Kamis, 03 April 2025

Narapos

 

Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih Sukses

Marzuki Wardi

Tanpa tekad yang kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan menjadi angan-angan kosong

Diunduh dari: https://www.istockphoto.com/id/vektor/simbol-kesuksesan-di-tangga-karier-gm1293031392-387613589

Sebut saja namanya Dion. Dia baru saja lulus SMA. Tetapi, dia bimbang sekaligus bingung untuk menentukan langkah apa yang harus diambil. Mau melanjutkan pendidikan seperti teman-teman lain? Persoalannya, dia tidak hanya kurang mampu secara ekonomi, tetapi kemampuan otaknya juga sangat kurang dalam memahami belasan mata pelajaran yang sudah dipelajari. Setidaknya satu mata pelajaran saja yang dikuasai dengan baik itu sudah sangat bagus. Sayangnya, hal itu tidak dimiliki Dion.

Dia bukan siswa yang sering disebut-sebut guru di dalam kelas atau dalam obrolan sesama rekan guru lainnya. Dia bukan siswa yang dikerumuni teman-teman yang kerap dimintai pendapat atau bantuan menjelaskan mata pelajaran. Justru sebaliknya, dia kerap dirundung teman-teman, juga jadi bahan olokan karena keluguan dan kedongkolannya.

Pernah suatu hari, Laili seorang primadona kelasnya, mencoba iseng mengerjainya. Dengan mimik serius, dia meminta Dion menghadap Pak Halil di perpustakaan. Pak Halil adalah salah satu guru yang disegani di sekolah itu. Konon, kata Laili, Dion dipanggil karena telah melanggar peraturan sekolah. Begitu sampai di ruangan, sang guru menatap heran dan bertanya-tanya siapa yang menyuruh Dion menghadap. Barulah dia sadar ternyata dirinya sedang dikibuli si gadis cantik tersebut. Muka Dion hanya bisa memerah, tetapi ia tidak bisa marah.

Oh ya, dia juga sering dipanggil seorang guru mata pelajaran fisika setiap pagi di awal kelas. Dia diminta menjawab soal hitung-hitungan yang tentu saja membuatnya pusing. Karena Dion memang tidak suka dan tidak bisa pelajaran menghitung. Tetapi, guru itu senang melihat Dion terlihat bingung dan konyol di depan kelas. Beliau seolah terhibur ketika pemuda bertubuh kurus itu ditertawai dan dijadikan bahan lelucon oleh teman-teman.

Karena stempel bodoh dalam mata pelajaran itu, tidak heran guru tersebut meminta Dion untuk tidak mengambil jurusan IPA jika naik ke kelas IX. Benar saja, dia mengambil jurusan IPS meski bidang ekonomi juga masih jauh dari jangkauan IQ-nya. Memang, nyaris semua bidang pelajaran tidak mampu dikuasainya. Pada bidang olahraga? Dia tidak punya bakat bermain basket, volley, tennis, karate, dan olahraga lain yang sering diolimpiadekan di tingkat kabupaten atau provinsi. Dia hanya sesekali bermain sepakbola. Itu pun sekadar bisa menendang asal-asalan di lapangan sawah yang telat digarap pemiliknya.

Dion merasa dirinya hanya siswa pelengkap bangku belakang kelas, yang kalau bangku kekurangan mungkin saja dia tidak dapat jatah tempat duduk. Karena itu, untuk apa saya melanjutkan pendidikan? Apa ya ada makhluk seperti ini bisa kuliah? pikirnya. Sementara, kalau tidak melanjutkan pendidikan, apa yang saya bisa kerjakan dengan kondisi seperti saat ini? Keahlian apa yang saya punya untuk bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup, terutama untuk menafkahi anak-istri saya kelak? Bukankah ini akan memperparah kondisi saya yang memang sudah bebal? lanjutnya bergumam suatu hari.

Bisikan-bisikan Angel dan demon seperti itu berkecamuk dalam batinnya. Hingga suatu kesempatan yang baik, dia akhirnya berusaha meyakinkan diri. Terlebih ada seorang temannya yang memberi semangat agar bisa ikut kuliah. Perlahan, rasa optimisnya mulai bangkit. Dia merasa pasti bisa mempelajari apa yang orang-orang pelajari, menguasai apa yang orang-orang kuasai, meraih apa yang orang-orang raih. Dan, mulai saat itulah dia mencoba membandingkan hal-hal positif yang ada pada dirinya dengan orang lain. Saya punya otak sebagaimana orang lain punya, kenapa saya tidak berusaha memaksimalkannya? Saya diberikan waktu yang sama dengan orang lain, kenapa tidak dibuat jadi kesempatan atau peluang? Begitu seterusnya sehingga bisikan-bisikan Angel itu pada akhirnya menang dalam diri Dion.

Dia pun memutuskan untuk kuliah setelah diajak temannya yang kerap memberinya semangat, meskipun di perguruan tinggi swasta yang boleh dibilang tidak begitu ternama. Sejak saat itu Dion mulai membuka diri untuk belajar dan mempelajari berbagai hal dari apa pun dan siapa pun. Dia belajar dengan serius dan tekun. Ketika teman-teman lain menghabiskan libur semester dengan santai-santai di rumah, dia duduk berlama-lama di perpustakaan kampus dan daerah. Dia membenamkan diri di antara tumpukan buku di ruang itu. Hingga akhirnya dia lulus tepat waktu dengan IP yang cukup memuaskan.

Apakah Dion tekun belajar sekadar untuk memenuhi tuntutan akademis? Ternyata tidak. Hingga saat ini, dia telah menjadi seorang guru selama puluhan tahun, kebiasaan belajar tersebut masih ditekuninya. Dia tidak membatasi diri untuk belajar pada siapa saja, meskipun ia lebih muda dari dirinya. Dia mempelajari apa saja, dari hal-hal klenik sampai linguistik. Dia membaca buku-buku pada pagi, siang, sore, malam, atau kadang sampai terbawa ke alam mimpi. Dia membuka telinga lebar-lebar ketika mendengar Kiai, Ustadz, atau Tuan Guru berceramah, atau ahli-ahli pada seminar ilmiah. Dia membuka mata untuk menangkap pesan-pesan tersirat pada alam semesta. Dia juga membuka hati untuk menerima petuah-petuah orang tua yang tidak pernah bersekolah.

Kini, Pak Dion, begitu panggilan akrabnya, telah berhasil menoreh beberapa prestasi di bidangnya, mulai terpilih sebagai guru berpestasi hingga meraih penghargaan dalam berkarya dari tingkat kabupaten sampai nasional.

٭٭٭

Sahabat, kisah di atas mengingatkan kita bahwa hal yang mustahil di mata manusia bisa saja terjadi jika Allah sudah berkehendak. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa kesuksesan bukanlah sebuah kebetulan belaka, melainkan dicapai dengan tekad yang sungguh-sungguh. Ya, benar, itulah kata kunci atau syarat yang harus dipenuhi oleh manusia. Tekad di sini ialah keinginan yang kuat dari dalam diri untuk mewujudkan mimpi atau cita-cita. Dari situ kemudian muncul usaha yang terencana, matang, dan serius.

Banyak orang memiliki keinginan atau ide besar, tetapi mereka enggan merealisasikannya dengan upaya yang sungguh-sungguh. Sehingga keinginan atau ide besar tersebut berujung menjadi angan-angan kosong. Atau sebaliknya, banyak orang pintar dalam bidang tertentu, tetapi ia cenderung menganggapnya remeh. Pada akhirnya, apa yang ia impikan juga tidak kunjung terwujud.

Memang, capaian Pak Dion mungkin kita anggap belum seberapa jika dibanding dengan orang-orang besar. Tetapi, bukankah kita tidak bisa mengukur kesuksesan seseorang dengan kesuksesan orang lain? Melainkan, yang mesti diukur ialah sejauh mana ia mampu meningkatkan kualitas diri dari keadaan sebelumnya. Dengan kata lain, bukan seberapa tinggi posisi yang diraih, tetapi seberapa tinggi ikhtiar yang dijalani dalam proses mencapai tujuan, itulah yang hendak kita lihat.

Lagi pula, jika kita ingin mengambil pelajaran dari para tokoh besar, tentu banyak di antara mereka yang bahkan mulanya dipandang remeh oleh orang-orang, namun karena tekad dan usahanya ia mampu membalikkan keadaan. Siapa kiranya yang tidak kenal Sylvester Stallone pemeran film Rambo itu? Jangan kira perjalanan meraih kesuksesannya gampang. Selain lahir di kalangan miskin, Sylvester muda juga mengalami kelainan saraf di bagian mukanya. Ia juga gagap, sehingga membuatnya sering diolok oleh teman-teman sekolahnya. Tetapi, ia tak menyerah begitu saja. Ia berusaha keras dalam meraih mimpinya. Ia mengabaikan suara-suara nyaring yang melemahkan semangatnya. Sehingga pada akhirnya namanya begitu populer di dunia perfilman.[1]

Ada sebuah teori yang cukup menarik berkaitan dengan hal ini, yaitu Law of Attraction (hukum tarik-menarik) dari Rhonda Byrne. Menurutnya, alam semesta akan mendukung apa yang kita benar-benar yakini (untuk dicapai). Keyakinan tersebut memberi sinyal yang akan menarik reaksi alam semesta sehingga membantu mewujudkannya menjadi kenyataan.[2] Secara mudahnya, jika kita yakin pada diri (kemampuan) bahwa kita bisa mencapai sesuatu yang kita impikan, maka kita akan berusaha dengan maksimal ke arah itu. Usaha yang maksimal dan terarah tentu akan mempermudah pencapaiannya.

Di Indonesia kita juga mengenal banyak orang besar di berbagai bidang yang awalnya tidak begitu diperhitungkan. Di bidang sastra, sebut saja Andrea Hirata, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan sejumlah penulis lainnya. Awalnya, karya mereka banyak ditolak penerbit, tetapi mereka tidak berputus asa untuk berkarya. Mereka justru menjadikan itu sebagai cambuk untuk terus mengejar impian. Penolakan demi penolakan membuat semangat mereka semakin bangkit.

Lalu, bagaimana mereka mewujudkan impian? Salah satu alternatif yang ditempuh ialah menerbitkan buku melalui jalur indie. Tetapi, apa yang terjadi ketika karya mereka diterima dan disukai khalayak pembaca? Penerbit yang justru mengejar mereka. Kini, bukan sekadar diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi sudah difilmkan secara kolosal di layar lebar. Mereka berhasil membuktikan diri bahwa penolakan bukan berarti kegagalan, tapi langkah awal menuju kesuksesan.

Jadi, apa pun bisa terjadi atas kehendak Allah asalkan kita punya tekad yang sungguh-sungguh untuk belajar dan berusaha. Bukankah dalam agama kita juga dianjurkan untuk berikhtiar? Ada satu pepatah Arab terkenal untuk meyakinkan kita “Man Jadda Wa Jadda,” ‘barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan hasil’. Karenanya, sudah saatnya kita bersungguh-sungguh dalam mengejar apa yang kita tujukan dalam hidup.

Wallahua’lam bissawab.

٭٭٭

Jendela Inspirasi

a.      Kita boleh membandingkan diri dengan orang lain selama itu bisa menjadi motivasi diri.

b.     Nilailah diri secara positif agar kita mampu membangkitkan potensi yang terdapat dalam diri kita.

c.      Tingkatkan standar usaha kita, sebab dengan begitu hal-hal yang kita anggap biasa boleh jadi luar biasa bagi orang lain.


 

 



[1] Isa Alamsyah, No Excuse, (Depok: Asmanadia publishing house, 2015), hal. 37

[2]Ibid

Esai Pendidikan

 

Elegi Sekolah Negeri Pasca Pandemi

Marzuki Wardi

Diunduh dari: https://www.pekanbaru.go.id/p/news/baru-23-sekolah-belajar-tatap-muka-terbatas-di-kota-pekanbaru

Gawat! Empat sekolah (SMP) negeri di Lombok Tengah terancam tutup lantaran minimnya pendaftar siswa baru. Bayangkan, sebagai seorang guru, bagaimana saya tidak gelisah? Tahun lalu sebuah SMP negeri betul-betul meregang napas terakhir setelah mengap-mengap bertahan dengan belasan siswa. Kini, haruskah empat sekolah tersebut menyusul saudaranya?

Menurut kabar, lokasi sekolah-sekolah tersebut memang tidak strategis; jauh dari pemukiman. Sehingga sumber siswa jadi minim. Seorang anggota Dewan Pendidikan Lombok Tengah, H Ambare, menyatakan aturan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tambah memperketat persaingan dalam mendapatkan siswa.[1] Bagaimanapun juga, kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sebab, dampaknya akan cukup besar bagi ekosistem pendidikan kita. Para pemangku kepentingan, khususnya pihak sekolah bersangkutan, mesti segera mengambil langkah tepat dan cepat dalam membenahi sekolah mereka.

Namun, langkah tepat seperti apa yang harus diupayakan untuk mengatasi masalah itu? Jika memang permasalahan terletak pada lokasi, kenapa tidak dari dulu perolehan siswanya berkurang? Apakah ini, lagi-lagi, dampak dari hantaman Pandemi Covid-19 kemarin? Sebentar, ada baiknya kita cermati dan telisik terlebih dahulu titik permasalahannya.

Pemerintah memang telah berupaya sedemikian rupa menyesuaikan kegiatan belajar-mengajar (KBM) selama pandemi kemarin. Katakanlah pengembangan berbagai platform belajar online seperti google classroom, google meet, google form (untuk evaluasi), zoom, dan lain sebagainya. Sehingga siswa bisa belajar melalui gawai atau laptop sambil duduk santai di rumah. Demikian juga dengan guru, mereka dilatih untuk bisa menyesuaikan pembelajaran dengan media digital. Benar saja KBM tetap berjalan, tetapi banyak juga sekolah yang terlunta-lunta. Salah satu alasannya ialah kurangnya fasilitas dan daya dukung belajar. Pada akhirnya, kondisi karut-marut tak dapat terelakkan.

Pada kondisi inilah saya kira perhatian orang tua tersita pada sekolah-sekolah yang terlihat adem-ayem menerapkan sistem belajar tradisional (tanpa teknologi). Dalam hal ini ialah sekolah di bawah naungan pondok pesantren. Di satu sisi, kondisi ini diperparah dengan kegamangan mereka melihat anak-anak yang semakin keranjingan bermain gawai di rumah. Banyak orang tua mengeluhkan hal ini. Benda canggih yang mulanya dianggap sebagai solusi praktis KBM itu justru menjelma bak demon[2] yang menjerumuskan anak jadi pemalas dan manja. Mereka sering kali menyalahgunakan gawai untuk bermain game dan media sosial berlebihan.

Lambat laun, perubahan perilaku itu memengaruhi interaksi anak dengan orang tua. Dari sini mereka menyadari bahwa mengendalikan pemanfaatan teknologi rupanya lebih utama dari pada menguasainya. Karena hidup di ruang realitas banyak persoalan yang tidak selamanya bisa dipecahkan dengan teknologi. Untuk itulah anak membutuhkan bekal kepribadian (akhlak) yang matang untuk membentengi pengaruh buruk dunia maya. Akhirnya, orang tua berbondong-bondong memilih pondok pesantren yang memberi porsi lebih pada pembinaan akhlak.

Saya tidak ingin menjadikan gawai sebagai kambing hitam, juga tidak bermaksud menafikan upaya sekolah negeri dalam memberikan pendidikan akhlak. Namun, tidak dapat dimungkiri, banyak orang tua memilih memasukkan anak mereka ke pondok pesantren dengan alasan itu. Apalagi jumlah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal semakin tumbuh subur. Bahkan hampir di setiap kampung saat ini ada pondok pesantren sehingga opsi orang tua memenuhi pendidikan anak cukup mudah.

Kondisi ini tentu saja memperketat persaingan sekolah-sekolah dalam meraih simpati masyarakat. Karena itu, meningkatkan standar mutu merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, perlahan-lahan besar kemungkinan dominasi pondok pesantren bisa melumat eksistensi sekolah negeri. Mungkinkah nasib sekolah negeri kemudian sama dengan perguruan tinggi negeri di India? Menurut Prof. H.A.R Tilaar mutu lulusan pendidikan swasta di negera tersebut jauh lebih bagus dari pada pendidikan tinggi negeri. Karena itu, pemerintahnya menyediakan beasiswa bagi mereka yang berkeinginan memasuki perguruan tinggi swasta berkualitas. Tentu saja tujuannya untuk menyetarakan kualitas pendidikan di dua jalur tersebut.[3]

Haruskah sekolah negeri juga menuruti tuntutan pasar?[4] Saya kira mustahil sekolah negeri menerapkan sistem pondok pesantren. Di samping mereka memiliki dimensi ideologis yang berbeda, sistem pendidikan pondok pesantren juga cenderung lebih leluasa dan fleksibel dalam mengelola kurikulum. Hanya saja mereka diikat oleh, meminjam istilah Prof. Tilaar, Akuntabilitas Vertikal yang sama yakni berupa kurikulum nasional, sistem akreditasi, dan evaluasi nasional.[5]

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak bisa menawarkan program unggulan yang dilirik masyarakat. Ada beberapa contoh kegiatan ekstra kurikuler pilihan yang bisa diselenggarakan seperti English camp, workshop kepenulisan (sastra), pelatihan jurnalistik, pembinaan olimpiade, bahkan program keagamaan seperti seni baca-tulis Al-Qur’an, tilawah, pidato, dan program bagi siswa agama lain. Kepala sekolah bisa menggandeng masyarakat sekitar, menjalin kerja sama lintas instansi, lintas profesi, dan lintas komunitas untuk menyediakan dan mendukung program-program tersebut.

Pandemi memang menyisakan elegi bagi banyak kalangan, termasuk bagi sekolah negeri. Karenanya, diperlukan orang-orang yang mampu mengadakan resilience[6] untuk memimpin sebuah lembaga. Yaitu pemimpin yang membuka diri terhadap perubahan, visioner, dan kolaboratif. Karenanya, pemimpin-pemimpin sekolahbukan hanya berarti jabatan formal seperti kepala sekolahharus memiliki hal ini dalam rangka menjaga eksistensi dan kualitas sekolah mereka. Bukan hanya bagi empat sekolah di atas, melainkan semua sekolah negeri. Terlebih, beberapa hari yang lalu, saya mendengar kabar dari beberapa teman yang mengajar di sekolah negeri. Katanya, sekolah mereka juga mengalami penurunan jumlah siswa baru. Saya kira ini adalah alarm yang cukup nyaring untuk melakukan berbagai pembenahan dan perubahan.




[1] https://radarmandalika.id/empat-smp-di-lombok-tengah-terancam-tutup/, diakses pada 30 Juli 2022, pukul 17:33

[2] Setan

[3] H.A.R Tilaar, Kaleideskop Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), hal. 372.

[4] Pasar dalam hal ini bukan dalam makna komersial, tapi lebih kepada makna suatu hal yang menjadi trend atau yang diminati sebagian besar masyarakat saat ini.

[5] Ibid.

[6] Kemampuan untuk bangkit dan memulai sesuatu dari nol lagi. Hal ini membutuhkan individu dengan kapasitas untuk menyesuaikan diri dan bahkan menghadapi stres (SKH Kompas edisi Sabtu 24 Agustus 2019, hal. 9 Karier Experd)

Esai Pendidikan

 

Honorer Dihapus, Asa Mahasiswa Keguruan Pupus?

Marzuki Wardi

Diunduh dari https://www.kompasiana.com/yudistirapratama/5e777b4dd541df351b4680d2/apasih-enaknya-jadi-pegawai-negeri

Pegawai Negeri Sipil (PNS) tampaknya masih menjadi profesi yang didewakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Faktanya, setiap rekrutmen CPNS diselenggarakan, pelamarnya selalu saja membeludak. Bagaimana tidak, pekerjaan santai, berseragam rapi, gaji mencukupi, status sosial diakui, dan adanya jaminan hari tua ialah sekelumit gambaran empuknya profesi tersebut. Siapa kiranya yang tidak tergiur? Jadi, tidak mengherankan banyak orang dari sejak masuk kuliah sudah menetapkan cita-cita jadi PNS.

Di satu sisi, keserba enakan tersebut berbanding lurus dengan proses yang demikian rumit untuk mendapatkannya. Untuk mencapai nilai ambang batas (passing grade) pada saat tes saja tidaklah semudah memenangkan kuis iklan produk di televisi. Selain harus menjawab soal-soal yang menguras otak, ketatnya persaingan juga membuat peluang meraih profesi ini bagai menangkap semut hitam di gelapnya malam. Saking ketatnya persaingan, tidak sedikit orang memilih merangkak jadi honorer sejak jauh-jauh hari. Bahkan, mereka rela digaji sekadarnya asal nama bisa terdaftar di instansi terkait.

Betul, ini bukan kabar burung belaka. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang menjabat kepala sekolah. Konon, banyak sarjana lulusan baru (fresh graduate) rela tidak digaji asalkan namanya bisa masuk sebagai tenaga honorer di sistem (dapodik). Hal seperti ini tentu terjadi karena mereka menganggap honorer seperti sebuah pintu gerbang menuju status PNS. Ketika menyandang status honorer setidaknya mereka sudah berupaya menggedor pintu yang suatu waktu terbuka.

Jujur saja, saya sendiri dulu juga berpikir begitu. Karena memang pada saat kuliah strata satu saya sudah menjadi guru sukarela (honorer) di dua sekolah sekaligus; negeri dan swasta. Sehingga sedari awal saya sudah merencanakan, setelah lulus kuliah nanti, untuk mengikuti program sertfikasi guru melalui sekolah swasta. Kalaupun tidak, saya bisa mendaftarkan nama pada pendataan (data base) di sekolah negeri agar bisa diangkat menjadi guru PNS. Karena, pada saat itu pengangkatan PNS masih melalui jalur pengkategorian; kategori I dan II. Tetapi, karena jumlah jam tidak memenuhi syarat dan mata pelajaran yang saya ampu bukan pelajaran wajib, saya tidak bisa masuk pendataan.

Malangnya, pintu gerbang itu kini ditutup rapat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun 2022 tentang penghapusan honorer. Karena itu, ketika mendengar berita tersebut beberapa hari yang lalu, pikiran saya tidak langsung tertuju pada honorer aktif saat initetapi bukan berarti saya tidak bersimpati. Lebih-lebih setelah menggali informasi dan mencermati peraturan itu labih jauh lagi, mereka akan diusahakan untuk direkrut menjadi ASN secara bertahap melalui jalur PNS dan PPPK sampai November 2023. Pikiran saya justru tersita pada mereka yang kini masih ngampus (duduk di bangku kuliah); bagaimana mereka menyikapi Permen tersebut berkaitan dengan asa mewujdkan cita-cita mereka? Ke mana mereka mau menjajakkan kaki selepas kuliah nanti jika honor pun tak boleh?

Pada suatu kesempatan saya mencoba mewawancarai beberapa mahasiswa jurusan keguruan semester akhir. Saya meminta tanggapan mereka mengenai Permen tersebut. Benar saja, jawaban mereka ternyata tidak jauh dari perkiraan saya. Mereka rata-rata merasa khawatir tidak punya cukup peluang untuk masuk ke instansi atau sekolah negeri setelah lulus kuliah. Mereka merasa prospek kerja di bidang studi yang diambil menjadi kurang cerah. Singkatnya, asa atau cita-cita mereka terganggu dengan informasi tentang Permen itu.

Kekhawatiran mereka tentu merupakan hal yang wajar. Apalagi, persaingan kerja di sektor lain juga demikian ketat. Selain belum begitu pulih akibat hantaman pandemi Covid-19 lalu, banyak peran dan tenaga manusia juga tergantikan dengan teknologi mesin. Sebagaimana dikatakan Prof. Sulistyowati Irianto, pergeseran pekerjaan konvensional besar-besaran terjadi karena diganti oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).[1] Jadi, sempitnya peluang menerapkan ilmu baru yang didapat di bangku kuliah wajar dipersepsi sebagai sebuah momok yang cukup menakutkan.

Saya bisa merasakan apa yang mereka pikirkan ketika mereka mengutarakan harapan. Sewaktu masih duduk di bangku kuliah memang kita cenderung menganggap semua rencana bakal mulus. Lulus dengan IP memuaskan kemudian bekerja sesuai dengan jurusan merupakan bayangan masa depan yang pasti berjalan lancar. Tetapi, bayangan itu lindap manakala kita bergulat dengan realitas dunia kerja yang demikian keras. Karenanya, ketika faktor penghambat skenario itu terdeteksi sejak dini, boleh jadi mereka merasa diintai status pengangguran. Apalagi, pekerjaan berseragam (pegawai) cenderung dianggap pekerjaan ideal kaum terpelajar yang terkadang menjelma bak desakan kultural di tengah masyarakat.

Tentu saja hasil wawancara kasar saya ini tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang memang bukan ditujukan kepada mahasiswa. Untuk apa juga saya ikut-ikutan nimbrung mengurus kebijakan? Memangnya saya ini siapa?  Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi respon segelintir mahasiswa itu sebagai sikap mahasiswa pada umumnya. Hanya saja, respon mereka setidaknya bisa menjadi topik diskusi kami mengenai peluang-peluang penghidupan yang bisa dipilih setelah lulus. Kami bisa bertukar pengalaman dan merancang peta masa depan dalam dunia kerja.

Memang, pemerintah bukan menutup sama sekali peluang bagi sarjana lulusan baru (fresh graduate) untuk menjadi ASN. Peluang itu suatu waktu meski terbuka menyesuaikan dinamika mekanisme rekrutmen kepegawaian. Tetapi, sembari menunggu peluang itu terbuka, mereka bisa menciptakan peluang sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya membentuk lembaga non-formal atau komunitas edu-preneur (bisnis edukasi), sosi-preneur (bisnis berbasis sosial), pengembangan ilmu pengetahuan, pengelolaan lingkungan, dan semacamnya.

Komunitas seperti itu memang tidak murni berorientasi pada penghasilan. Namun, mereka malah bisa mengembangkan program berbasis kepedulian (manusia dan lingkungan). Dengan konsep seperti itu mereka justru bebas menggandeng intansi pemerintah, perusahaan, dan lembaga lain yang menyediakan dana donor atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang memang ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial pada masyarakat dan dampak lingkungan. Mereka bisa menjadi mitra dalam rangka menjembatani program lembaga-lembaga tersebut. Dengan begitu, mereka memiliki kiprah yang justru jauh dari pada sekadar menjadi pekerja seragaman.

Satu lagi, sebagai seorang guru, hasil komunikasi dengan para mahasiswa itu setidaknya bisa saya jadikan sebagai bahan renungan dalam memetakan potensi siswa. Sehingga saya dapat memberi bayangan mengenai profesi yang mereka inginkan ke depan. Saya juga bisa memberikan mereka gambaran bahwa bekerja di instansi pemerintah bukanlah standar baku kesuksesan dalam pendidikan. Tentu saja bukan untuk menghalau cita-cita mereka, melainkan untuk menata mindset mereka sejak dini agar lebih terbuka.

Wallahua’lam bissawab


 

 



[1] Dikutip dari tulisan Guru Besar Hukum UI Sulistyowati Irianto dengan judul Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0 pada kolom opini Kompas edisi 04 Maret 2019

Esai Lepas

 

Pelajaran Besar dari Orang-Orang Kecil

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari pngtree-spring-festival-migrant-workers-return-home-by-train-to-pick-up-png-image_4265673

Saya menurunkan laju sepeda motor secara refleks ketika benda berwarna putih itu nyaris menampar wajah saya. Malam itu memang saya sedang cukup terburu-buru sehingga menyalip mobil yang persis di depan saya adalah keputusan yang tepat. Namun, bukan main kagetnya, begitu sampai di bodi belakang mobil, sebuah tangan sedikit terjulur keluar lalu membuang kantong plastik. Benda itu melesat begitu saja, dan sontak saya menghindarinya. Kesal sekali rasanya, dan ingin saya menyoraki pengendaranya.

Sialnya, mobil itu melaju semakin kencang. Barangkali dia pikir akan dikejar atau entah apa. Yang jelas tidak tampak rasa bersalah sedikit pun terhadap apa yang dilakukan salah satu penumpangnya barusan. Bukankah perbuatannya itu cukup membahayakan pengendara lain, yang dalam hal ini saya? Bagaimana kalau saya misalnya tiba-tiba ngerem mendadak, dan membuat pengendara di belakang saya tidak bisa mengontrol remnya, dan akhirnya menabrak saya? Hal itu bisa saja terjadi, mengingat tempat tersebut adalah jalan raya dengan pengendara yang cukup ramai.

Sepanjang perjalanan, pikiran saya jadi sedikit ngelantur. Membuang sampah sembarang memang sudah menjadi hal yang jamak dilakukan di tempat kita. Namun, kalau sampai mengancam keselamatan orang lain itu keterlaluan. Lebih-lebih itu dilakukan oleh, katakanlah, orang kaya yang cukup lama menghabiskan usia di bangku sekolah. Saya berani berkata begitu karena mobil itu termasuk kategori mewah. Mustahil pemiliknya tidak pernah bersekolah; setidaknya lulusan SMA atau diplomalah. Bukan berarti saya menganggap orang tak pernah sekolah tak mampu membeli mobil.

Kejadian semacam ini juga pernah saya baca di surat kabar Kompas. Bedanya, si pengendara di media tersebut langsung kena ganjarannya, sementara pengendara tadi tidak. Di sebuah lampu lalu lintas di persimpangan kota Surabaya, seorang pengendara mobil tiba-tiba membuang botol plastik ke jalan. Seorang pengendara motor yang kebetulan berada di dekatnya kemudian memungut dan menaruhnya di wadah yang ia bawa. Namun, seorang pengendara motor di belakangnya merasa geram. Ia turun dari motornya lalu mengambil botol tersebut lantas mengetuk kaca mobil yang masih menunggu lampu hijau aktif. Dan, ia membuang kembali sampah itu ke dalam mobil tersebut. Si pemilik mobil tentu tak dapat berkata apa-apa, selain harus menelan pahit balasan yang sebetulnya dipicu oleh dirinya sendiri itu.

Di lain waktu, pengendara mobil jenis ini juga kerap kali saya jumpai; dari yang sekedar membuang puntung rokok, kantong plastik, botol minuman, dan beberapa jenis wadah plastik lainnya. Kenapa tidak disimpan dulu di dalam mobil dan dibuang setelah sampai tujuan? Apakah ini terkait mental ataukah kebiasaan? Saya tidak lantas menjustifikasi semua pengendara mobil suka membuang sampah di jalanan. Maksud saya, peristiwa semacam ini bisa dijadikan pelajaran penting bagi kita; kalau tidak bisa membuang sampah secara teratur, setidaknya lihat dulu kondisi sekitar agar tidak mengganggu (keselamatan) orang lain.

Perasaan saya jadi sedikit risi manakala―di sisi lain―saya melihat orang-orang yang justru kita pandang remeh kerap menyisir trotoar atau pinggir jalan hanya untuk memungut sampah plastik. Seorang kakek yang, maaf, dekil, berpakaian lusuh, dan dianggap kurang waras oleh orang-orang di kampung saya misalnya, hampir setiap hari saya temukan sedang menyusuri jalanan yang menghubungkan kampung saya dengan sekolah tempat mengajar yang berjarak sekitar dua kilometer.

Perihal kenapa dia dianggap kurang waras sebetulnya karena dia memiliki semacam kemampuan supra-rasional. Misalnya, dia akan selalu datang ketika ada warga kampung yang punya acara hajatan, orang yang hendak meninggal, dan ibu yang baru selesai melahirkan, tanpa dikabari dan diundang. Dia kemudian akan berbicara secara tiba-tiba seperti, “Anak ini baik, letakkan Al-Qur’an di atas kepalanya, atau semisal “Sebentar lagi di rumah si A akan ramai” sebagai petanda bahwa salah seorang penghuni rumah si A akan meninggal dunia, atau ucapan-ucapan lain yang di luar nalar manusia normal.

Kembali ke kebiasaannya soal sampah. Tanpa rasa jijik, tangan laki-laki tua itu seakan telah terlatih memilah dan memasukkan beberapa sampah plastik ke dalam karung yang disungginya. Mata kuyunya tidak akan beralih sebelum memastikan sampah plastik di sekitarnya sudah habis. Berjalan, memungut gelas atau botol plastik, memasukkannya ke dalam karung, dan kembali berjalan, begitulah aktivitas rutinnya berlangsung. Kombinasi itu tampak dilaksanakan tanpa rasa terpaksa maupun terbebani.

Okelah ini bersifat komersial alias untuk dijual ke pemasok sampah plastik. Namun, mari kita coba hitung. Berat satu gelas plastik itu sekitar 2,5 gram. Agar bisa dijual setidaknya harus terkumpul 1 kg dulu. Kalau harga 1 kg sekitar Rp 3.000, - maka ia harus mengumpulkan 400 buah gelas plastik untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Terbayang, kan, bagaimana capainya mengumpulkan benda kecil sebanyak itu dengan bayaran sangat murah? Jadi, kalau untuk diniatkan semata-mata untuk mendulang rupiah, sungguh jauh kantong dari uang.

Tentu saya tidak mengajak Anda untuk memulung. Saya hanya ingin mengajak Anda dan kita semua merenungi sisi nilai makna dari apa yang orang seperti ini lakukan, yang mungkin luput dari perhatian kita. Dan, mungkin menurut kita tidaklah seberapa. Namun, sentuhan tangan yang tidak seberapa itu sedikit tidak bisa mengurangi tumpukan sampah yang sering menyumbat selokan dan mengakibatkan banjir saat musim hujan. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu telah mengurangi omelan petani lantaran tanamannya terganggu sampah plastik yang masuk ke sawahnya. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu setidaknya telah membantu menghadirkan rasa nyaman mata kita mana kala memandang trotoar dan pinggir jalan saat berkendara. Dan, masih banyak lagi sedikit tidak-sedikit tidak lainnya.

  Kalau kita cermati secara bijak, sebetulnya terselip pesan atau pelajaran yang cukup penting pada fenomena tersebut. Ia seakan mengajak kita untuk tidak mengabaikan hal-hal remeh yang berdampak pada keseimbangan ekologi kita. Ia memang tidak mengampanyekan itu dengan retorika menarik layaknya seorang pejabat politik. Namun, nilai perbuatannya yang melampaui kondisi individu normal pada umumnya cukup menempelak nurani dan pikiran kita.

Nurani saya semakin tertempelak ketika seorang nenek dengan ciri tak jauh berbeda dengan kakek tersebut sering bertandang ke sekolah pada jam pulang. Beberapa buan lalu, ia sering kali mengingatkan, “Jangan buang sampah plastiknya. Tingggalkan untuk saya, biar besok saya cari.” Kira-kira begitulah pesannya.  Dan, ia pun rutin mencari gelas plastik ke sekolah. Namun, belakangan saya jarang sekali melihat nenek itu datang lagi. Saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Sementara, si kakek yang saya ceritakan sebelumnya itu sudah meninggal sekitar setahun lalu karena ditabrak sepeda motor. Besar kemungkinan ia baru pulang menyisir sampah plastik di pinggir jalan.

Dua orang (kakek-nenek) tersebut saya kira salah satu contoh orang-orang kecil yang bijak. Mereka memang tak pandai bicara dan mengajarkan sesuatu sebagaimana layaknya seorang guru. Namun, tanpa mereka sadari apa yang mereka lakukan itu bisa berbuah teladan. Tentu saja di luar sana masih banyak lagi orang-orang kecil yang terkadang kita pandang remeh justru perbuatannya bisa menjadi teladan. Ini hanya sebagian kecil. Apa yang saya sampaikan mengenai pengendara mobil di atas merupakan contoh betapa pelajaran bijak tidak selamanya didapati dari orang-orang yang dianggap besar dari segi materi. Namun, pesan bijak bahkan pelajaran besar terkadang kita peroleh dari orang-orang kecil. Dan, mungkin selama ini kita padang dengan tidak bijak.

 


Esai Bahasa

Tekes, Dependensi Figur dan Sosial dalam Masyarakat Sasak 
Oleh: Marzuki Wardi 
(esai ini pernah dimuat di SKH Suara NTB pada 2023) 

    Antropolog Ralp Linton mengategorikan budaya menjadi dua yaitu constructed culture (kebudayaan yang dikonstruksi) dan realistic culture (kebudayaan realistis). Kebudayaan yang dikontruksi ialah kebudayaan abstrak yang dibangun, dimodifikasi, dan dipakai oleh manusia dalam interaksinya di dalam suatu masyarakat. Hal ini bisa berupa ide dan nilai yang dikehendaki dan disepakati bersama untuk diterapkan dalam suatu komunitas sosial atau masyarakat. Pancasila adalah salah satu manifestasi dari kebudayaan konstruksi ini. 

    Sementara, kebudayaan realistis mengacu pada kemampuan interaksi manusia dengan lingkungan fisik dan objektif mereka. Anasir kebudayaan ini tidak bisa terlepas dari manusia dengan alamnya, dengan kondisi geografis, dan sistem ekonomi dalam suatu masyarakat. Jadi, bagaimana manusia menyesuikan diri dengan kebutuhan hidupnya ialah ranah budaya ini. Alat rampek ialah salah satu contohnya. Dulu, para petani kita memakai alat ini untuk memanen padi. Tetapi, saat ini, seiring perkembangan teknologi, ia mungkin dinilai terlalu lamban sehingga tidak dapat menyesuaikan kebutuan yang serba cepat. Karena itu, petani cenderung memakai mesin rontok atau menyewa mesin lain yang lebih canggih.

    Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman, bangsa Sasak (Lombok) tidak terlepas dari dua konsep budaya tersebut, khususnya yang akan menjadi topik pembahasan tulisan ini ialah budaya yang dikonstruksi. Dalam skala lokal, manifestasi budaya ini dapat dilihat dari pemberlakuan awik-awik gubuk yang merupakan konsensus dalam suatu kampung. Biasanya kampung yang satu dengan yang lain punya awik-awik yang berbeda dalam beberapa hal yang bersifat spesifik, tetapi semuanya punya sisi subtantif yang sama; normatif dan etis. 

  Awik-awik kemudian menjelma sebagai sistem kontrol sosial yang erat kaitannya dengan pembentukan watak masyarakat. Aturan mengenai banjar, misalnya, akan menimbulkan adanya sifat ketergantungan sosial (dependensi sosial) sehingga seseorang kerap dinilai berdasarkan sejauh mana keterlibatannya dalam aktivitas sosial masyarakat. Misalnya, si A bisa saja dinilai asosial manakala ia dengan sengaja absen dalam prosesi adat seperti begawe, nyongkolan, dan lainnya. Orang akan bilang “endeqn taon caren batur” (tidak tahu cara masyarakat) untuk menunjukkan justifikasi tersebut. Bahkan, si A boleh jadi kena tegur pemuka kampung bila sudah terlalu sering kali absen. 

    Selain ketergantungan sosial, awik-awik tersebut juga melahirkan dependensi figur (ketergantungan tokoh). Biasanya figur seperti pemuka agama atau kiai diangkat oleh masyarakat secara resmi melalui prosesi tahallul. Kiai di sini bukan pemimpin pondok pesantren atau penceramah, tetapi lebih kepada sosok yang otoritatif memimpin ibadah dan berbagai acara sosial-keagamaan di masyarakat. Keberadaannya tidak sekadar menjadi pemimpin layaknya di lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara administratif, melainkan memiliki beban moral yang setiap sikap, ucapan, dan gerak-geriknya menjadi acuan atau sorotan anggota masyarakat. 

    Jadi, wajar kiai mendapat tempat yang tinggi di mata masyarakat. Pada acara-acara gawe adat atau ruwahan, dia akan diperlakukan istimewa. Acara belum boleh dimulai sebelum dia dipastikan datang. Masyarakat juga selalu mengutamakannya untuk memimpin acara meskipun di sana ada orang yang mampu menggantikan perannya, kecuali bila kiai betul-betul tidak bisa hadir. Dari segi jamuan, biasanya dia lebih didahulukan dari tamu biasa lainnya, dan masih ada lagi berbagai kekhususan lainnya. Karena itu, siapa pun yang mencoba bersikap, berperilaku, berpenampilan, atau mendahului posisi kiai tanpa legitimasi sosial-masyarakat, lebih-lebih jika usia, sikap, dan kemampuannya belum begitu matang, maka ia akan dilabeli tekes oleh masyarakat. 

    Secara leksikal, kata ini sebetulnya menunjukkan usia, yakni orang yang tampak tua. Dalam kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang diterbitkan kantor bahasa NTB, tekes berarti tua, menganggap diri tua. Tetapi, dalam tindak tutur sehari-hari jelas kata tersebut memiliki perluasan makna. Sejauh yang saya amati, kata ini acap kali dipakai dalam beberapa kondisi ujaran. Pertama, seseorang yang wajah atau penampilannya melampaui usia. Hal ini bisa kita tangkap dari ungkapan “tekes ruen kanak tie” (tua sekali kelihatannya anak itu) ketika melihat seseorang yang berwajah lebih tua dari usianya. 

   Kedua, ia merujuk pada orang yang pembicaraannya dianggap melampaui usianya. “Tekes laloq raosn kanak tie” (tua sekali pembicaraannya anak itu) adalah salah satu kalimat yang merealisasi makna ini. Ketiga, seseorang yang melampaui peran, perilaku, dan kedudukan dari pada usianya. Kata tekes memang dekat maknanya dengan tua. Tetapi ia bukan sekadar persoalan usia. Ia lebih kepada keselarasan atau kepantasan usia dengan sikap, perilaku, dan peran seseorang. 

    Justifikasi ini memang tidak mengarah pada perilaku amoral, asosial, atau pelanggaran norma. Tetapi, ia semacam kontrol sosial-kultural yang disampaikan secara simbolik agar seseorang menyadari posisi dan kedudukannya. Di sisi lain, kata tersebut cenderung bermakna konotatif. Sebab, orang yang dilabeli tekes boleh jadi merasa kebebasan berekspresinya diusik atau dihalangi. Tidak jarang ia akan menarik diri dari urusan sosial atau peran yang sebetulnya mampu ia lakoni. 

  Pada konteks tertentu, seperti obrolan anak-anak muda, ungkapan ini, terutama pada pemakaian pertama dan kedua, mungkin cenderung berbau gurauan. Misalnya, jika A mendengar rekannya berbicara tentang persoalan orang dewasa, maka ia akan mengingatkan dengan ungkapan “tekes laloq” atau “endaq tekes laloq (jangan terlalu tekes). Tetapi, situasinya berbeda bila anak muda itu berkata, bersikap, dan berperan layaknya sebagai kiai di acara-acara adat dan keagamaan seperti yang disampaikan di atas, maka ungkapan tersebut lebih berupa label sosial yang berbau streotipe. 

    Hal ini menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat terhadap figur yang sudah mendapat legitimasi sosial. Artinya, selama figur tersebut masih mampu mengembang tugasnya ia tidak boleh dilangkahi kecuali dengan alasan yang sangat mendesak. Dalam kaitannya dengan dua jenis kebudayaan yang telah disinggung di atas, kebudayaan yang dikonstruksi pada masayarakat Sasak cukup kompleks dan unik. Kompleks karena ia tidak hanya menyangkut konsensus sosial-masyarakat yang dapat diukur secara etis. Di sisi lain, ia masuk ke ranah interaksi individu dalam masyarakat yang tidak dinilai dari segi etis, tetapi lebih pada keselarasan dan kepantasan. Contohnya adalah pemakaian ungkapan tekes. Unik karena boleh jadi anasir budaya ini tidak terdapat dalam budaya daerah lain. Wallahua’lam bissawab.

Narapos

  Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih Sukses Marzuki Wardi Tanpa tekad yang kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan m...