Rabu, 06 Agustus 2025

Resensi Buku

 

Mengenal Filosofi Pendidikan Progresif

Oleh: Marzuki Wardi

Sumber: dokumen pribadi


Judul Buku       : Pendidikan Berbasis Pengalaman

Penulis              : John Dewey

Penerbit            : IRCiSoD

Terbit               : Juli, 2025

Tebal                : 108 halaman

Jenis                 : nonfiksi (buku teori)

Buku ini diterjemahkan dari judul asli dalam bahasa Inggris Experience and Pedagogy. Buku yang pertama kali (judul asli) diterbitkan pada tahun 1938 ini adalah karya seorang filsuf kenamaan Amerika Serikat yang juga banyak mengkaji masalah psikologi, pendidikan, dan sosial. Ia juga dikenal sebagai perintis pemikiran pragmatisme. Buku yang cukup tipis ini adalah salah satu karya penting dan berpengaruh dalam dunia pendidikan. Faktanya, meskipun telah berusia lebih dari seratus tahun, ia masih menjadi rujukan di bidang pendidikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Karena itulah saya kira buku ini masih cukup relevan untuk diulas.

Secara garis besar buku ini mengurai dua jenis pendidikan yang memiliki landasan yang berbeda⸺meskipun porsinya lebih banyak mengenalkan pendidikan progresif⸺yaitu pendidikan tradisional yang banyak diterapakan di lembaga pendidikan formal dan pendidikan progresif. Menurut Dewey, pendidikan tradisional berangkat dari pandangan bahwa perkembangan anak dibentuk dari luar (faktor eksternal). Dengan demikian, kurikulum pendidikan terdiri dari kumpulan informasi dan keterampilan yang telah dikembangkan di masa lalu, dan tugas sekolah ialah mewariskannya kepada generasi baru. Sementara, pendidikan progresif berangkat dari pandangan bahwa perkembangan berasal dari dalam diri (internal) anak. Karena itu, materi pelajaran harus disusun berdasarkan pengalaman anak dalam kehidupan nyata (halaman 15).

Dewey berpandangan bahwa pendidikan tradisional merupakan bentuk pemaksaan dari atas dan luar individu anak. Tugas anak hanya menerima materi, cara belajar, dan apa saja yang sudah ditetapkan oleh standar orang dewasa yang dalam hal ini adalah guru dan pemangku kebijakan. Akibatnya, jika murid menolak menerimanya, baik dengan membolos secara fisik maupun dengan membiarkan pikirannya melayang hingga akhirnya menimbulkan rasa muak terhadap materi pelajaran tersebut, maka kesalahan terletak pada diri murid itu sendiri, bukan pada materi atau cara penyampaian guru. Karena itu, keberhasilan pendidikan model ini diukur dari siapa yang lebih banyak menguasai materi pelajaran yang bersifat hapalan.

Pendidikan progresif, di sisi lain, berangkat dari pengembangan internal anak. Aspek yang menjadi prioritas dalam pendidikan ini ialah ekspresi dan pengembangan individualitas. Terhadap disiplin eksternal ditawarkan aktivitas bebas, terhadap pembelajaran dari buku dan guru diganti dengan pengalaman, terhadap penguasaan keterampilan dan teknik secara terpisah lewat hapalan dan latihan ditawarkan penguasaan keterampilan tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang secara langsung memiliki daya tarik dan penting bagi kehidupan…(halaman 19). Singkatnya, pendidikan ini bercorak demokratis; dari, oleh, dan untuk pengalaman.

Namun demikian, tentu saja pengalaman harus punya kriteria. Dalam hal ini Dewey menyebutkan bahwa pengalaman haruslah bersifat edukatif dan mendukung pengembangan individual anak secara berkelanjutan (kesinambungan). Pertumbuhan saja tidak cukup, melainkan seorang pendidik juga mesti memastikan ke mana arah pertumbuhan itu berlangsung, dan apa tujuan akhirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat saja berkembang ke arah negatif seperti mencuri, terlibat gangster, atau perilaku buruk lainnya. Namun, hal tersebut tentu saja tidak mendukung perkembangan individu, melainkan justru menghambat. Oleh karenanya, itu tidak termasuk pengalaman, sebab pengalaman harus diukur dari aspek kebermanfaatan.

Pertanyaannya, bagaimana mendesain dan menentukan materi pelajaran dalam pendidikan progresif sebagaimana layaknya pendidikan tradisional? Saya kira inilah yang menjadi kesulitan kita dalam menerapkan pendidikan progresif, terlebih jikalau kita belum memahami sepenuhnya landasan filosofi yang mendasari pendidikan ini. Dewey sendiri mengakui bahwa titik terlemah dari sekolah-sekolah progresif terletak pada pemilihan dan pengorganisasian materi pelajaran secara intelektual. Suatu kurikulum tunggal untuk semua sekolah progresif adalah hal yang mustahil, karena hal itu mengingkari prinsip dasarnya (halaman 89).

Namun, ia menekankan pentingnya partisipasi murid dalam merumuskan tujuan yang mengarahkannya dalam proses belajar. Berkaitan dengan ini, Dewey memandang bahwa perumusan tujuan merupakan proses intelektual yang cukup kompleks dengan melibatkan (1) pengamatan terhadap kondisi sekitar; (2) pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dalam situasi serupa di masa lalu, pengetahuan yang diperoleh sebagian dari ingatan dan sebagian dari informasi, nasihat, dan peringatan dari orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang lebih luas; dan (3) penilaian yang menyatukan apa yang diamati dan apa yang diingat untuk melihat apa maknanya (halaman 76-77).

Buku ini memang bersifat teoritis. Artinya, ia tidak mengurai filosofi pendidikan progresif mulai teori hingga praktik⸺dalam arti desain kurikulum. Namun, Dewey memberi kita pandangan yang mendalam mengenai hakikat pendidikan progresif yang berbasis pengalaman. Ia juga seakan mengajak kita menanyakan sejauh mana pendekatan pendidikan tradisional berhasil mengembangkan individu anak? Di samping itu, ia juga mengajak kita, khususnya pendidik, untuk merenungi apakah selama ini kita sudah menyajikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan individu anak atau justru kita cenderung memandang anak dengan ukuran kecerdasan orang dewasa alih-alih memerhatikan pengalaman (perkembangan individual) mereka? Untuk itulah buku ini saya kira penting untuk dibaca, khususnya bagi pendidik, baik yang sudah senior maupun yang baru mulai meniti kariernya sekalipun.

Sintung, 6 Agustus 2025

 

 

 

 

Senin, 28 Juli 2025

Resensi Buku

Menilik Konsep Pendidikan “Hadap-Masalah” Sebagai Alat untuk Memerdekakan Manusia dari Penindasan

Oleh: Marzuki Wardi

sumber: dokumen pribadi


Judul Buku      : Pendidikan Kaum Tertindas

Penulis             : Paulo Freire

Penerbit          : Narasi

Terbit              : Keenam, 2024

Tebal               : 220 halaman

ISBN               : 978-602-5792-42-7

Paulo Freire dikenal sebagai tokoh intelektual Brazil yang menggagas pendidikan dengan ideologi radikal sebagai jalan pembebasan rakyat dari ketertindasan. Ia hidup di lingkungan keluarga kelas menengah bahkan dapat dikategorikan miskin. Sejak kecil ia mengalami sendiri masa-masa kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh kesemena-menaan pemerintah pada saat itu, termasuk dalam pendidikan di mana rakyat miskin mendapat diskriminasi. Karena itu, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed) ia mengawalinya dengan memaparkan praktik pendidikan bagi kaum tertindas di lingkungan tempat tinggalnya.

Freire membedakan pandangan idealisme pendidikan dari sisi pemahaman manusia terhadap realitas. Menurutnya ada tiga jenis manusia dalam memandang realitas. Yang pertama ialah sektarian kanan yaitu mereka yang beranggapan bahwa masa depan dapat ditentukan saat ini sehingga ia tidak dapat diubah pada masa mendatang. Dengan demikian, apa yang terjadi pada saat ini tidak dapat diubah karena merupakan hasil dari apa yang ditanam pada masa lalu. Yang kedua ialah sektarian kiri yang berpandangan bahwa masa depan adalah hal yang telah ditentukan dan tidak dapat diubah (fatalisme). Terakhir ialah kaum radikal yang meyakini nilai-nilai kebebasan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.

Apa keterkaitan antara tiga perbedaan pandangan terhadap realitas tersebut? Menurut Freire dua golongan (sektarian kiri dan kanan) di atas cenderung menjadi objek kaum penindas. Sebab, mereka menolak kebebasan. Mereka, terutama golongan kiri, cenderung meyakini bahwa kondisi apa pun yang mereka alami merupakan sebuah takdir hidup yang harus dijalani, bukan pilihan. Berbeda dengan golongan radikal yang meyakini bahwa kebebasan adalah hakikat eksistensi manusia. Karena itu, menurut mereka kebebasan harus diperjuangkan agar manusia tidak menjadi tawanan dalam lingkaran kepastian.

Menurut Freire kaum tertindas tidak dapat menjadi individu yang diinginkannya sendiri. Sebab, mereka cenderung memosisikan diri sebagai bawahan atau budak dari kaum penindas. Mereka merasa tidak punya kuasa untuk menolak kehendak kaum penindas alih-alih menjadi seperti mereka. Menjadi bagi mereka adalah menuruti apa yang didektekan oleh kaum penindas. Sebaliknya, kaum penindas memandang bahwa menjadi berarti memiliki (kaum tertindas).

Hal tersebut tentu bukan retorika semata. Freire mewancarai secara langsung masyarakat yang menjadi objek kaum penindas. Salah satunya ialah masyarakat agraris di mana para petani rata-rata tidak berani mengungkapkan apa yang mereka keluhkan dan inginkan kepada majikannya. Hal itu dikarenakan mereka menyadari bahwa diri mereka bergantung sepenuhnya pada majikan. Sayangnya protes yang mestinya dilayangkan kepada atasan mereka itu dilampiaskan kepada anak dan istri. Mereka memarahi anak dan istri yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalah dengan majikannya.

Selain itu, hasil wawancara penelitian (tema) yang dilakukan Freire di kawasan penduduk penyewa tanah di Santiago, menujukkan betapa kaum tertindas tidak berani meyakini diri bahwa represi atasan yang mereka alami sebagai sebuah penindasan. Singkatnya, wawancara Freire menemukan adanya hubungan antara pekerja yang mendapat gaji rendah, merasa dieksploitasi, dan mabuk-mabukan sebagai perlawanan terhadap realitas. Hal itu mereka lakukan sebagai sebuah cara untuk mengatasi frustasi ketidakberdayaan mereka. Dalam pandangan mereka (kaum tertindas) itulah solusi atas penurunan nilai diri mereka.

Kondisi ini diperparah dengan praktik pendidikan yang Freire sebut pendidikan gaya bank yaitu pembelajaran di mana guru hanya menerangkan atau menceritakan materi pelajaran yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan realitas yang terjadi. Dengan kata lain, guru hanya berperan sebagai narator yang menyampaikan materi pelajaran dan murid sebagai wadah yang menampung apa yang disampaikan oleh guru. Hanya guru orang yang memiliki ilmu, dan murid tidak tahu apa-apa, dan karena itu mereka harus mengikuti apa pun yang diinstruksikan guru.

Atas dasar itulah Freire menggagas pendidikan untuk kaum tertindas yaitu pendidikan hadap-masalah. Fokus pendidikan ini adalah menciptakan situasi pembelajaran di mana objek yang dipahami menghubungkan pelaku pemahaman⸻guru di satu sisi dan murid di sisi lain. Dalam Pendidikan gaya ini, guru dan murid berperan sebagai subjek dalam mengamati realitas. Mereka sama-sama aktif dalam memecahkan suatu masalah dalam proses pembelajaran.

Salah satu corak utama dari pendidikan ini ialah adanya dialektika dalam pembelajaran yakni dialog antara guru dengan siswa dengan menyeimbangkan refleksi-aksi alih-alih dominasi aktivisme dan verbalisme. Melalui dialog yang hidup daya kritis siswa akan tumbuh sehingga menghasilkan pemikiran yang kritis. Bagi pendidik hadap-masalah yang menggunakan dialogika, isi pelajaran bukanlah hadiah atau pemaksaan⸻sedikit informasi yang dimasukkan guru ke dalam diri murid⸻namun sebagai sebuah “penyajian kembali” yang tertata, sistematis, dan berkembang kepada murid tentang hal apa yang ingin murid tahu (halaman 88).

Contoh penerapan pembelajaran hadap-masalah dipaparkan secara rinci pada halaman 129 sampai 133 dengan tema pembangunan. Tim mengundang dua atau lebih ekonom dari berbagai macam sekolah pemikiran, dan menceritakan program yang sedang dilaksanakan kepada mereka, serta mengundang mereka untuk melakukan wawancara dengan bahasa yang bisa dimengerti orang yang diteliti (murid). Inti dari pembelajaran tersebut ialah menghubungkan para intelektual dengan realitas, dan memberikan orang-orang kesempatan (murid) untuk mengkritisi pemikiran intelektual.

Inti tema diberikan dengan sedikit dramatisasi tanpa solusi. Dramatisasi berperan sebagai kodifikasi, sebagai sebuah situasi hadap-masalah yang akan didiskusikan. Sumber daya untuk pengajaran yang lain ialah membaca dan diskusi mengenai artikel majalah, koran, bab pada buku (diawali dengan penghubung⸻tim pengajar dan ahli). Kegiatan diskusi dapat berupa pertanyaan hasil analisis editorial seperti mengapa koran yang berbeda memiliki interpretasi yang berbeda dari fakta yang sama? Kemampuan ini akan membantu mengembangkan kritis, sehingga orang-orang akan merespon koran atau siaran berita tidak sebagai objek yang pasif dari pernyataan yang langsung ditujukan kepada mereka, namun sebagai kesadaran yang akan dibebaskan.

Satu hal yang paling penting dari sudut pandang pendidikan pembebasan⸻hadap-masalah⸻adalah orang-orang merasakan menjadi pemilik dari pemikiran mereka dengan mendiskusikan pemikiran dan pandangan dunia secara eksplisit maupun implisit yang terwujud dalam usulan mereka dan rekan sesame mereka (halaman 133).

Melalui buku yang terdiri dari empat bab ini Freire menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah medium untuk memanusiakan manusia alih-alih untuk menindas orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh kaum nekrofilia (penindas). Di lain sisi, ketika kaum tertindas sudah dapat keluar dari kondisi ketertindasan, Freire juga mewanti-wanti agar mereka tidak berbalik menjadi penindas. Jadi, pendidikan yang ideal menurut Freire ialah ketika ia mampu mengaktualisasi eksistensi manusia sebagai makhluk yang merdeka di dengah dunia di mana mereka berada.

Secara substansial materi buku ini memang cukup kompleks. Untuk mencernanya secara utuh kita perlu mengkajinya secara ekstensif, terutama menelisik latar belakang penulis dan penulisan buku tersebut. Antara pelaku dan objek penindasan, misalnya, selain penulis tidak mengurainya secara rinci, bahasa yang dipakai juga filosofis. Namun demikian, meskipun bukan buku yang mengurai teori pendidikan secara sistematis dan praktis untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu, gagasan besar Freire mengenai pendidikan yang memerdekakan dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas ini layak untuk direnungi dan diimplementasi.

 

Sintung, 28 Juli 2025

Kamis, 17 April 2025

Cerpen

 

Nyawa Tebusan

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok

Cerpen ini dikurasi sebagai syarat peserta Peningkatan Apresiasi Sastra bagi Sastrawan di Nusa Tenggara Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB pada 2024. Ia juga dibukukan dalam bentuk antologi bersama 60 karya sastrawan oleh lembaga tersebut.

Sebelum memutuskan untuk keluar, Sadimin menyelip sebilah belati di sakunya. Sebab, dari pola ketukan, ia sudah bisa memastikan bahwa yang berdiri di balik pintu adalah Oak[1] Rekas.

“Jangan coba-coba sembunyikan ayahmu. Waktumu tinggal dua minggu. Kalau bulan sudah tanggal dan dia belum pulang juga, bersiap-siaplah kamu jadi tebusan!” ancamnya.

Sadimin memindahkan jemarinya dari gagang belati setelah memastikan tidak ada tanda-tanda atau gerakan lelaki tua itu menyerang. Ia berdiri tepat di tengah garis pintu. Selain menghalau agar laki-laki berleher jerapah itu masuk ke rumahnya, ia juga berusaha menunjukkan keberaniannya.

“Kenapa harus saya? Dan saya memang tak tahu ayah di mana.”

“Karena kamu satu-satunya anak laki-lakinya.”

“Tapi…?”

“Hanya ada dua pilihan, bawa ayahmu hidup atau mati, atau kamu jadi gantinya nanti pada ritual garep[2] pada akhir bulan ini!” Jari telunjuk dan tengah Oak Rekas nyaris menusuk mata Sadimin.

Bersama seorang tokoh pemuda dan dua tokoh kampung lainnya laki-laki berkaki jenjang itu kemudian merenggang pergi. Sadimin ingin mengejar, tetapi itu percuma. Deras langkah mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungi kampung dengan repoq[3] tempat tinggal Sadimin. Lagi pula, memelas asih hanya akan merendahkan martabat Sadimin sebagai seorang laki-laki di mata mereka.

Di sisi lain Sadimin bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan masalah yang sebetulnya bukan ulahnya. Ia menelan ludah kering dan tergidik membayangkan ritual garep. Seingatnya ritual itu selalu menelan korban kematian. Oak Rekas dikenal sebagai sosok yang tegas dan sangat memegang teguh ucapannya. Jadi, apa yang diancamkannya barusan bisa dikatakan pasti terjadi.

Ayah Sadimin bagai memasuki alam gaib. Kabarnya raib tanpa jejak sejak ia meninggalkan rumah hampir sepuluh tahun lalu. Kalaupun bisa ditemukan, pastilah ia bersi keras tak mau pulang karena tahu dirinya akan diadili di persidangan adat.

Bebinjat!”[4] teriak Sadimin di tengah kebingungannya. Bayangan wajah ayahnya yang sedang menari culas sambil menjulur-julurkan lidah seperti seekor anjing berkelebat dalam kepalanya.

Setiap tanggal lima belas bulan atas,[5] tetua adat itu selalu menyambangi Sadimin. Entah dari mana keyakinannya muncul bahwa pada tanggal itu ayah kembali ke rumah. Laki-laki yang suka memamah buah pinang itu satu-satunya orang yang tidak puas atas hasil ritual garep yang dilakukan sepuluh tahun silam. Ia yakin bahwa bala kekeringan di kampung itu takkan berhenti sebelum ritual yang menelan nyawa Rejun Menjong itu dilaksanakan ulang.

Sadimin ingat persis, meski saat itu usianya masih cukup belia, tapi kejadian—terutama kejadian ganjil dan mengerikan—terekam kuat dalam kepalanya. Hampir semua warga meninggalkan aktivitasnya demi menyaksikan jalannya persidangan di Balai Sangkep[6] adat malam itu.

“Dari mana kamu tahu pelaku pencurian sapimu adalah Rejun Menjong?” tanya Oak Rekas kepada Leman, ayah Sadimin, saat persidangan dimulai.

“Apa kamu lupa bagaimana buasnya dulu ia mencuri?”

“Bohong! Saya berani bersumpah, saya tak tahu apa-apa. Malam itu saya menginap di ladang sayur saya!” Rejun Menjong berkilah.

“Mau disuruh menelan surau sekalian modinnya, mana ada maling yang mau ngaku, Oak!”

Dulu, saat usianya masih muda Rejun Menjong memang dikenal sebagai maling yang disegani. Keberingasannya menggondol barang-barang berharga milik orang lain sampai tersiar ke kampung-kampung tetangga. Ketangkasan langkah, fostur tubuh yang tinggi dan gempal, serta ilmu kanuragan yang mumpuni, membuat orang-orang yang mendengar namanya saja sudah bergetar ketakutan, apalagi sampai berurusan dengannya.

Bagaimanapun, itu adalah masa lalunya. Setelah lima tahun diusir dan diasingkan dari kampung, dan hanya sesekali pulang menengok kondisi keluarganya, laki-laki berambut awut-awutan itu diizinkan kembali ke kampung. Tentu saja setelah memenuhi syarat yang ditetapkan adat, yakni bersumpah di hadapan warga kampung untuk tidak mengulangi dan siap dihukum mati jika terbukti mengulanginya.

“Sumpah! Leman bohong,” sanggah laki-laki berjuluk Ampan Lolat[7] itu.

“Ya, perkataan Rejun Menjong ada benarnya juga. Dia, kan, akhir-akhir ini sering nginap di ladang. Apalagi dia juga sudah rajin beribadah. Mana mungkin dia berani melanggar sumpahnya di hadapan warga dulu.”

“Ah, semua orang kan bisa pura-pura alim, Oak. Coba ingat-ingat, selama bangsat ini dibuang dari kampung, apa pernah ada pencurian? Lah, kenapa begitu ia balik ke sini, sapi saya langsung digasak?” Jawaban Leman meyakinkan. “Dan aku yakin dugaanku ini benar, karena Rejun Menjong malam itu tidak berada di rumahnya!” tutupnya mengakhiri sanggahannya.

Bulan sabit sudah merangkak di atas atap balai sangkep. Sementara, belum ada keputusan yang tepat. Sebagai seorang pemuka tokoh adat, Oak Rekas tentu tidak boleh mengambil keputusan serampangan. Tapi, di satu sisi, ia juga harus bersikap tegas. Setelah dirunding dengan para tetua kampung dan tokoh adat lainnya, mereka akhirnya sepakat menyelenggarakan ritual garep malam itu juga sebagai satu-satunya jalan keluar masalah.

Tempat pelaksanaan pun langsung disiapkan. Ayah Sadimin dan Rejun Menjong duduk di tengah dikelilingi para tetua, tokoh kampung, dan semua warga yang hadir. Meski dikerumuni hampir ratusan orang, suasana Balai Sangkep seketika menjadi hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari mulut sanggar. Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?   

Oak Rekas menyodorkan dua cangkir serupa mangkuk berisi air suci. Leman meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas. Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Rejun Menjong setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Leman, pastilah Rejun Menjong yang sebentar lagi akan terkapar di tempat itu, pikir mereka.

Seperti halnya Leman, Rejun Menjong pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar balai semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Rejun Menjong, menunggu kepastian sebuah kebenaran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun diantara mereka yang tergeletak di tempat. Semua warga dan tetua kampung dan tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega malam itu.

Namun, rasa lega itu tak bertahan lama. Berselang dua hari, pada pagi yang bergerimis tipis, warga kampung dihebohkan dengan penemuan mayat Rejun Menjong di bawah pohon pisang di halaman belakang rumahnya. Mayat itu sudah dikerubungi lalat meski tanpa luka tusukan, memar, bakar, dan tanda-tanda penganiayaan semacamnya.

“Akhirnya terbukti sudah apa yang kita tunggu-tunggu!”

“Saya benar-benar tak menyangka!”

“Ternyata tobat hanya dijadikan topeng!”

“Iya benar.”

“Mampus kau!”

“Sekarang kampung kita sudah aman!”

Demikianlah komentar orang-orang atas peristiwa itu. Pada mulanya warga kampung percaya kematian itu adalah jawaban dari teka-teki masalah yang dibuktikan melalui ritual sakral tersebut. Namun, belakangan rahasia itu terkuak setelah Leman sejak itu tiba-tiba kabur dari rumah. Dan benar saja, setelah diselidiki memang dialah dalang pembunuhan tersebut.

***

Sesuai janjinya, tepat setelah dua minggu, sore ini Oak Rekas datang lagi ke rumah Sadimin bersama para pengawalnya.

“Bagaimana? Apa ayahmu sudah pulang?”

Mulut Sadimin kaku. Percuma saja menjawab pertanyaan itu jika ayahnya belum pulang. Pertanyaan itu membuatnya tidak punya pilihan selain menyerahkan diri demi keamanan kampungnya. Dan, mengetahui hidupnya akan berakhir sebentar lagi pada secangkir air suci membuat tubuh Sadimin nyaris limbung. Namun, bukankah mati membuktikan sebuah kebenaran dan pengorbanan adalah sebuah kehormatan?

Dua pengawal itu menyeret tubuh Sadimin setelah diberi kode dengan jentikan jari. Bayangan tentang ayahnya yang menari-nari culas kembali merubung kepala laki-laki bertubuh ceking itu. Sepanjang perjalan menuju ritual garep ia mengumpat berkali-kali, meski ia tahu itu tak ada gunanya.

Di Balai Sangkep Sadimin dihadapkan di depan para tetua adat, tokoh kampung, dan beberapa warga yang hadir. Rasanya waktu kembali berputar. Kejadian sepuluh tahun silam seolah diulang begitu saja dengan tokoh yang berbeda. Ritual garep segera dilaksanakan demi menghentikan musim kemarau. Oak Rekas membuka ritual dengan merapal beberapa mantra.

“Apa kamu sudah siap meminum air suci?” tanyanya menyuguhkan ceret dan sebuah cangkir.

Sadimin menghela napas lalu mengangguk lesu. Laki-laki yang mengenakan sapuq[8] itu menggeser posisi duduknya, kemudian berdiri dan menghampirinya. Ia membungkuk setelah akhirnya mendekatkan cangkir ke mulut Sadimin. Rupanya ia sendiri yang akan meminumkan air suci itu.

“Aku harus memastikan air ini masuk ke kerongkonganmu!” bisiknya.

Sadimin mendongak lalu membuka mulut. Penglihatannya mulai kabur seketika air itu mengalir ke lambungnya. Bayangan ayahnya yang menjulur-julurkan lidah lagi-lagi melintas sebelum akhirnya tubuhnya rubuh.

Lombok Tengah, 13 November 2024.


[1] Panggilan untuk orang yang lebih tua. Maknanya kurang lebih sama dengan paman (kalau disematkan pada laki-laki) atau bibi (kalau disematkan pada perempuan).

[2] Semacam ritual untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan meminum secangkir air yang diyakini sakral. Ritual ini biasanya digelar jika ada kasus pencurian di kampung, dan pelakunya diduga kuat dari warga kampung tersebut tetapi ia enggan mengakui. Dengan demikian, salah satu cara untuk membersihkan kampung dari tindakan kriminal semacam itu ialah dengan ritual garep. Jika tertuduh terbukti salah, biasanya ia akan mengalami penyakit kutukan bahkan tak jarang berujung kematian.

 

[3] Pemukiman kecil di tengah persawahan.

[4] Umpatan dalam bahasa Sasak yang kurang lebih maknanya mirip dengan ungkapan bajingan.

[5] Penanggalan menurut (metode) adat, yang tidak sama dengan bulan-bulan masehi.

[6] Musyawarah atau persidangan

[7] Nama sebuah ilmu kanuragan yang pemiliknya konon kebal senjata jenis apa pun (terutama besi). Lolat maksudnya licin, konon kalau ditebas senjata itu menjadi licin di tubuhnya.

[8] Semacam pakaian adat yang dipakai dengan diikat di kepala

Narapos

 

Waspadai Konten Ujaran Kebencian Menjelang Pilpres 2024

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/waspada-ujaran-kebencian-menjamur-di-tahun-politik-ini-alasannya/

Pak Diki berangkat ke bandara dengan menumpangi satu mobil bersama tiga orang temannya. Ia baru selesai menghadiri acara di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek). Kebetulan, ia adalah salah satu dari 32 nominasi pemenang sayembara kepenulisan yang diselenggarakan lembaga tersebut. Jadi, bisa dipastikan keempat penumpang mobil tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Tepatnya, satu orang dari Kalimantan Barat, Manado, Aceh, dan Pak Diki sendiri dari Mataram.

Selama perjalanan ke bandara yang memakan waktu sekitar dua jam, mereka membicarakan berbagai macam topik mulai kesibukan sehari-hari sebagai pendidik, keluarga, ciri khas daerah, toleransi, hingga beberapa tokoh di tanah air dengan kontribusinya masing-masing.

“Saya mengajar di sekolah, salah satu lembaga dari yayasan, yang didirikan oleh Pak Yasir,” kata Bu Azizah, seorang guru yang berasal dari Aceh.

Pak Diki sedikit tersentak sekaligus penasaran. “Pak Yasir ketua partai A itu?” selidiknya memastikan.

“Betul.”

Oh, ternyata dia punya lembaga pendidikan juga, gumam Pak Diki. Salah satu hal yang mendorongnya memastikan informasi tentang bapak tersebut ialah rasa tidak suka kepadanya. Ya, betul, bahkan ketidaksukaan Pak Diki bisa disebut sudah sampai pada level benci. Padahal, ia hanya mengetahui tokoh itu dari televisi dan dari sejumlah sumber berita. Itu pun bukan berita tentang kehidupan secara objektif dan lengkap. Jangankan berbincang secara langsung, bertemu pun Pak Diki tidak pernah.

Namun, tentu saja laki-laki yang berprofesi sebagai guru itu punya alasan, yakni perbedaan pandangan politik. Ia memang bukan politisi, tetapi ia tidak suka pilihan politik Pak Yasir yang dinilai tidak pro-Islam. Ia ingat betul, ketika umat muslim berkumpul untuk mengadakan aksi bela Islam beberapa tahun silam, politisi ulung tersebut keesokan harinya menggelar semacam acara tandingan. Sejak saat itulah kebencian di hati Pak Diki mulai tumbuh subur, ditambah lagi dengan koalisi partai sang grand designer pada pemilihan presiden 2019 jatuh pada calon yang bukan pilihan Pak Diki.

Hal yang terjadi berikutnya ialah setiap kali tokoh tersebut muncul di televisi, Pak Diki selalu mengalihkan channel televisinya. Rasa benci membuatnya secara otomatis menolak apa saja yang keluar dari mulut tokoh itu, baik berupa gagasan atau orasi. Tidak sekadar itu, ketika pembicaraan dengan temannya sesekali menyentuh tokoh tersebut dan partainya, ia selalu membahas sisi buruknya. Pak Diki seolah hapal betul sisi buruk pribadi tokoh tersebut beserta partainya.

“Bapak kalau sudah mau nyumbang, tidak tanggung-tanggung, sekali nyumbang ratusan juta. Apalagi kalau lagi sakit, minta doa anak-anak, beliau pasti nyumbang ratusan juta ke yayasan. Dan, satu lagi yang membuat saya kagum, beliau tidak pernah mencampur adukkan hal itu dengan dunia politik, meskipun beliau sendiri punya partai. Pernah suatu kali beliau datang ke yayasan. Sebelum hadir, beliau memastikan terlebih dahulu agar jangan ada bendera politik di sekitar lembaga,” lanjut Bu Azizah menceritakan tokoh yang berasal dari daerah yang sama dengannya itu.

Pak Diki terdiam sejenak. Cerita kedermawanan Pak Yasir yang baru saja didengar secara langsung seakan menghadirkan cermin besar di depannya. Benar, cermin itulah yang membuat Pak Diki mulai berpikir mengenai sikapnya sendiri selama ini. Pak Yasir menyumbang uang ratusan juta ke lembaga pendidikan. Sementara, saya yang membencinya, apa hal berharga yang pernah saya berikan untuk bangsa ini? Jangankan membiayai (pendidikan) orang lain, saya sendiri masih butuh uang untuk membiayai hidup sendiri, gumamnya.

Obrolan mereka perlahan berkurang seiring tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Sebenarnya, Pak Diki masih berkeinginan mengulik informasi lebih jauh mengenai Pak Yasir. Mereka pun turun dan berpisah menuju gate masing-masing. Dada Pak Diki serasa dilempar sebongkah batu yang memecahkan gelembung kebencian yang selama ini tersimpan di sana. Rasa simpatinya terhadap Pak Yasir mulai tumbuh sejak saat itu meskipun tetap memiliki perbedaan arah politik.

***

Kebencian adalah salah satu perasaan negatif yang berdampak buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sebab, perasaan benci akan mengganggu pikiran sehat kita sehingga tidak jarang mendorong kita melakukan hal-hal buruk. Seperti kisah di atas, Pak Diki tidak pernah tahu pasti seperti apa hidup Pak Yasir di dunia nyata. Ia hanya tahu sisi negatif yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Kesimpulan tersebut dibuatnya berdasarkan informasi dari beragam sumber. Tentu saja hal itu tidak dapat dijadikan bahan generalisasi.

Dalam hal ini, Pak Diki sendiri belum merasakan dampak negatif dari sikapnya sendiri. Namun, coba kita bayangkan bisa saja perasaan benci itu mendorongnya menyebar informasi hoaks dan hate speech tentang tokoh tersebut. Kemudian, hal tersebut menyebabkannya kena delik pengaduan. Pada akhirnya, ia akan berurusan dengan hukum. Tidak sekadar itu, jika informasi yang disebarkan ternyata terbukti hoaks dan provokatif, tentu saja citra diri Pak Diki sebagai seorang guru akan rusak. Itu karena perbuatannya sendiri. Adapun, dampak negatif yang akan didapatkan oleh Pak Yasir ialah berupa pencemaran nama baik hingga merusak martabatnya sebagai tokoh besar.

Demikianlah dampak negatif dari sikap benci kita. Namun, saat ini banyak juga tokoh besar, khususnya tokoh politik, yang memiliki nasib tak jauh berbeda dengan Pak Yasir. Sebut saja para calon presiden dan wakil presiden kita (capres-cawapres). Menjelang pilpres, penggalan video singkat atau konten yang berisi informasi hoaks, kebencian, dan provokatif semakin banyak menyebar. Video-video itu dipotong, diedit, dicocok-cocokkkan, disatukan, lalu disebarluaskan ke media sosial. Tidak jarang, potongan video-video tersebut mengesankan tingkah konyol sang capres dan cawapres. Padahal, banyak yang tidak sesuai konteks yang sebenarnya.

Parahnya, isi video tersebut kemudian dicerna dan diterima begitu saja oleh para warganet, terutama mereka yang awam. Sebab, mereka tidak terlatih mengklarifikasi dan menelaah suatu informasi secara kritis sehingga wajar mereka menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Mereka berkomentar buruk kepada tokoh-tokoh tersebut seolah diri mereka lebih hebat. Para pendukung lain pun tidak tinggal diam, mereka membalas hinaan yang dilontarkan oleh para pendukung capres-cawapres pesaing. Kekacauan warganet di media sosial pun tak terhindarkan.

Begitulah, konten-konten tersebut terus tersebar dari beranda medsos yang satu ke yang lain sehingga kebencian-kebencian baru bertumbuhan. Perkataan lisan yang dilakukan secara langsung mungkin bisa berakhir atau ditutup pada seseorang yang pandai menyimpan rahasia. Namun, perkataan yang sudah terekspos di media sosial, apakah bisa dirahasiakan? Kalau kondisinya sudah seperti ini, siapa kira-kira yang bertanggung jawab? Pada posisi inilah kita menyadari bahwa di zaman yang serba cepat dan praktis ini terkadang berbanding lurus dengan cepatnya kita berbuat dosa.

Karena itu, kita perlu berhati-hati sebelum menyebar informasi atau video singkat di media sosial. Cek terlebih dahulu kebenarannya. Jika memang itu bermuatan mendidik, informatif, dan positif, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka sebaiknya kita tahan diri menyebarkannya. Jangan sampai karena didasari rasa benci kepada orang lain akan mendorong kita melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Mari kita ingat bahwa kebencian termasuk penyakit (hati) dalam agama Islam. Bahkan, Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi mengategorikan kebencian sebagai pengaruh luar yang dapat menimbulkan kesombongan.[1] Sementara, sombong adalah dosa besar. Nauzubillah.

Lagi pula, mari kita menengok diri kita. Apakah kita sudah memberikan kontribusi banyak bagi negeri ini? Jangan-jangan mereka yang kita olok-olok sudah berbuat jauh lebih banyak daripada kita. Apalagi jika kita tidak pernah mengenal mereka secara langsung. Karena itu, jika belum bisa berbuat banyak seperti mereka, setidaknya kita bisa menahan tangan dari mengekspos keburukan mereka. Kita berhak punya pilihan capres dan cawapres masing-masing, tetapi kita tidak berhak mengekspos keburukan pasangan calon lain.

***

 

 

 

Jendela Inspirasi:

a.         Jangan menilai seseorang secara sekilas kemudian mengambil kesimpulan buruk dari apa yang kita lihat. Sebab, boleh jadi banyak hal baik yang dilakukannya dan tidak kita ketahui dari orang tersebut.

b.         Kalau kita tidak bisa menghindari membenci seseorang, setidaknya kita mampu menghindari menularkan kebencian kepada orang lain.

c.         Cermati terlebih dahulu video singkat di media sosial sebelum kita bagikan. Pastikan video tersebut bukan hoax, hate speech, fitnah, atau konten provokatif yang membahayakan.

***

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.

 

 



[1] Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi, The Book of Character (edisi terjemah bahasa Indonesia), (Jakarta, Penerbit Zaman, 2015) halaman 169.

Resensi Buku

  Mengenal Filosofi Pendidikan Progresif Oleh: Marzuki Wardi Sumber: dokumen pribadi Judul Buku        : Pendidikan Berbasis Pengalaman ...