Selasa, 26 Juni 2018

Resensi Buku

Mengenang 20 Tahun Tragedi Kemanusiaan Reformasi
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di Surat Kabar Harian Bhirawa Surabaya edisi 25 Mei 2018

Judul               : Laut Bercerita
Penulis             : Leila S. Chudori
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit               : Kedua, Desember 2017
Tebal               : 379 Halaman
ISBN               : 978-602-424-694-5
Novel berjudul “Laut Bercerita” ini menceritakan perjuangan para aktivis mahasiswa era orde baru hingga reformasi. Mereka diculik dan disekap selama berbulan-bulan. Sebagian diantara mereka ada yang dipulangkan dan sisanya dibunuh. Awal mula penangkapan Biru Laut (tokoh utama) dan teman-temannya adalah ketika mereka hendak melancarkan aksi tanam jagung di Blangguan, Jawa Timur pada 1993. Mereka tidak terima dengan keputusan pemerintah yang saat itu di bawah kendali Presiden Soeharto untuk menjadikan lahan jagung sebagai area latihan militer. Karena kebijakan itu terkesan sepihak dan akan menindas rakyat kecil, khususnya para petani jagung. Biru Laut dan teman-teman yang tergabung dalam organisasi Winatra dan Wirasena tiba di kampung Blangguan pada dini hari. Namun, sayangnya, belum sempat mereka melancarkan rencana, aparat yang bersenjata lengkap sudah berjaga-jaga di setiap sudut kampung. Rencana gagal. Situasi sempat tegang ketika aparat menggeledah rumah-rumah warga tempat mereka bersembunyi. Mereka terpaksa kabur melalui ladang yang menghubungkan ke sebuah jalan raya.
Rencana pun berubah. Mereka ingin mengadukan dan meminta dukungan pihak DPRD Surabaya atas tuntutan atau aksi mereka terhadap pemerintah. Namun, dalam perjalanan, setiba di terminal Bunguarsih, mereka kembali diperiksa oleh intel yang memang sedang mengintai. Di sanalah mereka kemudian ditangkap. Sebagain berhasil kabur adalah Kinan dan Daniel. Mereka yang ditangkap lalu dibawa ke sebuah markas tersembunyi. Di sana mereka disiksa, dipukuli, ditendang, dan disetrum agar mengakui siapa dalang di balik aksi penolakan yang dilakukan. Namun, karena aparat tidak menemukan fakta yang dicari, para aktivis yang terdiri dari mahasiswa di kampus Yogyakarta dan Jakarta itu dilepas dan diancam supaya tidak menceritakan penyiksaan yang dialami kepada siapa pun.
Sejak mengalami penangkapan dan penyiksaan itu, Biru Laut dan kawan-kawannya lebih berhati-hati dalam menjalankan aksinya. Mereka tetap bersemangat untuk mencapai tujuan, yakni menggulingkan pemerintah Orde Baru yang di mana negara seakan dimiliki oleh keluarga dan kroni-kroninya. Terutama menegakkan 4 pilar demokrasi. Namun, gerak-gerik mereka selalui dimata-matai oleh intel yang merupakan kaki tangan pemerintah. Alhasil, pada 13 Maret 1998 Biru Laut dan 12 teman lainnya kembali ditangkap dan disekap. Kali ini mereka mengalami penyiksaan yang lebih berat dari sebelumnya. Selama berbulan-bulan mereka disiksa secara tidak manusiawi di sebuah penjara bawah tanah. Akan tetapi, Alex, Daniel, Naratama, dan Bram dipulangkan. Mereka sendiri tidak tahu pasti alasan mereka dipulangkan. Sementara, Laut, Kinan, Gala, Julius, Narendra, Sunu, Dana, dan Widi, dibunuh dan jasadnya dibuang ke laut.
Selain mengungkap sisi kelam kemanusiaan pada era orde baru, novel ini juga diselingi kisah cinta antara Biru Laut dengan Anjani, seorang mahasiswa dari Jakarta, dan Alex dengan Asmara Jati, adik semata wayang Biru Laut. Anjani begitu terpukul dengan kehilangan Biru Laut yang hingga tahun 2000-an tak tahu bagaimana rimbanya. Sehingga ia yang dulunya sangat cantik mempesona jadi enggan merawat dirinya. Ia seakan berubah menjadi gadis jorok dan tidak normal. Namun, orang tua Biru Laut yang sesungguhnya juga mengalami depresi berat atas kehilangan anaknya, mampu mengurangi gejolak hati Anjani dengan mengadakan ritual Mingguan, yakni memasak masakan kesukaan Biru Laut dan menyediakan kursi dan meja saji untuknya di tempat makan. Seolah Biru Laut berada di sana serdang makan bersama mereka.
Novel ini sangat layak bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh seperti apa tragedi kemanusiaan tahun 1998. Terutama untuk mengenang para aktivis yang menjadi tumbal tegaknya reformasi dua puluh tahun silam.
Lombok Tengah, 20 Mei 2018
Marzuki Wardi, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris (FPBS) IKIP Mataram. Menulis Cerpen, Esai dan Resensi.





Artikel Opini

Nilai Pendidikan dan Pendidikan Nilai dalam Perspektif Keluarga Kontemporer
Oleh: Marzuki Wardi
Dimuat di Surat Kabar Harian Lombok Post edisi 30 April 2018

Barangkali kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan hal yang paling berharga dalam hidup ini. Semua orang menginginkan hidup layak dan lebih baik, dan itu hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karenanya, tidak heran jika kemudian (semua) orang jauh-jauh hari telah menabung untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Selain itu, kita mungkin pernah mendengar seorang ayah atau ibu berkata “rajin-rajinlah belajar agar kau tak bodoh sepertiku” kepada anaknya, bukan? Kalimat ini tentu tidak sekedar mengungkapkan ekspektasi masa depan yang lebih baik dari seorang ayah atau ibu (orang tua) kepada anaknya. Lebih dari itu, kalimat bertuah ini membuktikan betapa pendidikan merupakan hal yang begitu bernilai dalam kehidupan seorang.
Namun, dalam prosesnya, ekspektasi tersebut seringkali tidak diimbangi dengan peran serta orang tua. Banyak anak menemukan masalah dalam proses pendidikannya karena orang tua tidak paham bagaimana harus mendukung pendidikan anak dalam lingkup keluarga. Kurangnya latar belakang pendidikan membuat mereka masih mengadopsi pola dan asumsi lama dalam mendidik anak. Seperti asumsi bahwa urusan pendidikan anak sepenuhnya diserahkan ke sekolah, adalah salah satu contoh konkritnya. Akibatnya, tidak jarang ada anak berperilaku baik di depan orang tua namun di sekolah ia sering melanggar aturan dan bersikap amoral. Sehingga dari sini lah titik tolak ketimpangan sinergi orang tua dengan pihak penyelenggara pendidikan bermula.
Buah dari ketimpangan sinergi tersebut adalah miskonsepsi dan miskomunikasi.  Ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di Nusantara tak lama ini. Seperti di daerah Bilmong, Provinsi Sulawesi Utara misalnya. Pada 13 Februari lalu, seorang wali siswa dilaporkan menganiaya kepala sekolah karena telah menegur perilaku anaknya yang nakal.[1] Kemudian, di daerah lain, di Lombok Timur NTB, seorang ayah dan kakak dari siswa SD diringkus polisi lantaran telah membabak belurkan seorang guru honorer. Menurut pengakuan korban, awal mula kasus itu adalah ketika ia hendak memindahkan kelas siswa bersangkutan tersebab tidak bisa akur dengan seorang temannya. Lalu siswa tersebut merasa takut dan melapor ke orang tuanya. Sehingga orang tua merasa tersinggung dan berbuat kasar.[2]
Saya tentu tidak bermaksud mendiskreditkan peran orang tua secara umum dalam hal ini. Akan tetapi, itulah salah satu contoh bagaimana sinergi tidak berjalan efektif. Oleh karena itu, apa yang dibutuhkan dalam mengantisispasi kasus serupa dan mendukung keberhasilan pendidikan anak adalah, revitalisasi sinergi orang tua dengan pihak sekolah. Orang tua atau keluarga harus memiliki peran nyata dalam pendidikan anaknya di sekolah. Peran tersebut bisa dilakukan dengan beberapa upaya sebagai berikut.
Komunikasi Aktif Orang Tua dengan Pihak Sekolah
Komunikasi aktif antara orang tua dengan pihak sekolah atau sebaliknya, dimaksudkan agar orang tua mengetahui lebih jauh perkembangan anaknya. Tidak hanya perkembangan intelegensi saja, tapi juga perkembangan sikap dan perilaku. Namun, tentu bukan berarti orang tua harus mendamping anak di sekolah setiap hari. Contoh komunikasi aktif ini dapat dilakukan dengan pelibatan orang tua dalam beberapa hal misalnya:
·      Membicarakan permasalahan khusus terkait bidang akademik yang diperlukan oleh sekolah, misalnya perkembangan pembelajaran anak (baik atau buruk) atau permohonan untuk bantuan.
·      Membicarakan permasalahan terkait kehadiran dan kedisiplinan anak.
·      Membicarakan masalah yang ditemui oleh para orang tua sendiri.
·      Mengadakan pertemuan rutin seperti yang telah diagendakan dalam kalender akademik.[3]
Komunitas Keluarga
Pendekatan lain yang bisa digunakan oleh pihak sekolah dalam mengomunikasikan pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah dengan membentuk komunitas keluarga. Pendekatan yang disarankan oleh Thomas Lickona[4], seorang tokoh pendidikan karakter ini, cocok untuk diterapkan di jenjang pendidikan dasar, di mana para orang tua bisa mengadakan petemuan rutin setiap bulan misalnya baik di sekolah maupun di rumah. Dalam pertemuan rutin itu mereka bisa saling mengenal orang tua dari teman anak-anak mereka lebih jauh lagi. Mereka bisa mengenalkan nama anak masing-masing, lalu bisa mengadakan sharing dan diskusi hal-hal terkait pola asuh dan didik anak di rumah. Contoh isi diskusi yang paling sederhana dari komunitas keluarga ini adalah jawaban dari pertanyaan bagaimana mendidik anak untuk belajar menolong keluarga di rumah? Aturan apa yang diterapkan diterapkan di rumah untuk menjadikan anak…? dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang mengarah pada pertukaran pikiran dan informasi (sharing) tentang pola didik anak.
Setelah tercapainya revitalisasi hubungan antara pihak orang tua dengan sekolah menggunakan dua pendekatan di atas, orang tua juga perlu merevitalisasi hubungannya dengan anak, yakni dengan memulai dari pendidikan nilai dalam lingkup keluarga.
Pendidikan Nilai dalam Lingkup Keluarga
Sebenarnya pendidikan nilai ini sudah berlangsung di sekolah atau lembaga pendidikan. Hanya saja orang tua (keluarga) juga perlu mengawal pendidikan ini di rumah agar sinergi dan hasil yang diharapkan lebih optimal. Mengingat waktu anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan keluarga. Thomas Lickona membagi pendidikan nilai menjadi dua yaitu nilai moral dan nonmoral. Nilai moral adalah hal-hal yang dituntut dalam kehidupan ini seperti nilai kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan sebagainya. Sedangkan, nilai nonmoral tidak menuntut hal-hal seperti yang telah disebutkan. Tapi, lebih cenderung mengacu pada sikap yang berhubungan dengan apa yang diinginkan atau yang disuka. Misalnya, ketika seseorang membaca sebuah novel yang baik, maka ia tidak memiliki kewajiban untuk melakukan hal-hal yang terdapat di sana.
Namun, nilai-nilai moral ini juga tentu tidak terbatas pada tiga poin di atas. Orang tua juga bisa menanamkan nilai-nilai yang berpijak pada budaya bangsa. Misalnya sikap gotong royong, toleransi, tenggang rasa, musyawarah, etika dan bahasa terhadap orang yang lebih tua, dan sikap peka lainnya terhadap nilai moral. Untuk mencapai tujuan ini, orang tua bisa membangun komunikasi efektif dan positif dengan anak. Orang tua harus pandai menghadirkan suasana keluarga yang memungkinkan tumbuhnya minat anak untuk menerapkan nilai-nilai yang telah terbentuk. Namun, tentu mereka juga harus terlebih dahulu menerapkan nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak. Sehingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak.
Jadi, ada dua unsur yang menjadi fokus kita agar nilai pendidikan tetap terjaga dan mendukung keberhasilan pendidikan anak, yaitu pihak sekolah dan orang tua (keluarga) siswa. Tugas pihak sekolah adalah menjaga agar sinergi tetap terjalin baik, yaitu dengan mewadahi komunikasi aktif dengan orang tua siswa dan membentuk komunitas keluarga. Kemudian, tugas orang tua adalah mengembangkan pendidikan nilai dalam keluarga, untuk mengawal perkembangan pendidikan anak. Upaya-upaya oleh dua unsur ini tentu harus tetap berjalan seimbang dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Lombok Tengah, 29 April 2018.
Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di sebuah SMP, ia juga aktif menulis Cerpen, Opini dan Resensi di berbagai media.






[1] Surya.co.id

[2] Mataram, iNews.id
[3] TULKIT-LIRP, Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran (UNESCO Bangkok: 2006), hlm.55.
[4] Lickona Thomas, Educating for Character edisi terjemah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm.58.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...