Kamis, 03 April 2025

Esai Pendidikan

 

Elegi Sekolah Negeri Pasca Pandemi

Marzuki Wardi

Diunduh dari: https://www.pekanbaru.go.id/p/news/baru-23-sekolah-belajar-tatap-muka-terbatas-di-kota-pekanbaru

Gawat! Empat sekolah (SMP) negeri di Lombok Tengah terancam tutup lantaran minimnya pendaftar siswa baru. Bayangkan, sebagai seorang guru, bagaimana saya tidak gelisah? Tahun lalu sebuah SMP negeri betul-betul meregang napas terakhir setelah mengap-mengap bertahan dengan belasan siswa. Kini, haruskah empat sekolah tersebut menyusul saudaranya?

Menurut kabar, lokasi sekolah-sekolah tersebut memang tidak strategis; jauh dari pemukiman. Sehingga sumber siswa jadi minim. Seorang anggota Dewan Pendidikan Lombok Tengah, H Ambare, menyatakan aturan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tambah memperketat persaingan dalam mendapatkan siswa.[1] Bagaimanapun juga, kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sebab, dampaknya akan cukup besar bagi ekosistem pendidikan kita. Para pemangku kepentingan, khususnya pihak sekolah bersangkutan, mesti segera mengambil langkah tepat dan cepat dalam membenahi sekolah mereka.

Namun, langkah tepat seperti apa yang harus diupayakan untuk mengatasi masalah itu? Jika memang permasalahan terletak pada lokasi, kenapa tidak dari dulu perolehan siswanya berkurang? Apakah ini, lagi-lagi, dampak dari hantaman Pandemi Covid-19 kemarin? Sebentar, ada baiknya kita cermati dan telisik terlebih dahulu titik permasalahannya.

Pemerintah memang telah berupaya sedemikian rupa menyesuaikan kegiatan belajar-mengajar (KBM) selama pandemi kemarin. Katakanlah pengembangan berbagai platform belajar online seperti google classroom, google meet, google form (untuk evaluasi), zoom, dan lain sebagainya. Sehingga siswa bisa belajar melalui gawai atau laptop sambil duduk santai di rumah. Demikian juga dengan guru, mereka dilatih untuk bisa menyesuaikan pembelajaran dengan media digital. Benar saja KBM tetap berjalan, tetapi banyak juga sekolah yang terlunta-lunta. Salah satu alasannya ialah kurangnya fasilitas dan daya dukung belajar. Pada akhirnya, kondisi karut-marut tak dapat terelakkan.

Pada kondisi inilah saya kira perhatian orang tua tersita pada sekolah-sekolah yang terlihat adem-ayem menerapkan sistem belajar tradisional (tanpa teknologi). Dalam hal ini ialah sekolah di bawah naungan pondok pesantren. Di satu sisi, kondisi ini diperparah dengan kegamangan mereka melihat anak-anak yang semakin keranjingan bermain gawai di rumah. Banyak orang tua mengeluhkan hal ini. Benda canggih yang mulanya dianggap sebagai solusi praktis KBM itu justru menjelma bak demon[2] yang menjerumuskan anak jadi pemalas dan manja. Mereka sering kali menyalahgunakan gawai untuk bermain game dan media sosial berlebihan.

Lambat laun, perubahan perilaku itu memengaruhi interaksi anak dengan orang tua. Dari sini mereka menyadari bahwa mengendalikan pemanfaatan teknologi rupanya lebih utama dari pada menguasainya. Karena hidup di ruang realitas banyak persoalan yang tidak selamanya bisa dipecahkan dengan teknologi. Untuk itulah anak membutuhkan bekal kepribadian (akhlak) yang matang untuk membentengi pengaruh buruk dunia maya. Akhirnya, orang tua berbondong-bondong memilih pondok pesantren yang memberi porsi lebih pada pembinaan akhlak.

Saya tidak ingin menjadikan gawai sebagai kambing hitam, juga tidak bermaksud menafikan upaya sekolah negeri dalam memberikan pendidikan akhlak. Namun, tidak dapat dimungkiri, banyak orang tua memilih memasukkan anak mereka ke pondok pesantren dengan alasan itu. Apalagi jumlah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal semakin tumbuh subur. Bahkan hampir di setiap kampung saat ini ada pondok pesantren sehingga opsi orang tua memenuhi pendidikan anak cukup mudah.

Kondisi ini tentu saja memperketat persaingan sekolah-sekolah dalam meraih simpati masyarakat. Karena itu, meningkatkan standar mutu merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, perlahan-lahan besar kemungkinan dominasi pondok pesantren bisa melumat eksistensi sekolah negeri. Mungkinkah nasib sekolah negeri kemudian sama dengan perguruan tinggi negeri di India? Menurut Prof. H.A.R Tilaar mutu lulusan pendidikan swasta di negera tersebut jauh lebih bagus dari pada pendidikan tinggi negeri. Karena itu, pemerintahnya menyediakan beasiswa bagi mereka yang berkeinginan memasuki perguruan tinggi swasta berkualitas. Tentu saja tujuannya untuk menyetarakan kualitas pendidikan di dua jalur tersebut.[3]

Haruskah sekolah negeri juga menuruti tuntutan pasar?[4] Saya kira mustahil sekolah negeri menerapkan sistem pondok pesantren. Di samping mereka memiliki dimensi ideologis yang berbeda, sistem pendidikan pondok pesantren juga cenderung lebih leluasa dan fleksibel dalam mengelola kurikulum. Hanya saja mereka diikat oleh, meminjam istilah Prof. Tilaar, Akuntabilitas Vertikal yang sama yakni berupa kurikulum nasional, sistem akreditasi, dan evaluasi nasional.[5]

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak bisa menawarkan program unggulan yang dilirik masyarakat. Ada beberapa contoh kegiatan ekstra kurikuler pilihan yang bisa diselenggarakan seperti English camp, workshop kepenulisan (sastra), pelatihan jurnalistik, pembinaan olimpiade, bahkan program keagamaan seperti seni baca-tulis Al-Qur’an, tilawah, pidato, dan program bagi siswa agama lain. Kepala sekolah bisa menggandeng masyarakat sekitar, menjalin kerja sama lintas instansi, lintas profesi, dan lintas komunitas untuk menyediakan dan mendukung program-program tersebut.

Pandemi memang menyisakan elegi bagi banyak kalangan, termasuk bagi sekolah negeri. Karenanya, diperlukan orang-orang yang mampu mengadakan resilience[6] untuk memimpin sebuah lembaga. Yaitu pemimpin yang membuka diri terhadap perubahan, visioner, dan kolaboratif. Karenanya, pemimpin-pemimpin sekolahbukan hanya berarti jabatan formal seperti kepala sekolahharus memiliki hal ini dalam rangka menjaga eksistensi dan kualitas sekolah mereka. Bukan hanya bagi empat sekolah di atas, melainkan semua sekolah negeri. Terlebih, beberapa hari yang lalu, saya mendengar kabar dari beberapa teman yang mengajar di sekolah negeri. Katanya, sekolah mereka juga mengalami penurunan jumlah siswa baru. Saya kira ini adalah alarm yang cukup nyaring untuk melakukan berbagai pembenahan dan perubahan.




[1] https://radarmandalika.id/empat-smp-di-lombok-tengah-terancam-tutup/, diakses pada 30 Juli 2022, pukul 17:33

[2] Setan

[3] H.A.R Tilaar, Kaleideskop Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), hal. 372.

[4] Pasar dalam hal ini bukan dalam makna komersial, tapi lebih kepada makna suatu hal yang menjadi trend atau yang diminati sebagian besar masyarakat saat ini.

[5] Ibid.

[6] Kemampuan untuk bangkit dan memulai sesuatu dari nol lagi. Hal ini membutuhkan individu dengan kapasitas untuk menyesuaikan diri dan bahkan menghadapi stres (SKH Kompas edisi Sabtu 24 Agustus 2019, hal. 9 Karier Experd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Narapos

  Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih Sukses Marzuki Wardi Tanpa tekad yang kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan m...