Kamis, 20 Agustus 2020

Esai (Pendidikan)

 Pentingnya Mengenal Latar Belakang (Psikologis) Siswa

Oleh: Marzuki Wardi

Mengetahui atau mengenal latar belakang siswa merupakan bagian yang tak kalah penting yang harus dilakukan oleh guru disamping mengetahui apa yang akan diajarkan kepada siswa sebelum memasuki kelas. Sebab, dengan mengetahui latar belakang siswa, kita akan tahu bagaimana harus menyikapi perilakunya, masalah belajar yang dialami, dan menentukan tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah yang dialami tersebut. Terutama dalam hal ini ialah latar belakang psikologis siswa, yang akan menjadi fokus tulisan ini.

Sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dulu, ada seorang guru saya yang sering mengolok-olok atau mengatai-ngatai siswa ketika tidak mampu menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya. Terutama pada siswa yang tidak menonjol dalam hal prestasi akademik di kelas. Dengan kepiawaian meniru (bergaya parodi), beliau menirukan raut wajah siswa ketika melontarkan jawaban yang salah, sehingga si siswa terkesan demikian bodoh dan konyol.

Kesan lain yang ditunjukkan ialah seolah-olah beliaulah satu-satunya di dunia orang yang menguasai mata pelajaran yang diampunya, dan si siswa ialah kebalikannya. Alih-alih memberikan saran positif agar siswa mampu mejawab soal pada pertemuan berikutnya, guru tersebut acap kali memberikan saran aneh yang kadang sulit dicerna akal seusia siswa SMP.

Sampai saat ini saya ingat betul bagaimana mimik beliau ketika sedang menjalankan aksi semacam itu. Sehingga sering kali saya bayangkan, jangan-jangan kepribadian saya sedikit tidak terpengaruh dari percikan-percikan hal semacam itumeskipun terlalu naif mengatakan kepribadian saya terbentuk dari faktor eksternal (orang lain). Tapi, maksud saya begini, bayangkan kalau hal itu dialami oleh seorang anak yang berkepribadian pemalu dan lugu misalnyatermasuk saya sendiri dulu. Bukan tidak mungkin ia akan bertambah malu dan minder, sehingga ia merasa semakin kaku dan berujung kapok dalam belajar mata pelajaran tersebut. Bahkan bisa berbuah benci pada guru beserta mata pelajaran yang diampunya.

Atau, bagaimana kalau hal itu juga dialami oleh seorang anak underachiever yang sebenarnya punya bakat dan intelegensi tinggi? Mendapat perlakuan semacam itu tentu akan membuatnya malah semakin malas belajar dan tidak menghiraukan prestasi akademik lagi. Ia bisa jadi akan menarik diri dan membentuk dunia sendiri untuk menghindari perasaan terganggu oleh orang yang justru harus dekat dengan dirinya. Kalau anak yang memiliki tingkat percaya diri tinggi dan bermental baja mungkin akan menganggap hal itu oke-oke saja, atau katakanlah cuma angin sore yang lewat saja.

Saya jadi teringat tulisan Pak Samuel Mulia di surat kabar Kompas beberapa saat lalu.[1] Beliau pernah mengalami semacam perundungan oleh kepala sekolahnya dulu atas kebodohannya. Menurut cerita beliau, dirinya bahkan sempat dikatai tak punya otak seperti ayam. Sejak saat itulah beliau merasa tak perlu punya cita-cita terlalu tinggi karena menganggap tidak mungkin bisa mencapainya dengan bekal kemampuan yang dimilikinya.

Kondisi ini pada dasarnya tidak beliau inginkan, hanya saja beliau kehilangan kepercayaan diri dan merasa tidak punya kemampuan apa-apa selain kebodohan. Kondisi inilah yang disebutnya sebagai settle for less. Akan tetapi, lambat-laun seiring perkembangan (psikologisnya), beliau merasa perlu untuk menggali potensi yang ada pada dirinya, sehingga pada akhirnya beliau menemukan jati diri yang sebenarnya. Kabar baiknya, saat ini beliau adalah seorang penulis tamu yang mengisi kolom Parodi di SKH Kompas.

Dalam kaitannya dengan permasalahan di atas, siswa seusia sekolah dasar dan menengah ialah anak yang (bisa jadi) belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menunjang prestasi akademiknya. Sebagian besar dari mereka belum punya motivasi dari dalam diri untuk menguasai suatu pelajaran tertentu. Mereka hanya tahu bahwa diri mereka datang ke sekolah untuk diberikan pelajaran, dengan alasan menuruti perintah orang tua (keluarga). Sementara, guru adalah individu dewasa yang memiliki segudang ilmu dan pengalaman menuntut ilmu. Jadi, membandingkan diri dengan kondisi siswa yang serba polos merupakan sebuah bentuk arogansi belaka.

Kita sering kali mendengar seorang guru berkata “siswa A sekarang berubah drastis”, “siswa B kok semakin susah mendengar omongan”, “siswa C memang luar biasa, tapi siswa D malah terpuruk”, dan berbagai ungkapan yang bernada menghakimi siswa. Namun, cukup jarang kita dengar guru mengungkapkan “Bagaimana mengatasi masalah ini?” “Langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan motivasi belajar mereka?” Jika demikian adanya, berarti kita, sebagai seorang guru, lebih fokus pada perilaku negatif dan kesalahan anak. Sementara, di sisi lain, ketika dia melakukan tindakan positif, jarang kita mau memujinya.

Jadi, lagi-lagi menurut saya, sebelum memasuki kelas, kita perlu menanggalkan egoisme (intelektual) kita. Selain menyiapkan persiapan materi, persiapan mental untuk menhadapi anak dari sisi psikologis merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Kita harus tanamkan dalam diri bahwa kita akan berhadapan dengan anak-anak dengan beragam latar belakang (psikologis). Bahkan dengan beragam suasana emosional pada saat itu: sedih, susah, murung, ceria, senang, dan sebagainya. Ada yang sedang galau karena orang tua tidak akur, ada yang sedang tidak mood karena dijauhi teman, ada yang sedang terpuruk, ada yang ke sekolah setelah ribut-ribut kecil dengan saudara, dan berbagai masalah emosional lainnya.

 Dalam hal kasus di atas (guru saya), tentu saja saya tidak menganggap beliau punya niat buruk untuk menjatuhkan siswa. Bahkan hal itu bisa disebut mustahil. Tapi, seorang dokter tentu akan memeriksa dan mengecek penyakit apa yang diidap oleh pasiennya sebelum menentukan obat apa yang cocok untuk mengeluarkan penyakit di dalam tubuhnya. Jika tidak, obat yang diberikan bukan akan menyembuhkan penyakit, malah bisa saja membunuh si pasien. Kalau dokter melakukan itu untuk menyelamatkan seorang pasien, lantas kenapa guru tidak bercermin dari peristiwa itu untuk menyelamatkan masa depan bangsa?

Wallahua’lam bissawab

Lombok Tengah, 16 Agutsus 2020



[1] Surat Kabar Harian Kompas edisi Minggu 2 Agustus 2020, hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...