Kamis, 17 April 2025

Esai Pendidikan

 

Merdeka Belajar, Belajar Merdeka, dan Pendidikan yang Memerdekakan

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.istockphoto.com/id/bot-wall?returnUrl=%2Fid%2Fvektor%2Fkonsep-pendidikan-dengan-orang-orang-membaca-pembelajaran-kartun-gm1292002184-386952814

Melihat saya memakai baju kaos merdeka belajar, seorang teman menodong dengan sebuah pertanyaan, “Menurut side,[1] mana yang lebih baik merdeka belajar atau belajar merdeka? Sebab, sampai saat ini saya masih belajar merdeka.” Karena kondisi yang tidak memungkinkan, saya hanya menjawab singkat.

Biasanya, ketika bertemu, saya sering membahas berbagai macam topik dengan teman itu, dari hal-hal klenik, musik, mistik, hingga linguistik. Meskipun bukan seorang guru, dia senang sekali berdiskusi. Karena dia memang cerdas dan punya bakat multitalenta sehingga membicarakan apa saja rasanya selalu nyambung dan mengalir. Namun, pertanyaannya kali ini menunjukkan pemahamannya akan kata merdeka sebatas makna literal, yakni kondisi terbebas dari hal-hal yang membelenggu atau menindas. Dengan kata lain, sebuah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain, baik dalam hal pekerjaan maupun aturan.

Padahal, frasa merdeka belajar di sana memiliki makna idesional yaitu makna yang menunjukkan atau mengarah pada penerapan sebuah sistem atau gagasan tertentu. Tetapi, karena ia tidak berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya kira wajar jika ia tidak memahami ruh merdeka belajar yang sesungguhnya. Hanya saja, hal tersebut memantik minat saya untuk membahas soal ini.

Memang, secara leksikal makna ini benar, dan tidak dapat dimungkiri ruh merdeka belajar yang diterapkan pemerintah saat ini juga beranjak dari spirit merdeka dalam arti yang sebenarnya: merdeka dari belenggu kolonialisme. Sebagai peletak pondasi sistem pendidikan nasional, Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara sejak awal (usia muda) sudah menunjukkan hal itu. Beliau berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang cenderung diskriminatif terhadap rakyat pribumi. Beliau terlibat aktif dalam berbagai diskusi dengan tokoh bangsa, diplomasi, politik, jurnalisme, dan pendidikan, semata-mata untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Gerakan-gerakannya itu lantas disoroti dan dijegal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Tekanan demi tekanan beliau alami, tetapi spirit merdeka itu rupanya tidak menciut sedikit pun hingga akhirnya beliau diasingkan ke Belanda. Napas merdeka itu tetap dibawa meski di negeri pengasingan, bahkan di sana sang pahlawan pendidikan lebih leluasa mempelajari peradaban negara-negara lain, membangun jaringan, dan menghimpun kekuatan sebagai bekal perjuangan di tanah air. Spirit merdeka yang tertancap kuat itu kemudian dimanifestasikan dalam wadah Perguruan Taman Siswa yang didirikannya sepulang dari tanah pengasingan.

Di lembaga pendidikan ini beliau menumbuh-kembangkan kepribadian (anak) bangsa berlandaskan budaya bangsa. Beliau menempa mental generasi untuk menengadahkan wajah di hadapan kaum penjajah. Melalui pendidikan, beliau membangkitkan kesadaran mereka akan keluhuran kultur dan kekuatan bangsa sendiri. Model pendidikan yang dirancangnya dalam wadah perguruan taman siswa ini terus berbenah dan tersebar ke beberapa wilayah di tanah air. Ringkasnya, dalam hal ini, KHD menempatkan pendidikan sebagai alat atau strategi untuk menentang praktik kolonialisme. Makna merdeka di sini kiranya boleh dilihat sebagai dimensi luar.

Kini kita telah merdeka, tentu saja kita tidak berupaya melepaskan diri dari kungkungan kolonialisme. Spirit merdeka itu terus dihidupkan. Dimensi luar itu mesti diejawantahkan melalui kebijakan yang memerdekakan rakyat dari berbagai ketimpangan: dari sisi kesejahteraan, sosial, dan pendidikan. Dalam bidang pendidikan khususnya, hal itu sudah tampak pada kebijakan merdeka belajar. Berbagai paket programnya sudah mengarah pada upaya tersebut. Tetapi, yang perlu diperhatikan lagi ialah penguatan peran lembaga pendidikan sebagai benteng nilai, sebagaimana peran Perguruan Taman Siswa yang didirikan KHD.

Peran itu bisa berupa sistem kontrol dinamika birokrasi di lingkup daerah. Misalnya, kebijakan yang meretas intervensi atau kepentingan politik pada jabatan (struktural) kedinasan tertentu dengan berbasis sistem merit. Dengan begitu jabatan-jabatan tersebut tidak menjadi jabatan elit yang diperebutkan secara periodik pada masa pemerintahan tertentu. Titik permasalahannya bukan pada perebutan, tetapi efek dominonya yakni adanya semacam sayembara jabatan sejak jauh-jauh hari melalui jalur politik yang mengakibatkan tekan-menekan ke bawah hingga lembaga pendidikan.

Pada akhirnya, lembaga pendidikan kerap dijadikan ladang untuk menanamkan benih kekuasaan. Siapa menduduki apa acap kali diatur oleh oknum-oknum (tim sukses) yang memiliki jatah menentukan posisi dan jabatan strategis tanpa memandang kompetensi dan jenjang karier, termasuk dalam hal ini ialah posisi kepala sekolah. Syaratnya, mereka cukup menganggukkan kehendak penguasa. Akibatnya, insan pendidik tidak bisa bersikap kritis jika mereka diterkam pejabat-pejabat drakula. Karenanya, membebaskan lembaga pendidikan dari jerat kepentingan politik semacam ini dapat dimaknai sebagai dimensi luar pada saat ini.

Di sisi lain, kita bisa melihat makna merdeka dari dimensi dalam yakni hal-hal yang berkaitan dengan anak (murid), guru, pembelajaran, dan managemen (lembaga pendidikan). Merdeka dalam arti tidak membelenggu potensi dan bakat murid dengan kehendak pendidik, tetapi sebaliknya sebagai alat menebalkan garis potensi mereka. Hal ini akan tercipta dengan memberi ruang yang leluasa bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan corak budayanya.

Dalam asas pendidikan Taman Siswa, KHD menekankan pentingnya pembelajaran yang memerhatikan perbedaan dasar kejiwaan murid. Dengan kata lain, ia harus memerhatikan perbedaan bakat dan minat masing-masing anak, termasuk di daerah yang satu dengan lainnya. Anak diberi kesempatan untuk menemukenali, menentukan, dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Prinsipnya ialah diferensiasi untuk memperbesar efisiensi.

Kebijakan merdeka belajar yang diterapkan pemerintah saat ini juga memberi ruang bagi lembaga pendidikan atau sekolah untuk mengembangkan atmosfer yang mampu memantik murid untuk mengeluarkan dan mengembangkan potensi dirinya. Itu melalui pembelajaran berdiferensiasi. Sekolah memberikan kesempatan pada murid untuk mengekspresikan gagasan mereka dalam bentuk keterlibatan mereka dalam mengembangkan sekolah (student agency).

Spirit merdeka memberi ruang gerak yang lebih elegan bagi lembaga pendidikan untuk mengelola pendidikan sesuai dengan kondisi sekolah, lingkungan, dan konteks budayanya. Merdeka dari sisi ini dapatlah dipahami sebagai kondisi keleluasaan murid dalam mengembangkan potensi dirinya, dan memberi keleluasaan guru untuk berkreasi. Merdeka dalam konteks ini bolehlah kita sebut sebagai dimensi dalam (internal).

Lantas, apa kaitan pertanyaan pada paragraf pembuka dengan paparan ini? Sederhana saja, memaknai frasa merdeka belajar tidaklah sesederhana mengotak-atiknya menjadi pilihan yang dikotomis. Sebab, ada kalanya suatu frasa itu bermakna idesional seperti halnya merdeka belajar. Kalaupun diminta memilih mana yang lebih baik antara belajar merdeka dan merdeka belajar, tentu dua-duanya baik jika dipandang dari dimensi dalam dan luar yang telah diuraikan di atas.

Terwujudnya merdeka dari dua sisi ini pada akhirnya akan melahirkan insan yang merdeka seutuhnya: manusia yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri sebagaimana tercantum dalam Asas Pendidikan Taman Siswa, maupun merdeka dalam arti berani menentang segala bentuk penindasan. Inilah potret pendidikan yang memerdekakan. Apakah itu bisa terwujud dari rahim kebijakan merdeka belajar? Kita berharap demikian adanya.

 

Lombok Tengah, 19 September 2023.

 

 



[1] Anda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen

  Nyawa Tebusan Marzuki Wardi Sumber: https://www.kompasiana.com/laluazizalazhari/5e569f89097f361d9a416133/sejarah-singkat-suku-sasak-lombok...