Pelajaran Besar dari Orang-Orang
Kecil
Oleh: Marzuki Wardi
![]() |
Diunduh dari pngtree-spring-festival-migrant-workers-return-home-by-train-to-pick-up-png-image_4265673 |
Saya
menurunkan laju sepeda motor secara refleks ketika benda berwarna putih itu
nyaris menampar wajah saya. Malam itu memang saya sedang cukup terburu-buru
sehingga menyalip mobil yang persis di depan saya adalah keputusan yang tepat.
Namun, bukan main kagetnya, begitu sampai di bodi belakang mobil, sebuah tangan
sedikit terjulur keluar lalu membuang kantong plastik. Benda itu melesat begitu
saja, dan sontak saya menghindarinya. Kesal sekali rasanya, dan ingin saya
menyoraki pengendaranya.
Sialnya,
mobil itu melaju semakin kencang. Barangkali dia pikir akan dikejar atau entah
apa. Yang jelas tidak tampak rasa bersalah sedikit pun terhadap apa yang
dilakukan salah satu penumpangnya barusan. Bukankah perbuatannya itu cukup
membahayakan pengendara lain, yang dalam hal ini saya? Bagaimana kalau saya
misalnya tiba-tiba ngerem mendadak, dan membuat pengendara di belakang saya
tidak bisa mengontrol remnya, dan akhirnya menabrak saya? Hal itu bisa saja
terjadi, mengingat tempat tersebut adalah jalan raya dengan pengendara yang
cukup ramai.
Sepanjang
perjalanan, pikiran saya jadi sedikit ngelantur. Membuang sampah sembarang
memang sudah menjadi hal yang jamak dilakukan di tempat kita. Namun, kalau
sampai mengancam keselamatan orang lain itu keterlaluan. Lebih-lebih itu
dilakukan oleh, katakanlah, orang kaya yang cukup lama menghabiskan usia di
bangku sekolah. Saya berani berkata begitu karena mobil itu termasuk kategori
mewah. Mustahil pemiliknya tidak pernah bersekolah; setidaknya lulusan SMA atau
diplomalah. Bukan berarti saya menganggap orang tak pernah sekolah tak mampu
membeli mobil.
Kejadian
semacam ini juga pernah saya baca di surat kabar Kompas. Bedanya, si pengendara
di media tersebut langsung kena ganjarannya, sementara pengendara tadi tidak.
Di sebuah lampu lalu lintas di persimpangan kota Surabaya, seorang pengendara
mobil tiba-tiba membuang botol plastik ke jalan. Seorang pengendara motor yang
kebetulan berada di dekatnya kemudian memungut dan menaruhnya di wadah yang ia
bawa. Namun, seorang pengendara motor di belakangnya merasa geram. Ia turun
dari motornya lalu mengambil botol tersebut lantas mengetuk kaca mobil yang
masih menunggu lampu hijau aktif. Dan, ia membuang kembali sampah itu ke dalam
mobil tersebut. Si pemilik mobil tentu tak dapat berkata apa-apa, selain harus
menelan pahit balasan yang sebetulnya dipicu oleh dirinya sendiri itu.
Di
lain waktu, pengendara mobil jenis ini juga kerap kali saya jumpai; dari yang
sekedar membuang puntung rokok, kantong plastik, botol minuman, dan beberapa
jenis wadah plastik lainnya. Kenapa tidak disimpan dulu di dalam mobil dan
dibuang setelah sampai tujuan? Apakah ini terkait mental ataukah kebiasaan?
Saya tidak lantas menjustifikasi semua pengendara mobil suka membuang sampah di
jalanan. Maksud saya, peristiwa semacam ini bisa dijadikan pelajaran penting
bagi kita; kalau tidak bisa membuang sampah secara teratur, setidaknya lihat
dulu kondisi sekitar agar tidak mengganggu (keselamatan) orang lain.
Perasaan
saya jadi sedikit risi manakala―di sisi lain―saya melihat orang-orang yang
justru kita pandang remeh kerap menyisir trotoar atau pinggir jalan hanya untuk
memungut sampah plastik. Seorang kakek yang, maaf, dekil, berpakaian lusuh, dan
dianggap kurang waras oleh orang-orang di kampung saya misalnya, hampir setiap
hari saya temukan sedang menyusuri jalanan yang menghubungkan kampung saya
dengan sekolah tempat mengajar yang berjarak sekitar dua kilometer.
Perihal
kenapa dia dianggap kurang waras sebetulnya karena dia memiliki semacam
kemampuan supra-rasional. Misalnya, dia akan selalu datang ketika ada warga
kampung yang punya acara hajatan, orang yang hendak meninggal, dan ibu yang
baru selesai melahirkan, tanpa dikabari dan diundang. Dia kemudian akan
berbicara secara tiba-tiba seperti, “Anak ini baik, letakkan Al-Qur’an di atas
kepalanya, atau semisal “Sebentar lagi di rumah si A akan ramai” sebagai
petanda bahwa salah seorang penghuni rumah si A akan meninggal dunia, atau
ucapan-ucapan lain yang di luar nalar manusia normal.
Kembali
ke kebiasaannya soal sampah. Tanpa rasa jijik, tangan laki-laki tua itu seakan
telah terlatih memilah dan memasukkan beberapa sampah plastik ke dalam karung
yang disungginya. Mata kuyunya tidak akan beralih sebelum memastikan sampah
plastik di sekitarnya sudah habis. Berjalan, memungut gelas atau botol plastik,
memasukkannya ke dalam karung, dan kembali berjalan, begitulah aktivitas
rutinnya berlangsung. Kombinasi itu tampak dilaksanakan tanpa rasa terpaksa
maupun terbebani.
Okelah
ini bersifat komersial alias untuk dijual ke pemasok sampah plastik. Namun,
mari kita coba hitung. Berat satu gelas plastik itu sekitar 2,5 gram. Agar bisa
dijual setidaknya harus terkumpul 1 kg dulu. Kalau harga 1 kg sekitar Rp 3.000,
- maka ia harus mengumpulkan 400 buah gelas plastik untuk mendapatkan uang
sejumlah itu. Terbayang, kan, bagaimana capainya mengumpulkan benda kecil
sebanyak itu dengan bayaran sangat murah? Jadi, kalau untuk diniatkan
semata-mata untuk mendulang rupiah, sungguh jauh kantong dari uang.
Tentu
saya tidak mengajak Anda untuk memulung. Saya hanya ingin mengajak Anda dan
kita semua merenungi sisi nilai makna dari apa yang orang seperti ini lakukan,
yang mungkin luput dari perhatian kita. Dan, mungkin menurut kita tidaklah
seberapa. Namun, sentuhan tangan yang tidak seberapa itu sedikit tidak bisa
mengurangi tumpukan sampah yang sering menyumbat selokan dan mengakibatkan
banjir saat musim hujan. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu telah mengurangi
omelan petani lantaran tanamannya terganggu sampah plastik yang masuk ke
sawahnya. Sentuhan tangan yang tak seberapa itu setidaknya telah membantu
menghadirkan rasa nyaman mata kita mana kala memandang trotoar dan pinggir
jalan saat berkendara. Dan, masih banyak lagi sedikit tidak-sedikit tidak lainnya.
Kalau kita cermati secara bijak, sebetulnya
terselip pesan atau pelajaran yang cukup penting pada fenomena tersebut. Ia
seakan mengajak kita untuk tidak mengabaikan hal-hal remeh yang berdampak pada
keseimbangan ekologi kita. Ia memang tidak mengampanyekan itu dengan retorika
menarik layaknya seorang pejabat politik. Namun, nilai perbuatannya yang
melampaui kondisi individu normal pada umumnya cukup menempelak nurani dan
pikiran kita.
Nurani
saya semakin tertempelak ketika seorang nenek dengan ciri tak jauh berbeda
dengan kakek tersebut sering bertandang ke sekolah pada jam pulang. Beberapa
buan lalu, ia sering kali mengingatkan, “Jangan buang sampah plastiknya.
Tingggalkan untuk saya, biar besok saya cari.” Kira-kira begitulah
pesannya. Dan, ia pun rutin mencari
gelas plastik ke sekolah. Namun, belakangan saya jarang sekali melihat nenek
itu datang lagi. Saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Sementara, si kakek yang
saya ceritakan sebelumnya itu sudah meninggal sekitar setahun lalu karena
ditabrak sepeda motor. Besar kemungkinan ia baru pulang menyisir sampah plastik
di pinggir jalan.
Dua
orang (kakek-nenek) tersebut saya kira salah satu contoh orang-orang kecil yang
bijak. Mereka memang tak pandai bicara dan mengajarkan sesuatu sebagaimana
layaknya seorang guru. Namun, tanpa mereka sadari apa yang mereka lakukan itu
bisa berbuah teladan. Tentu saja di luar sana masih banyak lagi orang-orang
kecil yang terkadang kita pandang remeh justru perbuatannya bisa menjadi
teladan. Ini hanya sebagian kecil. Apa yang saya sampaikan mengenai pengendara
mobil di atas merupakan contoh betapa pelajaran bijak tidak selamanya didapati
dari orang-orang yang dianggap besar dari segi materi. Namun, pesan bijak
bahkan pelajaran besar terkadang kita peroleh dari orang-orang kecil. Dan,
mungkin selama ini kita padang dengan tidak bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar