Sabtu, 25 Maret 2017

Resensi Buku


Sumber: dokumen pribadi penulis.

Judul Buku                : Ayah
Penulis                       : Andrea Hirata
Penerbit                     : Bentang Pustaka
ISBN                         : 978-602-291-102-9
Cetakan XIII             : Juli 2016
Tebal buku                 : 412 halaman
Dimensi buku            : 13 x 20,5 cm

Mencari Sosok Ayah Seperti Sabari Bin Insyafi

Jika pada novel-novel tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata banyak bercerita mengenai kisah epiknya dalam memperjuangkan mimpi-mimpinya. Kemudian, pada dwilogi Padang Bulan (juga autobiografi) berkisah tentang perjalanan cinta Andrea dengan A Ling, lebih tepat disebut perjuangan cinta sebenarnya. Hanya pada logi kedua “Cinta di Dalam Gelas”, konfliknya fokus pada perseteruan dan perjuangan seorang wanita udik kampung melayu bernama Maryamah (Enong) dalam menegakkan harkat dan martabatnya di depan laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya, Matarom. Maka, pada novel ke delapan berjudul “Ayah” ini, melalui tokoh diaan (protagonis) yang diperankan oleh seorang lelaki bernama Sabari, Andrea menyuguhkan tema kehidupan dua sosok anak manusia dengan segala perbedaan yang tak dapat disatukan. Perbedaan itu diantaranya dari sisi watak. Sabari, adalah sosok yang penuh cinta, kasih sayang, lembut, penyabar, dan tegar. Berbanding terbalik dengan watak si wanita, Marlena, yang keras kepala, supel dan memiliki pendirian yang kokoh, terutama kokoh dalam menolak cinta Sabari.
Masih mennggunakan setting tempat di pulau Belitong, kisah Sabari bermula saat melaksanakan tes masuk SMA negeri yang bertempat di Markas Pertemuan Buruh (MPB), dia menemukan sosok seorang gadis yang begitu berani dan tangkas. Tapi sayang, ketangkasan itu adalah dalam hal keculasannya mencontek hasil tes bahasa Indonesia milik Sabari. Tak pernah diduga sebelumnya dia akan bertemu dengan gadis macam itu. Begitu lincah tangan gadis tersebut merampas hasil test Sabari yang mau dikumpulkan ke meja guru. Anehnya, Sabari yang mendapatkan perlakuan tak senonoh itu, tak membuat dirinya kesal ataupun marah. Dia malah sangat senang telah mengenal seorang gadis, walau saat itu dia belum tahu siapa nama gadis tersebut. Terlebih setelah diberikan pensil yang digunakan si gadis mengerjakan tes. Sejak itulah, Sabari yang sedari SMP dikenal oleh sahabat-sahabat dekatnya, Maulana Hasan Magribi (Ukun) dan Mustamat Kalimat (Tamat), sebagai orang yang tabu dan buta soal cinta bahkan sangat membenci yang namanya cinta, mulai merasakan hati ditumbuhi benih cinta.
Segala upaya telah Sabari coba untuk melunakkan hati Marlena. Tak terhitung puisi-puisi, salam, surat, bahkan sapaan melalui siaran radio. Namun, nasib semua itu naas dan berujung kebencian yang semakin menjadi-jadi pada diri Marlena. Pernah sekali, setelah lulus SMA, Sabari memenangkan lomba lari marathon pada acara HUT RI. Dia meminta sahabat dekatnya, Ukun dan Tamat, agar menyerahkan semua hadiah juara I yang diraihnya berupa radio transitor, termos, mangkok selusin, pinggan setengah lusin, jam beker ber-alarm, bibit kelapa hibrida, dua kaleng biskuit Khing Khong, alamanak, semprong lampu petromaks, lampu pertomaksnya juga, sajadah, dan kaus kaki, kepada Marlena (halaman 119). Namun, upaya ini rupanya masih sama, bahkan semakin sukses membuat Marlena benci dan mencaci maki Sabari sampai menganggap dia majenun alias gila.
Uniknya, walaupun Sabari ditolak setiap hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, sampai senin lagi (halaman 39), dia justru semakin gencar mengejar Marlena. Otaknya semakin ditumbuhi pohon puisi dan ide untuk mendapatkan cinta Marlena. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat dekatnya, Ukun, Tamat dan Toharun, jengkel hingga mengancam Sabari bahwa upayanya dalam mendekati Marlena bisa berujung di Panti Rehab Jiwa pimpinan Dra. Ida Nuraini, jika dia masih ngotot mengejar Marlena.
Akhirnya, suatu ketika, Sabari ternyata benar-benar bisa menikahi Marlena. Dan pada dasarnya, Marlena sebenarnya tetap tidak mau, tapi karena ayahnya, Markoni, bersi keras agar janin yang berada dalam rahim—karena kecelakaan dan entah perbuatan siapa, yang jelas bukan Sabari—Marlena harus punya ayah—itu pun karena Sabari yang menawarkan diri—, maka dia setuju. Namun, setelah menikah pun, tetap Marlena tinggal di rumah ayahnya.
Alhasil, lahirlah kemudian seorang bayi laki-laki dari rahim Marlena. Sabari pun begitu gembira dengan kelahiran bayi tersebut, walau bayi tersebut bukan buah dari pernikahannya. Sabari meminta pada Marlena, meskipun tak sudi tinggal bersamanya lagi, agar bayi itu tinggal dan diasuh olehnya saja (Sabari). Bayi tersebut kemudian dinamai Zorro. Setiap malam sebelum tidur, Zorro selalu disenandungkan puisi dan kisah-kisah indah oleh ayahnya, sehingga Zorro terkadang susah tidur sebelum dilantunkan syair-syair penggugah jiwa itu.
Barangkali, tiada hati yang paling merasa gembira selain Sabari, sejak Zorro tinggal bersamanya. Karena, konon, hari paling penting dalam hidup manusia adalah saat hari manusia itu tahu untuk apa dia dilahirkan. Sekarang, dia tahu bahwa dia dilahirkan untuk menjadi ayah. Seorang ayah bagi Zorro. Anaknya telah mengurai semua misteri tentangnya. Bahwa wajahnya tidak tampan agar dia tidak seperti Bogel Leboi (Ali Mahmud). Karena dia seorang Sabari maka Tuhan memberinya Zorro. Bahwa tangannya yang kasar dan kuat seperti besi adalah agar dia gampang menggendong Zorro. Bahwa dia gemar berpuisi dan berkisah adalah agar dapat membesarkan anaknya dengan puisi. Sabari memeluk anaknya yang telah jatuh tertidur, serasa memeluk awan (halaman 227).
Namun, naas sekali nasib Sabari. Dia seakan diciptakan di dunia ini dengan wajah dan nasib setali tiga uang, tak jauh berbeda, yang kalau orang-orang lihat akan menimbulkan perasaan iba padanya. Suatu kesempatan, di taman, Zorro diculik oleh orang-orang suruhan Marlena waktu sedang bermain balon gas dan kembang gula bersama ayahnya. Sabari tak bisa berontak. Zorro pun meronta-ronta sambil menangis. Tapi, lengannya terlalu kecil dan mungil untuk melawan tangan orang-orang suruhan Marlena. Sabari menatap langit dan menangis sedu sedan. Hatinya begitu remuk.
Yang menjadi magnet pengikat hati dalam novel ini adalah sentuhan humor, puisi dan sains yang terjadi dengan begitu alamiah sesuai dengan alur dan plot cerita, sehingga terkesan tidak berada di luar cerita atau dipaksakan dengan tujuan menghibur pembaca. Humor dimaksud seperti terdapat dalam percakapan antara Bu Norma dan Tamat (halaman 72) saat Tamat dites soal Himpunan Pengetahuan Umum oleh Bu Norma. Pangkal masalah sebenarnya adalah ketika Sabari ingin drop out dari sekolah gara-gara Marlena direnggut oleh seorang laki-laki bandel bernama Bogel Leboy (Ali Mahmud). Seperti ini percakapannya:
“O, begitu rupanya! Baiklah!” Bu Norma berpikir untuk menemukan pertanyaan yang dapat memukul Tamat.
“Baiklah, ini pertanyaanku, Mat, siapa istri diktator Uganda Idi Amin?”
Senyum tengik Tamat mendadak lenyap. Dia hapal nama pemimpin negara, tapi tak pernah berpikir akan ada yang mempertanyakan istri mereka. Merosot tubuh Tamat di bangku itu. meski mencoba berpikir, dia tak tahu jawabannya.
“Tak tahulah aku, Bu. Idi Aminah mungkin…,” jawabnya pelan, tak yakin.
Tentu masih banyak lagi humor-humor yang terjadi secara alamiah di dalam novel “Ayah” ini, yang dapat membuat kita tanpa sadar senyum-senyum bahkan tertawa sendiri. Karenanya, saya sarankan untuk membaca novel ini tidak di tempat ramai. Sebaiknya, carilah tempat sepi atau bisa di dalam kamar sendirian.
Kombinasi humor, puisi dan sains yang terdapat dalam kemasan novel Andrea, memang sudah menjadi ciri khas tersendiri. Pada novel-novel sebelumnya juga Anda akan temukan begitu banyak humor yang terselip, baik dalam konfilik maupun alur ceritanya. Barangkali, ini adalah senjata ampuh Andrea dalam menggugah hati pembaca, terutama kalangan pembaca sastra. Tak heran, hal ini membuat pembaca yang tadinya tidak begitu berminat pada novel, banyak yang berubah haluan mengalihkan bahan bacaannya.
Adapun puisi, akan Anda temukan misalnya pada puisi “Merayu Awan” yang disenandungkan oleh ayah Sabari, Insyafi (halaman 63).
Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Janganlah turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang…
Itu adalah salah satu puisi yang diajari oleh ayah Sabari, Insyafi, yang merupakan pensiunan guru SD bidang studi bahasa Indonesia. Kerapkali dia diajari berpuisi oleh ayahnya, sehingga dia tumbuh menjadi seorang yang pandai berpuisi. Di sekolah, dia juga dikenal sebagai seorang siswa yang pandai dalam pelajaran bahasa Indonesia.
Kemudian, dari segi sains, Andrea menyelipkannya ke dalam beberapa bagian di novel tersebut. Seperti misalnya yang terdapat pada teori “Interferensi” yang dijelaskan oleh seorang tukang perbaiki radio bernama Syarif Miskin kepada Amiru (halaman 47). Namun, pada bagian itu, Syarif Miskin menyebut teori “Interferensi” dengan “Intervensi”. Andrea sebenarnya bukan tidak tahu tentang terminologi “Interferensi” tersebut. Tapi, itulah salah satu kepiawaian beliau dalam menyelipkan humor.
Jadi, jika ditinjau secara holistik dari segi lintas disiplin, novel “Ayah” Andrea Hirata ini dapatlah dikatakan sebagai sebuah upaya menerjemahkan ilmu pengetahuan dalam bentuk karya sastra (novel). Itulah yang menurut saya dapat menyuguhkan kepuasan hasrat para pembaca sastra. Dari segi pesan moral sendiri, kisah ini menjadikan kita sangat terkesan, penasaran dan membuat kita bertanya-tanya, adakah ayah seperti Sabari di dunia nyata? Akhirnya, untuk menemukan jawabannya, kita akan melihat ke lingkungan sekitar dan mencari sosok ayah seperti Sabari bin Insyafi.

Lombok Tengah, 25 Maret 2016.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...