran Mama. Ia berbicara dengan Beni secara baik-baik dan meminta dia mengakui perbuatannya kepada Bu Zaida, wali kelas IV. Namun, Beni sempat marah dan tidak mengakui perbuatannya sendiri. Nadia pun memancing Beni dengan menanyakan soal yang mirip seperti soal ulangan kemarin.
“Ayo saja, siapa takut? Enak aja nuduh-nuduh aku nyontek?” ucap Beni agak geram.
“Berapa FPB dari 24?” tanya Nadia.
“Loh, soalnya kan bukan yang itu kemarin?” Beni coba berkilah.
“Ya tapi masih dalam materi yang sama.”
“Ah nggak bisa gitu, dong?”
“Tuh kan kamu nggak tahu, bilang aja kamu beneran nyontek?”
Beni menggaruk kepalanya. Entah kenapa kenakalannya seolah tertelan keberanian Nadia. Ia pun akhirnya mengakui perbuatannya, dan setuju menghadap Bu Zaida. Di hadapan Bu Zaida dan kepala sekolah, Beni meminta maaf atas perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Bu Zaida kagum atas sikap Beni yang telah mengakui kesalahannya. Tentu juga kepada Nadia yang telah berani menyatakan kebenaran.
“Jadi anak-anakku, di sekolah, selain menghargai prestasi kita juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,” ucap Bu Zaida.
Sejak saat itu, Nadia dan  Beni berteman baik dan sering belajar bareng. Mereka berdua dijadikan teladan siswa yang baik di sekolah.

Lombok Tengah, 10 Januari 2018.
Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi.
Pesan moral dalam cerita ini adalah: menanamkan mental kejujuran pada anak. Dan bagaimana menghargai sebuah prestasi dan integritas dalam melaksanakan hal yang baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...