Senin, 24 Desember 2018

Opini

Gempa, Pariwisata, dan Bahasa
Oleh: Marzuki Wardi
Sumber:https://beritagar.id/artikel/berita/masa-kritis-evakuasi-korban-gempa-lombok
Esai ini menjadi pemenang ke-2 dari sepuluh terbaik dalam Lomba Fotograpi, Poster, Film Pendek, dan Penulisan Kreatif yang diselenggarakan oleh Dinas Kominfotik Provinsi NTB pada tahun 2018

Sewaktu pulang mengikuti acara Kemdikbud di Jakarta dua minggu yang lalu, saya sempat menanyakan sopir travel bandara yang saya tumpangi, “Bagaimana perkembangan jumlah pengunjung atau penumpang di bandara pasca gempa dahsyat yang mengguncang pulau Lombok?”
“Menurun drastis,” jawabnya dengan nada tertekan dan raut lesu. Saya sendiri tidak tahu apakah dia memang capai ataukah kaget dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba. Saya pun lanjut bertanya, “Untuk hari ini aja, berapa penumpang yang sudah Mas antar?”
“Baru dua. Hanya pelinggih[1] dan satunya lagi tadi pagi. Tapi, syukur bos saya pengertian. Ia memahami kondisi yang belum pulih. Jadi kalau target setoran tidak mencukupi, ia terima saja tanpa komplain.”
“Oh ya, minggu depan, tepatnya hari Minggu ini, akan ada event besar-besaran di Kute: TNI International Marathon. Para atlet lari dari berbagai daerah dan Negara akan datang kesini untuk berkompetisi dalam ajang bergengsi itu. Tentu akan banyak yang membutuhkan jasa kendaraan. Mas siap-siap aja,” balas saya menyemangati.
“Ya, semoga aja ramai, Pak,” timpal si sopir menutup percakapan singkat kami.
Mendengar keluhan laki-laki yang saya duga sudah berkepala tiga itu, saya sedikit merasa menyesal telah menawar bayaran padanya—meski hanya menawar sekali saja setelah akhirnya langsung deal. Apalagi saat itu sudah cukup malam. Boleh jadi saya adalah penumpang kedua sekaligus terakhirnya. Saya bukannya pelit, dan memang tidak terbiasa banyak menawar soal jasa apa pun. Akan tetapi, alasan saya saat itu adalah selain biaya transportasi pulang dibiayai hanya sampai Yogyakarta—karena tiket pulang sengaja saya alihkan ke sana—uang saya juga sudah lumayan tipis. Sehingga irit adalah salah satu jurus terakhir yang harus saya keluarkan.
Pada saat yang sama, pikiran saya juga tertuju pada seorang teman yang mengelola peternakan ayam pejantan, di mana ia juga sekaligus menjadi pemasok barang dalam jumlah besar ke berbagai hotel dan restoran. Lima bulan yang lalu, tepatnya pada saat acara Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2018, Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK Nasional, Olimpiade Guru Nasional, dan beberapa acara bertaraf nasional dan internasional yang diselenggarakan di pulau Lombok, ia sempat bercerita betapa koalahannya ia melayani pesanan yang berlimpah dari para pelanggannya. Bahkan, stok ayam yang dia dan beberapa rekan peternak sediakan habis terjual hanya dalam hitungan minggu. Sehingga keuntungan saat itu bisa mencapai dua bahkan tiga kali lipat dari biasanya.
Sekarang saya tidak tahu persis bagaimana perkembangan usaha ternak teman itu. Karena sejak menceritakan perihal keuntungan yang menurutnya fantastis itu, saya belum sempat berkunjung lagi ke rumahnya. Semoga saja tidak mengalami penurunan drastis jumlah pemesan sebagaimana yang dialami si sopir travel. Artinya, saya tidak ingin menyatakan bahwa tanpa acara-acara, baik yang bertaraf nasional maupun internasional itu, usaha peternakan teman tersebut akan mati. Sebab, di hari-hari lain yang jumlah tamu hotel dan restaurant memadai, tentu permintaan barangnya juga akan tetap ada, meski menyesuaikan dengan kondisi.
Maksud saya, secara sederhana di sinilah kita bisa melihat keterkaitan antara pariwisata dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Memang tidak diragukan lagi, meski bukan sumber utama kemasukan daerah kita, sektor pariwisata memiliki andil yang besar terhadap siklus ekonomi (masyarakat) di berbagai lini. Ketika angka kunjungan wisatawan meningkat, roda perekonomian masyarakat juga akan membaik. Begitu pula sebaliknya. Hanya saja, persoalannya saat ini adalah sejak bencana gempa melanda pulau Lombok dan Sumbawa (NTB), angka kunjungan tersebut cenderung menurun.
Sejalan dengan apa yang saya paparkan di atas, menurut data BPS, jumlah kunjungan wisatawan ke Lombok merosot hingga 69,18 % pasca gempa Agustus lalu.[2] Padahal sebelum gempa, atau pada bulan Juli lalu, jumlah pengunjung mencapai 13.980 orang. Namun, pada Agustus turun drastis menjadi 4.300. Lebih jauh lagi, dampak tersebut bahkan berskala nasional. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menyebut penurunan angka turis sudah sekitar 100.000 orang jika dihitung sejak 29 Juli 2018. Angka tersebut tentu tidak sebanding dengan tahun lalu, menurut laki-laki kelahiran Banyuwangi itu.[3]
Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa memugarkan kondisi tersebut? Tentu hal ini bukan berarti mengenyampingkan penanganan pasca gempa lainnya seperti percepatan rehabilitasi bangunan (rumah atau hunian tetap dan fasilitas umum), trauma healing (penyembuhan trauma), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Akan tetapi, agar laju perekonomian masyarakat dan daerah bisa berkembang di tengah penanganan-penanganan yang telah disebutkan tadi.
Festival Budaya
Sebenarnya ini tidak terlepas dari soal waktu. Seiring normalnya kondisi alam NTB, khususnya pulau Lombok, saya kira angka kunjungan akan kembali normal. Terlebih Lombok memiliki branding name di mata internasional sebagai halal tourism object (objek wisata halal). Kemudian, selain dikenal akan keindahan alamnya, ia juga memiliki keragaman dan keunikan budaya yang dapat memantik minat wisatawan. Karenanya, ikon ini harus terus dimanfaat untuk memasarkan objek wisata yang terdapat di NTB.
Salah satu cara yang dapat kembangkan adalah dengan mengadakan festival-festival budaya daerah. Jika bulan yang lalu, beberapa kampanye NTB bangkit dalam bentuk kegiatan olahraga seperti Mekaki Marathon di Lombok Barat dan TNI Internasional Marathon di Lombok Tengah, sukses diselenggarakan. Maka, format kegiatan berikutnya dapat disemarakkan berupa festival-festival budaya daerah. Seperti yang diselenggarakan di Lombok Utara pekan lalu, misalnya, yang mengangkat tradisi mandi safar.
Pemberdayaan Bahasa
Secara linguistis, ada lima fungsi dasar bahasa, yaitu fungsi ekspresi, informasi, eksplorasi, persuasi, dan fungsi entertainmen.[4] Satu dari lima fungsi itu, menurut saya, setidaknya yang dapat kita jalankan adalah fungsi informasi. Fungsi ini memungkinkan kita untuk mengadakan pemasaran baik secara langsung, melalui media (daring), maupun media surat kabar (mainstream) arus utama. Di media raksasa seperti Kompas, misalnya, ia memiliki kolom khusus yaitu kolom Pesona Nusantara untuk mempromosikan berbagai objek wisata yang terdapat di seluruh tanah air (bukan berbentuk berita pelaksanaan). Saya kira media arus utama yang terdapat di NTB juga bisa bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk melakukan hal itu, demi mendukung pariwisata di daerah kita. Artinya, apa yang saya maksud dengan pemberdayaan bahasa di sini adalah upaya optimalisasi fungsi informasi yang dapat dikemas dalam bentuk advertensi di media arus utama.
Jadi, yang menjadi fokus kita saat ini selain percepatan rehabilitasi bangunan (hunian tetap dan fasilitas umum), trauma healing (penyembuhan trauma), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lainnya adalah upaya pemulihan ekonomi masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya dengan menghidupkan sektor pariwisata. Dan apabila dua langkah strategis di atas dapat memberikan dampak signifikan, maka mereka telah memberikan nilai tambah terhadap industri pariwisata di daerah kita.
Lombok Tengah, 17 November 2018.
Marzuki Wardi, selain berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Lombok Tengah, ia juga aktif menulis cerpen, esai, dan resensi buku di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional.

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...