![]() |
Sumber: dokumen pribadi |
Banyak membaca menjadikan kita banyak mengapresiasi karya orang lain. Banyak menulis menjadikan banyak orang lain mengapresiasi kita. Maka, Banyaklah membaca dan menulis.
Kamis, 25 September 2025
Resensi Buku
Senin, 08 September 2025
Resensi Buku
Kiat Menjadi Pribadi Bermanfaat
Bagi Masyarakat
Oleh: Marzuki Wardi
![]() |
Judul Buku : Pribadi hebat
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Penerbit : Gema Insani
Terbit : Pertama, Desember 2014,
kesepuluh, Mei 2020
Tebal : 178 halaman
ISBN : 978-602-250-711-6 (PDF/edisi
NTBelib)
Apa
yang terbayang di benak Anda jika mendengar nama Ir. Soekarno? Apakah
penampilannya yang bergaya borjuis? Gaya pidatonya di podium yang berapi-api?
Ataukah ketegasannya dalam memutuskan suatu masalah? Bagi Anda yang mengenal
(biografi) presiden pertama Indonesia tersebut dengan baik, pasti salah satu
atau bahkan semua karakter tersebut terbayang di pikiran Anda. Namun, jika Anda
hanya mengenal namanya, maka yang terlintas di pikiran Anda boleh jadi hanya
sosok presiden pertama Indonesia.
Demikian
juga jika kita mendengar nama tokoh lain seperti Buya Hamka. Bagi orang yang
mengenal tokoh bangsa tersebut, pasti yang terlintas di pikirannya ialah sosok
ulama karismatik, penyair, penulis, alim, tegas, dan berilmu luas. Namun, bagi
sebagian orang yang hanya mengenal namanya, pasti yang terbayang adalah sosoknya
sebagai ulama biasa. Begitulah, hal yang paling melekat pada diri seseorang
adalah kepribadiannya. Ia adalah ciri khas yang membedakan manusia yang satu
dengan yang lain.
Namun
demikian, pribadi bukanlah sekadar identitas pembeda. Ia ternyata memiliki pengaruh
yang cukup signifikan terhadap maju atau mandeknya suatu bangsa. Lantas, apa
sebenarnya yang dimaksud dengan pribadi sehingga ia demikian berpengaruh
terhadap kondisi suatu bangsa? Jawabannya bisa kita temukan dalam buku yang
berjudul Pribadi Hebat ini.
Menurut
penulis buku ini, pribadi seseorang terbentuk dari budi, akal, pergaulan, kesehatan,
dan pengetahuan. Lebih lanjut, ia mendefinisikan pribadi dengan membaginya
menjadi (1) kumpulan sifat dan kelebihan diri yang menunjukkan kelebihan
seseorang daripada orang lain sehingga ada manusia besar dan manusia kecil, ada
manusia yang sangat berarti hidupnya dan ada yang tidak berarti sama sekali.
Kedatangannya tidak menggenapkan dan kepergiannya tidak mengganjilkan; (2)
kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, dan bentuk tubuh. Hal itu
menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (halaman 4).
Beranjak
dari pengertian tersebut, penulis mengajak kita untuk memahami pribadi secara individu dan
kedudukannya sebagai bagian dari anggota masyarakat yang majemuk. Menurutnya, seseorang
tidaklah disebut pribadi bermanfaat jika ia hanya mementingkan keperluannya
sendiri meskipun ia seorang guru, dokter, insinyur, dan profesi penting lainnya.
Sebab, nilai seseorang dilihat dari perannya dalam sebuah masyarakat, dan
itulah hakikat pribadi bermanfaat.
Oleh
sebab itu, kita perlu mengetahui apa saja yang dapat memunculkan pribadi
bermanfaat. Penulis memaparkannya pada bagian dua (halaman 11) secara rinci
berikut penjelasannya menjadi sepuluh yaitu daya tarik, cerdik, empati, berani,
bijaksana, berpandangan baik, tahu diri, kesehatan tubuh, bijak dalam
berbicara, dan percaya kepada diri sendiri.
Bagaimana
elemen-elemen itu kemudian berpengaruh terhadap peran aktif seseorang dalam
masayarakat? Kita ambil contoh sikap berani.
Pribadi berani adalah yang sanggup menghadapi segala kesulitan atau bahaya
dengan tidak kehilangan akal. Di samping itu, orang yang berani tidak hanya
ingin menerima kemenangan, tetapi juga berani menerima kekalahan. Pribadi
seperti ini pada akhirnya akan memiliki sikap sportif, sehingga ia akan membawa
keharmonisan dalam hubungan sesama dalam masyarakat.
Tanda
keberanian juga dapat dilihat pada sikap tenang dan tidak gugup, sehebat apa
pun pihak yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika bertemu dengan seorang
berpangkat tinggi, sebagai bangsa yang merdeka, kita akan bersikap hormat
kepadanya seperti hormat kepada orang yang tidak berpangkat. Bukan berarti kita
menyombongkan diri, melainkan menghindari sikap menjilat (halaman 29).
Pribadi
berani inilah yang tidak dimiliki oleh bangsa yang tertekan. Bangsa yang tertekan
cenderung tidak percaya diri dan takut untuk sekadar menyuarakan haknya. Bangsa
yang bermental seperti ini sanggup menahan penderitaan. Akibatnya, jiwa tunduk
terhadap bangsa lain tetap dipeliharanya, meskipun ia berpangkat tinggi
sebagaimana layaknya bangsa lain (penjajah).
Tentu
masih banyak lagi contoh pribadi dan kaitannya dengan perkembangan suatu
masyarakat. Secara ringkas, buku yang terdiri dari sepuluh bagian ini membahas
apa itu pribadi, apa saja unsur penentunya, unsur penghambat, dan bagaimana
kita bisa menjadi pribadi hebat yang bermanfaat bagi masyarakat, baik dalam
arti sempit sebagai kampung halaman maupun negara dalam arti luas.
Banyak
sekali pandangan, petuah, nasihat, dan contoh keteladanan yang diuraikan oleh
penulis yang pernah menjabat ketua MUI pertama ini. Hal yang menarik ialah
beliau mengulasnya dari perspektif islam, tasawuf, filsafat, dan seni. Rujukan dari
sumber Al-Qur’an, hadis, pendapat ulama, filosof, penyair, dan negarawan memperkaya
materi buku ini. Sebut saja Socrates, Plato, Nietzche, Schopenhauer, M. Iqbal
(penyair Pakistan), Soekarno, Haji Agus Salim, dan beberapa tokoh berpengaruh
lainnya tak luput dijadikannya rujukan.
Namun,
untuk tidak menyebutnya sebagai kekurangan, satu hal yang sedikit merepotkan
pembaca dalam buku ini ialah endnote. Bagi
pembaca yang tidak memahami istilah asing atau sulit, di tengah nikmatnya
membaca, ia mesti membuka halaman akhir (endnote)
lalu kembali ke halaman sebelumnya tempat kata asing tersebut. Karena itu, andai
saja endnote tersebut diganti dengan footnote, tentu akan lebih memudahkan
pembaca untuk menyerap makna kata asing yang ditemukan.
Meskipun
tergolong cukup klasik, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh generasi
bangsa saat ini. Selain disajikan dengan bahasa yang lugas, efektif, dan
sistematis, materi buku ini juga sarat dengan nilai dan prinsip kebangsaan yang
dapat membentuk generasi bermanfaat dan bermartabat bagi masyarakat, terlebih
di tengah indikasi memudarnya pribadi bangsa Indonesia yang dikenal akan
keluhuran budinya.
Lombok Tengah, 13 Agustus 2025
Rabu, 06 Agustus 2025
Resensi Buku
Mengenal Filosofi Pendidikan
Progresif
Oleh: Marzuki Wardi
![]() |
Sumber: dokumen pribadi |
Judul
Buku : Pendidikan Berbasis
Pengalaman
Penulis : John Dewey
Penerbit : IRCiSoD
Terbit : Juli, 2025
Tebal : 108 halaman
Jenis : nonfiksi (buku teori)
Buku ini
diterjemahkan dari judul asli dalam bahasa Inggris Experience and Pedagogy. Buku
yang pertama kali (judul asli) diterbitkan pada tahun 1938 ini adalah karya seorang filsuf
kenamaan Amerika Serikat yang juga banyak mengkaji masalah psikologi,
pendidikan, dan sosial. Ia juga dikenal sebagai perintis pemikiran pragmatisme.
Buku yang cukup tipis ini adalah salah satu karya penting dan berpengaruh dalam
dunia pendidikan. Faktanya, meskipun telah berusia lebih dari seratus tahun, ia
masih menjadi rujukan di bidang pendidikan di berbagai negara, termasuk di
Indonesia. Karena itulah saya kira buku ini masih cukup relevan untuk diulas.
Secara garis besar
buku ini mengurai dua jenis pendidikan yang memiliki landasan yang berbeda⸺meskipun
porsinya lebih banyak mengenalkan pendidikan progresif⸺yaitu pendidikan
tradisional yang banyak diterapakan di lembaga pendidikan formal dan pendidikan
progresif. Menurut Dewey, pendidikan tradisional berangkat dari pandangan bahwa
perkembangan anak dibentuk dari luar (faktor eksternal). Dengan demikian,
kurikulum pendidikan terdiri dari kumpulan informasi dan keterampilan yang
telah dikembangkan di masa lalu, dan tugas sekolah ialah mewariskannya kepada
generasi baru. Sementara, pendidikan progresif berangkat dari pandangan bahwa
perkembangan berasal dari dalam diri (internal) anak. Karena itu, materi pelajaran
harus disusun berdasarkan pengalaman anak dalam kehidupan nyata (halaman 15).
Dewey berpandangan bahwa
pendidikan tradisional merupakan bentuk pemaksaan dari atas dan luar individu
anak. Tugas anak hanya menerima materi, cara belajar, dan apa saja yang sudah
ditetapkan oleh standar orang dewasa yang dalam hal ini adalah guru dan pemangku
kebijakan. Akibatnya, jika murid menolak menerimanya, baik dengan membolos
secara fisik maupun dengan membiarkan pikirannya melayang hingga akhirnya
menimbulkan rasa muak terhadap materi pelajaran tersebut, maka kesalahan
terletak pada diri murid itu sendiri, bukan pada materi atau cara penyampaian
guru. Karena itu, keberhasilan pendidikan model ini diukur dari siapa yang
lebih banyak menguasai materi pelajaran yang bersifat hapalan.
Pendidikan progresif,
di sisi lain, berangkat dari pengembangan internal anak. Aspek yang menjadi
prioritas dalam pendidikan ini ialah ekspresi dan pengembangan individualitas. Terhadap
disiplin eksternal ditawarkan aktivitas bebas, terhadap pembelajaran dari buku
dan guru diganti dengan pengalaman, terhadap penguasaan keterampilan dan teknik
secara terpisah lewat hapalan dan latihan ditawarkan penguasaan keterampilan
tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang secara langsung memiliki
daya tarik dan penting bagi kehidupan…(halaman 19). Singkatnya, pendidikan ini
bercorak demokratis; dari, oleh, dan untuk pengalaman.
Namun demikian, tentu
saja pengalaman harus punya kriteria. Dalam hal ini Dewey menyebutkan bahwa
pengalaman haruslah bersifat edukatif dan mendukung pengembangan individual
anak secara berkelanjutan (kesinambungan). Pertumbuhan saja tidak cukup,
melainkan seorang pendidik juga mesti memastikan ke mana arah pertumbuhan itu
berlangsung, dan apa tujuan akhirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat saja
berkembang ke arah negatif seperti mencuri, terlibat gangster, atau perilaku
buruk lainnya. Namun, hal tersebut tentu saja tidak mendukung perkembangan individu,
melainkan justru menghambat. Oleh karenanya, itu tidak termasuk pengalaman,
sebab pengalaman harus diukur dari aspek kebermanfaatan.
Pertanyaannya,
bagaimana mendesain dan menentukan materi pelajaran dalam pendidikan progresif
sebagaimana layaknya pendidikan tradisional? Saya kira inilah yang menjadi
kesulitan kita dalam menerapkan pendidikan progresif, terlebih jikalau kita
belum memahami sepenuhnya landasan filosofi yang mendasari pendidikan ini. Dewey
sendiri mengakui bahwa titik terlemah dari sekolah-sekolah progresif terletak
pada pemilihan dan pengorganisasian materi pelajaran secara intelektual. Suatu
kurikulum tunggal untuk semua sekolah progresif adalah hal yang mustahil,
karena hal itu mengingkari prinsip dasarnya (halaman 89).
Namun, ia menekankan pentingnya
partisipasi murid dalam merumuskan tujuan yang mengarahkannya dalam proses
belajar. Berkaitan dengan ini, Dewey memandang bahwa perumusan tujuan merupakan
proses intelektual yang cukup kompleks dengan melibatkan (1) pengamatan
terhadap kondisi sekitar; (2) pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dalam
situasi serupa di masa lalu, pengetahuan yang diperoleh sebagian dari ingatan
dan sebagian dari informasi, nasihat, dan peringatan dari orang-orang yang
telah memiliki pengalaman yang lebih luas; dan (3) penilaian yang menyatukan
apa yang diamati dan apa yang diingat untuk melihat apa maknanya (halaman 76-77).
Buku ini memang
bersifat teoritis. Artinya, ia tidak mengurai filosofi pendidikan progresif mulai
teori hingga praktik⸺dalam arti desain kurikulum. Namun, Dewey memberi kita pandangan
yang mendalam mengenai hakikat pendidikan progresif yang berbasis pengalaman.
Ia juga seakan mengajak kita menanyakan sejauh mana pendekatan pendidikan
tradisional berhasil mengembangkan individu anak? Di samping itu, ia juga
mengajak kita, khususnya pendidik, untuk merenungi apakah selama ini kita sudah
menyajikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan individu anak atau justru
kita cenderung memandang anak dengan ukuran kecerdasan orang dewasa alih-alih
memerhatikan pengalaman (perkembangan individual) mereka? Untuk itulah buku ini
saya kira penting untuk dibaca, khususnya bagi pendidik, baik yang sudah senior
maupun yang baru mulai meniti kariernya sekalipun.
Sintung, 6 Agustus 2025
Senin, 28 Juli 2025
Resensi Buku
Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat
untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan
Oleh:
Marzuki Wardi
![]() |
sumber: dokumen pribadi |
Judul Buku : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis :
Paulo Freire
Penerbit : Narasi
Terbit :
Keenam, 2024
Tebal :
220 halaman
ISBN : 978-602-5792-42-7
Paulo
Freire dikenal sebagai tokoh intelektual Brazil yang menggagas pendidikan
dengan ideologi radikal sebagai jalan pembebasan rakyat dari ketertindasan. Ia hidup
di lingkungan keluarga kelas menengah bahkan dapat dikategorikan miskin. Sejak
kecil ia mengalami sendiri masa-masa kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh
kesemena-menaan pemerintah pada saat itu, termasuk dalam pendidikan di mana
rakyat miskin mendapat diskriminasi. Karena itu, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed) ia mengawalinya dengan
memaparkan praktik pendidikan bagi kaum tertindas di lingkungan tempat
tinggalnya.
Freire
membedakan pandangan idealisme pendidikan dari sisi pemahaman manusia terhadap
realitas. Menurutnya ada tiga jenis manusia dalam memandang realitas. Yang
pertama ialah sektarian kanan yaitu mereka yang beranggapan bahwa masa depan
dapat ditentukan saat ini sehingga ia tidak dapat diubah pada masa mendatang.
Dengan demikian, apa yang terjadi pada saat ini tidak dapat diubah karena
merupakan hasil dari apa yang ditanam pada masa lalu. Yang kedua ialah
sektarian kiri yang berpandangan bahwa masa depan adalah hal yang telah
ditentukan dan tidak dapat diubah (fatalisme). Terakhir ialah kaum radikal yang
meyakini nilai-nilai kebebasan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.
Apa
keterkaitan antara tiga perbedaan pandangan terhadap realitas tersebut? Menurut
Freire dua golongan (sektarian kiri dan kanan) di atas cenderung menjadi objek
kaum penindas. Sebab, mereka menolak kebebasan. Mereka, terutama golongan kiri,
cenderung meyakini bahwa kondisi apa pun yang mereka alami merupakan sebuah
takdir hidup yang harus dijalani, bukan pilihan. Berbeda dengan golongan
radikal yang meyakini bahwa kebebasan adalah hakikat eksistensi manusia. Karena
itu, menurut mereka kebebasan harus diperjuangkan agar manusia tidak menjadi
tawanan dalam lingkaran kepastian.
Menurut
Freire kaum tertindas tidak dapat menjadi individu yang diinginkannya sendiri. Sebab,
mereka cenderung memosisikan diri sebagai bawahan atau budak dari kaum
penindas. Mereka merasa tidak punya kuasa untuk menolak kehendak kaum penindas
alih-alih menjadi seperti mereka. Menjadi bagi mereka adalah menuruti
apa yang didektekan oleh kaum penindas. Sebaliknya, kaum penindas memandang
bahwa menjadi berarti memiliki (kaum tertindas).
Hal
tersebut tentu bukan retorika semata. Freire mewancarai secara langsung masyarakat
yang menjadi objek kaum penindas. Salah satunya ialah masyarakat agraris di
mana para petani rata-rata tidak berani mengungkapkan apa yang mereka keluhkan
dan inginkan kepada majikannya. Hal itu dikarenakan mereka menyadari bahwa diri
mereka bergantung sepenuhnya pada majikan. Sayangnya protes yang mestinya
dilayangkan kepada atasan mereka itu dilampiaskan kepada anak dan istri. Mereka
memarahi anak dan istri yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
masalah dengan majikannya.
Selain
itu, hasil wawancara penelitian (tema) yang dilakukan Freire di kawasan
penduduk penyewa tanah di Santiago, menujukkan betapa kaum tertindas tidak
berani meyakini diri bahwa represi atasan yang mereka alami sebagai sebuah
penindasan. Singkatnya, wawancara Freire menemukan adanya hubungan antara pekerja
yang mendapat gaji rendah, merasa dieksploitasi, dan mabuk-mabukan sebagai
perlawanan terhadap realitas. Hal itu mereka lakukan sebagai sebuah cara untuk
mengatasi frustasi ketidakberdayaan mereka. Dalam pandangan mereka (kaum
tertindas) itulah solusi atas penurunan nilai diri mereka.
Kondisi
ini diperparah dengan praktik pendidikan yang Freire sebut pendidikan gaya
bank yaitu pembelajaran di mana guru hanya menerangkan atau menceritakan materi
pelajaran yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan realitas yang terjadi.
Dengan kata lain, guru hanya berperan sebagai narator yang menyampaikan materi
pelajaran dan murid sebagai wadah yang menampung apa yang disampaikan oleh
guru. Hanya guru orang yang memiliki ilmu, dan murid tidak tahu apa-apa, dan
karena itu mereka harus mengikuti apa pun yang diinstruksikan guru.
Atas
dasar itulah Freire menggagas pendidikan untuk kaum tertindas yaitu pendidikan hadap-masalah.
Fokus pendidikan ini adalah menciptakan situasi pembelajaran di mana objek yang
dipahami menghubungkan pelaku pemahaman⸻guru di satu sisi dan murid di sisi
lain. Dalam Pendidikan gaya ini, guru dan murid berperan sebagai subjek dalam
mengamati realitas. Mereka sama-sama aktif dalam memecahkan suatu masalah dalam
proses pembelajaran.
Salah
satu corak utama dari pendidikan ini ialah adanya dialektika dalam pembelajaran
yakni dialog antara guru dengan siswa dengan menyeimbangkan refleksi-aksi
alih-alih dominasi aktivisme dan verbalisme. Melalui dialog yang hidup daya
kritis siswa akan tumbuh sehingga menghasilkan pemikiran yang kritis. Bagi
pendidik hadap-masalah yang menggunakan dialogika, isi pelajaran bukanlah
hadiah atau pemaksaan⸻sedikit informasi yang dimasukkan guru ke dalam diri
murid⸻namun sebagai sebuah “penyajian kembali” yang tertata, sistematis, dan
berkembang kepada murid tentang hal apa yang ingin murid tahu (halaman 88).
Contoh
penerapan pembelajaran hadap-masalah dipaparkan secara rinci pada halaman 129
sampai 133 dengan tema pembangunan. Tim mengundang dua atau lebih ekonom
dari berbagai macam sekolah pemikiran, dan menceritakan program yang sedang
dilaksanakan kepada mereka, serta mengundang mereka untuk melakukan wawancara
dengan bahasa yang bisa dimengerti orang yang diteliti (murid). Inti dari pembelajaran
tersebut ialah menghubungkan para intelektual dengan realitas, dan memberikan
orang-orang kesempatan (murid) untuk mengkritisi pemikiran intelektual.
Inti
tema diberikan dengan sedikit dramatisasi tanpa solusi. Dramatisasi berperan
sebagai kodifikasi, sebagai sebuah situasi hadap-masalah yang akan
didiskusikan. Sumber daya untuk pengajaran yang lain ialah membaca dan diskusi
mengenai artikel majalah, koran, bab pada buku (diawali dengan penghubung⸻tim
pengajar dan ahli). Kegiatan diskusi dapat berupa pertanyaan hasil analisis
editorial seperti mengapa koran yang berbeda memiliki interpretasi yang
berbeda dari fakta yang sama? Kemampuan ini akan membantu mengembangkan
kritis, sehingga orang-orang akan merespon koran atau siaran berita tidak
sebagai objek yang pasif dari pernyataan yang langsung ditujukan kepada mereka,
namun sebagai kesadaran yang akan dibebaskan.
Satu
hal yang paling penting dari sudut pandang pendidikan pembebasan⸻hadap-masalah⸻adalah
orang-orang merasakan menjadi pemilik dari pemikiran mereka dengan
mendiskusikan pemikiran dan pandangan dunia secara eksplisit maupun implisit
yang terwujud dalam usulan mereka dan rekan sesame mereka (halaman 133).
Melalui
buku yang terdiri dari empat bab ini Freire menegaskan bahwa pendidikan sejatinya
adalah medium untuk memanusiakan manusia alih-alih untuk menindas orang lain sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum nekrofilia (penindas). Di lain sisi, ketika kaum
tertindas sudah dapat keluar dari kondisi ketertindasan, Freire juga mewanti-wanti
agar mereka tidak berbalik menjadi penindas. Jadi, pendidikan yang ideal
menurut Freire ialah ketika ia mampu mengaktualisasi eksistensi manusia sebagai
makhluk yang merdeka di dengah dunia di mana mereka berada.
Secara
substansial materi buku ini memang cukup kompleks. Untuk mencernanya secara
utuh kita perlu mengkajinya secara ekstensif, terutama menelisik latar belakang
penulis dan penulisan buku tersebut. Antara pelaku dan objek penindasan,
misalnya, selain penulis tidak mengurainya secara rinci, bahasa yang dipakai juga
filosofis. Namun demikian, meskipun bukan buku yang mengurai teori pendidikan secara
sistematis dan praktis untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu, gagasan
besar Freire mengenai pendidikan yang memerdekakan dalam buku Pendidikan
Kaum Tertindas ini layak untuk direnungi dan diimplementasi.
Sintung,
28 Juli 2025
Kamis, 17 April 2025
Cerpen
Nyawa Tebusan
Marzuki Wardi
Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok |
Cerpen ini dikurasi sebagai syarat peserta Peningkatan Apresiasi Sastra bagi Sastrawan di Nusa Tenggara Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB pada 2024. Ia juga dibukukan dalam bentuk antologi bersama 60 karya sastrawan oleh lembaga tersebut.
Sebelum
memutuskan untuk keluar, Sadimin menyelip sebilah belati di sakunya. Sebab,
dari pola ketukan, ia sudah bisa memastikan bahwa yang berdiri di balik pintu
adalah Oak[1]
Rekas.
“Jangan
coba-coba sembunyikan ayahmu. Waktumu tinggal dua minggu. Kalau bulan sudah tanggal dan dia belum pulang juga,
bersiap-siaplah kamu jadi tebusan!” ancamnya.
Sadimin
memindahkan jemarinya dari gagang belati setelah memastikan tidak ada
tanda-tanda atau gerakan lelaki tua itu menyerang. Ia berdiri tepat di tengah
garis pintu. Selain menghalau agar laki-laki berleher jerapah itu masuk ke
rumahnya, ia juga berusaha menunjukkan keberaniannya.
“Kenapa harus
saya? Dan saya memang tak tahu ayah di mana.”
“Karena kamu
satu-satunya anak laki-lakinya.”
“Tapi…?”
“Hanya ada dua
pilihan, bawa ayahmu hidup atau mati, atau kamu jadi gantinya nanti pada ritual
garep[2]
pada akhir bulan ini!”
Jari telunjuk dan tengah Oak Rekas nyaris menusuk mata Sadimin.
Bersama seorang tokoh pemuda dan dua tokoh kampung lainnya laki-laki
berkaki jenjang itu kemudian merenggang pergi. Sadimin ingin mengejar, tetapi itu
percuma. Deras langkah mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungi kampung
dengan repoq[3]
tempat tinggal Sadimin. Lagi pula, memelas asih hanya akan merendahkan martabat
Sadimin sebagai seorang laki-laki di mata mereka.
Di sisi lain
Sadimin bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah
yang sebetulnya bukan ulahnya. Ia menelan ludah kering dan tergidik
membayangkan ritual garep. Seingatnya ritual itu selalu menelan korban
kematian. Oak Rekas dikenal
sebagai sosok yang tegas dan sangat memegang teguh ucapannya. Jadi, apa yang
diancamkannya barusan bisa dikatakan pasti terjadi.
Ayah Sadimin bagai
memasuki alam gaib. Kabarnya raib tanpa jejak sejak ia meninggalkan rumah
hampir sepuluh tahun lalu. Kalaupun bisa ditemukan, pastilah ia bersi keras tak
mau pulang karena tahu dirinya akan diadili di persidangan adat.
“Bebinjat!”[4]
teriak Sadimin di tengah kebingungannya. Bayangan wajah ayahnya yang sedang
menari culas sambil menjulur-julurkan lidah seperti seekor anjing berkelebat
dalam kepalanya.
Setiap tanggal
lima belas bulan atas,[5]
tetua adat itu selalu
menyambangi Sadimin. Entah dari mana keyakinannya muncul bahwa pada tanggal itu
ayah kembali ke rumah. Laki-laki yang suka memamah buah pinang itu satu-satunya
orang yang tidak puas atas hasil ritual garep
yang dilakukan sepuluh tahun silam. Ia yakin bahwa bala kekeringan di
kampung itu takkan berhenti sebelum ritual yang menelan nyawa Rejun Menjong itu
dilaksanakan ulang.
Sadimin ingat
persis, meski saat itu usianya masih cukup belia, tapi kejadian—terutama
kejadian ganjil dan mengerikan—terekam kuat dalam kepalanya. Hampir semua warga
meninggalkan aktivitasnya demi menyaksikan jalannya persidangan di Balai Sangkep[6]
adat malam itu.
“Dari mana
kamu tahu pelaku pencurian sapimu adalah Rejun Menjong?” tanya Oak Rekas
kepada Leman, ayah Sadimin, saat persidangan dimulai.
“Apa kamu lupa
bagaimana buasnya dulu ia mencuri?”
“Bohong! Saya
berani bersumpah, saya tak tahu apa-apa. Malam itu saya menginap di ladang
sayur saya!” Rejun Menjong berkilah.
“Mau disuruh
menelan surau sekalian modinnya, mana ada maling yang mau ngaku, Oak!”
Dulu, saat
usianya masih muda Rejun Menjong memang dikenal sebagai maling yang disegani.
Keberingasannya menggondol barang-barang berharga milik orang lain sampai
tersiar ke kampung-kampung tetangga. Ketangkasan langkah, fostur tubuh yang
tinggi dan gempal, serta ilmu kanuragan yang mumpuni, membuat orang-orang yang mendengar
namanya saja sudah bergetar ketakutan, apalagi sampai berurusan dengannya.
Bagaimanapun, itu
adalah masa lalunya. Setelah lima tahun diusir dan diasingkan dari kampung, dan
hanya sesekali pulang menengok kondisi keluarganya, laki-laki berambut
awut-awutan itu diizinkan kembali ke kampung. Tentu saja setelah memenuhi
syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk
tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya.
“Sumpah! Leman
bohong,” sanggah laki-laki berjuluk Ampan
Lolat[7]
itu.
“Ya, perkataan
Rejun Menjong ada benarnya juga. Dia, kan, akhir-akhir ini sering nginap di
ladang. Apalagi dia juga sudah rajin beribadah. Mana mungkin dia berani
melanggar sumpahnya di hadapan warga dulu.”
“Ah, semua
orang kan bisa pura-pura alim, Oak. Coba ingat-ingat, selama bangsat ini
dibuang dari kampung, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke
sini, sapi saya langsung digasak?” Jawaban Leman meyakinkan. “Dan aku yakin
dugaanku ini benar, karena Rejun Menjong malam itu tidak berada di rumahnya!”
tutupnya mengakhiri sanggahannya.
Bulan sabit
sudah merangkak di atas atap balai sangkep. Sementara, belum ada keputusan yang
tepat. Sebagai seorang pemuka tokoh adat, Oak Rekas tentu tidak boleh
mengambil keputusan serampangan. Tapi, di satu sisi, ia juga harus bersikap
tegas. Setelah dirunding dengan para tetua kampung dan tokoh adat lainnya,
mereka akhirnya sepakat menyelenggarakan ritual garep malam itu juga sebagai satu-satunya jalan keluar masalah.
Tempat
pelaksanaan pun langsung disiapkan. Ayah Sadimin dan Rejun Menjong duduk di
tengah dikelilingi para tetua, tokoh kampung, dan semua warga yang hadir. Meski
dikerumuni hampir ratusan orang, suasana Balai Sangkep seketika menjadi
hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari mulut sanggar.
Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki
pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?
Oak Rekas
menyodorkan dua cangkir serupa mangkuk berisi air suci. Leman meraih cangkir
yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya
hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Rejun Menjong setelah
memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam
sambil menggigit jari. Kalau tidak Leman, pastilah Rejun Menjong yang sebentar
lagi akan terkapar di tempat itu, pikir mereka.
Seperti halnya
Leman, Rejun Menjong pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah
cangkir itu saja. Suasana di seputar balai semakin mencekam. Hampir ratusan
pasang mata itu terpaku pada tubuh Rejun Menjong, menunggu kepastian sebuah
kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara
mereka yang tergeletak di tempat. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat
pun pulang dengan perasaan lega malam itu.
Namun, rasa
lega itu tak bertahan lama. Berselang dua hari, pada pagi yang bergerimis
tipis, warga kampung dihebohkan dengan penemuan mayat Rejun Menjong di bawah
pohon pisang di halaman belakang rumahnya. Mayat itu sudah dikerubungi lalat
meski tanpa luka tusukan, memar, bakar, dan tanda-tanda penganiayaan
semacamnya.
“Akhirnya
terbukti sudah apa yang kita tunggu-tunggu!”
“Saya
benar-benar tak menyangka!”
“Ternyata
tobat hanya dijadikan topeng!”
“Iya benar.”
“Mampus kau!”
“Sekarang
kampung kita sudah aman!”
Demikianlah
komentar orang-orang atas peristiwa itu. Pada mulanya warga kampung percaya
kematian itu adalah jawaban dari teka-teki masalah yang dibuktikan melalui
ritual sakral tersebut. Namun, belakangan rahasia itu terkuak setelah Leman sejak
itu tiba-tiba kabur dari rumah. Dan benar saja, setelah diselidiki memang
dialah dalang pembunuhan tersebut.
***
Sesuai
janjinya, tepat setelah dua minggu, sore ini Oak Rekas datang lagi ke
rumah Sadimin bersama para pengawalnya.
“Bagaimana?
Apa ayahmu sudah pulang?”
Mulut Sadimin
kaku. Percuma saja menjawab pertanyaan itu jika ayahnya belum pulang.
Pertanyaan itu membuatnya tidak punya pilihan selain menyerahkan diri demi
keamanan kampungnya. Dan, mengetahui hidupnya akan berakhir sebentar lagi pada
secangkir air suci membuat tubuh Sadimin nyaris limbung. Namun, bukankah mati
membuktikan sebuah kebenaran dan pengorbanan adalah sebuah kehormatan?
Dua pengawal itu
menyeret tubuh Sadimin setelah diberi kode dengan jentikan jari. Bayangan
tentang ayahnya yang menari-nari culas kembali merubung kepala laki-laki
bertubuh ceking itu. Sepanjang perjalan menuju ritual garep ia mengumpat
berkali-kali, meski ia tahu itu tak ada gunanya.
Di Balai
Sangkep Sadimin dihadapkan di depan para tetua adat, tokoh kampung, dan
beberapa warga yang hadir. Rasanya waktu kembali berputar. Kejadian sepuluh
tahun silam seolah diulang begitu saja dengan tokoh yang berbeda. Ritual garep segera dilaksanakan demi
menghentikan musim kemarau. Oak Rekas membuka ritual dengan merapal
beberapa mantra.
“Apa kamu
sudah siap meminum air suci?” tanyanya menyuguhkan ceret dan sebuah cangkir.
Sadimin menghela
napas lalu mengangguk lesu. Laki-laki yang mengenakan sapuq[8]
itu menggeser posisi duduknya, kemudian berdiri dan menghampirinya. Ia
membungkuk setelah akhirnya mendekatkan cangkir ke mulut Sadimin. Rupanya ia
sendiri yang akan meminumkan air suci itu.
“Aku harus
memastikan air ini masuk ke kerongkonganmu!” bisiknya.
Sadimin mendongak
lalu membuka mulut. Penglihatannya mulai kabur seketika air itu mengalir ke
lambungnya. Bayangan ayahnya yang menjulur-julurkan lidah lagi-lagi melintas
sebelum akhirnya tubuhnya rubuh.
[1] Panggilan untuk orang yang lebih
tua. Maknanya kurang lebih sama dengan paman (kalau disematkan pada laki-laki)
atau bibi (kalau disematkan pada perempuan).
[2] Semacam ritual untuk membuktikan
sebuah kebenaran dengan meminum secangkir air yang diyakini sakral. Ritual ini
biasanya digelar jika ada kasus pencurian di kampung, dan pelakunya diduga kuat
dari warga kampung tersebut tetapi ia enggan mengakui. Dengan demikian, salah
satu cara untuk membersihkan kampung dari tindakan kriminal semacam itu ialah
dengan ritual garep. Jika tertuduh terbukti salah, biasanya ia akan mengalami
penyakit kutukan bahkan tak jarang berujung kematian.
[3] Pemukiman kecil di tengah
persawahan.
[4] Umpatan dalam bahasa Sasak yang
kurang lebih maknanya mirip dengan ungkapan bajingan.
[5] Penanggalan menurut (metode)
adat, yang tidak sama dengan bulan-bulan masehi.
[6] Musyawarah atau persidangan
[7] Nama sebuah ilmu kanuragan yang
pemiliknya konon kebal senjata jenis apa pun (terutama besi). Lolat maksudnya
licin, konon kalau ditebas senjata itu menjadi licin di tubuhnya.
[8] Semacam pakaian adat yang
dipakai dengan diikat di kepala
Narapos
Waspadai Konten Ujaran Kebencian Menjelang Pilpres 2024
Marzuki
Wardi
![]() |
Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/waspada-ujaran-kebencian-menjamur-di-tahun-politik-ini-alasannya/ |
Pak Diki berangkat ke bandara dengan
menumpangi satu mobil bersama tiga orang temannya. Ia baru selesai menghadiri
acara di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).
Kebetulan, ia adalah salah satu dari 32 nominasi pemenang sayembara kepenulisan
yang diselenggarakan lembaga tersebut. Jadi, bisa dipastikan keempat penumpang
mobil tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Tepatnya, satu orang dari Kalimantan
Barat, Manado, Aceh, dan Pak Diki sendiri dari Mataram.
Selama perjalanan ke bandara yang memakan waktu sekitar dua jam,
mereka membicarakan berbagai macam topik mulai kesibukan sehari-hari sebagai
pendidik, keluarga, ciri khas daerah, toleransi, hingga beberapa tokoh di tanah
air dengan kontribusinya masing-masing.
“Saya mengajar di sekolah, salah
satu lembaga dari yayasan, yang didirikan oleh Pak Yasir,” kata Bu Azizah,
seorang guru yang berasal dari Aceh.
Pak Diki sedikit tersentak sekaligus
penasaran. “Pak Yasir ketua partai A itu?” selidiknya memastikan.
“Betul.”
Oh, ternyata dia punya lembaga pendidikan juga, gumam Pak Diki. Salah satu hal yang
mendorongnya memastikan informasi tentang bapak tersebut ialah rasa tidak suka
kepadanya. Ya, betul, bahkan ketidaksukaan Pak Diki bisa disebut sudah sampai pada level benci.
Padahal, ia hanya mengetahui tokoh itu dari televisi dan dari sejumlah sumber
berita. Itu pun bukan berita tentang kehidupan secara objektif dan lengkap.
Jangankan berbincang secara langsung, bertemu pun Pak Diki tidak pernah.
Namun, tentu saja laki-laki yang
berprofesi sebagai guru itu punya alasan, yakni perbedaan pandangan politik. Ia
memang bukan politisi, tetapi ia tidak suka pilihan politik Pak Yasir yang
dinilai tidak pro-Islam.
Ia ingat betul, ketika umat muslim berkumpul untuk mengadakan aksi bela Islam
beberapa tahun silam, politisi ulung tersebut keesokan harinya menggelar
semacam acara tandingan. Sejak saat itulah kebencian di hati Pak Diki mulai
tumbuh subur, ditambah lagi dengan koalisi partai sang grand designer
pada
pemilihan presiden 2019 jatuh pada calon yang bukan pilihan Pak Diki.
Hal yang terjadi berikutnya ialah
setiap kali tokoh tersebut muncul di televisi, Pak Diki selalu mengalihkan channel televisinya. Rasa
benci membuatnya secara otomatis menolak apa saja yang keluar dari mulut tokoh
itu, baik berupa gagasan atau orasi. Tidak sekadar itu, ketika pembicaraan
dengan temannya sesekali menyentuh tokoh tersebut dan partainya, ia selalu
membahas sisi buruknya. Pak Diki seolah hapal betul sisi buruk pribadi tokoh
tersebut beserta partainya.
“Bapak kalau sudah mau nyumbang,
tidak tanggung-tanggung, sekali nyumbang ratusan juta. Apalagi kalau lagi
sakit, minta doa anak-anak, beliau pasti nyumbang ratusan juta ke yayasan. Dan,
satu lagi yang membuat saya kagum, beliau tidak pernah mencampur adukkan hal
itu dengan dunia politik, meskipun beliau sendiri punya partai. Pernah suatu
kali beliau datang ke yayasan. Sebelum hadir, beliau memastikan terlebih dahulu agar jangan ada
bendera politik di sekitar lembaga,” lanjut Bu Azizah menceritakan tokoh yang
berasal dari daerah yang sama dengannya itu.
Pak Diki terdiam sejenak. Cerita
kedermawanan Pak Yasir yang baru saja didengar secara langsung seakan
menghadirkan cermin besar di depannya. Benar, cermin itulah yang membuat Pak
Diki mulai berpikir mengenai sikapnya sendiri selama ini. Pak Yasir menyumbang uang ratusan juta ke lembaga pendidikan.
Sementara, saya yang membencinya, apa hal berharga yang pernah saya berikan
untuk bangsa ini? Jangankan membiayai (pendidikan) orang lain, saya sendiri
masih butuh uang untuk membiayai hidup sendiri, gumamnya.
Obrolan mereka perlahan berkurang
seiring tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Sebenarnya, Pak Diki masih
berkeinginan mengulik informasi lebih jauh mengenai Pak Yasir. Mereka pun turun dan berpisah menuju gate masing-masing. Dada Pak Diki serasa
dilempar sebongkah batu yang memecahkan gelembung kebencian yang selama ini
tersimpan di sana. Rasa simpatinya terhadap Pak Yasir mulai tumbuh sejak saat itu meskipun
tetap memiliki perbedaan arah politik.
***
Kebencian adalah salah satu perasaan
negatif yang berdampak buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sebab, perasaan
benci akan mengganggu pikiran sehat kita sehingga tidak jarang mendorong kita
melakukan hal-hal buruk. Seperti kisah di atas, Pak Diki tidak pernah tahu
pasti seperti apa hidup Pak Yasir di dunia nyata. Ia hanya tahu sisi negatif yang
tidak sejalan dengan pemikirannya. Kesimpulan tersebut dibuatnya berdasarkan informasi dari
beragam sumber. Tentu saja hal itu tidak dapat dijadikan bahan generalisasi.
Dalam hal ini, Pak Diki sendiri
belum merasakan dampak negatif dari sikapnya sendiri. Namun, coba kita
bayangkan bisa saja perasaan benci itu mendorongnya menyebar informasi hoaks dan hate speech tentang
tokoh tersebut. Kemudian, hal tersebut menyebabkannya kena delik pengaduan. Pada akhirnya, ia akan berurusan
dengan hukum. Tidak sekadar itu, jika informasi yang disebarkan ternyata
terbukti hoaks dan provokatif, tentu
saja citra diri Pak Diki sebagai seorang guru akan rusak. Itu karena
perbuatannya sendiri. Adapun, dampak negatif yang akan didapatkan oleh Pak
Yasir ialah berupa pencemaran nama baik hingga merusak martabatnya sebagai
tokoh besar.
Demikianlah dampak negatif dari
sikap benci kita. Namun, saat ini banyak juga tokoh besar, khususnya tokoh
politik, yang memiliki nasib tak jauh berbeda dengan Pak Yasir. Sebut saja para
calon presiden dan wakil presiden kita (capres-cawapres). Menjelang pilpres,
penggalan video singkat atau konten yang berisi informasi hoaks, kebencian,
dan
provokatif semakin banyak menyebar. Video-video itu dipotong, diedit,
dicocok-cocokkkan, disatukan, lalu disebarluaskan ke media sosial. Tidak
jarang, potongan video-video tersebut mengesankan tingkah konyol sang capres
dan cawapres. Padahal, banyak yang tidak sesuai konteks yang sebenarnya.
Parahnya, isi video tersebut
kemudian dicerna dan diterima begitu saja oleh para warganet, terutama mereka
yang awam. Sebab, mereka tidak terlatih mengklarifikasi dan menelaah suatu
informasi secara kritis sehingga wajar mereka menerimanya sebagai sebuah
kebenaran. Mereka berkomentar buruk kepada tokoh-tokoh tersebut seolah diri
mereka lebih hebat. Para pendukung lain pun tidak tinggal diam, mereka membalas
hinaan yang dilontarkan oleh para pendukung capres-cawapres pesaing. Kekacauan
warganet di media sosial pun tak terhindarkan.
Begitulah, konten-konten tersebut terus tersebar dari
beranda medsos yang satu ke yang lain sehingga kebencian-kebencian baru bertumbuhan. Perkataan lisan yang dilakukan
secara langsung mungkin bisa berakhir atau ditutup pada seseorang yang pandai
menyimpan rahasia. Namun, perkataan yang sudah terekspos di media sosial,
apakah bisa dirahasiakan? Kalau kondisinya sudah seperti ini, siapa kira-kira
yang bertanggung jawab? Pada posisi inilah kita menyadari bahwa di zaman yang
serba cepat dan praktis ini terkadang berbanding lurus dengan cepatnya kita berbuat
dosa.
Karena itu, kita perlu berhati-hati
sebelum menyebar informasi atau video singkat di media sosial. Cek terlebih
dahulu kebenarannya. Jika memang itu bermuatan mendidik, informatif, dan
positif, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka sebaiknya kita tahan diri
menyebarkannya. Jangan sampai karena didasari rasa benci kepada orang lain akan
mendorong kita melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Mari kita ingat bahwa kebencian termasuk penyakit (hati) dalam agama Islam.
Bahkan, Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi mengategorikan kebencian sebagai
pengaruh luar yang dapat menimbulkan kesombongan.[1] Sementara, sombong adalah dosa besar.
Nauzubillah.
Lagi pula, mari kita menengok diri kita. Apakah kita sudah
memberikan kontribusi banyak bagi negeri ini? Jangan-jangan mereka yang kita
olok-olok sudah berbuat jauh lebih banyak daripada kita. Apalagi jika kita
tidak pernah mengenal mereka secara langsung. Karena itu, jika belum bisa
berbuat banyak seperti mereka, setidaknya kita bisa menahan tangan dari
mengekspos keburukan mereka. Kita berhak punya pilihan capres dan cawapres masing-masing,
tetapi kita tidak berhak mengekspos keburukan pasangan calon lain.
***
Jendela Inspirasi:
a.
Jangan menilai
seseorang secara sekilas kemudian mengambil kesimpulan buruk dari apa yang kita
lihat. Sebab, boleh jadi banyak hal baik yang dilakukannya dan tidak kita
ketahui dari orang tersebut.
b.
Kalau kita tidak
bisa menghindari membenci seseorang, setidaknya kita mampu menghindari
menularkan kebencian kepada orang lain.
c.
Cermati terlebih
dahulu video singkat di media sosial sebelum kita bagikan. Pastikan video
tersebut bukan hoax, hate speech, fitnah, atau konten provokatif
yang membahayakan.
***
Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen,
esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP
Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia
bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis
dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.
[1] Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi, The Book of Character (edisi terjemah
bahasa Indonesia), (Jakarta, Penerbit Zaman, 2015) halaman 169.
Resensi Buku
Membangkitkan Potensi Anak Melalui Sugesti Oleh: Marzuki Wardi Sumber: dokumen pribadi Judul Buku : Saktinya Hypnoparenting Penulis : Dr...

-
Membangkitkan Potensi Anak Melalui Sugesti Oleh: Marzuki Wardi Sumber: dokumen pribadi Judul Buku : Saktinya Hypnoparenting Penulis : Dr...
-
Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan Oleh: Marzuki Wardi sumber: dokumen pribad...
-
Merdeka Belajar, Belajar Merdeka, dan Pendidikan yang Memerdekakan Marzuki Wardi Sumber: https://www.istockphoto.com/id/bot-wall?returnU...