Sabtu, 15 Oktober 2022

Esai Bahasa

 

Menilik Pemakaian Kiasan dalam Tindak Tutur Masyarakat Sasak

Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di kolom Selasa Bahasa SKH Lombok Post pada 4 Oktober 2022


Masyarakat Sasak sangat suka memakai kiasan dalam tindak tutur sehari-hari. Untuk memahami ungkapan mereka, diperlukan kejelian dan kemampuan (pengalaman) berbahasa yang cukup memadai. Karenanya, tidak heran seorang teman saya yang masih cukup muda, bila hari, sontak kaget ketika ditanya, “Ye tabah kupi, ne?”[1] oleh teman saya yang lebih senior. Kebetulan pagi itu dia membuat dua gelas kopi: satu untuknya sendiri dan satunya lagi untuk teman yang lain. Pagi itu hanya ada kami bertiga di dalam ruang perpustakaan sekolah, dan saya sendiri tidak sedang minum kopi.

Setelah cukup lama melongo, dia menimpali, “Ape kenem? (Maksudnya apa?)”

Ndeq araq baturn ne? (Ndak ada temannya ini?),” balas teman satunya lagi. Namun, lagi-lagi teman yang membuat kopi tersenyum, belum bisa memahami pertanyaan tersebut. Sontak saya tertawa. Teman yang sudah dua kali bertanya itu juga tertawa. Tidak ketinggalan, si pembuat kopi juga, meskipun lebih tepatnya ia menertawai kedongkolannya.

Teman saya itu bukanlah penutur bahasa daerah lain. Dia juga seorang penutur bahasa Sasak. Bahkan, dia tergolong penutur Sasak tulen. Saya bilang begitu karena kami berdialek sama meriak-meriku, tapi aksen dialeknya nyangket (sangat kental). Kalau di Jawa mungkin disebut medok. Maksud saya, bagaimana mungkin dia tidak memahami ungkapan itu? Tetapi, dia memang masih relatif muda dari kami berdua. Lagi pula, kesamaan bahasa, lebih khusus dialek, saya kira bukan berarti otomatis menunjukkan kesamaan kompetensi berbahasa seseorang. Lebih-lebih kalimat di atas memang berupa kiasan.

Hal ini saya kira cukup menarik untuk dibahas. Sejauh pengamatan saya, ciri khas tindak tutur masyarakat Sasak memang sangat lekat dengan penggunaan bahasa sindiran, majas, dan peribahasa dalam menyampaikan pesan atau tujuannya. Dan, itu berlaku hampir di semua ragam kondisi tutur atau komunikasi. Dalam interaksi jual beli misalnya, sering kita mendengar seorang pembeli mengungkapkan segerah maraq paku Belande laloq[2] untuk menyindir sikap kukuh seorang penjual yang mempertahankan harga penjualan barang.

Pertanyaannya, kenapa mesti paku Belanda? Kenapa bukan paku Indonesia, paku Jerman, paku Inggris, dan lainnya? Tentu saja karena ini merujuk ke pengetahuan masyarakat Sasak mengenai paku Belanda yang kuat dan kokoh. Dari mana mereka tahu kuat dan kokoh? Mungkin saja karena mereka melihat banyak sekali bangunan peninggalan Belanda yang saat ini masih berdiri kokoh di gumi Sasak.

Salah satu contoh ungkapan dalam konteks bertamu yang lebih mirip dengan pertanyaan ye tabah kupi ne? adalah ye dalem sumur leq te? ‘apa di sini sumurnya dalam’. Pertanyaan ini sering kali digunakan sebagai gurauan atau sindiran manakala tuan rumah tidak menyuguhkan air atau kopi kepada tamunya. Sumur yang dalam berarti airnya sulit dijangkau. Karena sulit dijangkau, jadi wajar air tak disediakan di sana. Barangkali maknanya bisa ditafsirkan seperti ini.

Mari kita amati konsekuensi yang mungkin terjadi pada dua contoh ungkapan di atas. Pada ungkapan paku Belande, andai saja si penjual baru pertama kali mendengar ungkapan tersebut, dan tidak mengetahui sifat paku Belande yang kuat dan kokoh, bisa saja pesan yang dia tangkap ialah kualitas barang dagangannya dipuji bagus sehingga boleh jadi dia semakin mempertahankan harganya. Apakah ini mungkin? Mungkin saja ya, mungkin juga tidak. Tetapi, kalau si penjual tidak memahinya, kemungkinan dia tidak akan menggubrisnya.

Pada pertanyaan ye dalem sumur leq te? maknanya dapat dengan mudah dipahami si pendengar. Akan tetapi, karena terdengar mudah dan biasa, bisa saja dia akan menyahut ya atau tidak tanpa beranjak mengambil minuman atau kopi. Artinya, dia memahami kalimat itu sebagai makna literal atau harfiah, bukan sebagai sebuah sindiran agar dia segera menyuguhkan air minum. Jika kondisi ini terjadi, lawan bicara biasanya akan memilih menyampaikan maksud yang sebenarnya secara langsung, yakni meminta air secara terang-terangan. Itu pun kalau hubungan mereka cukup akrab.

Artinya, jika kita tidak bisa menangkap pesan yang disampaikan oleh penutur, baik pada contoh satu maupun dua, maka komunikasi tidak dapat berjalan efektif. Dalam kaitannya dengan kasus teman saya di atas, jika posisinya sebagai seorang penutur, barangkali kasus ini termasuk kategori mistake. Artinya, dia memang betul-betul tidak memahami ungkapan itu. Bukan berarti dia lupa atau kurang perhatian. Sebab, ketika ditanya kupi doang, ndeq araq sedaq? (hanya kopi, tidak ada jajan?), dia baru ketawa dan tahu bahwa maksud pertanyaan pertama itu ialah menanyakan penganan atau kudapan untuk menyertai kopi.

Mengamati fenomena berbahasa seperti ini, seketika hal-hal yang muskil terbayang di benak saya. Misalnya, kenapa pada saat penganan atau kudapan yang tidak disertai kopi, kita tidak mengatakan la tabah jaje ne.[3] Saya yakin Anda pasti juga tidak pernah mengatakan hal tersebut, atau minimal pernah mendengarnya. Apakah ini menandakan bahwa kopi merupakan sajian wajib bagi tamu? Saya kira demikian adanya. Mengingat orang Sasak lebih cenderung mengatakan ngupi ne[4] ketimbang bejaje ne[5] untuk menawari orang yang lewat di depan rumahnya, meskipun dua-duanya tersedia di depannya: kopi dan jajan.

Apakah Anda sepakat? Kalau tidak, dan kalau Anda penutur Sasak cobalah sesekali menawari orang dengan ungkapan bejaje ne, atau katakan pada tamu Anda silaq keloran jaje tie, laguq ye tabah[6]  ketika tidak ada kopi atau minuman lain di sampingnya. Bukankah itu terdengar aneh, asing, dan lucu? Tentu masih banyak contoh ekspresi seperti ini yang acap dipakai dalam tindak tutur keseharian masyarakat Sasak. Namun, karena keterbatasan ruang pada media, kita akan membahasnya di lain kesempatan.

Lombok Tengah, 4 September 2022.

12:20 am

 

 



[1] Kopi ini pemberani, ya?

[2] Masa seperti paku Belanda

[3] Wah jajan ini pemberani

[4] Mari ngopi (bahasa Sasak)

[5] Mari makan jajan (bahasa Sasak)

[6] Silakan makan jajannya, tapi dia pemberani

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...