Sabtu, 10 Oktober 2020

Opini

 

PERAN APBN DALAM MENDUKUNG KEBERLANGSUNGAN PENDIDIKAN PADA MASA PANDEMI

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/di-desember-2016-rupiah-terapresiasi-pada-4-mata-uang-ini/


Dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) semakin tak terelakkan. Ia tak hanya melumpuhkan aktivitas perekonomian, tapi juga aktivitas-aktivitas sosial, budaya, agama, dan terutama yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah sektor pendidikan. Pada dasarnya, akan seperti apa generasi bangsa ini ke depan sangat bergantung pada proses pendidikan saat ini. Karena itu, bagaimanapun juga, aktivitas pendidikan tidak boleh mangkrak. Ia harus tetap berjalan meskipun terlunta-lunta.

Tugas lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) saat ini pun menjadi bertambah. Mereka tidak hanya berupaya memenuhi hak belajar siswa, tapi juga menjamin kesehatan dan keselamatan mereka selama proses belajar. Karena pertemuan secara langsung atau tatap muka (secara kolektif) di sekolah belum memungkinkan, maka pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan satu-satunya pilihan yang tepat. Sejauh ini, ada dua model pembelajaran yang dikembangkan yaitu pola dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).

Pembelajaran daring dilaksanakan melalui media internet, baik dengan penugasan melalui media sosial oleh guru atau dengan mengakses sumber-sumber belajar seperti rumah belajar di link Kemdikbud, TV edukasi Kemdikbud, guru berbagi, video pembelajaran, radio edukasi, kelas daring untuk siswa dan mahasiswa, dan berbagai sumber yang disediakan oleh Kemdikbud dan platform belajar digital. Sedangkan, media dan sumber belajar luring dapat melalui televisi (program belajar TVRI), radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, dan bahan ajar cetak.[1]

Namun, pada penerapannya, PJJ ternyata tidaklah sesederhana itu. Berbagai dinamika dan problematika baru kemudian bermunculan. Dari segi kognisi siswa misalnya, transformasi pola belajar ini tentu melahirkan metode, gaya, dan teknik belajar baru. Seorang siswa yang tipe belajarnya audible-visual, dengan adanya PJJ daring, ia harus beradaptasi dengan pembelajaran tipe audible. Siswa yang tadinya terbiasa belajar dengan bimbingan atau pengarahan langsung dari guru (direct method), kini harus berupaya belajar lebih mandiri yang notabene minim pengawalan. Begitu seterusnya. Konsekuensinya, guru pun dituntut untuk meningkatkan kompetensinya agar mampu mengembangkan materi dan metode mengajar yang adaptif dengan kondisi tersebut.

Kemudian, dari segi latar belakang ekonomi keluarga, banyak siswa tidak memiliki fasilitas untuk menunjang PJJ daring. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan, PJJ Fase II ini tidak hanya terkedala listrik, internet, dan biaya. Namun, masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar secara pribadi, sehingga mereka tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama temannya pada siang hari. [2]

Kondisi ini nyaris senada dengan konten berita di sebuah surat kabar beberapa saat lalu. Dua bocah kakak beradik di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, rela menyisihkan waktunya untuk membantu orang tuanya berjualan agar bisa membeli paket data internet. Konon, mereka membutuhkan sekitar 140 ribu perbulan untuk membeli paket data demi menunjang PJJ daring. Mereka bahkan menyempatkan diri belajar di tengah aktivitas berjualan. Si adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, terekam kamera wartawan sedang sibuk menuangkan materi pelajaran hasil jelajahan sang kakak dari internet ke buku tulisnya.[3]

Fenomena ini seakan menjadi bumerang dan tamparan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku kebijakan. Digitalisasi yang dipercaya mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup, di sisi lain, rupanya telah membuka jurang disparitas sosial-ekonomi. Bagaimana tidak, bagi orang tua siswa yang berlatar belakang ekonomi menengah ke atas, harga paket data sejumlah itu mungkin saja setara harga bahan bakar mobil mereka untuk sehari. Tapi, bagi mereka yang hidup serba pas-pasan, belajar seakan menjelma perhiasan mewah yang harus ditebus mahal untuk mendapatkannya.

Dalam kondisi seperti ini, penerapan belajar luring yang diharapkan menjadi solusi alternatif acap kali menemukan kejumudan teknis. Misalnya rasio jumlah guru dan siswa yang terpaut cukup jauh membuat guru kesulitan dalam penjadwalan tatap muka (home visit), biaya operasional, jarak dan lokasi rumah siswa dengan guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menyebabkan pembelajaran kurang efektif.

Carut marutnya manajemen (kelas) pendidikan seperti ini tentu berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa. Heterogenitas pelaksanaan pembelajaran antar sekolah yang satu dengan yang lain turut menjadi penyumbang. Secara holistik, capaian tujuan pendidikan nasional, diakui atau tidak, untuk sementara ini sedikit tertatih-tatih. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dan urgen untuk memacu laju program pendidikan di masa pandemi ini. Beberapa kasus di atas bisa menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu), selaku pengelola keuangan negara, mendapat percikan tanggung jawab atas kondisi ini. Tapi, pada masa pemulihan ekonomi di tengah pandemi, defisit anggaran bisa menjadi pertimbangan utama untuk menggelontorkan pembiayaan program di luar pagu yang sudah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga. Karenanya, bagaimana menyelesaikan masalah pembiayaan dengan tetap menjaga neraca ekonomi negara dan siklus ekonomi rakyat, menjadi tugas berat Kemenkeu saat ini.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sarana penyaluran dana negara yang disusun secara sistematis dan komprehensif, menduduki peran sentral dalam hal ini. Melirik fostur APBN tahun 2020, dana pendidikan masuk sebagai sepuluh terbesar belanja negara dengan jumlah sekitar 36.301,2 miliar rupiah khususnya melalui Kemdikbud. Secara keseluruhan, dana pendidikan mencapai 20% berdasarkan komponen anggaran, yaitu sebesar 508.084,5 triliun rupiah.[4] Dari jumlah yang cukup fantastis tersebut, tentu belum terdapat komponen pembiayaan yang mengarah pada penyelesaian persoalan pendidikan yang dipaparkan di atas. Karena memang segala jenis pembiayaan mesti melalui mekanisme perencanaan.

Namun, kebermanfaatan suatu pembiayaan, menurut saya, tidak hanya diukur dari segi nominal saja, tapi juga ketepatan momen pembiayaan tersebut digunakan. Itulah esensi pembiayaan yang tepat sasaran. Sebelum berakhirnya tahun realisasi, kalau memungkinkan, pembiayaan di sektor pendidikan dapat direalokasikan ke pembiayaan yang bersifat krusial. Beberapa komponen yang dapat dimasukkan ialah pembiayaan pendidikan dan latihan guru dalam rangka pengembangan bahan ajar selama PJJ, bantuan stimulus siswa kurang mampu untuk pengadaan fasilitas menunjang PJJ, bantuan operasional PJJ luring, pengadaan fasilitas internet di tingkat desa (melalui transfer dana desa), bantuan guru (khususnya guru non PNS) terdampak pandemi, dan beberapa komponen lain di luar pembiayaan reguler untuk melancarkan laju pendidikan.

Kita tidak tahu sampai kapan kita terperangkap dalam pandemi ini. Karenanya, bekal untuk menjaga keberlangsungan masa depan bangsa perlu dikelola dengan baik. Salah satu caranya ialah dengan mereorientasi anggaran dana pendidikan dalam APBN. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang dapat menghambat proses pendidikan di masa pandemi dapat diatasi, tanpa harus menggemukkan belanja negara.

Lombok Tengah, 8 Agustus 2020.

 

 Keterangan: Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Perpustakaan Kemenkeu 2020 bertajuk #Suratcintadariguru

 

 [1] Dikutip dari Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...