Honorer
Dihapus, Asa Mahasiswa Keguruan Pupus?
Marzuki Wardi
![]() |
Diunduh dari https://www.kompasiana.com/yudistirapratama/5e777b4dd541df351b4680d2/apasih-enaknya-jadi-pegawai-negeri |
Pegawai Negeri
Sipil (PNS) tampaknya masih menjadi profesi yang didewakan oleh sebagian besar
masyarakat di Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Faktanya, setiap rekrutmen
CPNS diselenggarakan, pelamarnya selalu saja membeludak. Bagaimana tidak,
pekerjaan santai, berseragam rapi, gaji mencukupi, status sosial diakui, dan
adanya jaminan hari tua ialah sekelumit gambaran empuknya profesi tersebut.
Siapa kiranya yang tidak tergiur? Jadi, tidak mengherankan banyak orang dari
sejak masuk kuliah sudah menetapkan cita-cita jadi PNS.
Di satu sisi,
keserba enakan tersebut berbanding lurus dengan proses yang demikian rumit untuk mendapatkannya. Untuk mencapai nilai ambang batas (passing grade) pada saat tes saja
tidaklah semudah memenangkan kuis iklan produk di televisi. Selain harus
menjawab soal-soal yang menguras otak, ketatnya persaingan juga membuat peluang
meraih profesi ini bagai menangkap semut hitam di gelapnya malam. Saking
ketatnya persaingan, tidak sedikit orang memilih merangkak jadi honorer sejak
jauh-jauh hari. Bahkan, mereka rela digaji sekadarnya asal nama bisa terdaftar
di instansi terkait.
Betul, ini
bukan kabar burung belaka. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang
menjabat kepala sekolah. Konon, banyak sarjana lulusan baru (fresh graduate) rela tidak digaji asalkan namanya bisa masuk sebagai tenaga
honorer di sistem (dapodik). Hal seperti ini tentu terjadi karena mereka
menganggap honorer seperti sebuah pintu gerbang menuju status PNS. Ketika
menyandang status honorer setidaknya mereka sudah berupaya menggedor pintu yang
suatu waktu terbuka.
Jujur saja,
saya sendiri dulu juga berpikir begitu. Karena memang pada saat kuliah strata
satu saya sudah menjadi
guru sukarela (honorer) di dua sekolah sekaligus; negeri dan swasta. Sehingga
sedari awal saya sudah merencanakan, setelah lulus kuliah nanti, untuk
mengikuti program sertfikasi guru melalui sekolah swasta. Kalaupun tidak, saya
bisa mendaftarkan nama pada pendataan (data base) di sekolah negeri agar bisa diangkat
menjadi guru PNS. Karena, pada saat itu pengangkatan PNS masih melalui jalur
pengkategorian; kategori I dan II. Tetapi, karena jumlah jam tidak memenuhi
syarat dan mata pelajaran yang saya ampu bukan pelajaran wajib, saya tidak bisa
masuk pendataan.
Malangnya,
pintu gerbang itu kini ditutup rapat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun 2022 tentang
penghapusan honorer. Karena itu, ketika mendengar berita tersebut beberapa hari
yang lalu, pikiran saya tidak langsung tertuju pada honorer aktif saat ini—tetapi bukan berarti saya tidak bersimpati. Lebih-lebih setelah
menggali informasi dan mencermati peraturan itu labih jauh lagi, mereka akan
diusahakan untuk direkrut menjadi ASN secara bertahap melalui jalur PNS dan
PPPK sampai November 2023. Pikiran saya justru tersita pada mereka yang kini
masih ngampus (duduk di bangku
kuliah); bagaimana mereka menyikapi Permen tersebut berkaitan dengan asa
mewujdkan cita-cita mereka? Ke mana mereka mau menjajakkan kaki selepas kuliah
nanti jika honor pun tak boleh?
Pada suatu
kesempatan saya mencoba mewawancarai beberapa mahasiswa jurusan keguruan
semester akhir. Saya meminta tanggapan mereka mengenai Permen tersebut. Benar
saja, jawaban mereka ternyata tidak jauh dari perkiraan saya. Mereka rata-rata
merasa khawatir tidak punya cukup peluang untuk masuk ke instansi atau sekolah
negeri setelah lulus kuliah. Mereka merasa prospek kerja di bidang studi yang
diambil menjadi kurang cerah. Singkatnya, asa atau cita-cita mereka terganggu
dengan informasi tentang Permen itu.
Kekhawatiran
mereka tentu merupakan hal yang wajar. Apalagi, persaingan kerja di sektor lain
juga demikian ketat. Selain belum begitu pulih akibat hantaman pandemi Covid-19
lalu, banyak peran dan tenaga manusia juga tergantikan dengan teknologi mesin.
Sebagaimana dikatakan Prof. Sulistyowati Irianto, pergeseran pekerjaan
konvensional besar-besaran terjadi karena diganti oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).[1]
Jadi, sempitnya peluang menerapkan ilmu baru yang didapat di bangku kuliah
wajar dipersepsi sebagai sebuah momok yang
cukup menakutkan.
Saya bisa
merasakan apa yang mereka pikirkan ketika mereka mengutarakan harapan. Sewaktu
masih duduk di bangku kuliah memang kita cenderung menganggap semua rencana
bakal mulus. Lulus dengan IP memuaskan kemudian bekerja sesuai dengan jurusan
merupakan bayangan masa depan yang pasti berjalan lancar. Tetapi, bayangan itu
lindap manakala kita bergulat dengan realitas dunia kerja yang demikian keras.
Karenanya, ketika faktor penghambat skenario itu terdeteksi sejak dini, boleh
jadi mereka merasa diintai status pengangguran.
Apalagi, pekerjaan berseragam (pegawai) cenderung dianggap pekerjaan ideal
kaum terpelajar yang terkadang menjelma bak desakan kultural di tengah
masyarakat.
Tentu saja
hasil wawancara kasar saya ini tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan
pemerintah yang memang bukan ditujukan kepada mahasiswa. Untuk apa juga saya
ikut-ikutan nimbrung mengurus kebijakan? Memangnya saya ini siapa? Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi
respon segelintir mahasiswa itu sebagai sikap mahasiswa pada umumnya. Hanya
saja, respon mereka setidaknya bisa menjadi topik diskusi kami mengenai
peluang-peluang penghidupan yang bisa dipilih setelah lulus. Kami bisa bertukar
pengalaman dan merancang peta masa depan dalam dunia kerja.
Memang,
pemerintah bukan menutup sama sekali peluang bagi sarjana lulusan baru (fresh graduate) untuk menjadi ASN.
Peluang itu suatu waktu meski terbuka menyesuaikan dinamika mekanisme rekrutmen
kepegawaian. Tetapi, sembari menunggu peluang itu terbuka, mereka bisa
menciptakan peluang sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya
membentuk lembaga non-formal atau komunitas edu-preneur
(bisnis edukasi), sosi-preneur
(bisnis berbasis sosial), pengembangan ilmu pengetahuan, pengelolaan
lingkungan, dan semacamnya.
Komunitas
seperti itu memang tidak murni berorientasi pada penghasilan. Namun, mereka
malah bisa mengembangkan program berbasis kepedulian (manusia dan lingkungan).
Dengan konsep seperti itu mereka justru bebas menggandeng intansi pemerintah,
perusahaan, dan lembaga lain yang menyediakan dana donor atau Corporate Social Responsibility (CSR)
yang memang ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial pada masyarakat
dan dampak lingkungan. Mereka bisa menjadi mitra dalam rangka menjembatani
program lembaga-lembaga tersebut. Dengan begitu, mereka memiliki kiprah yang
justru jauh dari pada sekadar menjadi pekerja seragaman.
Satu lagi,
sebagai seorang guru, hasil komunikasi dengan para mahasiswa itu setidaknya
bisa saya jadikan sebagai bahan renungan dalam memetakan potensi siswa.
Sehingga saya dapat memberi bayangan mengenai profesi yang mereka inginkan ke
depan. Saya juga bisa memberikan mereka gambaran bahwa bekerja di instansi
pemerintah bukanlah standar baku kesuksesan dalam pendidikan. Tentu saja bukan
untuk menghalau cita-cita mereka, melainkan untuk menata mindset mereka sejak dini agar lebih terbuka.
Wallahua’lam bissawab
[1] Dikutip dari tulisan Guru Besar
Hukum UI Sulistyowati Irianto dengan judul Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di
Era 4.0 pada kolom opini Kompas edisi 04 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar