Minggu, 14 Januari 2018

Cernak

Pesawat Baru Karim
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Media Lampung Post edisi  Minggu 14  Januari 2018

Setelah cukup lama menanti, Karim akhirnya punya pesawat mainan atau aero modeling yang diidam-idamkannya sejak dulu. Di rumahnya memang banyak pesawat mainan jenis itu. Bahkan, bangkai-bangkainya sudah menggunung hampir di setiap sudut ruangan rumah. Namun, tidak ada satu pun diantara mereka yang dirancang untuk bocah seusianya. Semuanya hanya untuk orang dewasa.
“Kamu tahu, Rim, pesawatmu ini namanya model TNI AU Indonesia,” kata Bapak.
Karim memanggutkan kepala sambil tersenyum riang. Ia sudah tidak sabaran ingin segera menerbangkan pesawat yang khusus dirancang untuknya itu. Secara tidak sadar, tangannya pun meraba-raba bodi pesawat yang terbuat dari bahan triplek itu. Penutup bagian depan yang benar-benar menyerupai pesawat tempur, kedua sayapnya yang terlihat begitu seimbang, tak luput dari elusan tangan Karim. Pesawat itu memang mirip dengan pesawat betulan.
“Bagaimana Karim bisa nerbangin pesawat ini, Pak?” tanyanya kemudian.
“Pesawat ini namanya jenis radio kontrol, Rim. Jadi, untuk menerbangkannya harus pakai kontroller atau remot kontrol. Dan itu pun ndak sembarangan,” terang Bapak sambil tangannya meraih bagian mesin pesawat yang Karim sendiri tak mengerti. Entah apa yang akan dilakukan Bapak, ia tak mengerti. Setahunya, Bapak memang jago merancang pesawat mainan. Dan itu beliau tekuni sejak pensiun mengajar di sebuah SD negeri tahun lalu.
Karim hanya bisa membulatkan mulutnya mendengar penjelasan Bapak. Maklum saja, di pikirannya hanya ada bagaimana supaya benda bersayap itu bisa dimainkan. Ia tentu sering melihat Bapak menguji kemampuan terbang pesawat yang baru selesai dibuatnya. Namun, selama ini perhatiannya tak pernah betul-betul tertuju pada cara mengoperasikannya.
 “Nah, sudah kelar, Rim. Sekarang, sebelum kamu nerbangin pesawat ini di lapangan, kamu harus latihan dulu melalui simulator aero modelling di komputer Bapak.”
Karim mengiyakan perkataan Bapak dengan membuntuti langkahnya ke arah meja komputer. Ia meraih remot yang terlihat seperti sebuah radio dan memiliki beberapa stick pendek sebagai pengontrol. Dengan perlahan Karim mulai menggerakkan stick itu. Tak menunggu lama, tubuhnya secara tak sadar ikut miring ke kiri-kanan mengikuti gerakan pesawat di dalam komputer tersebut. Karim sudah lumayan piawai.
“Tapi, bagaimanapun juga, kamu harus tetap sering-sering latihan. Karena menerbangkan yang asli dengan di simulator agak berbeda.” Bapak mengingatkan.
***
Esok harinya, pas hari libur, Karim membawa pesawatnya ke lapangan desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Tanpa sepengetahuan Bapak, ia ingin memamerkan pesawat barunya kepada teman-teman seusianya yang sedang bermain di sana. Karim tahu, bahwa tak ada satu pun diantara mereka yang punya mainan pesawat mewah sepertinya. Jadi, mereka pasti terkagum-kagum melihat pesawatku, kata Karim dalam hati.
“Waaah, pesawat Karim bagus sekali,” teriak Saeful melihat kedatangan Karim. Teman-teman lainnya juga terperanjat, seakan tak percaya dengan penglihatannya.
“Ini pesawat baruku. Kalian tahu, kata Bapakku biaya buatnya jutaan rupiah,” jelas Karim sambil menjaga jarak dengan teman-temannya. Ia takut kalau-kalau tengan mereka usil meraih bodi pesawatnya yang masih mengkilat.
“Hebaaat…tapi pesawat ini bisa terbang kan, Rim?” sergah Sukini, satu-satunya anak perempuan yang bermain di tempat itu.
Mendengar perkataan teman satu kelasnya, bocah kelas V SD itu merasa diremehkan. Karim kesal sehingga ia segera meletakkan roda pesawatnya di permukaan tanah, lalu menghidupkan remotnya. Pesawat itu pun segera berdesing dan mendesau siap tinggal landas layaknya waktu Karim latihan di komputer. Kemudian, ia melaju dengan kecepatan cukup kencang seperti mobil yang memiliki CC tinggi. Namun, setelah sampai sekian meter, pesawat itu tak bisa mengudara. Ia hanya bisa menguing-nguing di tempat.
Semua teman Karim bersorak-sorai menertawakan keadaan itu. Sebagian mulai meledek dan mematahkan kesombongan Karim, “Masak sih pesawat baru nggak bisa terbang?” sambar Bimo, adik kelas Karim di sekolah yang masih berusia delapan tahun. 
Karim semakin geram. Ia mengambil pesawatnya yang sudah bergerak puluhan meter dari tempat dia dan teman-teman berdiri. Ia lantas memulai ulang tinggal landas. Setelah berdesing-desing sekian detik di tempat, pesawat itu pun meluncur dengan posisi menjulang, bagian kepala di atas. Akan tetapi, itu tak bertahan lama setelah akhirnya benda bersayap itu berputar-putar di udara, lalu menjunamkan diri ke permukaan tanah, serupa burung bangau mematuk ikan. Akibatnya, bagian kepala pesawat itu remuk. Kedua sayap dan elevatornya patah. Hanya mesinnya yang masih bisa diselamatkan.
Mulut Karim menganga. Mengendalikan pesawat di simulator ternyata tak sama dengan yang sungguhan, gumamnya. Wajahnya memucat. Ia lalu memungut pesawatnya yang tergolek tanpa daya di atas permukaan tanah, lalu pulang dengan langkah gontai.
Wardie Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Beberapa diantaranya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Buku tunggalnya, Negeri Antah Berantah (Penerbit MM, 2016).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...