Minggu, 09 November 2025

Cerpen

 

Sadimin dan Pohon-Pohon Kesayangannya

Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang

Sadimin masih mengangkangi cabang sebuah pohon duwet ketika tubuh anak-anak itu mulai lindap di tikungan pematang sawah. Ia mengusap matanya. Bocah-bocah kumal itu selalu berhasil membuat kekesalannya membuncah. “Suruh ayah kalian lawan saya, binjaaat!”[1] teriaknya.

Tentu saja itu sebuah gertakan semata. Mana berani ia berkelahi, apalagi dengan orang dewasa. Lagi pula, ia mestinya berteriak tadi ketika anak-anak itu masih berada di bawah pohon yang ia hinggapi. Tapi, entah kenapa kerongkongannya selalu merasa tercekat bila orang yang membuatnya marah masih di depan matanya. Kalaupun suaranya berhasil keluar, pastilah serak dan berdengung seperti suara tawon membuat sarang. Pada saat seperti itu, orang-orang semakin girang mengoloknya.

Sore ini bocah-bocah kampung itu menemukan Sadimin setengah tertidur pada salah satu cabang pohon duwet yang berbentuk huruf Y, dekat dangau di tengah sawah. Laki-laki kotok[2] itu mereka lihat menciumi daun-daun pohon mangga sambil memejamkan mata. Mereka juga melihat mulut Sadimin bergumam tanpa suara, seperti sedang mengobrol dengan daun-daun.

Itulah yang menggoyahkan iman mereka untuk mengusili Sadimin. Diambilnya selembar daun duwet yang tergeletak di bawah pohon lalu diolesinya dengan tahi yang mereka ciduk dari kali. Daun itu ditusuk dengan lidi kemudian mereka junjung dengan galah dan didekatkan ke mulut Sadimin yang sedang monyong. Sontak itu membuatnya tergeragap. Ketika membuka mata, ia melihat lima bocah sedang tertawa terpingkal-pingkal tepat di bawah pohon. Ia mengepalkan tangan lalu mengacunginya ke bocah-bocah yang bertelanjang kaki itu.

Sadimin tak mengerti kenapa akhir-akhir ini semakin banyak bocah yang mengganggunya ketika ia berada di atas pohon. Tidak hanya mereka, para bujang di kampung itu juga membenci apa yang ia lakukan. Pada suatu sore, misalnya, ketika ia tengah asyik mengobrol dengan daun-daun dan tonggeret, tiba-tiba segerombolan bujang datang mengumpat dan melemparinya dengan krikil. Sadimin akhirnya terpaksa turun lalu bersembunyi ke semak-semak atau pohon-pohon pandan di samping pohon yang dipanjatnya.

“Dia sudah gila. Mungkin karena ditinggal mati ayahnya!”

“Mungkin dia kerasukan Bakeq Beraq[3] karena kebanyakan main di sawah!”

“Jangan-jangan Sadimin berguru aliran sesat?”

 “Kita usir saja setan itu dari kampung kita!” teriak salah satu warga.

“Tidak usah. Yang penting kita awasi gerak-geriknya.”

“Bagaimana kalau dia melukai anak-anak?”

“Sepertinya itu kecil kemungkinan,” timpal seorang bujang yang dari penampilannya tampak lebih terpelajar, “orang seperi ini hanya akan menghambat kemajuan kampung kita,” tegasnya.

“Atau kita bawa ke rumah sakit jiwa saja?!” usul yang lain.

“Tidak perlu!”

Begitulah Sadimin di mata kebanyakan warga kampung. Ia memang bukan orang penting sehingga mereka harus bersusah payah membawanya ke rumah sakit jiwa. Lagi pula, sanak saudaranya juga tidak terlalu memedulikan hidup laki-laki berleher jerapah itu, terlebih setelah ayahnya meninggal beberapa tahun silam. Jangan tanya keberadaan ibunya, ia telah meninggal setelah beberapa bulan Sadimin dilahirkan.

 

Dulu bila warga ada hajatan, Sadimin memang sering dimintai memetik buah kelapa, kelui, nangka, atau buah lain yang pohonnya mustahil bisa dipanjat orang normal. Hal itulah yang membuat keberadaannya berarti di kampung tersebut. Namun, sekarang kebanyakan warga membeli semua keperluan tersebut jika mereka punya hajatan. Sehingga tanpa jasa itu keberadaan Sadimin tidak diperlukan lagi bahkan nyaris haram.

Sejak kecil dunia Sadimin memang tak jauh dari seputar pohon. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah repoq[4] yang cukup jauh di kampung itu. Di sanalah ayahnya mengajarinya hidup bersama pohon-pohon. Setiap hari nyaris tak dilewatkan Sadimin tanpa latihan memanjat pohon-pohon di sekitar repoq. Hidup di tengah ladang dan jauh dari kampung butuh keahlian memanjat pohon. Tidak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup juga perlu keterampilan menanam dan merawat pohon-pohon. Jadi, hidup akan seimbang dengan menanam, merawat, dan mengambil manfaat seperlunya dari pohon. Begitulah kiranya makna pohon bagi ayah Sadimin yang tentu tak bisa diungkapkan oleh orang yang tak pernah bersekolah seperti dirinya.

Pesan itu seakan menjalar dalam darah Sadimin. Sejak saat itu, ia mulai rajin menanam dan merawat pohon-pohon. Sadimin seakan punya semacam insting botani untuk membaca lahan mana yang membutuhkan kehadiran sebuah pohon. Dengan cekatan tangannya yang kurus itu memindahkan benih-benih pohon yang didapatinya dari lahan yang sudah lebat ke lahan yang masih kosong. Pekarangan repoq itu pun dipenuhi pohon-pohon subur dan rindang.

Seiring bertambahnya usia, Sadimin semakin bersahabat dengan pohon-pohon. Apalagi sejak ayahnya meninggal, ia menganggap batang pohon adalah tubuh ringkih ayahnya, bahkan pohon itu sendiri adalah jelmaan ayahnya. Sadimin tumbuh menjadi anak yang mampu berkomunikasi dengan pohon-pohon. Saban pagi ia memanjat, melompat dari cabang ke cabang, bergelantungan dari dahan satu ke dahan lain layaknya seekor beruk. Dengan burung, kupu-kupu, capung, tonggeret, kadal pohon, dan binatang apa saja yang hinggap di atas pohon ia bermain.

Tentu saja itu bukan hal galib bagi Sadimin. Ia tak merasa sedang melakukan hal aneh. Baginya, ia hanya melakukan apa yang orang lain lakukan kepada sesuatu yang dicintainya. Dengan begitu, tentu saja ia tidak peduli dengan tuduhan orang-orang kampung, apalagi sampai perlu membuktikannya. Itu saja. Tidak lebih. Jika sudah merasa capai dan perlu beristirahat barulah ia akan singgah di pohon duwet besar di dekat dangau itu dan tidur di sana.

***

“Apa pohon-pohon itu akan kita babat habis?”

“Betul Pak Kadis. Konsepnya, area itu nanti akan menjadi tower spot untuk mengamati pegunungan dan area persawahan yang asri.”

“Wah, bagus…bagus…saya kira lahan ini sangat stratekhis. Saya yakin bakal banyak orang tertarik berwisata ke sini jika tamannya sudah jadi sehingga itu bisa mendongkrak ekonomi masyarakat,” jawab seorang bapak berseragam yang dipanggil Pak Kadis.

“Betul Pak Kadis. Saya berharap pembangun taman wisatanya bisa segera direalisasi.”

“Kalau tak ada kendala, bulan ini sudah bisa dimulai, Pak Kades!”

Sadimin terbangun dengan suara orang-orang berseragam di bawah pohon tempatnya tidur. Rombongan itu tampaknya terdiri dari beberapa elemen pejabat penting di pemerintahan. Mereka menengok ke beberapa arah sambil berjalan santai. Sesekali telunjuk mereka mengarah ke sana ke mari.

Tak lama kemudian seorang perempuan yang juga berseragam cokelat muda menuding ke sebuah pohon, “Orang gila…orang gila…!” teriaknya.

Perhatian rombongan beralih ke tempat yang dimaksud perempuan di samping Pak Kadis. Pak Kades menepar jidat. “Sial,” bisiknya kemudian memanggil Satpol PP. “Li, bukankah saya sudah perintahkan agar setan itu diusir dari sini?” tanyanya kesal kepada Pak Rusli.

“Siap perintah sudah dilaksanakan. Bujang-bujang itu sudah saya perintahkan untuk mengusirnya, Pak Kades!”

“Saya ndak mau dengar alasan. Usir dia sekarang juga,” bentak Pak Kades.

“Siap laksanakan!”

Sadimin bingung sekaligus takut bukan kepalang. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara, Pak Rusli bergegas mendekati pohon duwet tempat laki-laki berambut awut-awutan itu bertengger. Dikeluarkannya sebuah pentungan lalu diayunkannya ke arah Sadimin yang semakin gelagapan. “Eee…setan turun kamu! Nakutin orang saja kamu! Ayo cepat! Hitungan kesepuluh kamu ndak turun saya lempar pakai pentungan ini!” teriak Pak Rusli berapi-api.

Sadimin makin kalap. Tubuhnya gemetar. Hidungnya kembang kempis seakan oksigen di dalam tubuhnya tercerabut keluar atmosfer. Ia menyampir bajunya ke pundak kanan lalu melorotkan tubuhnya ke batang pohon mangga yang disinggahinya. Ia kemudian berlari tunggang langgang ke rimbunan pohon pandan berduri di ladang sebelah.

Di tengah napasnya yang ngos-ngosan, ia menyeka sarung lusuhnya yang ia kenakan. Beberapa bagian pahanya lecet. Pikirannya berusaha menerka apakah ada kaitan orang-orang berseragam yang mengusirnya dengan beringas itu dengan kelakuan bujang-bujang bila hari? Rasanya sulit ia bisa pastikan. Beberapa ekor kupu-kupu, tawon, capung, dan tonggeret berdatangan terbang hilir mudik di depannya. Mulut Sadimin merekah melihat kedatangan mereka.

 

Lombok Tengah, 09 November 2025

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukim di Lombok Tengah, NTB.



[1] Kata-kata serapah dalam bahasa Sasak

[2] Laki-laki yang tidak pernah menikah

[3] Semacam jin yang jahat

[4] Rumah di tengah sawah atau kebun yang jauh dari pemukiman

Minggu, 26 Oktober 2025

Cerpen

Guru Baru dari Luar Angkasa[1]

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber gambar: https://id.lovepik.com/images/photo-space-astronaut-helmet.html


Guru baru itu mengaku dari luar angkasa. Ia menggantikan Pak Sadimin yang beberapa hari lalu mengundurkan diri dari sekolah itu. Pak Sadimin adalah seorang guru yang dikenal penyabar dan berhati lembut. Ia sangat sayang kepada siswa-siswanya. Tak pernah sekalipun ia menyakiti perasaan mereka apalagi sampai asal main pukul. Ia memperlakukan mereka bak mutiara. Dielus, diusap, dan digosoknya jiwa siswa-siswanya setiap hari, meskipun ia sadar bahwa yang digosoknya adalah cadas yang selalu melukainya.

Hampir setiap masuk kelas Pak Sadimin selalu dibuat menangis. Tentu bukan menangis terharu karena prestasi mereka, melainkan karena perilaku buruk mereka. Siswa-siswanya tak mengenal adab sama sekali. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dianggapnya angin lalu belaka; masuk telinga kanan keluar lewat telinga kiri; masuk telinga kiri keluar lewat telinga kanan; masuk lewat mulut dikeluarkannya lewat lubang anus. Ketika Pak Sadimin meminta untuk tenang, mereka acap kali melonjak kegirangan. Ada yang berjoget-joget sambil menjulurkan lidah. Sebagian berteriak-teriak, sebagian lain memukul-mukul meja dan mengentak-entakkan kaki. Alhasil, Pak Sadimin hanya bisa menangis haru melihat perilaku mereka.

Rekan-rekan Pak Sadimin yang lain juga diperlakukan seperti itu. Mereka sebetulnya bukan tidak berani memarahi atau memukuli siswa-siswa nakal tersebut. Hanya saja mereka malas berhadapan dengan peraturan yang serba rumit. Dulu pernah ada seorang guru baru kena sanksi karena menjambak rambut seorang siswa lalu menggamparnya lantaran kedapatan merokok. Tidak berselang lama ia dipanggil oleh atasan dan pemerintah kabupaten. Ia kena tegur dan sanksi administratif tak bisa naik jabatan dalam kurun waktu tertentu, yang tentu itu adalah aib dalam karier kedinasan.

Tidak mau mengalami nasib serupa, banyak guru yang memelas agar dipindahkan ke sekolah-sekolah lain. Ke sekolah di daerah paling terpencil sekalipun, tidak masalah, asalkan siswanya penurut. Sebagian ada yang masa bodoh. Mereka membiarkan perilaku siswa itu apa adanya. Yang penting tugas tetap dilaksanakan, gaji tetap lancar, terserah mereka mau berbuat apa. Pak Sadimin sendiri memilih mengundurkan diri. Ia merasa telah gagal menjadi seorang pendidik. Namun, bagi guru baru dari luar angkasa semua itu sepertinya tidak berlaku.

“Anak-anak, hari ini kita kedatangan guru baru dari luar angkasa,” ucap kepala sekolah masuk ke kelas sebelas, “beliau mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus akan menjadi wali kelas kalian,” sambungnya lalu keluar begitu saja.

Belum saja mulai bicara, guru baru tersebut langsung disambut gelak tawa. Suasana kelas menjadi riuh. “Wah, teman-teman, hari ini adalah hari sepesial! Ada makhluk luar angkasa yang akan mengajar di kelas kita. Hahaha!” olok Musanip, seorang ketua di kelas itu.

“Alien kali. Hahaha!” sambut yang lain.

“Tapi kok matanya nggak lebar dan menonjol kayak di film-film?” Rusli Wingcun menyahut.

“Memang dia ngerti bahasa manusia?”

Guru dari luar angkasa tampak tenang dan santai. Ia melepas tas punggung warna hitam belel di kaki meja sebelah kanan. Ia bersedekap, melangkah sedikit ke depan, lalu menyandarkan pinggangnya di sisi depan meja guru. “Tenang, saya juga ngerti bahasa kalian. Di planet tempat tinggal saya, saya juga mempelajari beragam jenis bahasa, termasuk beberapa bahasa di bumi. Apalagi saya sudah mengajar dari planet satu ke planet lain selama ratusan tahun,” jawabnya santai.

“Haluuu…!”

“Huuuuu. Bohooong!”

Begitulah kebiasaan siswa-siswa di sekolah itu. Bukan menjadi tenang, kelas justru tambah bising. Perkataan guru baru itu dianggap tak lebih sekadar lelucon konyol. Musanip ketua kelas tertawa lebar. Ia terbahak-bahak sampai tubuhnya yang tambun terguncang-guncang. Ada yang berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, sambil menyoraki guru baru. Gumpalan-gumpalan kertas juga mulai dilemparkan ke arahnya. Namun, gerakan gumpalan-gumpalan itu menjadi sangat lamban ketika mengarah ke wajah guru baru sehingga ia tampak melayang-layang di udara. Beberapa siswa yang melihat itu mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa.

“Mohon tenang dulu…” timpal guru baru. Ia maju beberapa langkah dan berhenti di depan Musanip yang masih tertawa. Diangkatnya kaca matanya untuk melihat lebih jelas wajah ketua kelas dari jarak dekat. Ia mengipas-ngipas tangan di depannya lalu menangkup mulut Musanip dengan kelima jari tangannya. Tubuh Musanip mematung seketika, dan mulutnya terkunci seperti orang bisu. Kelas mulai sepi seketika menyaksikan kejadian tersebut.

Selang beberapa detik, sang guru baru mengangkat tangan sebelah kiri seperti orang melambai. Beberapa saat kemudian, ternyata ada pukulan melayang dengan gerakan lamban ke arahnya. Seperti adegan dengan slow motion dalam film-film, pukulan itu mendarat dengan sangat pelan di telapak tangan guru baru. Gerakan itu rupanya telah dibaca lebih dulu. Guru baru bertubuh pendek itu menggenggam kepalan tangan siswa bernama Asep Budiman lalu memuntir tangannya sehingga ia kini menghadap ke depan teman-temannya.

“Perkenalan yang cukup menantang!” ujarnya santai. Dengan pelan ia mendorong punggung Asep Budiman yang cukup gempal. Tapi, tubuh itu tersuruk dengan cepat sehingga Asep berlari membungkuk dan nyaris tersungkur ke samping tempat duduknya. Gerakan itu sungguh tak lazim.

Guru baru tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk tangan. Ia melangkah lagi menuju beberapa siswa. “Kalian tahu, berapa tahun cahaya jarak antara bumi dan bintang-bintang?” tanyanya. Tentu saja siswa-siswa itu hanya bisa melongo. “Jarak bumi ke bintang itu puluhan tahun cahaya. Makanya, secara dimensi temporal, ketika kalian melihat bintang, kalian tidak hanya melihat ke luar angkasa tetapi juga melihat masa lalu.[2] Gampangnya, gerakan yang hendak kalian lakukan sudah tampak duluan di mata saya bahkan sejak dalam pikiran kalian.”

Kini semua siswa melongo. Mereka dibuat takjub. Tak pernah mereka alami kejadian ganjil seperti pagi ini di dunia nyata. Semua yang mereka saksikan barusan hanya pernah mereka tonton di film-film. Apa saja yang mengarah ke guru baru itu gerakannya menjadi sangat pelan. Sementara, yang mengarah kepada mereka menjadi demikian cepat beberapa kali lipat. Sungguh absurd.

“Pada pertemuan pertama ini kita sebenarnya hanya berkenalan. Sayang waktu kita keburu habis dipakai main-main. Tapi, anggaplah ini perkenalan pertama kita. Besok kita akan lanjut untuk saling mengenal nama.” Ia mendekati Musanip lalu mengusap wajahnya. Segera bocah tambun itu tersadar dan seketika napasnya tersengal-sengal. Rasa takut langsung memagut dadanya.

“Ternyata mengajar di bumi asyik juga,” ucap guru baru dari luar angkasa membalikkan badan kemudian berjalan ke muka kelas. Ia berjalan dengan sangat aneh. Kedua tangannya tak diayun. Tubuh pendeknya terlihat sangat ringan.  Langkah kakinya santai, tapi begitu cepat menjangkau tujuan. Kini ia berdiri di tengah pintu kelas setelah lebih dahulu meraih tasnya dengan cara yang juga aneh. “Sepertinya saya bakalan betah ngajar di sini,” sambungnya sambil tertawa. Tawanya, lagi-lagi, sangat berbeda; datar dan tidak ada jeda. Ia kemudian keluar kelas.

Siswa-siswa itu menghela napas lega. Ada yang mengusap-usap dada. Ada pula yang masih melongo seperti kena hipnotis. Di satu sisi, perasaan mereka juga tak karuan; takut, kalap, sekaligus penasaran. Kali ini mereka benar-benar merasakan hal berbeda saat kedatangan guru baru. Mereka pun berhamburan keluar kelas begitu tubuh guru baru dari luar angkasa lindap. Anehnya, sepanjang koridor yang terhubung ke ruang kepala sekolah, tak seorang pun yang terlihat sedang berjalan atau berdiri. Benar-benar sepi. Hanya suara-suara kecil dari dalam kelas lain yang terdengar. Padahal, belum satu menit guru itu keluar kelas.

Musanip, Asep Budiman, Rusli Wingcun, dan teman-teman lain berlari ke lapangan sekolah. Mereka mendongak matahari di atas kepala mereka. “Mungkinkah guru baru langsung pulang ke luar angkasa?” tanya mereka.

Lombok Tengah, 24 Oktober 2025



[1] Judul cerpen ini terinspirasi dari cerpen karya Kiki Sulistyo berjudul Muazin Pertama di Luar Angkasa. Namun, isinya sama sekali tidak punya kaitan dengan cerpen tersebut.

[2] Kalimat ini dikutip dari novel karya Blake Crouch berjudul Dark Matter.

Senin, 06 Oktober 2025

Resensi Buku

 

Memahami Sasak dan Rinjani dari Kacamata Spiritual

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber: Dokumen pribadi


Judul Buku      : Rinjani Perspektif Ekosufisme

Penulis             : H. L. Agus Fathurrahman

Penerbit           : Mera Books

Terbit               : Pertama, Juli 2025

Tebal               : 170 halaman

ISBN               : 978-623-8302-14-7

Dulu, sekitar tahun 90-an, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sering mendengar cerita di kalangan anak-anak seusia saya yang mengatakan begini, “Kalau Rinjani tidak sering disuntik oleh Maulana Syaikh,[1] mungkin ia sudah meletus, dan kalau Rinjani meletus habislah kita.”

Pikiran saya saat itu membayangkan ulama kharismatik pulau Lombok tersebut membawa suntikan raksasa serupa galah lalu ditancapkannya ke pundak Rinjani dan air di dalam spetnya mengalir deras ke dalam tanah yang membuatnya menjadi dingin. Tentu saja alasan konyolnya ialah jika manusia memerlukan suntikan kecil, maka gunung yang demikian besar pasti membutuhkan suntikan yang besar pula.

Saya tidak tahu apakah cerita itu benar atau hoaks. Yang jelas tidak jarang orang-orang tua pada saat itu membenarkan hal tersebut. Dan sepertinya itu memang benar adanya. Sebab, beberapa saat yang lalu (setelah saya dewasa) saya pernah mendengar penggalan audio ceramah Maulana Syaikh tentang keistimewaan gunung Rinjani yang konon dijadikan tempat pertemuan ruh para waliyullah sedunia.

Pada momen lain, pada Agustus 2015, saya mendaki gunung tertinggi di pulau Lombok tersebut dan kurang ajarnya itulah pertama kali saya ke sana. Meski tujuannya rekreatif, pemimpin rombongan kami waktu itu menjelaskan beberapa pantangan yang harus ditaati selama mendaki seperti tidak kencing dan berludah sembarangan, tidak berkata kotor, melakukan hal tidak senonoh dengan lawan jenis, dan beberapa pantangan lainnya. Bahkan, kami sempat mendengar beberapa cerita tentang tulah yang didapat oleh mereka yang melanggar pantangan tersebut seperti kesurupan, tersesat, dan lainnya.

Pada saat kami di segara anak, kami turun mandi ke sungai air kalak. Kami menemukan banyak orang aneh berpakaian serba putih sedang mandi. Pakaian mereka serupa orang ihram di tanah suci Makkah. Mereka bahkan tidur di sana, menyandarkan kepala di atas batu sehingga kami sempat melangkahi kepala mereka. Demikian pula ketika perjalanan pulang, kami menemukan orang dengan pakaian yang nyaris sama saat di sungai kalak. Hanya saja ia sedang menaruh semacam sesajen di sebuah gundukan di bagian sisi gunung.

Apa yang saya dengar, saksikan, dan alami sejak kecil mengenai Rinjani tersebut kemudian menyiratkan pertanyaan besar di benak saya saat ini, “Ada apa sebenarnya dengan Rinjani? Kenapa ia begitu istimewa di mata masyarakat Sasak?” Beruntung dua pertanyaan ini terjawab setelah saya menuntaskan buku berjudul Rinjani Perspektif Ekosufisme ini.

Masyarakat Sasak dan Rinjani memang dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Selain sebagai ikon daerah Lombok, Rinjani adalah identitas Lombok itu sendiri sehingga ketika orang menyebut Lombok sering kali yang terbayang di benak mereka adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia tersebut. Sebaliknya, ketika orang menyebut Rinjani, secara otomatis merujuk ke pulau Lombok itu sendiri.

Ditinjau lebih jauh, hubungan tersebut lebih bersifat emosional-spiritual. Artinya, antara bangsa Sasak dan Rinjani memiliki kedekatan batin yang erat. Masyarakat Sasak memandang gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu bukan sebagai gundukan tanah yang menjulang ke langit belaka. Namun, mereka lebih menganggapnya sebagai pusat kosmos yang mengalirkan energi kehidupan dan penghidupan bagi mereka. Misalnya, fungsinya sebagai sumber mata air yang mengalir ke seluruh pulau Lombok adalah wujud kasih sayang Rinjani kepada mereka, dan karena itu mereka pun harus memberi kasih sayang kepada Rinjani.

Kasih sayang ini tentu tidak mencapai derajaat "penghambaan" layaknya seorang hamba kepada sang Khalik. Namun, ia lebih kepada penguatan interaksi antara sesama makhluk Tuhan. Karena mereka sadar bahwa mereka hidup tidak hanya dengan sesama manusia melainkan dengan makhluk lain yang bahkan tak kasatmata. Faktanya, hal itu dimanifestasikan melalui sikap dan perilaku seperti pemole yang berarti memuliakan segala anugerah Tuhan di muka bumi melalui ritual. Selain itu, ada juga sikap semaiq yang berarti mengambil manfaat secukupnya dari alam. Sikap pemole dan semaiq ini diekspresikan melalui berbagai ritual untuk menata perilaku selama berada di kawasan Rinjani. Ritual ini biasanya dipimpin oleh tetua adat yang disebut lokaq.

Hal inilah kiranya yang dilakukan oleh Tuan Guru Pancor sebagai seorang tokoh agama dan spiritual besar di pulau Lombok. Dengan kata lain, beliau hendak menjaga keharmonisan manusia dengan alam yang dalam hal ini ialah Rinjani melalui ritual tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Mengingat Rinjani sebagai inen paer yang berarti induk tanah air (Sasak), maka ia harus dijaga dengan baik demi kelestariannya dan keselamatan manusia sekitarnya.

Hal itu disebutkan juga oleh penulis buku ini bahwa secara spiritual Maulana Syaikh juga meyakini Rinjani sebagai tempat pertemuan waliyullah seluruh dunia. Tidak menutup kemungkinan inilah yang disebut sebagai upaya menyuntik Rinjani melalui ritual spiritual (doa) untuk kebaikan Rinjani. Hanya saja itu diungkapkan dengan bahasa metaforis.

Kemudian, pengalaman melihat para pendaki berpakaian serba putih dan pantangan yang saya sebut di atas dijelaskan pada halaman 158 sampai 162. Ternyata mereka adalah para pendaki tradisi yang memang punya rangkaian proses pendakian yang telah ditentukan di antaranya pertama, persiapan mental-spritual. Seorang pendaki tradisi harus melakukan persiapan mental puasa mutih, mejaga kesucian diri, larangan memotong hewan, larangan tidur di dalam rumah, larangan berselisih dengan istri dan anggota keluarga lainnya, dan larangan mengomentari sesuatu.

Kedua, persiapan perbekalan. Persiapan ini berupa penyediaan alat masak seperlunya, beras sejai (seperempat kilogram) setiap orang, sangu perjalanan dan sangu khalwat berupa jagung sepuq (jagung sangria), dan beberapa perlengkapan lainnya. Adapun, yang wajib dibawa setiap pendaki ialah kain pembasaq (kain putih) untuk mandi dan pakaian khalwat.

Ketiga, penjawaq dalam perjalanan. Penjawaq dalam hal ini ialah orang yang menjadi penunjuk jalan sekaligus membawa pendaki mencapai tujuan. Biasanya posisi ini dilakoni oleh guru spiritual, orang yang dituakan, atau orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal-hal spiritual.

Keempat, penjambeq dan sembeq. Penjambeq berfungsi sebagai media komunikasi dengan pengkosmos non-manusia selama perjalanan para pendaki di Rinjani. Di samping itu, ia juga sebagai tanda sudah ada orang yang lebih dahulu yang melakukan pendakian selain mereka. Sementara, sembeq yakni tumbukan sirih pinang dan kapur sirih yang dicoretkan di kening semua pendaki. Sembeq ini sebagai tanda pengenal spiritual kepada pengkosmos yang masuk ke wilayah rinjani agar tidak diganggu oleh energy kosmik yang lebih kuat.

Kelima, sikap pendaki tradisi. Selama dalam perjalanan, saat di lokasi, dan perjalanan pulang, para pendaki harus menjaga adab dan sikap mereka. Adapun, beberapa sikap tersebut berupa: menjaga kesucian niat yang ditanamkan sejak berangkat; menjaga sikap harmonis dengan sesama pendaki dan pengkosmos selama pendakian; menjaga perkataan, tidak menyebut nama asli hewan tertentu yang memang dilarang disebut; menggunakan kode-kode tertentu untuk saling memanggil; tidak mendahului rombongan lain kecuali diizinkan.

Salah satu hal yang menjadikan buku ini tambah menarik ialah penulis tidak hanya berbicara mengenai relasi antara masyarakat sasak dengan Rinjani secara ekologis semata. Namun, ia berupaya mengkaji relasi antara sejarah peradaban, topografi, dan kebudayaan Sasak dengan pendekatan filologis yang pada akhirnya membentuk cara pandang bangsa Sasak dalam menjalani kehidupan.

Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Mamiq Agus (sapaan akrab penulis buku ini) mengeksplorasi asal-usul arsitektur rumah lumbung alang yang menurut hasil penelitian Setiadi Sopandi berusia sekitar 3.500 tahun sebelum masehi (SM), penelusuran asal-usul kata Anjani yang lekat dengan gunung Rinjani melalui manuskrip kuno, dan beberapa ungkapan arkais masyarakat Sasak tentang kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu dimanifestasikan oleh masyarakat Sasak melalui perilaku yang sarat dengan nilai tradisional-spiritual.

Nilai-nilai tersebut dibahas secara rinci nyaris di semua bab (lima bab) dalam buku ini. Oleh karena itu, jika Anda ingin memahami peradaban Sasak lebih mendalam, maka buku ini bisa menjadi rujukan yang penting. Terutama bagi generasi muda agar tali kekang peradabannya tidak terlepas dari pasak leluhurnya.

Lombok Tengah, 07 Oktober 2025. Pukul 00:06

Marzuki Wardi, penikmat buku dan kopi. Saat ini ia sedang dimabuk sastra dan bahasa. Karenanya, ia mendalami Aksara Sasak di Bencingah Institut, sebuah lembaga non formal yang fokus dalam mengkaji sejarah, budaya, bahasa, dan spiritual yang didirikan oleh Mamiq Agus FN. Sesekali ia juga menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku.

 



[1] Gelar populer untuk KH Zainudin Abdul Majid, seorang ulama terkemuka di pulau Lombok.

Kamis, 25 September 2025

Resensi Buku

Membangkitkan Potensi Anak Melalui Sugesti
Oleh: Marzuki Wardi 

Sumber: dokumen pribadi


Judul Buku : Saktinya Hypnoparenting 
Penulis : Dr. Agus Sutiyono, MM. 
Penerbit : Penebarplus+ 
Terbit : Pertama, 2014 
Tebal : 137 halaman 
ISBN : 978-602-1279-13-7 

    Bocah laki-laki itu sedang asyik bermain dengan temannya ketika melihat ibunya menyiapkan makanan untuk menjamu tamu. Sekonyong-konyong ia menabur pasir ke makanan tersebut. Tentu saja tingkah nakalnya itu membuat sang ibu marah. Beruntung ia bisa menahan diri sehingga ia tidak mengeluarkan kata-kata negatif kepada sang buah hati. Sebaliknya, yang keluar dari lisannya ialah doa, “Pergi kamu biar jadi imam di Haramain.” Qodarullah sang anak tumbuh menjadi pribadi yang saleh dan kini menjadi Imam Masjidil Haram. 

    Tahukah Anda penggalan cerita di atas? Itu bukanlah cerita fiktif, melainkan kisah nyata masa kecil Syaikh Muhammad as-Sudais yang tidak lain adalah Imam Masjidil Haram. Namun, saya tidak akan menceritakan kisah tersebut panjang lebar. Saya hanya akan mengajak Anda untuk merenungi pesan tersirat di baliknya yakni betapa mustajabnya kata-kata (doa) yang diucapkan oleh seorang ibu kepada anaknya. Memang, keberhasilan yang diraih tentu melalui proses yang panjang. Hanya saja doa sang ibu akan menjadi motivasi dan energi positif yang terus mengalir pada diri anak. 

    Kalimat semacam itu biasanya keluar dari lisan seorang ibu yang sudah terlatih dengan kata-kata positif. Sebab, ia tahu setiap kalimat, sikap, dan perlakuannya akan berdampak pada pribadi anak. Ia sadar setiap ucapannya akan membekas pada diri anak sehingga ia akan berupaya menghindari kata-kata yang tidak bermanfaat. Singkatnya, karakter ibu seperti ini memiliki pemahaman yang baik tentang cara mendidik anak (ilmu parenting). Karena itu, ilmu parenting sangat penting bagi seorang ibu. 

    Sejauh ini referensi berupa buku-buku yang membahas parenting secara umum sudah banyak beredar. Namun, buku yang disajikan dengan unik dan asyik (dari segi konten dan gaya penyajian) sepertinya masih bisa dihitung dengan jari sebelah. Kabar baiknya kita bisa menemukan itu dalam buku yang berjudul Saktinya Hypnoparenting karya Agus Sutiyono ini. Dilihat dari judulnya, kita pasti terbayang bahwa kata hypno berkaitan dengan hipnosis yang identik dengan dunia magis, bukan? 

    Sebentar, buku ini memang memiliki kaitan dengan hipnosis, tetapi bukan seperti yang kita saksikan dalam tayangan telvisi; seorang laki-laki berpakaian serba hitam memegang pendulum yang diayun-ayunkan di depan wajah objek hipnosis kemudian membuatnya tertidur dan mengumbar rahasia pribadinya. Tidak sama sekali. Hypnoparenting di sini adalah gabungan dari dua disiplin; hipnosis dan parenting. Hipnosis ialah pengetahuan dan teknik berkomunikasi dengan sistem kerja otak (halaman 19). Sementara, parenting ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugas orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak (halaman 51). 

    Singkatnya hypnoparenting ialah teknik hipnosis yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Inti teknik ini ialah membangkitkan potensi anak melalui sugesti. Namun, sebagaimana teknik hipnosis pada umumnya, hal yang perlu diketahui sebelum mempraktikkannya ialah momen yang tepat untuk memberi sugesti. Menurut penulis, waktu yang baik untuk meyugesti anak ialah saat otak berada pada gelombang alfa dan teta. Sebab, pada gelombang tersebut, otak berada pada kondisi belajar dengan sangat cepat. Alfa ialah gelombang saat pikiran santai (berada pada frukuensi 8-12 Hz). Sementara, teta berada pada frekuensi 4-8 Hz, atau gelombang yang dihasilkan pikiran bawah sadar (halaman 31-34). 
    
    Dua gelombang ini muncul pada saat menjelang tidur, bangun tidur, pada saat emosi anak meningkat, dan dalam keadaan terkejut. Itulah waktu-waktu yang efektif untuk menyugesti anak. Hal yang perlu dihindari ialah menggunakan kata-kata negatif. Misalnya, jika kita ingin melihat anak punya nafsu makan yang baik, maka kita tidak perlu mengucapkan “Kamu harus makan banyak, kalau tidak kamu bisa sakit.” Alih-alih kalimat negatif, kita bisa membisikkan kalimat positif di telinga anak seperti “Semakin hari keingingan makanmu semakin besar. Kamu sangat suka sayur-sayuran. Semakin hari makanmu semakin banyak sehingga tubuhmu sehat, cerdas, dan kamu pun bahagia” (halaman 65). 

    Salah satu keunggulan hipnosis dibanding metode lain seperti ceramah ialah ia bisa memengaruhi pikiran bawah sadar (subconscious mind). Sementara, pikiran jenis ini memengaruhi perilaku seseorang. Rizem Aizid mengungkapkan hal-hal yang diproses oleh pikiran bawah sadar ialah seperti kebiasaan (habit), perasaan (emotion), ingatan jangka panjang (long term memory), persepsi (perception), kepribadian (character), intuisi (intuition), kreativitas (creativity), dan keyakinan (belief). Bukankah semua ini unsur-unsur yang mendukung keberhasilan seseorang baik dari segi prestasi maupun kepribadian? 

    Buku yang terdiri dari tujuh bagian ini tentu tidak hanya diperuntukkan bagi kaum ibu, tetapi juga untuk ayah. Sesuai judulnya parent (-ing) yang berarti orang tua, baik ayah maupun ibu dapat memanfaatkan teknik hipnosis yang disajikan dengan bahasa yang sederhana, efektif, dan praktis. Namun, saya sengaja mengutamakan penggunaannya untuk kaum ibu mengingat peran pentingnya sebagai pendidik pertama dan utama yang durasi waktunya paling lama bersama anak. 

    Sebagaimana buku “how to” atau tips lainnya, buku ini dilengkapi catatan-catatan singkat dan penting dalam beberapa fokus pembahasan untuk mempermudah pembaca memahami dan mempraktikkan materi yang disajikan. Upaya ini sebetulnya akan lebih efektif andai saja materinya dilengkapi dengan success story penulis sendiri dalam menerapkan hypnoparenting. Sebab, kisah sukses seseorang selalu menginspirasi orang lain untuk membuat hal rumit menjadi lebih mudah. Di samping itu, hal ini dimaksudkan agar kesaktian hynoparenting (seperti judulnya) terbukti dapat membangkitkan potensi anak. 

    Buku ini sangat layak dibaca untuk ibu semua kalangan terutama bagi mereka yang usia rumah tangganya masih hijau. Dengan demikian, mereka akan memiliki bekal yang memadai untuk mendidik anaknya, agar tidak hanya telapak kakinya yang menjadi sumber surga, melainkan lisannya juga menjadi sumber keberhasilan bagi anaknya. 

Lombok Tengah, 25 September 2025 pukul 22:50 
Marzuki Wardi, penikmat buku dan kopi. Saat ini ia sedang asyik menjelajahi dunia pendidikan, bahasa, dan sastra. Sesekali ia menulis cerpen, esai, dan resensi buku. Selain itu, ia juga tengah mempelajari ilmu Aksara Sasak dan Filologi di Bencingah Institute, lembaga yang fokus mengkaji budaya, sejarah, dan sufisme Sasak.

Senin, 08 September 2025

Resensi Buku

 

Kiat Menjadi Pribadi Bermanfaat Bagi Masyarakat

Oleh: Marzuki Wardi



Judul Buku      : Pribadi hebat

Penulis             : Prof. Dr. Hamka

Penerbit           : Gema Insani

Terbit               : Pertama, Desember 2014, kesepuluh, Mei 2020

Tebal               : 178 halaman

ISBN               : 978-602-250-711-6 (PDF/edisi NTBelib)

Apa yang terbayang di benak Anda jika mendengar nama Ir. Soekarno? Apakah penampilannya yang bergaya borjuis? Gaya pidatonya di podium yang berapi-api? Ataukah ketegasannya dalam memutuskan suatu masalah? Bagi Anda yang mengenal (biografi) presiden pertama Indonesia tersebut dengan baik, pasti salah satu atau bahkan semua karakter tersebut terbayang di pikiran Anda. Namun, jika Anda hanya mengenal namanya, maka yang terlintas di pikiran Anda boleh jadi hanya sosok presiden pertama Indonesia.

Demikian juga jika kita mendengar nama tokoh lain seperti Buya Hamka. Bagi orang yang mengenal tokoh bangsa tersebut, pasti yang terlintas di pikirannya ialah sosok ulama karismatik, penyair, penulis, alim, tegas, dan berilmu luas. Namun, bagi sebagian orang yang hanya mengenal namanya, pasti yang terbayang adalah sosoknya sebagai ulama biasa. Begitulah, hal yang paling melekat pada diri seseorang adalah kepribadiannya. Ia adalah ciri khas yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain.

Namun demikian, pribadi bukanlah sekadar identitas pembeda. Ia ternyata memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap maju atau mandeknya suatu bangsa. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pribadi sehingga ia demikian berpengaruh terhadap kondisi suatu bangsa? Jawabannya bisa kita temukan dalam buku yang berjudul Pribadi Hebat ini.

Menurut penulis buku ini, pribadi seseorang terbentuk dari budi, akal, pergaulan, kesehatan, dan pengetahuan. Lebih lanjut, ia mendefinisikan pribadi dengan membaginya menjadi (1) kumpulan sifat dan kelebihan diri yang menunjukkan kelebihan seseorang daripada orang lain sehingga ada manusia besar dan manusia kecil, ada manusia yang sangat berarti hidupnya dan ada yang tidak berarti sama sekali. Kedatangannya tidak menggenapkan dan kepergiannya tidak mengganjilkan; (2) kumpulan sifat akal budi, kemauan, cita-cita, dan bentuk tubuh. Hal itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (halaman 4).

Beranjak dari pengertian tersebut, penulis mengajak kita untuk  memahami pribadi secara individu dan kedudukannya sebagai bagian dari anggota masyarakat yang majemuk. Menurutnya, seseorang tidaklah disebut pribadi bermanfaat jika ia hanya mementingkan keperluannya sendiri meskipun ia seorang guru, dokter, insinyur, dan profesi penting lainnya. Sebab, nilai seseorang dilihat dari perannya dalam sebuah masyarakat, dan itulah hakikat pribadi bermanfaat.

Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui apa saja yang dapat memunculkan pribadi bermanfaat. Penulis memaparkannya pada bagian dua (halaman 11) secara rinci berikut penjelasannya menjadi sepuluh yaitu daya tarik, cerdik, empati, berani, bijaksana, berpandangan baik, tahu diri, kesehatan tubuh, bijak dalam berbicara, dan percaya kepada diri sendiri.

Bagaimana elemen-elemen itu kemudian berpengaruh terhadap peran aktif seseorang dalam masayarakat? Kita ambil contoh sikap berani. Pribadi berani adalah yang sanggup menghadapi segala kesulitan atau bahaya dengan tidak kehilangan akal. Di samping itu, orang yang berani tidak hanya ingin menerima kemenangan, tetapi juga berani menerima kekalahan. Pribadi seperti ini pada akhirnya akan memiliki sikap sportif, sehingga ia akan membawa keharmonisan dalam hubungan sesama dalam masyarakat.

Tanda keberanian juga dapat dilihat pada sikap tenang dan tidak gugup, sehebat apa pun pihak yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika bertemu dengan seorang berpangkat tinggi, sebagai bangsa yang merdeka, kita akan bersikap hormat kepadanya seperti hormat kepada orang yang tidak berpangkat. Bukan berarti kita menyombongkan diri, melainkan menghindari sikap menjilat (halaman 29).

Pribadi berani inilah yang tidak dimiliki oleh bangsa yang tertekan. Bangsa yang tertekan cenderung tidak percaya diri dan takut untuk sekadar menyuarakan haknya. Bangsa yang bermental seperti ini sanggup menahan penderitaan. Akibatnya, jiwa tunduk terhadap bangsa lain tetap dipeliharanya, meskipun ia berpangkat tinggi sebagaimana layaknya bangsa lain (penjajah).

Tentu masih banyak lagi contoh pribadi dan kaitannya dengan perkembangan suatu masyarakat. Secara ringkas, buku yang terdiri dari sepuluh bagian ini membahas apa itu pribadi, apa saja unsur penentunya, unsur penghambat, dan bagaimana kita bisa menjadi pribadi hebat yang bermanfaat bagi masyarakat, baik dalam arti sempit sebagai kampung halaman maupun negara dalam arti luas.

Banyak sekali pandangan, petuah, nasihat, dan contoh keteladanan yang diuraikan oleh penulis yang pernah menjabat ketua MUI pertama ini. Hal yang menarik ialah beliau mengulasnya dari perspektif islam, tasawuf, filsafat, dan seni. Rujukan dari sumber Al-Qur’an, hadis, pendapat ulama, filosof, penyair, dan negarawan memperkaya materi buku ini. Sebut saja Socrates, Plato, Nietzche, Schopenhauer, M. Iqbal (penyair Pakistan), Soekarno, Haji Agus Salim, dan beberapa tokoh berpengaruh lainnya tak luput dijadikannya rujukan.

Namun, untuk tidak menyebutnya sebagai kekurangan, satu hal yang sedikit merepotkan pembaca dalam buku ini ialah endnote. Bagi pembaca yang tidak memahami istilah asing atau sulit, di tengah nikmatnya membaca, ia mesti membuka halaman akhir (endnote) lalu kembali ke halaman sebelumnya tempat kata asing tersebut. Karena itu, andai saja endnote tersebut diganti dengan footnote, tentu akan lebih memudahkan pembaca untuk menyerap makna kata asing yang ditemukan.

Meskipun tergolong cukup klasik, buku ini masih sangat relevan untuk dibaca oleh generasi bangsa saat ini. Selain disajikan dengan bahasa yang lugas, efektif, dan sistematis, materi buku ini juga sarat dengan nilai dan prinsip kebangsaan yang dapat membentuk generasi bermanfaat dan bermartabat bagi masyarakat, terlebih di tengah indikasi memudarnya pribadi bangsa Indonesia yang dikenal akan keluhuran budinya.

Lombok Tengah, 13 Agustus 2025

Rabu, 06 Agustus 2025

Resensi Buku

 

Mengenal Filosofi Pendidikan Progresif

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber: dokumen pribadi


Judul Buku       : Pendidikan Berbasis Pengalaman

Penulis              : John Dewey

Penerbit            : IRCiSoD

Terbit               : Juli, 2025

Tebal                : 108 halaman

Jenis                 : nonfiksi (buku teori)

Buku ini diterjemahkan dari judul asli dalam bahasa Inggris Experience and Pedagogy. Buku yang pertama kali (judul asli) diterbitkan pada tahun 1938 ini adalah karya seorang filsuf kenamaan Amerika Serikat yang juga banyak mengkaji masalah psikologi, pendidikan, dan sosial. Ia juga dikenal sebagai perintis pemikiran pragmatisme. Buku yang cukup tipis ini adalah salah satu karya penting dan berpengaruh dalam dunia pendidikan. Faktanya, meskipun telah berusia lebih dari seratus tahun, ia masih menjadi rujukan di bidang pendidikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Karena itulah saya kira buku ini masih cukup relevan untuk diulas.

Secara garis besar buku ini mengurai dua jenis pendidikan yang memiliki landasan yang berbeda⸺meskipun porsinya lebih banyak mengenalkan pendidikan progresif⸺yaitu pendidikan tradisional yang banyak diterapakan di lembaga pendidikan formal dan pendidikan progresif. Menurut Dewey, pendidikan tradisional berangkat dari pandangan bahwa perkembangan anak dibentuk dari luar (faktor eksternal). Dengan demikian, kurikulum pendidikan terdiri dari kumpulan informasi dan keterampilan yang telah dikembangkan di masa lalu, dan tugas sekolah ialah mewariskannya kepada generasi baru. Sementara, pendidikan progresif berangkat dari pandangan bahwa perkembangan berasal dari dalam diri (internal) anak. Karena itu, materi pelajaran harus disusun berdasarkan pengalaman anak dalam kehidupan nyata (halaman 15).

Dewey berpandangan bahwa pendidikan tradisional merupakan bentuk pemaksaan dari atas dan luar individu anak. Tugas anak hanya menerima materi, cara belajar, dan apa saja yang sudah ditetapkan oleh standar orang dewasa yang dalam hal ini adalah guru dan pemangku kebijakan. Akibatnya, jika murid menolak menerimanya, baik dengan membolos secara fisik maupun dengan membiarkan pikirannya melayang hingga akhirnya menimbulkan rasa muak terhadap materi pelajaran tersebut, maka kesalahan terletak pada diri murid itu sendiri, bukan pada materi atau cara penyampaian guru. Karena itu, keberhasilan pendidikan model ini diukur dari siapa yang lebih banyak menguasai materi pelajaran yang bersifat hapalan.

Pendidikan progresif, di sisi lain, berangkat dari pengembangan internal anak. Aspek yang menjadi prioritas dalam pendidikan ini ialah ekspresi dan pengembangan individualitas. Terhadap disiplin eksternal ditawarkan aktivitas bebas, terhadap pembelajaran dari buku dan guru diganti dengan pengalaman, terhadap penguasaan keterampilan dan teknik secara terpisah lewat hapalan dan latihan ditawarkan penguasaan keterampilan tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang secara langsung memiliki daya tarik dan penting bagi kehidupan…(halaman 19). Singkatnya, pendidikan ini bercorak demokratis; dari, oleh, dan untuk pengalaman.

Namun demikian, tentu saja pengalaman harus punya kriteria. Dalam hal ini Dewey menyebutkan bahwa pengalaman haruslah bersifat edukatif dan mendukung pengembangan individual anak secara berkelanjutan (kesinambungan). Pertumbuhan saja tidak cukup, melainkan seorang pendidik juga mesti memastikan ke mana arah pertumbuhan itu berlangsung, dan apa tujuan akhirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat saja berkembang ke arah negatif seperti mencuri, terlibat gangster, atau perilaku buruk lainnya. Namun, hal tersebut tentu saja tidak mendukung perkembangan individu, melainkan justru menghambat. Oleh karenanya, itu tidak termasuk pengalaman, sebab pengalaman harus diukur dari aspek kebermanfaatan.

Pertanyaannya, bagaimana mendesain dan menentukan materi pelajaran dalam pendidikan progresif sebagaimana layaknya pendidikan tradisional? Saya kira inilah yang menjadi kesulitan kita dalam menerapkan pendidikan progresif, terlebih jikalau kita belum memahami sepenuhnya landasan filosofi yang mendasari pendidikan ini. Dewey sendiri mengakui bahwa titik terlemah dari sekolah-sekolah progresif terletak pada pemilihan dan pengorganisasian materi pelajaran secara intelektual. Suatu kurikulum tunggal untuk semua sekolah progresif adalah hal yang mustahil, karena hal itu mengingkari prinsip dasarnya (halaman 89).

Namun, ia menekankan pentingnya partisipasi murid dalam merumuskan tujuan yang mengarahkannya dalam proses belajar. Berkaitan dengan ini, Dewey memandang bahwa perumusan tujuan merupakan proses intelektual yang cukup kompleks dengan melibatkan (1) pengamatan terhadap kondisi sekitar; (2) pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dalam situasi serupa di masa lalu, pengetahuan yang diperoleh sebagian dari ingatan dan sebagian dari informasi, nasihat, dan peringatan dari orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang lebih luas; dan (3) penilaian yang menyatukan apa yang diamati dan apa yang diingat untuk melihat apa maknanya (halaman 76-77).

Buku ini memang bersifat teoritis. Artinya, ia tidak mengurai filosofi pendidikan progresif mulai teori hingga praktik⸺dalam arti desain kurikulum. Namun, Dewey memberi kita pandangan yang mendalam mengenai hakikat pendidikan progresif yang berbasis pengalaman. Ia juga seakan mengajak kita menanyakan sejauh mana pendekatan pendidikan tradisional berhasil mengembangkan individu anak? Di samping itu, ia juga mengajak kita, khususnya pendidik, untuk merenungi apakah selama ini kita sudah menyajikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan individu anak atau justru kita cenderung memandang anak dengan ukuran kecerdasan orang dewasa alih-alih memerhatikan pengalaman (perkembangan individual) mereka? Untuk itulah buku ini saya kira penting untuk dibaca, khususnya bagi pendidik, baik yang sudah senior maupun yang baru mulai meniti kariernya sekalipun.

Sintung, 6 Agustus 2025

 

 

 

 

Cerpen

  Sadimin dan Pohon-Pohon Kesayangannya Marzuki Wardi Sumber gambar: https://www.shutterstock.com/search/pohon-rindang Sadimin masih men...