Kamis, 17 April 2025

Cerpen

 

Nyawa Tebusan

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok

Cerpen ini dikurasi sebagai syarat peserta Peningkatan Apresiasi Sastra bagi Sastrawan di Nusa Tenggara Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB pada 2024. Ia juga dibukukan dalam bentuk antologi bersama 60 karya sastrawan oleh lembaga tersebut.

Sebelum memutuskan untuk keluar, Sadimin menyelip sebilah belati di sakunya. Sebab, dari pola ketukan, ia sudah bisa memastikan bahwa yang berdiri di balik pintu adalah Oak[1] Rekas.

“Jangan coba-coba sembunyikan ayahmu. Waktumu tinggal dua minggu. Kalau bulan sudah tanggal dan dia belum pulang juga, bersiap-siaplah kamu jadi tebusan!” ancamnya.

Sadimin memindahkan jemarinya dari gagang belati setelah memastikan tidak ada tanda-tanda atau gerakan lelaki tua itu menyerang. Ia berdiri tepat di tengah garis pintu. Selain menghalau agar laki-laki berleher jerapah itu masuk ke rumahnya, ia juga berusaha menunjukkan keberaniannya.

“Kenapa harus saya? Dan saya memang tak tahu ayah di mana.”

“Karena kamu satu-satunya anak laki-lakinya.”

“Tapi…?”

“Hanya ada dua pilihan, bawa ayahmu hidup atau mati, atau kamu jadi gantinya nanti pada ritual garep[2] pada akhir bulan ini!” Jari telunjuk dan tengah Oak Rekas nyaris menusuk mata Sadimin.

Bersama seorang tokoh pemuda dan dua tokoh kampung lainnya laki-laki berkaki jenjang itu kemudian merenggang pergi. Sadimin ingin mengejar, tetapi itu percuma. Deras langkah mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungi kampung dengan repoq[3] tempat tinggal Sadimin. Lagi pula, memelas asih hanya akan merendahkan martabat Sadimin sebagai seorang laki-laki di mata mereka.

Di sisi lain Sadimin bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah yang sebetulnya bukan ulahnya. Ia menelan ludah kering dan tergidik membayangkan ritual garep. Seingatnya ritual itu selalu menelan korban kematian. Oak Rekas dikenal sebagai sosok yang tegas dan sangat memegang teguh ucapannya. Jadi, apa yang diancamkannya barusan bisa dikatakan pasti terjadi.

Ayah Sadimin bagai memasuki alam gaib. Kabarnya raib tanpa jejak sejak ia meninggalkan rumah hampir sepuluh tahun lalu. Kalaupun bisa ditemukan, pastilah ia bersi keras tak mau pulang karena tahu dirinya akan diadili di persidangan adat.

Bebinjat!”[4] teriak Sadimin di tengah kebingungannya. Bayangan wajah ayahnya yang sedang menari culas sambil menjulur-julurkan lidah seperti seekor anjing berkelebat dalam kepalanya.

Setiap tanggal lima belas bulan atas,[5] tetua adat itu selalu menyambangi Sadimin. Entah dari mana keyakinannya muncul bahwa pada tanggal itu ayah kembali ke rumah. Laki-laki yang suka memamah buah pinang itu satu-satunya orang yang tidak puas atas hasil ritual garep yang dilakukan sepuluh tahun silam. Ia yakin bahwa bala kekeringan di kampung itu takkan berhenti sebelum ritual yang menelan nyawa Rejun Menjong itu dilaksanakan ulang.

Sadimin ingat persis, meski saat itu usianya masih cukup belia, tapi kejadian—terutama kejadian ganjil dan mengerikan—terekam kuat dalam kepalanya. Hampir semua warga meninggalkan aktivitasnya demi menyaksikan jalannya persidangan di Balai Sangkep[6] adat malam itu.

“Dari mana kamu tahu pelaku pencurian sapimu adalah Rejun Menjong?” tanya Oak Rekas kepada Leman, ayah Sadimin, saat persidangan dimulai.

“Apa kamu lupa bagaimana buasnya dulu ia mencuri?”

“Bohong! Saya berani bersumpah, saya tak tahu apa-apa. Malam itu saya menginap di ladang sayur saya!” Rejun Menjong berkilah.

“Mau disuruh menelan surau sekalian modinnya, mana ada maling yang mau ngaku, Oak!”

Dulu, saat usianya masih muda Rejun Menjong memang dikenal sebagai maling yang disegani. Keberingasannya menggondol barang-barang berharga milik orang lain sampai tersiar ke kampung-kampung tetangga. Ketangkasan langkah, fostur tubuh yang tinggi dan gempal, serta ilmu kanuragan yang mumpuni, membuat orang-orang yang mendengar namanya saja sudah bergetar ketakutan, apalagi sampai berurusan dengannya.

Bagaimanapun, itu adalah masa lalunya. Setelah lima tahun diusir dan diasingkan dari kampung, dan hanya sesekali pulang menengok kondisi keluarganya, laki-laki berambut awut-awutan itu diizinkan kembali ke kampung. Tentu saja setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya.

“Sumpah! Leman bohong,” sanggah laki-laki berjuluk Ampan Lolat[7] itu.

“Ya, perkataan Rejun Menjong ada benarnya juga. Dia, kan, akhir-akhir ini sering nginap di ladang. Apalagi dia juga sudah rajin beribadah. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya di hadapan warga dulu.”

“Ah, semua orang kan bisa pura-pura alim, Oak. Coba ingat-ingat, selama bangsat ini dibuang dari kampung, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, sapi saya langsung digasak?” Jawaban Leman meyakinkan. “Dan aku yakin dugaanku ini benar, karena Rejun Menjong malam itu tidak berada di rumahnya!” tutupnya mengakhiri sanggahannya.

Bulan sabit sudah merangkak di atas atap balai sangkep. Sementara, belum ada keputusan yang tepat. Sebagai seorang pemuka tokoh adat, Oak Rekas tentu tidak boleh mengambil keputusan serampangan. Tapi, di satu sisi, ia juga harus bersikap tegas. Setelah dirunding dengan para tetua kampung dan tokoh adat lainnya, mereka akhirnya sepakat menyelenggarakan ritual garep malam itu juga sebagai satu-satunya jalan keluar masalah.

Tempat pelaksanaan pun langsung disiapkan. Ayah Sadimin dan Rejun Menjong duduk di tengah dikelilingi para tetua, tokoh kampung, dan semua warga yang hadir. Meski dikerumuni hampir ratusan orang, suasana Balai Sangkep seketika menjadi hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari mulut sanggar. Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?   

Oak Rekas menyodorkan dua cangkir serupa mangkuk berisi air suci. Leman meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Rejun Menjong setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Leman, pastilah Rejun Menjong yang sebentar lagi akan terkapar di tempat itu, pikir mereka.

Seperti halnya Leman, Rejun Menjong pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar balai semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Rejun Menjong, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka yang tergeletak di tempat. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega malam itu.

Namun, rasa lega itu tak bertahan lama. Berselang dua hari, pada pagi yang bergerimis tipis, warga kampung dihebohkan dengan penemuan mayat Rejun Menjong di bawah pohon pisang di halaman belakang rumahnya. Mayat itu sudah dikerubungi lalat meski tanpa luka tusukan, memar, bakar, dan tanda-tanda penganiayaan semacamnya.

“Akhirnya terbukti sudah apa yang kita tunggu-tunggu!”

“Saya benar-benar tak menyangka!”

“Ternyata tobat hanya dijadikan topeng!”

“Iya benar.”

“Mampus kau!”

“Sekarang kampung kita sudah aman!”

Demikianlah komentar orang-orang atas peristiwa itu. Pada mulanya warga kampung percaya kematian itu adalah jawaban dari teka-teki masalah yang dibuktikan melalui ritual sakral tersebut. Namun, belakangan rahasia itu terkuak setelah Leman sejak itu tiba-tiba kabur dari rumah. Dan benar saja, setelah diselidiki memang dialah dalang pembunuhan tersebut.

***

Sesuai janjinya, tepat setelah dua minggu, sore ini Oak Rekas datang lagi ke rumah Sadimin bersama para pengawalnya.

“Bagaimana? Apa ayahmu sudah pulang?”

Mulut Sadimin kaku. Percuma saja menjawab pertanyaan itu jika ayahnya belum pulang. Pertanyaan itu membuatnya tidak punya pilihan selain menyerahkan diri demi keamanan kampungnya. Dan, mengetahui hidupnya akan berakhir sebentar lagi pada secangkir air suci membuat tubuh Sadimin nyaris limbung. Namun, bukankah mati membuktikan sebuah kebenaran dan pengorbanan adalah sebuah kehormatan?

Dua pengawal itu menyeret tubuh Sadimin setelah diberi kode dengan jentikan jari. Bayangan tentang ayahnya yang menari-nari culas kembali merubung kepala laki-laki bertubuh ceking itu. Sepanjang perjalan menuju ritual garep ia mengumpat berkali-kali, meski ia tahu itu tak ada gunanya.

Di Balai Sangkep Sadimin dihadapkan di depan para tetua adat, tokoh kampung, dan beberapa warga yang hadir. Rasanya waktu kembali berputar. Kejadian sepuluh tahun silam seolah diulang begitu saja dengan tokoh yang berbeda. Ritual garep segera dilaksanakan demi menghentikan musim kemarau. Oak Rekas membuka ritual dengan merapal beberapa mantra.

“Apa kamu sudah siap meminum air suci?” tanyanya menyuguhkan ceret dan sebuah cangkir.

Sadimin menghela napas lalu mengangguk lesu. Laki-laki yang mengenakan sapuq[8] itu menggeser posisi duduknya, kemudian berdiri dan menghampirinya. Ia membungkuk setelah akhirnya mendekatkan cangkir ke mulut Sadimin. Rupanya ia sendiri yang akan meminumkan air suci itu.

“Aku harus memastikan air ini masuk ke kerongkonganmu!” bisiknya.

Sadimin mendongak lalu membuka mulut. Penglihatannya mulai kabur seketika air itu mengalir ke lambungnya. Bayangan ayahnya yang menjulur-julurkan lidah lagi-lagi melintas sebelum akhirnya tubuhnya rubuh.

Lombok Tengah, 13 November 2024.


[1] Panggilan untuk orang yang lebih tua. Maknanya kurang lebih sama dengan paman (kalau disematkan pada laki-laki) atau bibi (kalau disematkan pada perempuan).

[2] Semacam ritual untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan meminum secangkir air yang diyakini sakral. Ritual ini biasanya digelar jika ada kasus pencurian di kampung, dan pelakunya diduga kuat dari warga kampung tersebut tetapi ia enggan mengakui. Dengan demikian, salah satu cara untuk membersihkan kampung dari tindakan kriminal semacam itu ialah dengan ritual garep. Jika tertuduh terbukti salah, biasanya ia akan mengalami penyakit kutukan bahkan tak jarang berujung kematian.

 

[3] Pemukiman kecil di tengah persawahan.

[4] Umpatan dalam bahasa Sasak yang kurang lebih maknanya mirip dengan ungkapan bajingan.

[5] Penanggalan menurut (metode) adat, yang tidak sama dengan bulan-bulan masehi.

[6] Musyawarah atau persidangan

[7] Nama sebuah ilmu kanuragan yang pemiliknya konon kebal senjata jenis apa pun (terutama besi). Lolat maksudnya licin, konon kalau ditebas senjata itu menjadi licin di tubuhnya.

[8] Semacam pakaian adat yang dipakai dengan diikat di kepala

Narapos

 

Waspadai Konten Ujaran Kebencian Menjelang Pilpres 2024

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/waspada-ujaran-kebencian-menjamur-di-tahun-politik-ini-alasannya/

Pak Diki berangkat ke bandara dengan menumpangi satu mobil bersama tiga orang temannya. Ia baru selesai menghadiri acara di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek). Kebetulan, ia adalah salah satu dari 32 nominasi pemenang sayembara kepenulisan yang diselenggarakan lembaga tersebut. Jadi, bisa dipastikan keempat penumpang mobil tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Tepatnya, satu orang dari Kalimantan Barat, Manado, Aceh, dan Pak Diki sendiri dari Mataram.

Selama perjalanan ke bandara yang memakan waktu sekitar dua jam, mereka membicarakan berbagai macam topik mulai kesibukan sehari-hari sebagai pendidik, keluarga, ciri khas daerah, toleransi, hingga beberapa tokoh di tanah air dengan kontribusinya masing-masing.

“Saya mengajar di sekolah, salah satu lembaga dari yayasan, yang didirikan oleh Pak Yasir,” kata Bu Azizah, seorang guru yang berasal dari Aceh.

Pak Diki sedikit tersentak sekaligus penasaran. “Pak Yasir ketua partai A itu?” selidiknya memastikan.

“Betul.”

Oh, ternyata dia punya lembaga pendidikan juga, gumam Pak Diki. Salah satu hal yang mendorongnya memastikan informasi tentang bapak tersebut ialah rasa tidak suka kepadanya. Ya, betul, bahkan ketidaksukaan Pak Diki bisa disebut sudah sampai pada level benci. Padahal, ia hanya mengetahui tokoh itu dari televisi dan dari sejumlah sumber berita. Itu pun bukan berita tentang kehidupan secara objektif dan lengkap. Jangankan berbincang secara langsung, bertemu pun Pak Diki tidak pernah.

Namun, tentu saja laki-laki yang berprofesi sebagai guru itu punya alasan, yakni perbedaan pandangan politik. Ia memang bukan politisi, tetapi ia tidak suka pilihan politik Pak Yasir yang dinilai tidak pro-Islam. Ia ingat betul, ketika umat muslim berkumpul untuk mengadakan aksi bela Islam beberapa tahun silam, politisi ulung tersebut keesokan harinya menggelar semacam acara tandingan. Sejak saat itulah kebencian di hati Pak Diki mulai tumbuh subur, ditambah lagi dengan koalisi partai sang grand designer pada pemilihan presiden 2019 jatuh pada calon yang bukan pilihan Pak Diki.

Hal yang terjadi berikutnya ialah setiap kali tokoh tersebut muncul di televisi, Pak Diki selalu mengalihkan channel televisinya. Rasa benci membuatnya secara otomatis menolak apa saja yang keluar dari mulut tokoh itu, baik berupa gagasan atau orasi. Tidak sekadar itu, ketika pembicaraan dengan temannya sesekali menyentuh tokoh tersebut dan partainya, ia selalu membahas sisi buruknya. Pak Diki seolah hapal betul sisi buruk pribadi tokoh tersebut beserta partainya.

“Bapak kalau sudah mau nyumbang, tidak tanggung-tanggung, sekali nyumbang ratusan juta. Apalagi kalau lagi sakit, minta doa anak-anak, beliau pasti nyumbang ratusan juta ke yayasan. Dan, satu lagi yang membuat saya kagum, beliau tidak pernah mencampur adukkan hal itu dengan dunia politik, meskipun beliau sendiri punya partai. Pernah suatu kali beliau datang ke yayasan. Sebelum hadir, beliau memastikan terlebih dahulu agar jangan ada bendera politik di sekitar lembaga,” lanjut Bu Azizah menceritakan tokoh yang berasal dari daerah yang sama dengannya itu.

Pak Diki terdiam sejenak. Cerita kedermawanan Pak Yasir yang baru saja didengar secara langsung seakan menghadirkan cermin besar di depannya. Benar, cermin itulah yang membuat Pak Diki mulai berpikir mengenai sikapnya sendiri selama ini. Pak Yasir menyumbang uang ratusan juta ke lembaga pendidikan. Sementara, saya yang membencinya, apa hal berharga yang pernah saya berikan untuk bangsa ini? Jangankan membiayai (pendidikan) orang lain, saya sendiri masih butuh uang untuk membiayai hidup sendiri, gumamnya.

Obrolan mereka perlahan berkurang seiring tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Sebenarnya, Pak Diki masih berkeinginan mengulik informasi lebih jauh mengenai Pak Yasir. Mereka pun turun dan berpisah menuju gate masing-masing. Dada Pak Diki serasa dilempar sebongkah batu yang memecahkan gelembung kebencian yang selama ini tersimpan di sana. Rasa simpatinya terhadap Pak Yasir mulai tumbuh sejak saat itu meskipun tetap memiliki perbedaan arah politik.

***

Kebencian adalah salah satu perasaan negatif yang berdampak buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sebab, perasaan benci akan mengganggu pikiran sehat kita sehingga tidak jarang mendorong kita melakukan hal-hal buruk. Seperti kisah di atas, Pak Diki tidak pernah tahu pasti seperti apa hidup Pak Yasir di dunia nyata. Ia hanya tahu sisi negatif yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Kesimpulan tersebut dibuatnya berdasarkan informasi dari beragam sumber. Tentu saja hal itu tidak dapat dijadikan bahan generalisasi.

Dalam hal ini, Pak Diki sendiri belum merasakan dampak negatif dari sikapnya sendiri. Namun, coba kita bayangkan bisa saja perasaan benci itu mendorongnya menyebar informasi hoaks dan hate speech tentang tokoh tersebut. Kemudian, hal tersebut menyebabkannya kena delik pengaduan. Pada akhirnya, ia akan berurusan dengan hukum. Tidak sekadar itu, jika informasi yang disebarkan ternyata terbukti hoaks dan provokatif, tentu saja citra diri Pak Diki sebagai seorang guru akan rusak. Itu karena perbuatannya sendiri. Adapun, dampak negatif yang akan didapatkan oleh Pak Yasir ialah berupa pencemaran nama baik hingga merusak martabatnya sebagai tokoh besar.

Demikianlah dampak negatif dari sikap benci kita. Namun, saat ini banyak juga tokoh besar, khususnya tokoh politik, yang memiliki nasib tak jauh berbeda dengan Pak Yasir. Sebut saja para calon presiden dan wakil presiden kita (capres-cawapres). Menjelang pilpres, penggalan video singkat atau konten yang berisi informasi hoaks, kebencian, dan provokatif semakin banyak menyebar. Video-video itu dipotong, diedit, dicocok-cocokkkan, disatukan, lalu disebarluaskan ke media sosial. Tidak jarang, potongan video-video tersebut mengesankan tingkah konyol sang capres dan cawapres. Padahal, banyak yang tidak sesuai konteks yang sebenarnya.

Parahnya, isi video tersebut kemudian dicerna dan diterima begitu saja oleh para warganet, terutama mereka yang awam. Sebab, mereka tidak terlatih mengklarifikasi dan menelaah suatu informasi secara kritis sehingga wajar mereka menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Mereka berkomentar buruk kepada tokoh-tokoh tersebut seolah diri mereka lebih hebat. Para pendukung lain pun tidak tinggal diam, mereka membalas hinaan yang dilontarkan oleh para pendukung capres-cawapres pesaing. Kekacauan warganet di media sosial pun tak terhindarkan.

Begitulah, konten-konten tersebut terus tersebar dari beranda medsos yang satu ke yang lain sehingga kebencian-kebencian baru bertumbuhan. Perkataan lisan yang dilakukan secara langsung mungkin bisa berakhir atau ditutup pada seseorang yang pandai menyimpan rahasia. Namun, perkataan yang sudah terekspos di media sosial, apakah bisa dirahasiakan? Kalau kondisinya sudah seperti ini, siapa kira-kira yang bertanggung jawab? Pada posisi inilah kita menyadari bahwa di zaman yang serba cepat dan praktis ini terkadang berbanding lurus dengan cepatnya kita berbuat dosa.

Karena itu, kita perlu berhati-hati sebelum menyebar informasi atau video singkat di media sosial. Cek terlebih dahulu kebenarannya. Jika memang itu bermuatan mendidik, informatif, dan positif, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka sebaiknya kita tahan diri menyebarkannya. Jangan sampai karena didasari rasa benci kepada orang lain akan mendorong kita melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Mari kita ingat bahwa kebencian termasuk penyakit (hati) dalam agama Islam. Bahkan, Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi mengategorikan kebencian sebagai pengaruh luar yang dapat menimbulkan kesombongan.[1] Sementara, sombong adalah dosa besar. Nauzubillah.

Lagi pula, mari kita menengok diri kita. Apakah kita sudah memberikan kontribusi banyak bagi negeri ini? Jangan-jangan mereka yang kita olok-olok sudah berbuat jauh lebih banyak daripada kita. Apalagi jika kita tidak pernah mengenal mereka secara langsung. Karena itu, jika belum bisa berbuat banyak seperti mereka, setidaknya kita bisa menahan tangan dari mengekspos keburukan mereka. Kita berhak punya pilihan capres dan cawapres masing-masing, tetapi kita tidak berhak mengekspos keburukan pasangan calon lain.

***

 

 

 

Jendela Inspirasi:

a.         Jangan menilai seseorang secara sekilas kemudian mengambil kesimpulan buruk dari apa yang kita lihat. Sebab, boleh jadi banyak hal baik yang dilakukannya dan tidak kita ketahui dari orang tersebut.

b.         Kalau kita tidak bisa menghindari membenci seseorang, setidaknya kita mampu menghindari menularkan kebencian kepada orang lain.

c.         Cermati terlebih dahulu video singkat di media sosial sebelum kita bagikan. Pastikan video tersebut bukan hoax, hate speech, fitnah, atau konten provokatif yang membahayakan.

***

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.

 

 



[1] Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi, The Book of Character (edisi terjemah bahasa Indonesia), (Jakarta, Penerbit Zaman, 2015) halaman 169.

Esai Pendidikan

 

Menakar Efektivitas Sisensi Online

Bagi Mutu Pendidikan di Lombok Tengah

Marzuki Wardi

Sumber: https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/gurupenggerak/

Penerapan Sistem Informasi Absensi dan Peresensi (Sisensi) online bagi sekolah-sekolah di Kabupaten Lombok Tengah sempat menuai polemik. Sebetulnya, penyulut baranya ialah oknum pegawai Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) yang menjustifikasi guru sebagai penyumbang kerugian terbesar negara. Hal itu ia nyatakan saat seorang guru mengeluhkan kendala penerapan Sisensi melalui WhatsApp (WA) kepadanya. Guru tersebut merasa tersinggung lalu menyebarkan chat tersebut ke teman lain dan grup-grup WA guru.

Sontak semua guru di Lombok Tengah merasa keberatan lalu menggelar pernyataan sikap. Situasi sempat memanas. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Lombok Tengah menginisiasi penyampaian aspirasi guru. Bupati turun tangan memediasi permasalahan tersebut hingga akhirnya solusi Menang/Menang[1] terwujud.

Solusi tersebut ialah berupa kesepakatan kedua belah pihak (perwakilan guru dan oknum pegawai BKPSDM) untuk berdamai. Para guru tidak akan melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum jika si tertuntut bersedia meminta maaf di hadapan perwakilan guru dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Adapun, mengenai pemicu masalahnya yaitu Sisensi, akan dievaluasi dan diperbaiki oleh pemerintah daerah agar tidak menyulitkan guru dalam mengisi kehadiran di sekolah.

Sisensi ini memang sedang masa uji coba untuk diterapkan secara permanen. Ia merupakan persensi daring yang diterapkan bagi guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup Kabupaten Lombok Tengah. Aplikasi persensi ini menggunakan radius tertentu sehingga pengisian daftar hadir hanya bisa dilakukan di dalam area sekolah. Di luar area sekolah, persensi tidak bisa terbaca secara sistem. Hanya saja, karena tergolong produk baru, ia sering terkendala jaringan. Pengisian daftar hadir sering tidak lancar, sehingga jam datang yang mulanya lebih awal terekam terlambat dengan perangkat tersebut. Inilah salah satu yang menjadi keluhan para guru. Pasalnya, keterlambatan tersebut konon berdampak pada perolehan gaji.

Tidak hanya itu, keluhan para guru juga ternyata pada perubahan waktu pulang. Misalnya yang semula waktu pulang jam 12:30 menjadi 14:30 untuk hari Senin sampai Kamis. Jam pulang siswa tetap 12:30, tetapi guru baru boleh pulang mulai pukul 14:30. Menurut salah seorang guru ASN yang saya wawancarai, jeda waktu dua jam tersebut sangatlah tidak efektif.[2] Lantas, apakah penerapan Sisensi hanya akan mengundur jam pulang saja tanpa efek ke pengembangan mutu sekolah?

Saya pikir penerapan Sisensi bisa berpengaruh positif pada peningkatan mutu pendidikan. Secara sepintas Sisensi memang tampak tidak berkaitan dengan mutu. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, manajeman (pengaturan) waktu secara sistem tersebut akan berdampak pada kedisiplinan guru. Sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan, kedisiplinan guru akan berpengaruh pada kinerja. Kinerja guru yang maksimal dalam hal ini proses pembelajaran akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan yang berlangsung di sekolah.

Namun, sebenarnya, persoalannya bukan terletak pada waktu saja, melainkan bagaimana mengelola waktu yang lama tersebut dengan kegiatan yang mengarah pada peningkatan mutu. Disiplin dalam hal ini tentu bukan soal ketepatan waktu saja, tetapi lebih pada efektivitas kerja guru. Disinilah peran visioner kepala sekolah dituntut. Banyak hal kecil yang bisa dikerjakan dengan jeda waktu sekitar dua jam itu seperti refleksi pembelajaran di hari tersebut, persiapan rencana pembelajaran untuk hari berikutnya, implementasi kurikulum merdeka, literasi, membahas Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), program sekolah, dan beberapa hal lain yang hanya bisa dikerjakan di luar jam pelajaran di kelas.

Lalu bagaimana upaya-upaya tersebut berdampak pada pengembangan mutu pendidikan? Kita ambil contoh sederhana, misalnya, penerapan kurikulum merdeka. Sebagian besar guru belum sepenuhnya memahami paradigma, konsep, dan penerapan kurikulum baru tersebut. Sementara, upaya dari Dinas Pendidikan untuk mengawal penerapannya pun belum maksimal. Padahal, kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Maju-mundurnya mutu pendidikan cukup bergantung pada seberapa baik kurikulum diterapkan di sebuah lembaga pendidikan. Memang sudah ada platform merdeka mengajar dengan beragam jenis bimtek yang bisa diakses kapan dan di mana saja. Namun, menunggu mereka berinisiatif menuntaskan bimtek rasanya bagai menunggu hujan di kemarau panjang, kecuali bagi mereka yang memang proaktif mengaktualisasi diri sebagai pendidik.

Itu baru satu contoh pemanfaatan jeda waktu sebelum pulang. Kalau itu bisa dilaksanakan secara baik, tentu akan berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran. Bagaimana jika beberapa paket program merdeka belajar bisa didiskusikan pada waktu luang tersebut? Kepala sekolah bisa mengajak guru mendiskusikan rapor mutu pendidikan, peningkatan literasi, coaching bagi guru, dan beragam permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran.

Aktivitas itu tentu akan memberi nilai tambah bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, mengharapkan kegiatan tersebut bisa terlaksana di sela-sela waktu istirahat cukuplah sulit. Dengan begitu, tujuh jam kerja betul-betul difungsikan untuk memikirkan pengembangan sekolah sehingga di rumah guru juga bisa mengerjakan urusan rumah tangga tanpa dihantui beban kerja sekolah.

Jika kita meminjam prinsip manajemen bisnis, hal-hal kecil yang dilakukan dalam dunia manajemen sebetulnya hal-hal besar yang berdampak pada pangsa pasar. Dalam dunia pendidikan juga seperti itu, hal-hal kecil yang guru lakukan sebetulnya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Memang, prinsip pendidikan dan bisnis tidak selamanya bisa disamakan, terutama dari segi tujuan. Bisnis bertujuan untuk menghasilkan profit sebanyak-banyaknya dengan modal yang minim. Sementara, pendidik tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang untuk menghasilkan profit. Kita hanya mengadopsi sisi manajemennya (waktu) saja. Kalau Sisensi mampu mewujudkan hal itu, kenapa tidak dilanjutkan?

Jadi, kebijakan Sisensi online cukup relevan dengan program merdeka belajar yang diterapkan pemerintah pusat. Jika dikelola dengan baik, ia akan berpengaruh positif pada peningkatan mutu pendidikan. Hal itu bisa terwujud di tangan seorang pemimpin (kepala sekolah) yang melek wacana dan visioner. Karenanya, peran pemimpin dalam hal ini cukup penting dalam menghadirkan inovasi untuk menyesuaikan dua produk kebijakan pemerintah (daerah dan pusat) tersebut.

 

 

Biodata Penulis

Marzuki Wardi, berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Desa Sisik, Pringgarata, Lombok Tengah. Hingga saat ini dia aktif menulis cerpen, esai, resensi buku di berbagai media cetak dan daring. Selain itu, dia juga menulis sejumlah buku di antaranya Mengembalikan Jati Diri Pendidikan Kita (Diva Press, 2022), Bocah Penakluk Badai (Intan Pariwara, 2023), dan Sebuah Kemenangan (Intan Pariwara, 2023). Laki-laki penikmat kalimat ini bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Ia bisa dihubungi di alamat email marzukiwardi5@gmail.com



[1] Berpikir Menang/Menang ini ialah salah satu teknik berpikir yang dicetuskan oleh Steven. R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Efective People.

[2] Dikutip hasil wawancara penulis dengan seorang guru ASN beberapa saat lalu. Menurutnya, kebijakan Sisensi yang mengundur jam pulang guru tidak efektif. Salah satu alasannya ialah ketika siswa pulang, guru tidak punya pekerjaan lagi. Sementara, banyak guru yang jarak rumahnya jauh dari sekolah. Hal itu bisa menyebabkan mereka pulang sangat terlambat dari semestinya.

Cerpen

  Nyawa Tebusan Marzuki Wardi Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok...