Minggu, 20 Agustus 2017

Cernak

Tetangga Baru Reihan
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di Kompas Klasika edisi Minggu  6 Agustus 2017

Yana kesal pada Reihan. Akhir-akhir ini dia merasa telah kehilangan teman dekat. Karena Reihan kelihatan lebih sering bermain dengan tetangga barunya ketimbang dengannya.
“Kenapa sih kamu jarang mau main denganku lagi?” tanya Yana sore ini.
Reihan hanya tersenyum. Dia menyadari bahwa teman satu kelas dan satu kampungnya  itu cuma salah paham saja.
“Kok kamu malah senyum?” Yana tampak mulai kesal. Belum saja Reihan menjawab, dia sudah bertanya lagi.
“Yang tidak mau main denganmu itu siapa, Na? aku kan selalu ngajakin kamu gabung saat aku dan Wayan sedang main. Tapi kamu kan selalu menghindar,” timpal Reihan dengan santai.
Yana terdiam sejenak sembari memikirkan kalimat untuk merespon pertanyaan balik dari Reihan, “Emang kenapa sih kamu suka sekali bermain dengan anak Bali itu?”
Mendengar ucapan Yana, Reihan sedikit terkejut lantas balik bertanya, “Loh, dia kan teman baru kita. Kenapa kamu bilang begitu, Na?”
“Ya tapi…?” kata Yana menggantung.
“Tapi apa?”
“Dia beda adat dan agama. Apa kamu tidak takut…?”
“Pindah agama, gitu?” belum lengkap kalimat Yana, Reihan keburu balik bertanya, “Yan…Yan, apa kamu tidak ingat kata Bu Sinta. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus tetap saling menghargai antar pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya. Tidak hanya itu, kita juga harus menjalin tali persaudaraan antar sesama anak bangsa. Lagi pula, semakin kita punya banyak teman beda adat, budaya dan agama dari beragam daerah, kita jadi lebih mengenal kekayaan negeri kita. Bukankah itu yang dikatakan Bineka Tunggal Ika?” lanjut Reihan menjelaskan.
Yana pun tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. “Iya ya, tapi apa Ustad Baihaki tak akan marah pada kita?” tanyanya.
“Yana, Yana, beliau justru akan sangat senang melihat kita berteman dengan siapa saja. Bahkan, beliau selalu menganjurkan kita untuk beramah-tamah dengan siapapun. Termasuk pada Wayan.”
“Kalau begitu, ayo kita pergi?”
“Pergi ke mana?”
“Ke rumah Wayan,” jawab Yana tak sabaran.
“Loh, ini kan sudah mau magrib. Kita ngaji dulu, yuk? Nanti selepas ngaji, kita belajar bareng ke rumahnya.”
“Oh, iya lupa. Hehe. Iya deh kalau gitu.”
Reihan menertawai tingkah lucu temannya. Yana menertawai dirinya. Mereka sama-sama tertawa. Senja bersemu merah menyaksikan tingkah polos Yana dan Reihan.

Marzuki Wardi, lahir pada 15 Juni 1986. Selain menjalani tugas keseharian sebagai seorang guru, ia juga aktif menulis esai dan cerpen. Beberapa sudah tersebar ke berbagai media. Buku terbarunya berupa antologi (bersama) berjudul “Tata Krama” terbit 2017.

Cerpen

Setan di Kepala Martina
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di Serambi Budaya Radar Mojokerto edisi Hari Minggu 20 Agustus 2017
Lengan kananku masih nyeri. Luka bekas sayatan pisau kemarin malam masih terasa. Akan tetapi aku paksakan untuk tetap bekerja demi bisa membayar tagihan bank tiap bulan yang ditinggalkan oleh Martina. Lagi pula lukaku ini tak sebanding dengan sakit hatiku padanya. Ditambah lagi dengan ketidak hadiran Meri di rumah, membuatku semakin malas pulang. Setan betina itu telah membawanya kabur entah ke mana. Dan aku baru sadar bahwa selama ini aku beristri setan. Akan tetapi itu bukan masalah. Masalannya sekarang adalah aku khawatir Meri, putri kecilku yang baru berusia dua tahun itu, akan dijadikan pelampiasan amarah Martina. Atau malah menyerahkannya ke seorang penjual-beli anak untuk kemudian dikirim ke luar negeri atau kepada sembarang orang yang ingin mengadopsinya. Karena aku tahu betul Martina bukan tipikal wanita yang senang pada anak.
Aku sendiri tak tahu ke mana dia membawa Meri kabur. Kubayangkan wajahnya yang polos, di hari-hari biasa, pada jam-jam seperti ini, anak itu selalu menunggu kepulanganku dari tempat kerja di depan pintu lalu melonjak-lonjak girang mengajakku ke tempat tidur. Tapi mulai kemarin, tingkah manjanya tak dapat membuat mulutku tersenyum lagi. Kini aku tak tahu pasti apakah dia masih bisa bermanja-manja atau tidak bersama ibunya yang galak? Juga tak dapat kuterka.
Martina orangnya galak. Kalau marah matanya merah mirip mata monster di film-film power ranger yang sering kutonton sewaktu kecil dulu. Dari sisi kanan dan kiri kepalanya keluar tanduk tajam-tajam yang kuanggap dua buah tanduk setan. Dan tangannya seketika menjelma jadi tangan besi.
Malam itu aku baru pulang dari tempat kerja. Karena kebetulan aku baru habis nerima gaji dari mandor sehingga pulang lebih awal. Dengan pikiran akan bersenang-senang di rumah dengan Meri, maka aku memilih untuk pulang langsung setelah sebelumnya membeli beberapa bungkus cokelat untuknya. Akan tetapi sesampaiku di rumah, kulihat Martina sedang menjewer dan menggampar-gampar pipi Meri yang mungil hingga dia menjerit histeris. Entah kenapa juga ibu kebetulan tak berada di rumah.
Tanpa pikir dua kali, aku langsung mencambak rambut Martina dari belakang lalu menyeruduknya ke tembok rumah hingga lebam dan memar. Kupikir dia langsung pingsan atau mati, yang mestinya itu lebih bagus. Karena aku langsung meraih dan mendekap tubuh mungil Meri yang sedang menggigil ketakutan, akan tetapi tiba-tiba dia bangun saat kurengkuh tubuh Meri. Saat kualihkan mata ke belakang, tahu-tahu dia sudah memegang pisau dapur. Dengan tangkas tangan besinya itu mengayun pisau ke arahku. Aku menepisnya dengan tangan kanan, namun karena tanganku tak kebal senjata tajam, tentu ia terluka dan mengucurkan daras segar. Dia pun segera merebut Meri dari dekapanku dan langsung kabur. Aku mengejarnya, tapi langkahku terhenti di dekat kamar ibu ketika kulihat dia sudah tergeletak di dalam sana. Ternyata perempuan jalang itu juga telah menyakiti ibu.
Belakangan ini tingkah Martina memang sering aneh. Sejak aku jarang memberinya uang jatah mingguan, yang katanya untuk merawat kecantikan dan jalan-jalan ke pusat hiburan, kepalanya sering dihinggapi setan. Dan malam itu aku yakin bukan setan biasa yang menghinggapinya, namun raja setan yang gemar ke salon dan jalan-jalan ke mall dan tempat-tempat hiburan malam lainnya sehingga ia menjelma jadi anak buah setan.
Aku tahu dia sering ngomel-ngomel gara-gara hal itu. Tapi aku tak lekas meresponnya. Lagi pula aku tak pernah berpikir dia akan berbuat nekat seperti kemarin malam. Karena sejauh ini dia hanya suka melampiaskan kemarahannya dengan tidak memasak seharian, mengabaikan dan membentak-bentak Meri, dan kadang-kadang memecah gelas dan piring-piring di dapur. Tentu saja tidak mudah bagiku. Membiayai keperluan anak yang masih kecil, mengisi kebutuhan rumah tangga dan keperluan gaya hidup Martina pada saat bersamaan, membuatku bekerja siang malam seperti seekor kerbau dicucuk tuannya. Dan toh, tetap sulit meladeni hasrat culasnya.
-***-
Dulu memang ibu sering memintaku untuk menjauhi Martina. Tapi aku selalu bersi keras. Waktu itu Martina belum jadi setan, melainkan seorang bidadari cantik rupawan yang siap menyulap hidupku jadi bahagia selamanya. Dan aku selalu membayangkan bahwa menikah dengan wanita cantik bakal meninggikan derajatku di depan mata orang-orang kampung. Sehingga ketika setiap mata lelaki melihat Martina, mereka akan mendoakanku agar cepat-cepat mati, lalu menikahi Martina yang sudah berstatus janda.
“Wanita seperti dia tidak cocok dijadikan Ibu bagi anak-anakmu. Carilah wanita lain yang keibuan,” ucap Ibu suatu hari.
“Martina itu cantik, Bu. Kapan lagi Parman bisa mendapatkan wanita cantik seperti Martina?” timpalku padanya.
Begitulah, Ibu selalu menyarankan agar menemukan wanita lain untuk kunikahi. Aku sendiri tak tahu kenapa Ibu menilai dia miring. Barangkali karena Martina selalu berpenampilan stylish dan modis seperti bintang iklan. Tapi masa bodoh, bagiku menyia-nyiakan wanita seeksotis dia adalah sebuah kebodohan besar. Apalagi mengingat profesi kami yang jauh beda; aku seorang kuli bangunan dan Martina seorang SPG.
Aku berkesimpulan, waktu itu Ibu pasti iri dengan penampilan Martina yang modis dan seksi sehingga berpikir posisinya akan tersaingi di sisiku; aku akan berhenti memuji beliau yang sudah keriput dan beralih memuji istriku. Karena setahuku pada zaman-zaman beliau muda, perkembangan fashion tak sebagus sekarang ini. Wajar saja di kepalanya lalu berkembang sebuah asumsi yang tidak sedap setiap melihat wanita gaul seperti Martina. Aku tahu karena beliau juga sering bilang; dasar perempuan jaman sekarang nggak ada malunya. Sudah mamerin paha kemana-mana, nyari cowok ke rumahnya pula!
Lama-lama, barangkali karena tak ditanggapi atau mungkin juga karena bosan, Ibu jadi sedikit jarang mentausiahiku soal wanita pilihan. Seorang temanku bilang; besok kalau dia (Martina) sudah tinggal di rumahmu, tidak ada alasan bagi ibumu untuk menolak dia. Atas dasar itulah aku nekat menikahi Martina diluar restu Ibu.
 -***-
Aku mengendarai sepeda motor dengan pelan. Udara malam ini cukup dingin. Jalanan disesaki oleh orang-orang yang merayakan akhir pekan bersama keluarga. Sesekali aku melipirkan mata ke pinggir jalan, dengan pikiran akan menemukan seorang wanita berjalan menuntun seorang anak kecil. Akan tetapi perjalanan pulangku sudah hampir sampai di rumah, aku tak jua menemukan tanda-tanda itu.
Aku bingung mesti mencari Meri ke mana? Mungkinkah Martina akan mengajak Meri menjadi seekor setan? Aku berharap tidak demikian.

Lombok Tengah, 01 Agustus 2017.
Marzuki Wardi, lahir di Lombok Tengah pada tanggal 15 Juni 1986. Cerpen dan artikel opininya tersebar ke berbagai media.






Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...