Kamis, 17 September 2020

Opini Pendidikan

 

Menerawang Masa Depan (Budaya) Bangsa

Melalui Kebijakan Merdeka Belajar

Oleh: Marzuki Wardi

Dimuat di SKH Lombok Post pada Senin 07 September 2020

Ada kabar baik bagi dunia perbukuan dan budaya bangsa kita. Beberapa saat yang lalu, Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji Laura Prinsloo, menuturkan bahwa konten Indoenesia akhir-akhir ini semakin diminati di luar negeri. Sementara ini, konten berupa buku fiksi dan nonfiksi masih menjadi dominasi. Karenanya, ia menargetkan lebih banyak penerbit yang terlibat dalam Content Con/Week yang akan digelar pada November 2020 mendatang bersama Frankfurt Book Fairs di Jakarta. [1]

Pada bulan Maret 2019 lalu, Indonesia juga menjadi negara tujuan pemasaran (market focus country) pada perhelatan London Books Fair 2019 di London, Inggris. Terdapat 450 judul buku, 20 penerbit, dan 12 penulis yang hadir pada ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia itu. Kabar baiknya lagi, promosi warisan budaya bangsa berupa mode, kuliner, musik, film, dan minuman tradisional mendapat sambutan hangat publik Inggris pada saat itu. [2]

Saya merasa tertarik menguliti dan mengurai topik berita ini, karena di sisi lain isu rendahnya minat baca masyarakat (khususnya siswa) kita akhir-akhir ini semakin santer dipergunjingkan. Lalu, apakah dengan meningkatnya minat terhadap konten-konten tersebut bisa menghapus stigma “malas baca” kita, bahkan mendominasi pasar internasional? Barangkali terdengar sedikit ilusif, tapi setidaknya kita bisa jadikan isu ini sebagai titik tolak dalam memetakan dan merancang masa depan (budaya) bangsa kita.

Lembaga-lembaga pendidikan sebagai penderma ilmu pengetahuan sebenarnya memiliki kedudukan penting dalam hal ini. Terutama dalam mencetak generasi yang responsif terhadap peradaban. Kebijakan merdeka belajar yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim cukup relevan dalam upaya mendukung program tersebut secara berkesinambungan.

Merdeka belajar mengusung semangat pembelajaran yang berorientasi pada proses, bukan hanya pada hasil berupa angka-angka di atas kertas (sistem rangking). Dengan memosisikan sebagai subjek, siswa diberikan ruang untuk menggali potensi dan belajar mengekspresikan diri dan gagasan mereka. Sehingga kemampuan bernalar mereka akan terasah sejak dini. Ada beberapa alasan logis lainnya kenapa saya melihat kebijakan “merdeka belajar” ini cukup potensial dalam mendukung program di atas.

Potensi Melahirkan Penulis Masa Depan

Ditinjau secara komprehensif, kebijakan ini memiliki implikasi yang cukup luas bagi sistem pendidikan kita. Tapi, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada soal literasi dan budaya saja. Substansi salah satu komponen Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKM) yang menekankan pada kemampuan literasi (bernalar dengan menggunakan bahasa), secara tidak langsung akan mengarah pada upaya menumbuhkan minat baca siswa sejak dini.

Perlu diingat, minat baca masyarakat kita masih dipandang sebagai masalah yang cukup besar saat ini. Bahkan tidak hanya masalah minat, tapi juga kemampuan memahami isi bacaan. Indra Charismiadji, seorang pengamat pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa banyak orang Indonesia saat ini sudah mulai suka membaca, tapi masih kurang dalam memahami apa yang mereka baca. Mengutip Journal of British, ia menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu gejala komplasensi. Artinya kita menganggap tidak ada masalah terhadap apa yang dikerjakan, tapi sebenarnya ada masalah yang dapat menghalangi tujuan. Ia kemudian merujuk hasil tes Program for International Student Assessment (PISA) untuk memperkuat statmennya.[3]

Namun bagaimanapun juga, hal ini bukan berarti upaya menumbuhkan minat baca dapat dikesampingkan. Bahkan, menurut saya, merangsang keinginan untuk membaca lebih penting dilakukan di usia dini alih-alih menekankan kemampuan memahami isi bacaan. Sebab, ketika minat anak telah tumbuh, maka ia akan merasa butuh dan berupaya untuk memenuhi hasrat ingin tahunya dengan membaca. Jika membaca sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan, daya (kemampuan) baca perlahan-lahan akan terasah. Dan ini adalah bekal awal yang baik bagi mereka.

Tugas guru kemudian ialah bagaimana menempa siswa agar mampu mengekspresikan diri, ide, dan pengetahuan mereka ke dalam bentuk tulisan, sesuai dengan jenjang dan tingkat intelegensinya. Sehingga seiring perkembangan dan kematangan intelektual, mereka akan tumbuh menjadi pribadi literat yang pandai menuangkan gagasannya. Dengan demikian, para penulis masa depan akan terlahir dari rahim pendidikan, khususnya dari kebijakan merdeka belajar.

Merawat Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa

Selain berpotensi melahirkan penulis masa depan, substansi “survei karakter” dalam AKM juga berimplikasi pada upaya merawat pendidikan karakter anak secara berkesinambungan (dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas). Pendidikan karakter memang dilaksanakan secara tersirat atau terintergrasi dalam setiap mata pelajaran. Dan, karena berupa perilaku, maka ia tidak dapat diukur secara kuantitatif. Namun, “survei karakter” bisa menjadi reminder bagi pendidik untuk merefleksi sejauh mana upaya menumbuh kembangkan karakter anak telah dilakukan di setiap jenjang pendidikan.

Ketika nilai-nilai karakter, seperti karakter gotong royong, toleransi, musyawarah, kebhinekaan, dan karakter lainnya yang diajarkan di sekolah, sudah terpatri dalam diri anak, maka ia akan menjadikannya sebagai pola hidup. Dan, ketika setiap individu menerapkan karakter tersebut dalam kehidupan sosial-masyarakat, maka ia akan menjelma menjadi budaya. Hal ini mengacu pada pengertian budaya menurut Koentjoroningrat, bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar.[4]

 

Dalam kaitannya dengan produk-produk budaya yang dikontestasikan di panggung global di atas, pemerintah hendaknya mengakomodasinya dalam kurikulum sekolah. Tidak hanya dipelajari secara teoritis—dengan jam pelajaran yang minim—, tapi lebih kepada pendekatan praktis. Dinas Pendidikan di daerah, sebagai perpanjangan tangan Kemdikbud, bisa diberdayakan untuk menyelenggarakan beragam agenda kebudayaan, dengan melibatkan siswa dan guru. Dengan demikian, generasi bangsa tidak akan kehilangan identitas budayanya sendiri. Mengingat kencangnya gelombang difusi budaya di era disrupsi ini.

Jadi, upaya menduniakan produk intelektual dan budaya bangsa perlu didukung oleh pemerintah melalui sektor pendidikan. Dan, kebijakan “merdeka belajar” yang baru-baru ini dicanangkan Kemdikbud bisa menjadi kendaraan baru yang dapat mempercepat lajunya perjalanan menuju terminal masa depan bangsa. Namun demikian, tentu saja kunci keberhasilan kebijakan tidak terletak pada keistimewaan konsepnya, melainkan sejauh mana kebijakan tersebut dapat diterapkan. Apalah artinya kendaraan mewah jika hanya diparkir di dalam garasi. Bukankah begitu?

 

Lombok Tengah, ditulis pada 22 Agustus 2020

 

 



[2] Surat Kabar Harian Kompas edisi Senin, 11 Maret 2019.

[3] Hal tersebut disampaiakan pada forum Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 28 Juli 2020 dengan tema “NU, Muhammadiyah, dan PGRI Mundur”.

[4] Koentjoronongrat dalam buku Ilmu Budaya Dasar karya Ramdani Wahyu, hal. 96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...