Rabu, 17 Mei 2023

Cerpen

 Gadis Peracik Kopi dari Arah Barat Laut

Oleh: Wardie Pena

Dimuat di SKH Radar Mojokerto pada 3 Juli 2022

Mahip Rasidin akhirnya mengibarkan bendera putih. Hal itu ia lakukan setelah tiga tahun, tanpa henti, mencari sosok gadis yang didapatinya melalui wangsit. Sebetulnya, ia sempat tak percaya soal itu. Sebab, suatu kebiasaan dan sudah menjadi kesenangan itu biasanya suka terbawa ke alam mimpi. Lagi pula, ia tidak punya kemampuan spiritual tinggi untuk menerima hal gaib semacam itu. Ia juga bukan orang alim, tidak bisa mengaji, bahkan salatnya sering bolong. Tetapi, setelah diyakinkan oleh Ali Masykur, seorang guru spiritual yang sebetulnya mirip dukun di kampungnya, bujang itu akhirnya percaya begitu saja bahwa mimpinya itu betul-betul bermakna sebuah wangsit.

Konon, pada mimpi pertama Mahip bertemu dengan seorang perempuan atau gadis cantik di dekat kebun teh yang ia sendiri tak tahu entah di mana. Ketika ia sedang memejamkan mata sambil menghirup kepulan asap kopi sebagaimana kebiasaannya, tiba-tiba napasnya terasa berat seakan sedang menanjaki bukit yang terjal. Lama-lama ia kesulitan bernapas dan seketika itu ia pingsan. Dalam pingsannya ia melihat kepulan asap yang dihidunya meliuk-liuk ke udara lalu perlahan membesar, membentuk tubuh manusia, dan akhirnya menjelma seorang gadis cantik.

Mahip kaget bukan kepalang. Ia sempat tak percaya, bagaimana mungkin asap kopi tiba-tiba menjelma jadi gadis cantik. Kejadian ini memang aneh dan ganjil, hanya pernah terjadi di film-film. Tapi, memang begitulah mimpi, bukankah hal yang mustahil selalu bisa terjadi dalam mimpi? Sayangnya, ketika Mahip mencoba mendekati gadis itu ia keburu bangun. Ia sangat kesal pada mimpinya.

Di lain kesempatan, Mahip bermimpi sedang tidur nyenyak di atas kasur empuk di sebuah ruang yang mewah ketika ia mencium aroma kopi yang sangat menyengat. Begitu membuka mata, tahu-tahu secangkir kopi sudah tergeletak di depannya. Karena penasaran, ia pun mencoba menyesapnya, dan ternyata kopi itu sungguh nikmat. Ketika menolehkan mata ke arah kanan, matanya menangkap sosok gadis pada mimpi pertamanya berpakaian serba putih sedang menyelinap di balik tirai yang juga putih. Pada saat itu, Mahip terbangun dan segera menyadari bahwa itu ternyata mimpi lagi. Kali ini mimpi tersebut mirip iklan kopi di televisi.

Pada mimpi ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, mimpi Mahip tidak jauh dari soal kopi dan perempuan, tepatnya gadis yang itu-itu saja. Lama-lama Mahip merasa akrab dengan wajah gadis itu. Ia merasa benar-benar telah mengenalnya di alam nyata. Gadis itu bertubuh jenjang dan langsing, bibirnya tipis, berbulu mata lentik, rambutnya lurus sampai bahu, wajahnya mungil dan sungguh teduh dipandang. Lambat laun, Mahip merasa terpesona dengannya, dengan gadis yang sama sekali tak pernah ia temui di alam nyata.

“Kamu mau tahu arti mimpimu itu?” tanya Ali Masykur.

“Ya, oleh sebab itu saya datang ke sini,” jawab Mahip setelah membungkukkan badan dan mencium telapak tangan Ali Masykur bolak-balik. Jari-jarinya dipenuhi cincin akik sebagaimana orang pintar pada umumnya.

“Perempuan itu sebetulnya calon istri kamu, tepatnya jodoh kamu!”

“Dari mana Oak tahu?”

“Kamu meragukan kemampuan saya?”

“Tidak, Oak.”

“Lantas kenapa kamu bertanya seperti itu? Tidak kurang dua puluh tahun saya telah menekuni dunia gaib!”

Ali Masykur memejamkan mata dan memijat-mijat pangkal kedua alisnya hingga ke ujung dengan dua jari telunjuknya. Gerakan itu ia lakukan secara perlahan sebanyak tiga kali. Hening dan khusyuk. Sebentar kemudian ia membuka mata, “Perempuan itu berasal dari arah barat laut. Ya, jodohmu akan datang dari arah itu,” katanya dengan mantap. Ia seakan ingin menunjukkan kebolehannya di depan bujang penikmat kopi itu.

Mulut Mahip menganga. Firasatnya sama persis dengan apa yang dikatakan Oak Ali Masykur. Dalam mimpinya, gadis itu memang selalu datang dan pergi dari arah barat laut. Minimal posisinya selalu berada di arah tersebut. Ciri-cirinya juga tidak jauh berbeda dengan yang dibeberkan laki-laki setengah gondrong itu. Ciri gadis yang selama ini betul-betul diimpikannya.

“Kenapa kehadirannya selalu bersama kopi, Oak?” selidik Mahip penasaran.

“Karena dia tahu kamu penikmati kopi sejati!”

“Apakah dia juga pandai meracik kopi?”

“Tentu saja!”

“Siapa kira-kira namanya?”

“Kecuali nama, yang lain bisa diterawang, terutama ciri dan karakter. Lagi pula, bukankah banyak orang di dunia ini bernama sama tapi berbeda dalam segala hal?”

Kali ini mulut Mahip terkatup. Hanya kepalanya yang terlihat mengangguk-angguk, mulai membenarkan kata-kata Ali Masykur. Bayangan tentang gadis itu pun semakin jelas dalam kepalanya. Bayangan itu menumbuhkan keyakinannya bahwa dialah jawaban atas pencariannya selama ini. Pencarian yang membuatnya memutuskan tidak segera menikah meski usianya sudah menguning, kecuali dengan gadis yang kriterianya telah ditentukannya sejak dulu. Yakni gadis yang tidak cuma cantik, tapi juga pandai menyelesaikan masalah. Dan itu ada pada gadis yang pandai meracik kopi. Seorang perempuan yang pandai meracik kopi, bagi Mahip, adalah gambaran perempuan yang pandai menyelesaikan masalah.

Dulu ia memang pernah dekat dengan beberapa gadis. Hanya, ia tak menemukan kelebihan itu di luar kecantikan yang mereka punya. Sebagai seorang penikmat kopi, Mahip meyakini kopi bukan sekadar minuman belaka, melainkan sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah. Kepulan asap yang dihirup akan meresap ke dalam kepala, lalu bekerja menarik keluar rasa pusing sehingga kepala jadi terasa ringan. Ketika kepala sudah ringan, maka otak akan bekerja dengan baik, dan jika daya kerja otak baik semua masalah akan mudah teratasi. Singkatnya, apa yang dikatakan Oak merupakan kombinasi antara keyakinan dan harapan Mahip.

Sejak saat itu, bujang berjidat lebar tersebut meyakini bakal berjodoh dengan gadis yang konon pandai meracik kopi dari arah barat laut. Sejak saat itu pula ia mulai sering menengadah ke arah langit itu. Ia menyandarkan harapannya pada langit. Karena langit baginya tempat menyandarkan harapan ketika bumi sudah tak mampu lagi melakukan itu. Ia juga mulai berdoa agar Tuhan segera mempertemukannya dengan gadis tersebut. Ia juga kerap menelusuri wajah gadis itu melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Tapi setelah satu tahun upayanya tak membuahkan hasil, ia pun mulai mencari cara lain yang lebih serius.

Pada suatu hari, Mahip mengadakan semacam sayembara meracik kopi khusus untuk kaum perempuan. Ia berpikir kalau-kalau sosok gadis dalam mimpinya itu tertarik ikut serta. Untuk menarik peserta, ia pun mengiming-imingi hadiah yang cukup fantastis bagi pemenang.  Tapi, tentu saja ia tak menceritakan maksud tengiknya itu kepada mereka. Bagaimanapun, ia masih waras sehingga menjaga kehormatan merupakan hal yang lebih diutamakannya. Lagi pula, kalau sampai ia melakukan itu, tak ada perempuan yang sudi dinilai martabatnya sekadar dari kepiawaiannya meracik segelas kopi. Namun, dari sekian ratus jumlah peserta yang ikut, ia ternyata tak menemukan sosok gadis dalam mimpinya.

Tekad Mahip untuk mewujudkan impiannya tak sampai di situ. Ia memutuskan untuk menemukan gadis itu sendiri secara langsung. Tentu saja hanya dengan modal ingatan atau bayangan wajahnya, tanpa selembar foto, tanpa sketsa atau lukisan wajah, tanpa foto profil, dan identitas lainnya yang lebih realistis. Ia memutuskan untuk mengembara ke arah barat laut. Ia mengembara dari kampung ke kampung, dari desa yang satu ke desa lainnya, dari kota A ke kota lainnya. Tempat-tempat wisata, taman kota, toko, mall, supermarket, swalayan, hotel, dan tempat-tempat umum lainnya ia susuri satu persatu. Ia berharap gadis tersebut bekerja di sana atau setidaknya mengunjungi tempat-tempat itu.

Hingga menggenapi tahun ketiga pencariannya, upaya itu rupanya tak jua membuahkan hasil. Mahip akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk pulang dan memastikan kebenaran mimpinya dan meminta Ali Masykur memberi tahu informasi gadis itu lebih rinci lagi. Namun, sungguh kecewanya bujang bertubuh sampiran baju itu, ketika sampai di kampung halaman, ia tak menemukan laki-laki tua itu. Ali Masykur sudah meninggal enam bulan lalu ketika wabah sedang menyerang kampung tersebut. Mahip tak dapat menemukan jodohnya. Seketika bayangan wajah Ali Masykur sedang menjulur-julurkan lidah menyembul dalam kepala Mahip. Ia segera mengambil cangkul dan beranjak ke kubur Ali Masykur.

Lombok Tengah, 20 Juni 2022

 

Cerpen

  Wasiat Kiai Seman ilustrasi ini diunduh dari https://himpuh.or.id/blog/detail/70/detik-penaklukkan-makkah-oleh-rasulullah-dan-para-sahabat...