Merdeka Belajar, Belajar Merdeka,
dan Pendidikan yang Memerdekakan
Marzuki Wardi
Sumber: https://www.istockphoto.com/id/bot-wall?returnUrl=%2Fid%2Fvektor%2Fkonsep-pendidikan-dengan-orang-orang-membaca-pembelajaran-kartun-gm1292002184-386952814
Melihat
saya memakai baju kaos merdeka belajar,
Biasanya,
ketika bertemu, saya sering membahas berbagai macam topik dengan teman itu, dari
hal-hal klenik, musik, mistik, hingga linguistik. Meskipun bukan seorang guru,
dia senang sekali berdiskusi. Karena dia memang cerdas dan punya bakat
multitalenta sehingga membicarakan apa saja rasanya selalu nyambung dan
mengalir. Namun, pertanyaannya kali ini menunjukkan pemahamannya akan kata merdeka sebatas makna literal, yakni
kondisi terbebas dari hal-hal yang membelenggu atau menindas. Dengan kata lain,
sebuah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain, baik dalam hal pekerjaan
maupun aturan.
Padahal,
frasa merdeka belajar di sana memiliki makna idesional yaitu
makna yang menunjukkan atau mengarah pada penerapan sebuah sistem atau gagasan
tertentu. Tetapi, karena ia tidak berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya
kira wajar jika ia tidak memahami ruh merdeka
belajar yang sesungguhnya.
Hanya saja, hal tersebut memantik minat saya untuk membahas soal ini.
Memang,
secara leksikal makna ini benar, dan tidak dapat dimungkiri ruh merdeka belajar
yang diterapkan pemerintah saat ini juga beranjak dari spirit merdeka dalam
arti yang sebenarnya: merdeka dari belenggu kolonialisme. Sebagai peletak
pondasi sistem pendidikan nasional, Bapak
Pendidikan Ki Hajar Dewantara sejak awal (usia muda) sudah menunjukkan hal itu.
Beliau berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang
cenderung diskriminatif terhadap rakyat pribumi. Beliau terlibat aktif dalam
berbagai diskusi dengan tokoh bangsa, diplomasi, politik, jurnalisme, dan
pendidikan, semata-mata untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Gerakan-gerakannya
itu lantas disoroti dan dijegal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Tekanan demi
tekanan beliau alami, tetapi spirit merdeka itu rupanya tidak menciut sedikit
pun hingga akhirnya beliau diasingkan ke Belanda. Napas merdeka itu tetap
dibawa meski di negeri pengasingan, bahkan di sana sang pahlawan pendidikan
lebih leluasa mempelajari peradaban negara-negara lain, membangun jaringan, dan
menghimpun kekuatan sebagai bekal perjuangan di tanah air. Spirit merdeka yang
tertancap kuat itu kemudian dimanifestasikan dalam wadah Perguruan Taman Siswa
yang didirikannya sepulang dari tanah pengasingan.
Di
lembaga pendidikan ini beliau menumbuh-kembangkan kepribadian (anak) bangsa
berlandaskan budaya bangsa. Beliau menempa mental generasi untuk menengadahkan
wajah di hadapan kaum penjajah. Melalui pendidikan, beliau membangkitkan
kesadaran mereka akan keluhuran kultur dan kekuatan bangsa sendiri. Model
pendidikan yang dirancangnya dalam wadah perguruan taman siswa ini terus
berbenah dan tersebar ke beberapa wilayah di tanah air. Ringkasnya, dalam hal
ini, KHD menempatkan pendidikan sebagai alat atau strategi
untuk menentang praktik kolonialisme. Makna merdeka di sini kiranya
boleh dilihat sebagai dimensi luar.
Kini
kita telah merdeka, tentu saja kita tidak berupaya melepaskan diri dari
kungkungan kolonialisme. Spirit merdeka itu terus dihidupkan. Dimensi luar itu mesti diejawantahkan
melalui kebijakan yang memerdekakan rakyat dari berbagai ketimpangan: dari sisi
kesejahteraan, sosial, dan pendidikan. Dalam bidang pendidikan khususnya, hal
itu sudah tampak pada kebijakan merdeka
belajar. Berbagai paket
programnya sudah mengarah pada upaya tersebut. Tetapi, yang perlu diperhatikan
lagi ialah penguatan peran lembaga pendidikan sebagai benteng nilai,
sebagaimana peran Perguruan Taman Siswa yang didirikan KHD.
Peran
itu bisa berupa sistem kontrol dinamika birokrasi di lingkup daerah. Misalnya,
kebijakan yang meretas intervensi atau kepentingan politik pada jabatan (struktural)
kedinasan tertentu dengan berbasis sistem merit. Dengan begitu jabatan-jabatan
tersebut tidak menjadi jabatan elit yang diperebutkan secara periodik pada masa
pemerintahan tertentu. Titik permasalahannya bukan pada perebutan, tetapi efek
dominonya yakni adanya semacam sayembara jabatan sejak jauh-jauh hari melalui
jalur politik yang mengakibatkan tekan-menekan ke bawah hingga lembaga
pendidikan.
Pada
akhirnya, lembaga pendidikan kerap dijadikan ladang untuk menanamkan benih
kekuasaan. Siapa menduduki apa acap kali diatur oleh oknum-oknum (tim sukses) yang memiliki jatah menentukan posisi
dan jabatan strategis tanpa memandang kompetensi dan jenjang karier, termasuk
dalam hal ini ialah posisi kepala sekolah. Syaratnya, mereka cukup
menganggukkan kehendak penguasa. Akibatnya, insan pendidik tidak bisa bersikap
kritis jika mereka diterkam pejabat-pejabat drakula. Karenanya, membebaskan
lembaga pendidikan dari jerat kepentingan politik semacam ini dapat dimaknai
sebagai dimensi luar pada saat ini.
Di
sisi lain, kita bisa melihat makna merdeka dari dimensi dalam yakni hal-hal yang berkaitan dengan anak (murid),
guru, pembelajaran, dan managemen (lembaga pendidikan). Merdeka dalam arti tidak
membelenggu potensi dan bakat murid dengan kehendak pendidik, tetapi sebaliknya
sebagai alat menebalkan garis potensi mereka. Hal ini akan tercipta dengan
memberi ruang yang leluasa bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan
pendidikan sesuai dengan corak budayanya.
Dalam asas pendidikan Taman Siswa, KHD menekankan pentingnya
pembelajaran yang memerhatikan perbedaan dasar kejiwaan murid. Dengan kata
lain, ia harus memerhatikan perbedaan bakat dan minat masing-masing anak,
termasuk di daerah yang satu dengan lainnya. Anak diberi kesempatan untuk
menemukenali, menentukan, dan mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Prinsipnya ialah diferensiasi untuk memperbesar efisiensi.
Kebijakan
merdeka belajar yang diterapkan pemerintah saat ini
juga memberi ruang bagi lembaga pendidikan atau sekolah untuk mengembangkan
atmosfer yang mampu memantik murid untuk mengeluarkan dan mengembangkan potensi
dirinya. Itu melalui pembelajaran berdiferensiasi. Sekolah memberikan
kesempatan pada murid untuk mengekspresikan gagasan mereka dalam bentuk
keterlibatan mereka dalam mengembangkan sekolah (student agency).
Spirit
merdeka memberi ruang gerak yang lebih elegan bagi lembaga pendidikan untuk
mengelola pendidikan sesuai dengan kondisi sekolah, lingkungan, dan konteks
budayanya. Merdeka dari sisi ini dapatlah dipahami
sebagai kondisi keleluasaan murid dalam mengembangkan potensi dirinya, dan
memberi keleluasaan guru untuk berkreasi. Merdeka dalam konteks ini
bolehlah kita sebut sebagai dimensi dalam
(internal).
Lantas,
apa kaitan pertanyaan pada paragraf pembuka dengan paparan ini? Sederhana saja,
memaknai frasa merdeka belajar tidaklah sesederhana mengotak-atiknya menjadi
pilihan yang dikotomis. Sebab, ada kalanya suatu frasa itu bermakna idesional
seperti halnya merdeka belajar. Kalaupun diminta memilih mana yang lebih baik
antara belajar merdeka dan merdeka belajar, tentu dua-duanya baik jika
dipandang dari dimensi dalam dan luar yang telah diuraikan di atas.
Terwujudnya
merdeka dari dua sisi ini pada akhirnya akan melahirkan insan yang merdeka
seutuhnya: manusia yang mandiri, tidak bergantung
pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri sebagaimana tercantum dalam
Asas Pendidikan Taman Siswa, maupun merdeka dalam arti berani menentang segala
bentuk penindasan. Inilah potret pendidikan yang memerdekakan. Apakah
itu bisa terwujud dari rahim kebijakan merdeka belajar? Kita berharap demikian
adanya.
Lombok Tengah, 19
September 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar