Rabu, 28 Maret 2018

Esai Bahasa

Radikalisme
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Wisata Bahasa Pikiran Rakyat Edisi Minggu, 26 Maret 2018

Berita mengenai pelarangan pemakaian cadar bagi mahasiswi di lingkungan kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, telah menjadi sorotan ummat muslim di Nusantara. Bahkan, kebijakan internal pihak universitas tersebut telah menjadi topik hangat yang bersaing dengan sederet berita aktual lainnya.
Jika kita simak lebih jauh, kebijakan yang diambil oleh Rektor UIN tersebut sebenarnya berakar pada upaya pencegahan radikalisme yang belakangan ini kerap menjadi perhatian pemerintah. Sebagaimana menurut Yudian Wahyudi, Rektor UIN Sunan Kalijaga, beberapa tahun lalu hanya terdapat sekitar satu hingga dua mahasiswi yang bercadar di kampus yang dipimpinnya tersebut. Peningkatan jumlah pemakai cadar menjadi puluhan orang, menurutnya, merupakan gejala peningkatan radikalisme (Jurnalindonesia.co.id. 8 Maret 2018).
Rupanya, radikalisme tak henti-hentinya dipersoalkan. Beberapa saat yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Februari 2018, sejumlah perwakilan Organisasi Masyarakat Islam (Ormas Islam) dari FPI, HTI, MMI, dan Laskar Jihad, juga mendatangi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor. Tujuan mereka tidak lain merupakan reaksi dari penggunaan istilah radikal yang dinilai sepihak dalam makalah yang ditulis oknum pejabat Kemenag tersebut. Dikatakan dalam makalah milik Ujang Ruhiat—Kepala Seksi Penerangan Agama Islam Zakat Wakaf Kemenag Bogor yang juga berprofesi sebagai seorang dosen—yang berjudul “Penanganan Radikalisme Islam di Lembaga Pendidikan Tinggi”, ia mencatat empat organisasi di atas sebagai kelompok islam radikal.
Apa yang bisa digaris bawahi dari dua peristiwa di atas seakan-akan islam dan radikalisme tidak dapat terpisahkan, atau islam memang identik dengan radikalisme. Sehingga relevansi ini akan membawa konotasi negatif pada kata radikal dan stigma terhadap ummat islam pada umumnya.
Sejauh ini, kata radikal memang seringkali dialamatkan ke sejumlah kelompok yang berpakaian serba arab atau islami seperti celana cingkrang, berbaju koko, bercambang lebat, dan memakai cadar (perempuan). Lebih jauh lagi, radikal seringkali diidentikkan dengan kelompok garis keras, anti pancasila, suka mengkafirkan kelompok lain, dan sering berbuat teror di berbagai wilayah di Nusantara. Jika radikal dalam pengertian ini, maka dalam konteks Negara yang sudah berdaulat dan majemuk seperti Indonesia, upaya pencegahannya mestilah terus-menerus digalakkan. Namun, apakah cap radikal yang kita alamatkan ke kelompok bercadar dan beratribut serba islam sudah tepat?
Jika kita runut secara etimologis, kata radikal akan kita temukan berasal dari bahasa latin, yaitu radix yang berarti akar. Kemudian dalam bahasa Inggris tidak jauh berbeda, istilah ini diserap menjadi radical yang berarti akar, sampai ke akar-akarnya. Dalam KBBI sendiri, radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang mendasar, amat keras menuntut perubahan (undang-undang pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak.
Dari pengertian di atas, jelas bahwa yang membedakan radikal dengan tidak radikalnya seseorang atau suatu kelompok adalah pikiran dan tindakannya. Bukan dinilai dari aspek lahiriah semata seperti gaya pakaian. Seseorang yang tidak memakai cadar, celana cingkrang, dan atribut serba islam pun tidak menjadi jaminan ia bukan kelompok radikal. Boleh jadi mereka yang tidak bercirikan serba islam juga beridealisme radikal. Lagi pula, radikal adalah sebuah kata netral yang maknanya tidak melekat hanya pada satu kata tertentu, yakni islam. Maka, mengacu pada pengertian tersebut, satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menilai seseorang radikal atau tidak adalah, memahami bagaimana idealisme (pikiran) dan tindakan seseorang.
Lombok Tengah, 11 Maret 2018.

Wardie Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi. 

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...