Kamis, 03 April 2025

Esai Lepas

 

Pelajaran Besar dari Orang-Orang Kecil

Oleh: Marzuki Wardi

Diunduh dari pngtree-spring-festival-migrant-workers-return-home-by-train-to-pick-up-png-image_4265673

Saya menurunkan laju sepeda motor secara refleks ketika benda berwarna putih itu nyaris menampar wajah saya. Malam itu memang saya sedang cukup terburu-buru sehingga menyalip mobil yang persis di depan saya adalah keputusan yang tepat. Namun, bukan main kagetnya, begitu sampai di bodi belakang mobil, sebuah tangan sedikit terjulur keluar lalu membuang kantong plastik. Benda itu melesat begitu saja, dan sontak saya menghindarinya. Kesal sekali rasanya, dan ingin saya menyoraki pengendaranya.

Sialnya, mobil itu melaju semakin kencang. Barangkali dia pikir akan dikejar atau entah apa. Yang jelas tidak tampak rasa bersalah sedikit pun terhadap apa yang dilakukan salah satu penumpangnya barusan. Bukankah perbuatannya itu cukup membahayakan pengendara lain, yang dalam hal ini saya? Bagaimana kalau saya misalnya tiba-tiba ngerem mendadak, dan membuat pengendara di belakang saya tidak bisa mengontrol remnya, dan akhirnya menabrak saya? Hal itu bisa saja terjadi, mengingat tempat tersebut adalah jalan raya dengan pengendara yang cukup ramai.

Sepanjang perjalanan, pikiran saya jadi sedikit ngelantur. Membuang sampah sembarang memang sudah menjadi hal yang jamak dilakukan di tempat kita. Namun, kalau sampai mengancam keselamatan orang lain itu keterlaluan. Lebih-lebih itu dilakukan oleh, katakanlah, orang kaya yang cukup lama menghabiskan usia di bangku sekolah. Saya berani berkata begitu karena mobil itu termasuk kategori mewah. Mustahil pemiliknya tidak pernah bersekolah; setidaknya lulusan SMA atau diplomalah. Bukan berarti saya menganggap orang tak pernah sekolah tak mampu membeli mobil.

Kejadian semacam ini juga pernah saya baca di surat kabar Kompas. Bedanya, si pengendara di media tersebut langsung kena ganjarannya, sementara pengendara tadi tidak. Di sebuah lampu lalu lintas di persimpangan kota Surabaya, seorang pengendara mobil tiba-tiba membuang botol plastik ke jalan. Seorang pengendara motor yang kebetulan berada di dekatnya kemudian memungut dan menaruhnya di wadah yang ia bawa. Namun, seorang pengendara motor di belakangnya merasa geram. Ia turun dari motornya lalu mengambil botol tersebut lantas mengetuk kaca mobil yang masih menunggu lampu hijau aktif. Dan, ia membuang kembali sampah itu ke dalam mobil tersebut. Si pemilik mobil tentu tak dapat berkata apa-apa, selain harus menelan pahit balasan yang sebetulnya dipicu oleh dirinya sendiri itu.

Di lain waktu, pengendara mobil jenis ini juga kerap kali saya jumpai; dari yang sekedar membuang puntung rokok, kantong plastik, botol minuman, dan beberapa jenis wadah plastik lainnya. Kenapa tidak disimpan dulu di dalam mobil dan dibuang setelah sampai tujuan? Apakah ini terkait mental ataukah kebiasaan? Saya tidak lantas menjustifikasi semua pengendara mobil suka membuang sampah di jalanan. Maksud saya, peristiwa semacam ini bisa dijadikan pelajaran penting bagi kita; kalau tidak bisa membuang sampah secara teratur, setidaknya lihat dulu kondisi sekitar agar tidak mengganggu (keselamatan) orang lain.

Perasaan saya jadi sedikit risi manakala―di sisi lain―saya melihat orang-orang yang justru kita pandang remeh kerap menyisir trotoar atau pinggir jalan hanya untuk memungut sampah plastik. Seorang kakek yang, maaf, dekil, berpakaian lusuh, dan dianggap kurang waras oleh orang-orang di kampung saya misalnya, hampir setiap hari saya temukan sedang menyusuri jalanan yang menghubungkan kampung saya dengan sekolah tempat mengajar yang berjarak sekitar dua kilometer.

Perihal kenapa dia dianggap kurang waras sebetulnya karena dia memiliki semacam kemampuan supra-rasional. Misalnya, dia akan selalu datang ketika ada warga kampung yang punya acara hajatan, orang yang hendak meninggal, dan ibu yang baru selesai melahirkan, tanpa dikabari dan diundang. Dia kemudian akan berbicara secara tiba-tiba seperti, “Anak ini baik, letakkan Al-Qur’an di atas kepalanya, atau semisal “Sebentar lagi di rumah si A akan ramai” sebagai petanda bahwa salah seorang penghuni rumah si A akan meninggal dunia, atau ucapan-ucapan lain yang di luar nalar manusia normal.

Kembali ke kebiasaannya soal sampah. Tanpa rasa jijik, tangan laki-laki tua itu seakan telah terlatih memilah dan memasukkan beberapa sampah plastik ke dalam karung yang disungginya. Mata kuyunya tidak akan beralih sebelum memastikan sampah plastik di sekitarnya sudah habis. Berjalan, memungut gelas atau botol plastik, memasukkannya ke dalam karung, dan kembali berjalan, begitulah aktivitas rutinnya berlangsung. Kombinasi itu tampak dilaksanakan tanpa rasa terpaksa maupun terbebani.

Okelah ini bersifat komersial alias untuk dijual ke pemasok sampah plastik. Namun, mari kita coba hitung. Berat satu gelas plastik itu sekitar 2,5 gram. Agar bisa dijual setidaknya harus terkumpul 1 kg dulu. Kalau harga 1 kg sekitar Rp 3.000, - maka ia harus mengumpulkan 400 buah gelas plastik untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Terbayang, kan, bagaimana capainya mengumpulkan benda kecil sebanyak itu dengan bayaran sangat murah? Jadi, kalau untuk diniatkan semata-mata untuk mendulang rupiah, sungguh jauh kantong dari uang.

Tentu saya tidak mengajak Anda untuk memulung. Saya hanya ingin mengajak Anda dan kita semua merenungi sisi nilai makna dari apa yang orang seperti ini lakukan, yang mungkin luput dari perhatian kita. Dan, mungkin menurut kita tidaklah seberapa. Namun, sentuhan tangan yang tidak seberapa itu sedikit tidak bisa mengurangi tumpukan sampah yang sering menyumbat selokan dan mengakibatkan banjir saat musim hujan. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu telah mengurangi omelan petani lantaran tanamannya terganggu sampah plastik yang masuk ke sawahnya. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu setidaknya telah membantu menghadirkan rasa nyaman mata kita mana kala memandang trotoar dan pinggir jalan saat berkendara. Dan, masih banyak lagi sedikit tidak-sedikit tidak lainnya.

  Kalau kita cermati secara bijak, sebetulnya terselip pesan atau pelajaran yang cukup penting pada fenomena tersebut. Ia seakan mengajak kita untuk tidak mengabaikan hal-hal remeh yang berdampak pada keseimbangan ekologi kita. Ia memang tidak mengampanyekan itu dengan retorika menarik layaknya seorang pejabat politik. Namun, nilai perbuatannya yang melampaui kondisi individu normal pada umumnya cukup menempelak nurani dan pikiran kita.

Nurani saya semakin tertempelak ketika seorang nenek dengan ciri tak jauh berbeda dengan kakek tersebut sering bertandang ke sekolah pada jam pulang. Beberapa buan lalu, ia sering kali mengingatkan, “Jangan buang sampah plastiknya. Tingggalkan untuk saya, biar besok saya cari.” Kira-kira begitulah pesannya.  Dan, ia pun rutin mencari gelas plastik ke sekolah. Namun, belakangan saya jarang sekali melihat nenek itu datang lagi. Saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Sementara, si kakek yang saya ceritakan sebelumnya itu sudah meninggal sekitar setahun lalu karena ditabrak sepeda motor. Besar kemungkinan ia baru pulang menyisir sampah plastik di pinggir jalan.

Dua orang (kakek-nenek) tersebut saya kira salah satu contoh orang-orang kecil yang bijak. Mereka memang tak pandai bicara dan mengajarkan sesuatu sebagaimana layaknya seorang guru. Namun, tanpa mereka sadari apa yang mereka lakukan itu bisa berbuah teladan. Tentu saja di luar sana masih banyak lagi orang-orang kecil yang terkadang kita pandang remeh justru perbuatannya bisa menjadi teladan. Ini hanya sebagian kecil. Apa yang saya sampaikan mengenai pengendara mobil di atas merupakan contoh betapa pelajaran bijak tidak selamanya didapati dari orang-orang yang dianggap besar dari segi materi. Namun, pesan bijak bahkan pelajaran besar terkadang kita peroleh dari orang-orang kecil. Dan, mungkin selama ini kita padang dengan tidak bijak.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Narapos

  Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih Sukses Marzuki Wardi Tanpa tekad yang kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan m...