Rabu, 23 September 2020

Cerpen

 

Hujan yang Mengguyur Hatimu

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Medan Pos 20 September 2020


Kamu membuang mata ke luar jendela. Hujan masih saja tampak berguyur deras. Sudah sekian menit kamu duduk termenung di kursi kerja sore ini. Namun tak banyak hal yang dapat kamu lakukan. Ujung polpen yang kamu gigit tak terasa nyaris melesung. Apa yang kamu harapkan sekaligus yang dikhawatirkan selama ini rupanya benar-benar terjadi.

Bukan. Bukan kamu takut pulang terlambat atau pun tak bisa pulang karena hujan. Karena semua orang tahu bahwa kamu mengendarai mobil ke kampus, sehingga kamu bisa pulang kapan pun tanpa takut terkena basah. Akan tetapi, hujan, selalu saja mampu mengundang rindumu pada Beni, lelaki desa yang kemudian kamu panggil pawang hujan itu. Rintik-rintiknya bagai kepingan kenangan yang telah kamu lalui bersama lelaki itu beberapa tahun silam.

Kamu menghela napas dalam dan sesekali melirik ke meja kerja yang penuh dengan tumpukan map milik mahasiswa. Sebenarnya masih banyak pekerjaan yang mesti kamu selesaikan. Tapi hujan telah merajai pikiran dan tubuhmu untuk melepas segala macam kesibukan di depan mata.

“Ada beberapa mahasiswa yang mau konsultasi, Bu.”

Martini, seorang asistenmu, setengah membuka pintu ruangan. Kedatangannya lantas membuyarkan lamunanmu. “Kamu ambil saja dan taruh map mereka di atas meja kerjaku. Bilang, besok sore ambil skripsi mereka,” sahutmu mengarahkan telunjuk ke luar pintu.

Dengan raut kecut Martini kemudian keluar dan kembali meletakkan beberapa map warna biru ke onggokan map sebelumnya.

Kamu kemudian memutar kursi ke arah semula dan sekarang lebih menempeli jendela ruang kerjamu yang terletak di lantai tiga. Kembali kamu menghela napas dan memilin ujung rambutmu yang agak ikal. Kamu baru menyadari bahwa apa yang dilakukan barusan adalah bukan etika seorang dosen. Suasana hati memang terkadang bisa menuntun seseorang berbuat diluar kebiasaan. Apalagi kamu masih terbilang cukup muda. Jadi, apa yang keluar dari mulutmu mudah terbawa emosi.

-***-

Senja itu kamu tengah duduk di sudut taman desa, menekuri hujan yang tak turun lagi. Dan, kamu merasa terganggu ketika lelaki bernama Beni yang juga teman sekolahmu saat itu tiba-tiba menghampiri.

“Hayooo, kamu mikirin apa?” tegurnya.

Kamu pun lebih memilih diam.

“Hey?” sahut lelaki itu lagi mengipas-ngipas telapak tangan yang kemudian diikuti gerakan matamu naik turun, “kamu lamunin aku, ya?” lanjutnya menggoda.

“Pede banget. Mau siapa-siapa, bukan urusanmu!” jawabmu ketus. Lalu laki-laki itu dengan langkah ringan merenggang meninggalkanmu sehingga membuatmu merasa kesal. Mulai saat itu sebenarnya kamu tahu bahwa dirimu sedang butuh perhatian. Hanya saja kamu terlalu gengsi untuk mengakui itu. Buktinya kamu memanggilnya.

Lelaki itu membalikkan badan setelah beberapa meter menyeret kaki, “Lah, tadi aku tanya kamu jawabnya ketus. Ya sudah…”

“Hey…tunggu. Iya maaf, aku lagi sedih,” jawabmu singkat. Beni tersenyum puas atas kekalahanmu. Dan kamu sendiri semakin kesal.

“Boleh kutahu apa yang membuatmu bersedih hati nona cantik?” rayunya, sebuah rayuan kolot dan norak di telingamu.

“Kenapa akhir-akhir ini hujan tak turun lagi?”

Pemuda itu tersenyum simpul mendengar alasan kesedihanmu. Terdengar sepele memang. Tapi bagi orang yang menggilai sesuatu dan ketika yang digilainya itu tak di depan mata, pada saat itulah kerinduan bermula. Dan kerinduan sendiri selalu menyiratkan kesedihan.

“Kenapa kau tersenyum?” balikmu dengan perasaan heran dan masih kesal.

“Kamu suka hujan?”

Kalian seperti saling tawar menawar pertanyaan.

“Ya,” jawabmu ketus lantaran pertanyaanmu tak dijawab langsung.

“Sekarang memang bukan musim hujan, tapi bukan berarti hujan tak bisa turun. Maukah kamu melihat hujan turun?”

Mulutmu mulai mengembang senyum mendengar pertanyaan Beni. Tapi kamu masih terdiam. Di satu sisi seolah tak percaya dengan apa yang didengar telingamu.

“Kenapa kamu tak mengundangnya saja?” balas Beni.

“Mengundang hujan? Emang bisa?” Suaramu mulai terdengar antusias.

“Kenapa tidak?”

“Bagaimana caranya?”

“Maukah kamu mengikutiku?”

“Mau.” Senyummu semakin lebar.

“Tengadahkan kepalamu ke langit dan tangkuplah mulutmu dengan kedua tangan. Lalu, bukalah ketika mengeluarkan suara, agar suaramu sampai pada awan.”

“Apa yang akan kita lakukan?” kamu masih cerewet bertanya.

“Ikuti saja aku!”

Kamu pun akhirnya mengikuti apa saja yang dikatakan Beni.

“Sekarang kita lantunkan syair ini; wahai angin yang baik hati tolong jemputlah awan, wahai awan yang baik hati tolong jemputlah hujan, wahai hujan yang baik hati aku merindukanmu, datanglah kemari agar kekasihku tak bersedih lagi. Lalu setelah itu bersiullah sampai angin terasa menghelai rambutmu.”

Kamu mengikuti perintahnya dengan baik, tapi sayang kamu tak bisa bersiul. “Syair apa namanya yang tadi itu?” Kamu justru bertanya.

“Itu syair pengundang hujan. Ayo coba bersiul lagi, buruan!” serunya.

Lagi, kamu coba bersiul. Tapi berkali-kali kamu mencoba memonyongkan mulut, tetap saja tak menghasilkan bunyi siulan. Mulutmu yang mungil hanya bisa menghembuskan angin lembut.

“Aku tak bisa,” sambarmu menunjukkan mulut yang masih monyong.

Tawa Beni pun pecah meihat gelagatmu yang polos.

“Kenapa kau tertawa?” jengkel.

“Kamu lucu. Lucu sekali.”

Kamu kesal dan berpura-pura ngambek, “Kamu ngerjain aku, ya?”

“Tidak. Tepatnya menghibur kamu,” kata Beni.

“Dasar menyebalkan,” balasmu dengan raut marah yang dibuat-buat.

Kelakar pun meledak di antara kalian. Dan, kalian saling kejar-kejaran di antara pepohonan taman desa. Sore itu hujan tidak turun, tapi setidaknya kesedihanmu hilang. Dan kamu sendiri tak menyadari bahwa kehadiran Beni mampu mengganti hujan. Bahkan lebih dari itu, pemuda bermata cerlang itu dapat membuat mulutmu tertawa lebih lebar daripada tawamu saat hujan turun.

Sejak saat itu, lambat laun apa yang kamu rasakan kepada Beni berbuah perasaan suka. Kamu merasa tenang dan bahagia ketika melihatnya. Kamu merasa kehadiran laki-laki kampung itu mampu menghapus kesedihan atas absennya hujan. Rupanya tanpa kamu sadari, Beni telah mampu mengganti kehadiran hujan. Hingga akhirnya suatu hari kalian menjalin hubungan asmara. Kalian saling mencintai satu sama lain.

Akan tetapi perasaan itu tak berlangsung lama setelah papamu tak mengizinkan kalian walau sekedar untuk bertemu. Papamu tak suka pada Beni, si lelaki desa berparas rupawan yang membuatmu selalu ceria ketika hujan tak turun. “Kamu tak bisa mengharapkan apa-apa dari seorang anak petani, Risty. Ia tak punya masa depan,” ucap papamu suatu hari.

Kamu begitu sedih dengn keadaan itu. Akan tetapi kamu tak berani menentang sikap papamu yang intimidatif. Karena menurutnya, soal pasangan tak bisa ditolerir. Itu menyangkut masalah kehidupan. Dan karena pacaran merupakan jembatan yang suatu saat dapat mengantar pada pernikahan, papamu pun sangat khawatir jikalau kalian tetap nekat menjalin kasih.

Kamu pun dipindahkan sekolah ke ibu kota, yang pada saat itu kamu baru menginjak kelas XI SMA. Di sana kamu tinggal bersama nenek, keluarga dari pihak ibumu. Karena kamu lagi-lagi tak bisa membantah kemauan papa, maka kamu pun menelan keputusan itu mentah-mentah. Suka tak suka, mau tak mau, kemauan papa harus tetap kamu turuti.

***

Bibirmu tersenyum-senyum mengenang syair pengundang hujan yang selalu kamu rapalkan bersama lelaki kampung yang kemudian kamu panggil pawang hujan itu. Kini kamu menyadarai bahwa apa yang dirasakan saat ini adalah tak sekedar soal hujan, sebagaimana yang kamu alami ketika masih belia dulu. Dan, kamu memahami bahwa cinta tak ubahnya seperti air hujan. Di mana pun kamu berada, selama kakimu masih berpijak pada tanah, selalu ada kemungkinan hujan turun. Dan, ketika itu terjadi, selalu saja ia mampu menguap rindu di dinding hatimu.

Tanganmu meraih tas jinjing yang digeletakkan di atas meja kerja, lalu keluar dan turun ke lantai satu di mana pintu masuk utama berada di sana. Kamu mendongak. Tak lama kemudian, kamu memecah hujan dengan tubuhmu yang jenjang dan seksi sambil merapal syair pengundang hujan persis seperti yang kamu lakukan dulu bersama lelaki pawang hujan itu. Hujan sore ini tak sekedar mengguyur tubuhmu tapi juga hatimu, kamu akhirnya menyatu dengannya. Menyatu dengan cintamu.

Lombok Tengah, 04 September 2020.

Wardie Pena, menulis cerpen, esai, dan resensi buku. Beberapa karyanya sudah dimuat di media lokal dan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...