Selasa, 09 Januari 2018

Esai Bahasa

Campur Kode (Code Mixing) dalam Berbahasa 
Oleh: Wardie Pena
 
Dimuat di Rubrik Laras Bahasa Lampung Post Edisi 29 Desember 2017
Beberapa saat yang lalu, dalam sebuah acara kontes musik dangdut terbesar di tingkat Asia (Dangdut Academy), seorang komentator dari Indonesia, Soimah, mengkritik pedas penampilan salah seorang peserta yang juga berasal dari Indonesia. Sehingga sontak penonton di tempat itu tercengang, seakan tak menduga bahwa peserta yang  (mungkin) mereka idolakan akan dikritik habis-habisan oleh sang komentator. Termasuk, si kontestan sendiri yang tengah disaksikan ribuan bahkan mungkin jutaan mata masyarakat Indonesia, hanya bisa tertegun dan menunduk. Sementara, Soimah, sebagai seorang komentator, sampai meneteskan air mata meluapkan semua isi kepalanya.
Yang menarik perhatian saya untuk membahas tindakan penyanyi sekaligus artis senior tersebut adalah bukan komentarnya yang cukup frontal. Karena hal itu beliau lakukan sesuai dengan kapasitasnya dalam acara yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta nasional itu. Akan tetapi, satu kata yang berungkali disebut yaitu kata perform, baik dalam penggunaannya sebagai kata benda maupun kata kerja (pasif). Sebut saja, pada pernyataan beliau yang kurang lebih berbunyi, “Di perform yang lalu…” untuk menyebut “penampilan” atau “pertunjukan”. Kemudian, sebagai kata kerja, beliau menyatakan sebuah kalimat yang kurang lebih berbunyi, “…Sekarang di­-perform lagi…” sebagai ganti dari ungkapan “sekarang ditampilkan lagi”.
Kata perform yang diucapkan beliau di atas, tentu sama-sama kita ketahui bukan Bahasa Indonesia. Melainkan, murni kosakata dalam Bahasa Inggris yang berfungsi sebagai kata kerja. Kecuali jika kata tersebut dirubah dengan kata “performa”. Maksud saya, selain terkesan penggunaan kurang tepat, kenapa dalam acara-acara publik kita hampir selalu melakukan campur kode atau code mixing dalam berbahasa Indonesia?
Tidak hanya pada acara bergengsi tersebut, fenomena campur kode memang bukanlah sebuah hal yang baru dalam tindak tutur berbahasa Indonesia. Dalam film-film, terutama sinetron remaja, pun seringkali kita mendengar kata atau istilah-istilah asing diselipkan dalam beberapa adegan. Sebut saja kata atau ungkapan-ungkapan seperti: please, tell me, thanks, help me, sorry, shut up, come on, oh God, I think, dan lain sebagainya, hampir pasti Anda dengar, bukan?
Sejauh ini, tidak ada larangan memang dalam melakukan campur kode. Setiap orang bebas dan berhak berbicara dengan gayanya sendiri sesuka hati. Tapi, bagaimana jika itu terjadi di acara-acara umum yang disaksikan khalayak dan kemudian penuturnya adalah seorang figur publik? Bukan tidak mungkin para penggemarnya akan mengikuti gaya bertutur idolanya. Lain ceritanya bila yang berbicara adalah seorang awam atau orang yang tidak punya pengaruh secara langsung di lingkungan sehari-hari.
Maka, dalam kasus ini, jika saja Soimah punya penggemar seribu orang, kemudian setengah dari mereka mengikuti gaya bicaranya, besar kemungkinan kata “pertunjukan” dalam keseharian penggemar tersebut akan bergeser menjadi “perform”. Itu baru terjadi pada satu orang dan satu kosakata, bagaimana jika dua, tiga, empat, bahkan ratusan orang selebritis dengan beragam kosakata? Cikal bakal pergeseran bahasa (language shift) sangatlah mungkin berawal dari tindakan sederhana yang kita anggap biasa itu.
Saya tentu tidak bermaksud menjustifikasi atau menghakimi tindakan berbahasa tersebut. Dan ada kalanya memang suatu kosakata atau frasa bahasa asing sulit untuk disesuaikan dengan (arti) kosakata dalam Bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata “in-service” dalam Bahasa Inggris, yang digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan yang berlangsung pada saat atau jam (masa) kerja. “Pertichor” yang belum memiliki istilah Bahasa Indonesia, yang berarti bau khas yang bersumber dari tanah setelah diguyur hujan, dan kosakata atau frasa lainnya yang secara leksikal sulit untuk disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia. Maka, hal ini mensyaratkan penuturnya untuk melakukan campur kode dengan menyisipkan kosakata asli dimaksud ke dalam kalimat atau ungkapan Bahasa Indonesia.
Disamping karena kesulitan menemukan kosakata yang sesuai di atas, faktor yang bisa saja menyebabkan terjadinya campur kode adalah ketika lawan bicara kita seorang penutur asing. Penutur bahasa Inggris yang belum terlalu fasih berbahasa Indonesia, misalnya. Maka, dalam suatu perbincangan, kita bisa saja mengalih bahasa (dalam tataran leksikal ataupun sintaksis) ke dalam Bahasa Inggris dengan tujuan untuk menjelaskan maksud ungkapan yang tidak dipahami oleh lawan bicara tersebut.   
Artinya, dalam konteks tindak tutur kita sehari-hari, campur kode bukanlah sebuah kemurtadan berbahasa. Namun, terlepas dari persoalan boleh atau tidaknya, selama kita bisa menggunakan Bahasa Indonesia sutuhnya dengan baik dan benar, kenapa harus melakukan campur kode? Apalagi pada acara-acara yang disaksikan khalayak dengan penutur seorang figur publik yang memiliki pengaruh besar secara langsung ke khalayak umum.

Wardie Pena, selain berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris pada jenjang SMP di Lombok Tengah, NTB, ia juga aktif menulis Cerpen, Esai dan Resensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...