Sabtu, 19 November 2022

Esai Bahasa

Bagaimana Memaknai Frasa “Menghamba pada Anak”?


Sumber gambar: https://sekolahmenyenangkan.or.id/pendidikan-yang-berhamba-pada-anak/

Seorang teman CGP saya dari kelas lain tidak sepakat dengan kata menghamba pada anak (murid) yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara (selanjutnya disebut KHD). Sebenarnya, ia mendengar kata itu dari instruktur yang mengutip pernyataan KHD saat menyampaikan materi. Menurutnya, kata menghamba itu agak kurang pas untuk kondisi pendidikan saat ini. Sebab, anak-anak sekarang banyak yang kurang hormat pada guru. Perilaku siswa zaman ini jauh berbeda dari zaman dulu. Sudah begitu, eksistensi HAM seakan menjadi perisai ketika mereka diberi hukuman (secara fisik) oleh guru. Begitu kira-kira kritiknya.

Hal itu ia sampaikan pada acara sinkronus elaborasi pemahaman modul.1.1 beberapa saat lalu. Padahal, waktu itu instruktur sudah meminta salah seorang peserta untuk melakukan pernyataan penutup. Artinya, acara sinkronus hendak selesai. Tetapi, pernyataan itu lantas menjadi pemantik diskusi kembali. Seakan pertandingan sepakbola pada menit-menit injury time, diskusi kami kembali jual beli serangan. “Banyak siswa yang disentuh sedikit saja, mereka langsung melaporkan guru tersebut. Karena itu saya lebih suka dengan kurikulum zaman dulu yang memberikan hak dan wewenang guru sepenuhnya untuk mendidik anak dengan caranya sendiri,” sambungnya lebih lengkap.

Sebagai kawan satu profesi, saya memahami apa yang disuarakan teman itu. Kasus lapor-malapor guru ke aparat penegak hukum memang sudah jamak kita saksikan akhir-akhir ini. Bahkan hal itu acap kali memancing amarah kita. Tetapi, apakah ini berkaitan secara langsung dengan kurikulum? Saya kira tidak demikian. Persoalan ini lebih bersifat pedagogis. Sebab, cakupan kurikulum lebih luas dari sekadar itu: ada seperangkat rencana, visi, standar kompetensi, pendidik, media pembelajaran, alokasi waktu, daya dukung, dan berbagai komponen lainnya. Sepertinya kurang pas bila dikaitkan dengan dinamika perubahan kurikulum. Lagi pula, HAM bukan termasuk sistem pendidikan, melainkan supra-sistem.

Lantas, bagaimana kita maknai kata menghamba pada frasa menghamba pada anak dalam konteks ini? Apakah ini tidak terbalik? Kenapa guru yang menghamba? Bukankah seharusnya murid yang menghamba pada guru? Barangkali karena pemakaiannya cenderung dilekatkan pada istilah keagamaan, teman itu merasa kata menghamba tidak cocok dalam konteks ini. Misalnya, hamba Allah, menghamba pada Allah, menghambakan diri pada Tuhan, dan seterusnya. Atau, setidaknya dulu ia juga dipakai pada zaman perbudakan, dan di lingkungan kerajaan: oleh rakyat atau pelayan kepada raja, keluarga, dan pejabat kerajaan (tuturan mendaki). Tetapi, seperti yang kita tahu, saat ini zaman perbudakan dan sistem kerajaan sudah tidak ada sehingga pemakaiannya pun terkesan tidak berterima lagi.  

Meskipun demikian, ada baiknya kita tengok sedikit ke belakang. Sebab, bagaimanapun juga, mempelajari makna bahasa berarti mempelajari latar (waktu) kapan suatu bahasa, khususnya kata, digunakan dalam komunikasi. KHD, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, memang memakai diksi menghamba/berhamba. Dan, ini termasuk juga pada beberapa buku biografi beliau. Bila kita amati secara sinkronis, boleh jadi itulah lema yang hidup pada masa itu untuk merealisasikan totalitas kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam mendidik anak.

Namun, saya tidak berani mengambil kesimpulan buru-buru terhadap hal ini. Saya tidak punya cukup banyak ilmu dalam sub-disiplin ilmu linguistik tersebut (lingusitik sinkronik). Hanya, ini pandangan spekulatif setelah saya mencoba membandingkannya dengan kasus (pada tataran lema) lain. Kata cacat, misalnya, pada era 90-an atau sebelumnya masih terkesan lumrah untuk menggambarkan kondisi fisik seseorang. Kata itu cukup intens dipakai baik dalam ragam tulis maupun lisan. Beberapa tokoh bangsa yang pernah memakai kata ini di antaranya Prof. Daoed Joesoef (dalam sebuah tulisannya),[1] Presiden Soeharto (dalam pidatonya),[2] dan sejumlah tokoh lainnya.

Seiring waktu kata ini dirasa tidak layak dipakai (peyoratif) sehingga diganti dengan disabilitas atau difabel (different ability). Bahkan, itu diperkuat dengan rekayasa korpus bahasa melalui Undang-Undang.[3] Mungkin saja saat ini kita mendengar seseorang terpelajar memakai kata tersebut, tetapi itu cenderung untuk menggambarkan kondisi yang bertentangan dengan nilai tertentu, bukan fisik seseorang. Misalnya, cacat hukum, cacat moral, cacat naskah, dan sebagainya.

Kata menghamba memang bukan bermakna peyoratif, dan tidak ada upaya rekayasa korpus untuk mengganti pemakaiannya di lingkup formal. Dan, memang ada beberapa orang atau tokoh (pendidikan) memakai kata itu saat ini, termasuk pada Mars Guru Penggerak, misalnya. Tetapi, itu cenderung mengacu atau merujuk ungkapan atau pemikiran KHD di atas. Karenanya, kata ini saya kira lebih kepada ungkapan khas tokoh pendidikan kita untuk menunjukkan kesakralan hubungan guru dengan murid dalam pendidikan.

Hal ini tampak jelas bila kita membaca pemikiran atau paradigma pendidikan KHD, khususnya yang berkaitan dengan praktik mendidik atau interaksi guru dengan anak. Salah satunya ialah konsep “Tiga Mong”. Mong yang pertama ialah momong yaitu merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang. Mong yang kedua ialah among yakni memberi contoh tentang baik dan buruk tanpa mengambil hak anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara merdeka sesuai dasarnya. Terakhir, ngemong berarti proses mengamati, menjaga dan merawat agar anak bisa mengembangkan dirinya, bertanggung jawab, dan disiplin berdasar nilai-nilai yang diperolehnya sesuai kodratnya.[4]

Jadi, menghamba di sini tidaklah bisa disamakan dengan konteks hubungan pembantu dengan majikan. Seorang pembantu melayani segala keperluan majikan sebagai bentuk tugasnya, sedangkan guru tidak demikian adanya. Ia melayani segala hal yang diperlukan murid untuk mendukung tumbuh kembangnya sebagai bentuk tanggung jawab moral keilmuan. Seorang pembantu harus tunduk pada keinginan majikan, sementara guru tidak memiliki kewajiban tunduk pada apa yang dikehendaki murid. Ia hanya tunduk atau terikat pada nilai pedagogis (pedagogical value) yang berlaku dalam pendidikan.

Intinya kita tidak bisa mengartikan frasa menghamba pada anak secara literal. Jika dengan memakai kata menghamba kita merasa khawatir mengarah pada upaya destruktif pada istilah keagamaan, maka kita bisa saja mengucap mengabdi pada anak sebagai alternatif. Apakah masih terkesan sama? Mungkin ya, tetapi setidaknya itu lebih terdengar eufemistis. Lagi pula, meminjam kalimat Prof. Fatimah Djajasudarma, hanya orang awam yang melihat makna kata dari kamus atau secara leksikal.

Lombok Tengah, 2 November 2022



[1] Daoed Joesoef, Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018), hal. 237.

[2] Dikutip dari buku berbahasa indonesia dengan logis dan gembira karya Iqbal Aji Daryono.

[3]  Holy Adib, Perca-Perca Bahasa, (Yogyakarta: Diva Press, 2020), hal. 109

[4] Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara; Biografi singkat 1889-1959, (Yogyakarta: Penerbit garasi, 2014), hal. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...