Rabu, 19 April 2023

Esai Bahasa

 Menatap Masa Depan Bahasa Daerah Melalui Kebijakan Merdeka Belajar

Oleh: Marzuki Wardi

Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada 18 April 2023


Lega! Sebagai seorang penikmat bahasa, saya merasa lega sekaligus tenang ketika menemukan beberapa kosakata bahasa Sasak yang tergolong langka dalam kamus Sasak-Indonesia terbitan kantor bahasa NTB. Perasaan ini saya kira wajar, karena kosakata-kosakata itu tidak lagi dipakai dalam tindak tutur sehari-hari. Sebab, mereka melekat pada tradisi atau budaya masyarakat Sasak yang kini sudah tidak dipraktikkan. Sebut saja kata reweh, mataq, dan bonter yang katanya dulu menunjukkan identitas suku Sasak.

Saya menangkap kosakata-kosakata tersebut secara kebetulan dari obrolan dua laki-laki lima puluhan tahun di rumah saya beberapa saat lalu. Tema obrolan mereka pada saat itu ialah tradisi Sasak masa silam. Dari raut dan gelagat mereka, saya menangkap betapa perasaan mereka tertaut dengan suasana pada masa itu. Tentu saja sebagai seorang pendengar―meskipun sebentar―, saya turut menikmati cerita mereka. Saya merasa senang sekaligus penasaran bagaimana rasanya mengikuti semarak tradisi-tradisi itu. Rasa penasaran saya itulah yang kemudian mendorong saya mencari kata-kata tersebut dalam kamus bahasa Sasak-Indonesia.

Memang, makna yang diterakan kamus itu tidak betul-betul membantu saya memahami esensi dari tradisi-tradisi tersebut. Kamus hanya menunjukkan makna literal. Karenanya, sejauh mana ia akan berdampak pada kelestarian bahasa daerah sangat bergantung pada sejauh mana ia mempengaruhi bahasa yang hidup di tengah masyarakat saat ini. Artinya, makna-makna itu mesti diikat secara kontekstual dalam bentuk cerita atau tuisan yang utuh. Di sinilah kita sadari betapa pentingnya tradisi bercerita dalam mewariskan budaya. Dan, kita semua pasti merasakan itu, merasakan manfaat tradisi yang kini sudah mati di tengah masyarakat kita.

Sayangnya, kita baru sadar telah kecolongan ketika gelombang difusi budaya semakin membadai seperti saat ini. Sementara, jangkar budaya berupa tulisan yang memadai tidak begitu banyak diwariskan ke generasi bangsa. Di sisi lain, benteng pertama dan utama pewarisan budaya seperti lingkungan keluarga kian rapuh. Dari sisi tindak tutur sehari-hari, misalnya, hari ini kita saksikan pemakaian beberapa kata bahasa daerah kian tergerus. Dalam masyarakat Sasak, orang tua dari generasi Y (kelahiran 1980-1994) dan generasi Z (kelahiran 1995-2012) nyaris tidak memakai panggilan kekerabatan seperti inaq (ibu), amaq (ayah), saiq (bibi), tuaq (paman) lagi, melainkan telah tergantikan dengan mamak, bapak, bibi, paman.

Ini memang bukan masalah serius. Karena di samping panggilan kekerabatan itu bermakna setara, orang bebas menentukan bahasanya sendiri. Tetapi, nilainya tetap saja berbeda. Panggilan bapak, misalnya, sering kali inklusif adik maupun kakak dari ayah atau ibu. Sementara, panggilan tuaq yang dialamatkan untuk kakak dari ayah atau ibu tentu tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, panggilan tuaq spesifik untuk adik dari ayah atau ibu. Tidak mengherankan banyak orang tua Sasak akan menolak jika seorang tuaq dipanggil bapak. Karena si pemanggil dianggap gagal dalam mengenali anggota keluarga dengan baik.

Nilai budaya inilah yang hilang manakala panggilan bapak dipakai secara umum untuk seorang laki-laki yang sudah berstatus ayah dalam tindak tutur sehari-hari. Dahulu, memang, panggilan genealogis ini biasanya dipakai di kelas sosial tertentu, seperti seorang ayah yang berprofesi sebagai pejabat pemerintah, guru, dan semacamnya. Sehingga panggilan tersebut memiliki nilai prestise tersendiri. Tetapi, saat ini ia sudah dipakai secara umum tanpa memandang profesi tertentu. Dan, kita tentu tidak bisa mencegah orang memakainya. Kita semua sama di mata sosial sehingga berhak memakai gelar itu. Begitulah kira-kira kredo status sosial kita hari ini.

Kasus di atas masih pada tataran leksem. Masih ada beberapa kasus seperti integrasi bahasa asing dan campur kode yang semakin menggurita yang jika terakumulasi dapat berdampak pada pergeseran bahasa (language shifting). Dan, pergeseran itu bukan tidak mungkin berujung pada kepunahan bahasa. Salah satu faktor penyebab kepunahan bahasa ialah kurangnya intensitas komunikasi bahasa daerah dalam berbagai ranah, khususnya dalam ranah rumah tangga. Proses punahnya bahasa memang amatlah panjang. Akan tetapi, fenomena-fenomena di atas saya kira sudah cukup menjadi alarm kita untuk melakukan upaya preventif. Dan, ini tidak hanya bagi bahasa Sasak, tetapi juga semua bahasa daerah di tanah air. Sebab, saat ini banyak bahasa daerah yang tearancam punah.

Kabar baiknya pemerintah telah menempuh upaya ini dengan mengakomodasi revitalisasi bahasa daerah dalam kebijakan merdeka belajar. Tetapi, pertanyaannya, sejauh mana kebijakan ini mampu mewujudkan visi tersebut? Bukankah bahasa itu milik penuturnya? Dengan kata lain, pemakaian suatu bahasa tidak dapat diintervensi oleh orang di luar penutur bahasa itu sendiri. Sungguh pun bisa, itu terbatas pada tempat dan kondisi tertentu yang mengharuskan seperti di lingkungan sekolah (akademis), dalam karya tulis, ritual agama, dan adat. Dalam hal ini, upaya revitalisasi bahasa tesebut dapat kita amati dari dua sisi.

Pertama, wilayah kontrol. Pada pedoman merdeka belajar episode 17, cakupan target atau sasaran revitalisasi cukup menyeluruh, mulai dari unsur keluarga, siswa, guru, pengawas, dan warga sekolah. Izinkan saya menyebut unsur-unsur tersebut berada dalam wilayah kontrol, yakni sebuah kondisi di mana pemakaian bahasa dapat dikendalikan. Dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran utama dalam pewarisan bahasa kepada anak. Apakah ia akan memilih memakai bahasa ibu, kedua, ataukah bilingual (untuk keluarga hibrida) dalam komunikasi sehari-hari sangat bergantung pada keputusan orang tua.

Demikian juga pada tataran perilaku berbahasa. Interaksi antara orang tua dengan anak yang sarat nilai memungkinkan adanya aturan (bahasa) yang harus sama-sama dipatuhi. Sebagai contoh, si anak akan kena tegur manakala ketahuan berkata kotor atau memakai bahasa kasar (tidak sesuai etiket). Karena itu, proses pewarisan bahasa di sini tidak hanya sebagai proses transfer bahasa, melainkan lebih pada upaya pendidikan bahasa.

Kedua, wilayah pengaruh. Hal ini dapat dimaknai sebagai upaya memperluas jangkauan pemakaian bahasa. Wilayah ini bisa diciptakan dengan melibatkan pihak dan unsur lain seperti media massa, budayawan, ahli bahasa, dan sektor pariwisata. Kantor Bahasa NTB adalah salah satu contoh lembaga yang menciptakan wilayah ini dengan menjalin kerja sama dengan beberapa surat kabar untuk mengadakan rubrik bahasa daerah di NTB (Sasak, Samawa, Mbojo).

Sebagi media penyambung pembaca (penutur bahasa) dengan beragam wacana, surat kabar dapat menjalankan beberapa fungsi dasar bahasa di antaranya fungsi informasi dan entertainmen. Sektor pariwisata juga dapat memberi sumbangsih pemberdayaan bahasa daerah mengingat peran strategisnya dalam menjembatani interaksi antar bangsa. Demikian seterusnya unsur-unsur lain dapat memberi sumbangsih sesuai dengan fungsinya. Sehingga pengaruh mereka akan merambah ke semua lini kehidupan masyarakat.

Pemerintah memang tidak dapat mengintervensi dua wilayah di atas secara penuh. Tetapi, ia dapat mendorong dan menguatkan peran masing-masing unsur-unsur di dalamnya. Karenanya, ditilik dari cakupan sasaran yang menyeluruh, langkah yang terstruktur dan sistemik, dan pendekatan yang variatif, saya yakin upaya pemerintah dalam merevitalisasi bahasa daerah cukup efektif. Meskipun demikian, sebagai pemilik peradaban, peran serta kita sebagai penutur bahasa tentu saja tetap diperlukan. Pemerintah telah menyuguhkan kita sebuah lentera, dan tugas kita adalah bagaimana memastikan lentera itu tetap menyinari masa depan bahasa daerah kita. Siapkah kita mengambil peran tersebut?

 

 

 

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...