Senin, 05 Oktober 2020

Opini

 

Sampah dan Paradoks Desa Wisata

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://communication.binus.ac.id/2019/01/18/buang-sampah-sembarangan-ga-zaman-banget/



Beberapa saat yang lalu, dalam pembukaan acara desa wisata di Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah, wakil gubernur NTB Hj. Sitti Rohmi Djalilah, menghimbau agar para pegiat dan masyarakat di sekitar desa wisata untuk memerhatikan sampah. Beliau menegaskan bahwa salah satu kunci pengembangan desa wisata menjadi maju dan berkembang ialah kebersihannya. “Bicara indah, Pulau Lombok dan Sumbawa ini dikatakan surga dunia, namun untuk persoalan sampah dan pengelolaannya masih minim dam tata kelolanya tidak profesional,” tukasnya.

Pernyataan Bu Wagub di atas saya kira bukan tanpa landasan. Tentu beliau berbicara berdasarkan data dan fakta di lapangan. Dan, ungkapan beliau tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa desa wisata yang sedang marak digaungkan akhir-akhir ini masih menjadi paradoks. Artinya, kita siap dari segi fisik (objek wisata), tapi belum siap secara mental. Kita punya banyak destinasi wisata (lokal) yang indah, tapi regulasi yang mengarah pada perusakan lingkungan seperti pembuangan sampah di sembarang tempat masih kurang. Jika wisata hanya persoalan keindahan alam, saya kira kita akan menemukan sebuah kejumudan.

Kenapa saya perlu mengutarakan hal ini? Sebab sampah memang masih menjadi masalah serius di daerah, bahkan termasuk di negara kita. Masyarakat kita sering kali tidak peduli dengan kondisi sampah di sekitar lingkungan. Perilaku kita terhadap sampah belum sepenuhnya merepresentasikan ajaran yang terdapat dalam agama kita. Di jalanan, di tempat-tempat pelayanan umum, di tempat ibadah, di rumah sakit, dan tempat-tempat lainnya, acap kali kita temukan orang dengan begitu entengnya membuang sampah sembarangan. Padahal sampah mencerminkan kebripadian kita. Dengan kata lain, bagaimana perlakuan seseorang terhadap sampah merupakan cerminan pola hidupnya.

Di sisi lain, masyarakat memang tidak dapat sepenuhnya dikambing hitamkan. Edukasi dan pembiasaan pola hidup bersih dan penanganan sampah di tingkat bawah (masyarakat), semisal dari unit keluarga, masih sangat minim—meskipun ini masih erat kaitannya dengan persoalan individu. Namun, percikan-percikan sikap apatis inilah yang terakumulasi menjadi gunung masalah sampah di daerah kita.

Di Provinsi NTB misalnya, menurut Syamsudin, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, terdapat 2.695 ton atau 80 persen dari total sampah tidak terurus dengan baik. Beliau mengakui bahwa volume sampah di sepuluh kabupaten/kota di NTB mencapai 3.388 ton dan sampah yang dibuang perhari mencapai 76 ton. Sedangkan, yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah 641,92 ton dan yang sudah didaur ulang hanya 51,21 ton perhari.[1]

Berapa persen jumlah yang disumbangkan oleh dunia pariwisata merupakan hal yang perlu kita pikirkan bersama. Maksud saya, dalam kaitannya dengan pengembangan wisata, khususnya wisata desa yang saat ini sedang marak diupayakan oleh banyak pemerintah desa, penanganan sampah sangat perlu mendapat perhatian khusus. Persoalan sampah seyogiyanya menjadi hal yang krusial untuk dimasukkan sebagai salah satu dari sekian prasyarat lain dalam pengembangan wisata.

Pembentukan Pokdarling

Penanganan sampah memang bukan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. Akan tetapi, sebagai bagian dari pemerintahan tekecil dalam sebuah negara, setidaknya ia memiliki beban sistemik dalam mendukung program pemerintah di atasnya, setingkat gubernur misalnya. Maka, dalam hal ini, pemerintah desa harus mendukung pogram provinsi bebas sampah (zero waste province) yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi NTB. Ia memiliki peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat untuk peduli sampah. Bahwa langkah-lagkah strategis dan konservatif perlu diupayakan mulai dari tingkat bawah. Salah satu upaya yang bisa diwujudkan ialah dengan membentuk Pokdarling (Kelompok Sadar Lingkungan) di desa.

 Unit ini nanti bisa mengakomodasi berbagai hal terkait upaya pengelolaan sampah. Mulai dari pengadaan satu dusun satu TPS (tempat pembuangan sementara) atau satu gubuk satu TPS misalnya, edukasi dan pelatihan pengelolaan sampah di masyarakat, daur ulang, dan berbagai langkah solutif lainnya. Jangan sampai masyarakat hanya ditekankan untuk tidak membuang sampah sembarangan, sementara mereka tidak difasilitasi untuk menghindari perilaku tersebut. Jadi, pokdarwis yang sudah terbentuk harus diimbangi pula dengan semangat pemeliharaan lingkungan melalui pembentukan pokdarling.

Saya tentu tidak bermaksud menghalau upaya baik pemerintah (desa) dalam memajukan pariwisata kita. Karena bagaimanapun juga pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap siklus ekonomi masyarakat. Akan tetapi, semangat pengembangan wisata desa juga harus dibarengi dengan memprioritaskan beberapa daya dukung. Salah satunya terkait pengelolaan sampah di sekitar area wisata. Sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam industri pariwisata, bukan malah meninggalkan sampah yang dapat menimbulkan citra buruk. Terlebih daerah kita telah mendapat gelar wisata halal dunia.

Jika objek wisata yang notabene sudah diakui keindahannya bisa dikomplain hanya karena persoalan sederhana itu, bagaimana dengan spot wisata lokal yang baru mau dikembangkan dan belum teruji dari segi popularitas (name branding)? Sekali lagi, persoalan sampah, baik di area wisata maupun di lingkungan masyarakat, merupakan satu dari sekian komponen penting lainnya yang perlu mendapat perhatian serius dalam agenda pengembangan desa wisata, agar kita tidak menjadi, meminjam istilah Sarie Febriane, seperti lautan cendol: banyak tapi tidak terkelola dengan baik.[2]

Jadi, kesiapan membangun desa wisata tidak hanya diukur dari indah atau tidaknya, potensial atau tidaknya sebuah spot wisata yang hendak dikelola, tapi sejauh mana pemerintah (desa) mengelola lingkungan dan meningkatkan SDM masyarakat.

Wallahua’lam bissawab.

Lombok Tengah, 25 Juli 2020.

Marzuki Wardi, menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Karya tulisnya tersebar di berbagai media massa, baik cetak maupun daring, lokal dan nasional. Bermukim di Lombok Tengah, NTB.

 

 



[2] Istilah ini diambil dari reportase wartawan Kompas yang berjudul “Agar kita tidak menjadi cendol” yang dimuat pada Minggu 25 Agustus 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...