Rabu, 28 Juni 2023

Cerpen

 Wasiat Kiai Seman

ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat


Kiai Seman turun dari dipannya dengan napas tersengal. Tenggorokannya terasa kering. Mimpi yang selalu menyisakan rasa takut itu datang lagi. Ia tahu persis bahwa  bulan Dzulhijjah sudah masuk. Artinya, ibadah haji di tanah suci sudah sangat dekat sehingga wajar jika terus-terusan bermimpi tentang ibadah haji dan seputarnya. Akan tetapi, di satu sisi, mimpi itu bukan akhir-akhir ini saja menghinggapinya, melainkan sejak dua bulan lalu, tepatnya selepas bulan puasa.

Ia melangkah ke dispenser dekat dipannya, dan menuangkan segelas air lalu meminumnya dengan gaya seolah ia tak pernah minum selama bertahun-tahun. Ketika rasa haus mulai hilang dan perasaannya agak tenang, tiba-tiba ia teringat dengan kata-kata Kiai Saidi, seorang tokoh sepuh di kampungnya yang dikenal memiliki karomah. Orang yang bermimpi tentang tanah suci berkali-kali adalah satu di antara tanda kematian. Konon, begitulah ia selalu berpesan kepada warga kampung.

Perasaannya jadi semakin tak karuan, antara cemas, gelisah, dan takut. Apalagi, penyakit asmanya akhir-akhir ini kerap kambuh, meskipun tidak begitu parah dan membuatnya terbaring lemas di kamar. Tetapi, hal itu seakan menguatkan firasatnya bahwa laki-laki berjanggut panjang berjubah putih yang selalu datang dalam mimpinya itu adalah Malaikat Maut. Ia menarik napas panjang kemudian beranjak ke kamar mandi untuk berwudu dan salat malam. Ia berusaha ikhlas menerima takdir Ilahi ini kalaupun Malaikat maut memang benar-benar menjemputnya.

“Seperti yang kalian tahu, sampai saat ini bapak belum ada pengganti. Mau tidak mau, salah satu di antara kalian harus siap menggantikan bapak jadi kiai di kampung ini,” ujar Kiai Seman di hadapan anak-anaknya.

“Ripin anak laki-laki yang paling tua, Pak. Biasanya, kan, kriteria seperti dialah yang dipilih sebagai badal.” jawab Marsitah menunjuk Syamsul Aripin.

Marsitah adalah anak tertua dari enam bersaudara. Ia menikah dengan seorang sopir truk di kampung sebelah, masih di desa yang sama. Satu adik perempuannya menikah ke luar kota. Satu orang laki-laki berada di tanah rantau, dan tiga lainnya masih di rumah.

“Tidak mesti begitu. Siapa pun bisa, asalkan anak laki-laki. Tapi kalau Ripin siap ya tidak apa-apa. Bagaimana, Pin?”

“Bapak, kan, tahu meskipun saya ini jadi pegawai, saya tak bisa agama,” jawab anak kelima Kiai Seman itu.

“Yang penting bisa baca tulis Al-Quran dulu, selanjutnya kamu bisa mengembangkan diri. Asal ada keinginan untuk belajar, dan yang terpenting adalah kamu siap di-tahallul.

“Maaf, Pak, saya belum siap. Menjadi kiai beban moralnya berat! Kenapa tidak Sujarman saja, Pak. Dia, kan, baru lulus SMA, otaknya masih segar. Dia bisa belajar atau masuk pesantren,” sambungnya.

“Bagaimana, Man, siap kamu?”

“Maaf, Pak, saya juga ndak mau jadi kiai,” tolak Sujar tegas.

“Kenapa?”

“Saya mau jadi sarjana ekonomi saja, Pak, biar saya jadi orang kaya, biar disegani orang-orang.

“Sarjana juga bisa jadi kiai. Kamu lihat sekarang banyak, kan, kiai atau ustaz bergelar sarjana.”

“Ya, Pak, betul. Tapi saya ndak mau jadi sarjana agama. Lagi pula, kiai jaman sekarang sudah ndak begitu disegani. Di media sosial, mereka jadi bahan pergunjingan bahkan olok-olokan.”

“Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Buktinya sampai saat ini bapak masih disegani warga. Bukan itu juga tujuan kita jadi kiai, tapi sebagai bentuk dakwah kita, menolong agama Allah.”

“Itu bagi mereka yang tua-tua, Pak, yang masih awam. Beda dengan anak-anak muda sekarang. Coba bapak perhatikan kondisi bujang di kampung kita dan orang-orang di media sosial. Apalagi saya juga, kan, masih muda.

“Kamu mau jadi kiai di media sosial atau di kehidupan sosial? Sudahlah kalau tak mau jangan berkilah begitu!”

Setelah melewati musyawarah yang cukup alot, akhirnya tak satu pun anak Kiai Seman yang bersedia menggantikan posisinya. Hal yang ia takuti rasanya sudah di depan mata: meninggal tanpa meninggalkan pengganti. Lalu, siapa lagi yang akan mengurusi masyarakat?  

Rasa sesal mulai terbetik dalam benak Kiai Seman. Kenapa ia tidak menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren? Jika itu dulu dilakukan, tentu saja saat ini ia tak perlu repot-repot mencari pengganti. Ia juga merasa kecolongan, tak mampu membaca kemungkinan yang akan terjadi saat ini. Rasa sesal itu perlahan berubah menjadi rasa sedih, karena ia tidak bisa menahallulkan salah satu anaknya menjadi kiai. Ia merasa dirinya menjadi pemutus generasi kiai di kalangan keluarganya.

Kiai Seman memang bukan secara kebetulan menjadi seorang pemuka agama di kampungnya. Ia punya darah kiai. Nama kelahiran yang sebetulnya ialah Usman Harun. Hanya saja lidah masyarakat Sasak menyebutnya Seman. Bapaknya bernama Kiai Said Harun, juga seorang kiai yang terkenal wara dan zuhud di kalangan masyarakat. Beliaulah yang menahalullnya dulu pada saat diangkat menjadi kiai. Dan, bapaknya juga dulu ditahallul oleh kakeknya, Kiai Harun Rasyid. Begitu seterusnya dengan para pendahulu Kiai Seman.

Kini, sudah genap empat puluh delapan tahun ia memimpin masyarakat di kampungnya. Keberadaannya di sana laksana embun yang mengairi lahan-lahan kering. Ia memang tidak punya pondok pesantren, tapi ia mengajari masyarakat awam cara melaksanakan ibadah sehari-hari. Dengan penuh kesabaran, ia juga menuntun mereka memahami berbagai persoalan agama. Masalah rumah tangga hingga tetangga juga tak luput ia selesaikan. Beberapa acara keagamaan seperti mahallul qiyam, tahlilan, dan mauilidan dinakhodainya. Karenanya, ia berpikir harus menemukan sosok pengganti meski bukan dari keturunan atau keluarganya. Akan tetapi siapa orang yang tepat mengisi posisi itu?

Perasaan Kiai Seman semakin kalut. Di sisi lain, apa yang dikatakan Sujarman juga ada benarnya. Ia pernah menyaksikan beberapa bujang dengan entengnya menenggak tuak dan mabuk-mabukan di ujung kampung pada saat acara pesta. Orang tua-orang tua zaman ini juga mulai malas mengajari anak mereka mengaji atau setidaknya menyerahkannya ke guru ngaji. Ia menyadari kondisi ini sungguh berbeda ketika awal-awal ia menjadi kiai dulu. Perhatian mereka terhadap urusan agama lebih dinomor satukan dari pada urusan dunia.

“Ada apa kiai mengumpulkan kami?” tanya warga.

Sore ini Kiai Seman mengumpulkan semua warga kampung di musala. Di hadapan mereka ia mengulang apa yang pernah disampaikannya kemarin lusa di hadapan anak-anaknya.

“Insya Allah, musim haji ini saya akan berlayar lagi, tapi ini mungkin haji saya yang terakhir, mungkin saya tidak akan pulang lagi. Karenanya, harus ada yang mengganti saya sebagai kiai di sini.”

Para warga melongo, antara percaya dan tidak dengan panutan mereka tersebut. Mereka heran kenapa tiba-tiba Kiai Seman berwasiat seperti orang yang mau meninggal? Padahal, ia masih terlihat bugar. Tidak ada orang yang tahu juga Kiai Seman mendaftar haji tahun ini. Ada apa sebenarnya dengan kiai? tanya mereka dalam hati. Ah, usia kiai, kan, sudah hampir delapan puluhan, wajar ia mulai ngomong tak karuan, pikir beberapa di antara mereka.

Hal yang dialami Kiai Seman saat berwasiat di depan anak-anaknya seakan terulang. Bahkan lebih dari itu, beberapa warga mulai meragukan kondisi ingatan dan kejiwaannya.

Baiklah kalau tidak ada juga yang siap, musyawarahkanlah pemimpin kalian besok. Saya titip musala ini sama kalian. Ingat, makmurkanlah rumah Allah agar kampung kita makmur dan selamat!” pesannya.

Langit sudah berwarna magenta. Tak lama selepas Kiai Seman berwasiat, azan magrib berkumandang. Ia pun mengimami salat jamaah seperti biasanya. Dan itulah terakhir kalinya ia mengimami salat. Pada bulan haji, tepat ketika jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah, Kiai Seman benar-benar mengembuskan napas terakhir tanpa seorang penggantinya sebagai kiai kampung. Masyarakat dilanda kekalutan. Siapa yang akan menjadi pempimpin kami di kampung ini?

Lombok Tengah, 19 Juni 2023

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, resesensi buku, dan buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media cetak dan daring. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.

Catatan:

· Kiai dalam cerita ini ialah kiai kampung yang identik dengan tugas kemasyarakatan atau memimpin masyarakat. Bukan kiai yang memimpin atau mengajar di pesantren.

· Tahallul adalah tradisi pencukuran rambut dalam rangka pengangkatan seorang menjadi kiai. Acara dilakukan secara resmi layaknya acara pencukuran rambut bayi.

· Istilah berlayar dalam hal ini bermakna naik Haji. Tetapi, masyarakat Sasak juga sering mengartikannya sebagai kematian.

Rabu, 17 Mei 2023

Cerpen

 Gadis Peracik Kopi dari Arah Barat Laut

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Radar Mojokerto pada 3 Juli 2022

Mahip Rasidin akhirnya mengibarkan bendera putih. Hal itu ia lakukan setelah tiga tahun, tanpa henti, mencari sosok gadis yang didapatinya melalui wangsit. Sebetulnya, ia sempat tak percaya soal itu. Sebab, suatu kebiasaan dan sudah menjadi kesenangan itu biasanya suka terbawa ke alam mimpi. Lagi pula, ia tidak punya kemampuan spiritual tinggi untuk menerima hal gaib semacam itu. Ia juga bukan orang alim, tidak bisa mengaji, bahkan salatnya sering bolong. Tetapi, setelah diyakinkan oleh Ali Masykur, seorang guru spiritual yang sebetulnya mirip dukun di kampungnya, bujang itu akhirnya percaya begitu saja bahwa mimpinya itu betul-betul bermakna sebuah wangsit.

Konon, pada mimpi pertama Mahip bertemu dengan seorang perempuan atau gadis cantik di dekat kebun teh yang ia sendiri tak tahu entah di mana. Ketika ia sedang memejamkan mata sambil menghirup kepulan asap kopi sebagaimana kebiasaannya, tiba-tiba napasnya terasa berat seakan sedang menanjaki bukit yang terjal. Lama-lama ia kesulitan bernapas dan seketika itu ia pingsan. Dalam pingsannya ia melihat kepulan asap yang dihidunya meliuk-liuk ke udara lalu perlahan membesar, membentuk tubuh manusia, dan akhirnya menjelma seorang gadis cantik.

Mahip kaget bukan kepalang. Ia sempat tak percaya, bagaimana mungkin asap kopi tiba-tiba menjelma jadi gadis cantik. Kejadian ini memang aneh dan ganjil, hanya pernah terjadi di film-film. Tapi, memang begitulah mimpi, bukankah hal yang mustahil selalu bisa terjadi dalam mimpi? Sayangnya, ketika Mahip mencoba mendekati gadis itu ia keburu bangun. Ia sangat kesal pada mimpinya.

Di lain kesempatan, Mahip bermimpi sedang tidur nyenyak di atas kasur empuk di sebuah ruang yang mewah ketika ia mencium aroma kopi yang sangat menyengat. Begitu membuka mata, tahu-tahu secangkir kopi sudah tergeletak di depannya. Karena penasaran, ia pun mencoba menyesapnya, dan ternyata kopi itu sungguh nikmat. Ketika menolehkan mata ke arah kanan, matanya menangkap sosok gadis pada mimpi pertamanya berpakaian serba putih sedang menyelinap di balik tirai yang juga putih. Pada saat itu, Mahip terbangun dan segera menyadari bahwa itu ternyata mimpi lagi. Kali ini mimpi tersebut mirip iklan kopi di televisi.

Pada mimpi ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, mimpi Mahip tidak jauh dari soal kopi dan perempuan, tepatnya gadis yang itu-itu saja. Lama-lama Mahip merasa akrab dengan wajah gadis itu. Ia merasa benar-benar telah mengenalnya di alam nyata. Gadis itu bertubuh jenjang dan langsing, bibirnya tipis, berbulu mata lentik, rambutnya lurus sampai bahu, wajahnya mungil dan sungguh teduh dipandang. Lambat laun, Mahip merasa terpesona dengannya, dengan gadis yang sama sekali tak pernah ia temui di alam nyata.

“Kamu mau tahu arti mimpimu itu?” tanya Ali Masykur.

“Ya, oleh sebab itu saya datang ke sini,” jawab Mahip setelah membungkukkan badan dan mencium telapak tangan Ali Masykur bolak-balik. Jari-jarinya dipenuhi cincin akik sebagaimana orang pintar pada umumnya.

“Perempuan itu sebetulnya calon istri kamu, tepatnya jodoh kamu!”

“Dari mana Oak tahu?”

“Kamu meragukan kemampuan saya?”

“Tidak, Oak.”

“Lantas kenapa kamu bertanya seperti itu? Tidak kurang dua puluh tahun saya telah menekuni dunia gaib!”

Ali Masykur memejamkan mata dan memijat-mijat pangkal kedua alisnya hingga ke ujung dengan dua jari telunjuknya. Gerakan itu ia lakukan secara perlahan sebanyak tiga kali. Hening dan khusyuk. Sebentar kemudian ia membuka mata, “Perempuan itu berasal dari arah barat laut. Ya, jodohmu akan datang dari arah itu,” katanya dengan mantap. Ia seakan ingin menunjukkan kebolehannya di depan bujang penikmat kopi itu.

Mulut Mahip menganga. Firasatnya sama persis dengan apa yang dikatakan Oak Ali Masykur. Dalam mimpinya, gadis itu memang selalu datang dan pergi dari arah barat laut. Minimal posisinya selalu berada di arah tersebut. Ciri-cirinya juga tidak jauh berbeda dengan yang dibeberkan laki-laki setengah gondrong itu. Ciri gadis yang selama ini betul-betul diimpikannya.

“Kenapa kehadirannya selalu bersama kopi, Oak?” selidik Mahip penasaran.

“Karena dia tahu kamu penikmati kopi sejati!”

“Apakah dia juga pandai meracik kopi?”

“Tentu saja!”

“Siapa kira-kira namanya?”

“Kecuali nama, yang lain bisa diterawang, terutama ciri dan karakter. Lagi pula, bukankah banyak orang di dunia ini bernama sama tapi berbeda dalam segala hal?”

Kali ini mulut Mahip terkatup. Hanya kepalanya yang terlihat mengangguk-angguk, mulai membenarkan kata-kata Ali Masykur. Bayangan tentang gadis itu pun semakin jelas dalam kepalanya. Bayangan itu menumbuhkan keyakinannya bahwa dialah jawaban atas pencariannya selama ini. Pencarian yang membuatnya memutuskan tidak segera menikah meski usianya sudah menguning, kecuali dengan gadis yang kriterianya telah ditentukannya sejak dulu. Yakni gadis yang tidak cuma cantik, tapi juga pandai menyelesaikan masalah. Dan itu ada pada gadis yang pandai meracik kopi. Seorang perempuan yang pandai meracik kopi, bagi Mahip, adalah gambaran perempuan yang pandai menyelesaikan masalah.

Dulu ia memang pernah dekat dengan beberapa gadis. Hanya, ia tak menemukan kelebihan itu di luar kecantikan yang mereka punya. Sebagai seorang penikmat kopi, Mahip meyakini kopi bukan sekadar minuman belaka, melainkan sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah. Kepulan asap yang dihirup akan meresap ke dalam kepala, lalu bekerja menarik keluar rasa pusing sehingga kepala jadi terasa ringan. Ketika kepala sudah ringan, maka otak akan bekerja dengan baik, dan jika daya kerja otak baik semua masalah akan mudah teratasi. Singkatnya, apa yang dikatakan Oak merupakan kombinasi antara keyakinan dan harapan Mahip.

Sejak saat itu, bujang berjidat lebar tersebut meyakini bakal berjodoh dengan gadis yang konon pandai meracik kopi dari arah barat laut. Sejak saat itu pula ia mulai sering menengadah ke arah langit itu. Ia menyandarkan harapannya pada langit. Karena langit baginya tempat menyandarkan harapan ketika bumi sudah tak mampu lagi melakukan itu. Ia juga mulai berdoa agar Tuhan segera mempertemukannya dengan gadis tersebut. Ia juga kerap menelusuri wajah gadis itu melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Tapi setelah satu tahun upayanya tak membuahkan hasil, ia pun mulai mencari cara lain yang lebih serius.

Pada suatu hari, Mahip mengadakan semacam sayembara meracik kopi khusus untuk kaum perempuan. Ia berpikir kalau-kalau sosok gadis dalam mimpinya itu tertarik ikut serta. Untuk menarik peserta, ia pun mengiming-imingi hadiah yang cukup fantastis bagi pemenang.  Tapi, tentu saja ia tak menceritakan maksud tengiknya itu kepada mereka. Bagaimanapun, ia masih waras sehingga menjaga kehormatan merupakan hal yang lebih diutamakannya. Lagi pula, kalau sampai ia melakukan itu, tak ada perempuan yang sudi dinilai martabatnya sekadar dari kepiawaiannya meracik segelas kopi. Namun, dari sekian ratus jumlah peserta yang ikut, ia ternyata tak menemukan sosok gadis dalam mimpinya.

Tekad Mahip untuk mewujudkan impiannya tak sampai di situ. Ia memutuskan untuk menemukan gadis itu sendiri secara langsung. Tentu saja hanya dengan modal ingatan atau bayangan wajahnya, tanpa selembar foto, tanpa sketsa atau lukisan wajah, tanpa foto profil, dan identitas lainnya yang lebih realistis. Ia memutuskan untuk mengembara ke arah barat laut. Ia mengembara dari kampung ke kampung, dari desa yang satu ke desa lainnya, dari kota A ke kota lainnya. Tempat-tempat wisata, taman kota, toko, mall, supermarket, swalayan, hotel, dan tempat-tempat umum lainnya ia susuri satu persatu. Ia berharap gadis tersebut bekerja di sana atau setidaknya mengunjungi tempat-tempat itu.

Hingga menggenapi tahun ketiga pencariannya, upaya itu rupanya tak jua membuahkan hasil. Mahip akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk pulang dan memastikan kebenaran mimpinya dan meminta Ali Masykur memberi tahu informasi gadis itu lebih rinci lagi. Namun, sungguh kecewanya bujang bertubuh sampiran baju itu, ketika sampai di kampung halaman, ia tak menemukan laki-laki tua itu. Ali Masykur sudah meninggal enam bulan lalu ketika wabah sedang menyerang kampung tersebut. Mahip tak dapat menemukan jodohnya. Seketika bayangan wajah Ali Masykur sedang menjulur-julurkan lidah menyembul dalam kepala Mahip. Ia segera mengambil cangkul dan beranjak ke kubur Ali Masykur.

Lombok Tengah, 20 Juni 2022

 

Rabu, 19 April 2023

Esai Bahasa

 Menatap Masa Depan Bahasa Daerah Melalui Kebijakan Merdeka Belajar

Oleh: Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada 18 April 2023


Lega! Sebagai seorang penikmat bahasa, saya merasa lega sekaligus tenang ketika menemukan beberapa kosakata bahasa Sasak yang tergolong langka dalam kamus Sasak-Indonesia terbitan kantor bahasa NTB. Perasaan ini saya kira wajar, karena kosakata-kosakata itu tidak lagi dipakai dalam tindak tutur sehari-hari. Sebab, mereka melekat pada tradisi atau budaya masyarakat Sasak yang kini sudah tidak dipraktikkan. Sebut saja kata reweh, mataq, dan bonter yang katanya dulu menunjukkan identitas suku Sasak.

Saya menangkap kosakata-kosakata tersebut secara kebetulan dari obrolan dua laki-laki lima puluhan tahun di rumah saya beberapa saat lalu. Tema obrolan mereka pada saat itu ialah tradisi Sasak masa silam. Dari raut dan gelagat mereka, saya menangkap betapa perasaan mereka tertaut dengan suasana pada masa itu. Tentu saja sebagai seorang pendengar―meskipun sebentar―, saya turut menikmati cerita mereka. Saya merasa senang sekaligus penasaran bagaimana rasanya mengikuti semarak tradisi-tradisi itu. Rasa penasaran saya itulah yang kemudian mendorong saya mencari kata-kata tersebut dalam kamus bahasa Sasak-Indonesia.

Memang, makna yang diterakan kamus itu tidak betul-betul membantu saya memahami esensi dari tradisi-tradisi tersebut. Kamus hanya menunjukkan makna literal. Karenanya, sejauh mana ia akan berdampak pada kelestarian bahasa daerah sangat bergantung pada sejauh mana ia mempengaruhi bahasa yang hidup di tengah masyarakat saat ini. Artinya, makna-makna itu mesti diikat secara kontekstual dalam bentuk cerita atau tuisan yang utuh. Di sinilah kita sadari betapa pentingnya tradisi bercerita dalam mewariskan budaya. Dan, kita semua pasti merasakan itu, merasakan manfaat tradisi yang kini sudah mati di tengah masyarakat kita.

Sayangnya, kita baru sadar telah kecolongan ketika gelombang difusi budaya semakin membadai seperti saat ini. Sementara, jangkar budaya berupa tulisan yang memadai tidak begitu banyak diwariskan ke generasi bangsa. Di sisi lain, benteng pertama dan utama pewarisan budaya seperti lingkungan keluarga kian rapuh. Dari sisi tindak tutur sehari-hari, misalnya, hari ini kita saksikan pemakaian beberapa kata bahasa daerah kian tergerus. Dalam masyarakat Sasak, orang tua dari generasi Y (kelahiran 1980-1994) dan generasi Z (kelahiran 1995-2012) nyaris tidak memakai panggilan kekerabatan seperti inaq (ibu), amaq (ayah), saiq (bibi), tuaq (paman) lagi, melainkan telah tergantikan dengan mamak, bapak, bibi, paman.

Ini memang bukan masalah serius. Karena di samping panggilan kekerabatan itu bermakna setara, orang bebas menentukan bahasanya sendiri. Tetapi, nilainya tetap saja berbeda. Panggilan bapak, misalnya, sering kali inklusif adik maupun kakak dari ayah atau ibu. Sementara, panggilan tuaq yang dialamatkan untuk kakak dari ayah atau ibu tentu tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, panggilan tuaq spesifik untuk adik dari ayah atau ibu. Tidak mengherankan banyak orang tua Sasak akan menolak jika seorang tuaq dipanggil bapak. Karena si pemanggil dianggap gagal dalam mengenali anggota keluarga dengan baik.

Nilai budaya inilah yang hilang manakala panggilan bapak dipakai secara umum untuk seorang laki-laki yang sudah berstatus ayah dalam tindak tutur sehari-hari. Dahulu, memang, panggilan genealogis ini biasanya dipakai di kelas sosial tertentu, seperti seorang ayah yang berprofesi sebagai pejabat pemerintah, guru, dan semacamnya. Sehingga panggilan tersebut memiliki nilai prestise tersendiri. Tetapi, saat ini ia sudah dipakai secara umum tanpa memandang profesi tertentu. Dan, kita tentu tidak bisa mencegah orang memakainya. Kita semua sama di mata sosial sehingga berhak memakai gelar itu. Begitulah kira-kira kredo status sosial kita hari ini.

Kasus di atas masih pada tataran leksem. Masih ada beberapa kasus seperti integrasi bahasa asing dan campur kode yang semakin menggurita yang jika terakumulasi dapat berdampak pada pergeseran bahasa (language shifting). Dan, pergeseran itu bukan tidak mungkin berujung pada kepunahan bahasa. Salah satu faktor penyebab kepunahan bahasa ialah kurangnya intensitas komunikasi bahasa daerah dalam berbagai ranah, khususnya dalam ranah rumah tangga. Proses punahnya bahasa memang amatlah panjang. Akan tetapi, fenomena-fenomena di atas saya kira sudah cukup menjadi alarm kita untuk melakukan upaya preventif. Dan, ini tidak hanya bagi bahasa Sasak, tetapi juga semua bahasa daerah di tanah air. Sebab, saat ini banyak bahasa daerah yang tearancam punah.

Kabar baiknya pemerintah telah menempuh upaya ini dengan mengakomodasi revitalisasi bahasa daerah dalam kebijakan merdeka belajar. Tetapi, pertanyaannya, sejauh mana kebijakan ini mampu mewujudkan visi tersebut? Bukankah bahasa itu milik penuturnya? Dengan kata lain, pemakaian suatu bahasa tidak dapat diintervensi oleh orang di luar penutur bahasa itu sendiri. Sungguh pun bisa, itu terbatas pada tempat dan kondisi tertentu yang mengharuskan seperti di lingkungan sekolah (akademis), dalam karya tulis, ritual agama, dan adat. Dalam hal ini, upaya revitalisasi bahasa tesebut dapat kita amati dari dua sisi.

Pertama, wilayah kontrol. Pada pedoman merdeka belajar episode 17, cakupan target atau sasaran revitalisasi cukup menyeluruh, mulai dari unsur keluarga, siswa, guru, pengawas, dan warga sekolah. Izinkan saya menyebut unsur-unsur tersebut berada dalam wilayah kontrol, yakni sebuah kondisi di mana pemakaian bahasa dapat dikendalikan. Dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran utama dalam pewarisan bahasa kepada anak. Apakah ia akan memilih memakai bahasa ibu, kedua, ataukah bilingual (untuk keluarga hibrida) dalam komunikasi sehari-hari sangat bergantung pada keputusan orang tua.

Demikian juga pada tataran perilaku berbahasa. Interaksi antara orang tua dengan anak yang sarat nilai memungkinkan adanya aturan (bahasa) yang harus sama-sama dipatuhi. Sebagai contoh, si anak akan kena tegur manakala ketahuan berkata kotor atau memakai bahasa kasar (tidak sesuai etiket). Karena itu, proses pewarisan bahasa di sini tidak hanya sebagai proses transfer bahasa, melainkan lebih pada upaya pendidikan bahasa.

Kedua, wilayah pengaruh. Hal ini dapat dimaknai sebagai upaya memperluas jangkauan pemakaian bahasa. Wilayah ini bisa diciptakan dengan melibatkan pihak dan unsur lain seperti media massa, budayawan, ahli bahasa, dan sektor pariwisata. Kantor Bahasa NTB adalah salah satu contoh lembaga yang menciptakan wilayah ini dengan menjalin kerja sama dengan beberapa surat kabar untuk mengadakan rubrik bahasa daerah di NTB (Sasak, Samawa, Mbojo).

Sebagi media penyambung pembaca (penutur bahasa) dengan beragam wacana, surat kabar dapat menjalankan beberapa fungsi dasar bahasa di antaranya fungsi informasi dan entertainmen. Sektor pariwisata juga dapat memberi sumbangsih pemberdayaan bahasa daerah mengingat peran strategisnya dalam menjembatani interaksi antar bangsa. Demikian seterusnya unsur-unsur lain dapat memberi sumbangsih sesuai dengan fungsinya. Sehingga pengaruh mereka akan merambah ke semua lini kehidupan masyarakat.

Pemerintah memang tidak dapat mengintervensi dua wilayah di atas secara penuh. Tetapi, ia dapat mendorong dan menguatkan peran masing-masing unsur-unsur di dalamnya. Karenanya, ditilik dari cakupan sasaran yang menyeluruh, langkah yang terstruktur dan sistemik, dan pendekatan yang variatif, saya yakin upaya pemerintah dalam merevitalisasi bahasa daerah cukup efektif. Meskipun demikian, sebagai pemilik peradaban, peran serta kita sebagai penutur bahasa tentu saja tetap diperlukan. Pemerintah telah menyuguhkan kita sebuah lentera, dan tugas kita adalah bagaimana memastikan lentera itu tetap menyinari masa depan bahasa daerah kita. Siapkah kita mengambil peran tersebut?

 

 

 

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...