Elegi Sekolah
Negeri Pasca Pandemi
Marzuki Wardi
![]() |
Diunduh dari: https://www.pekanbaru.go.id/p/news/baru-23-sekolah-belajar-tatap-muka-terbatas-di-kota-pekanbaru |
Gawat! Empat
sekolah (SMP) negeri di Lombok Tengah terancam tutup lantaran minimnya
pendaftar siswa baru. Bayangkan, sebagai seorang guru, bagaimana saya tidak
gelisah? Tahun lalu sebuah SMP negeri betul-betul meregang napas terakhir
setelah mengap-mengap bertahan dengan belasan siswa. Kini, haruskah empat
sekolah tersebut menyusul saudaranya?
Menurut kabar,
lokasi sekolah-sekolah tersebut memang tidak strategis; jauh dari pemukiman.
Sehingga sumber siswa jadi minim. Seorang anggota Dewan Pendidikan Lombok
Tengah, H Ambare, menyatakan aturan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
tambah memperketat persaingan dalam mendapatkan siswa.[1]
Bagaimanapun juga, kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sebab,
dampaknya akan cukup besar bagi ekosistem pendidikan kita. Para pemangku
kepentingan, khususnya pihak sekolah bersangkutan, mesti segera mengambil
langkah tepat dan cepat dalam membenahi sekolah mereka.
Namun, langkah
tepat seperti apa yang harus diupayakan untuk mengatasi masalah itu? Jika
memang permasalahan terletak pada lokasi, kenapa tidak dari dulu perolehan
siswanya berkurang? Apakah ini, lagi-lagi, dampak dari hantaman Pandemi
Covid-19 kemarin? Sebentar, ada baiknya kita cermati dan telisik terlebih
dahulu titik permasalahannya.
Pemerintah
memang telah berupaya sedemikian rupa menyesuaikan kegiatan belajar-mengajar
(KBM) selama pandemi kemarin. Katakanlah pengembangan berbagai platform belajar
online seperti google classroom, google meet, google form (untuk evaluasi), zoom, dan
lain sebagainya. Sehingga siswa bisa belajar melalui gawai atau laptop sambil
duduk santai di rumah. Demikian juga dengan guru, mereka dilatih untuk bisa
menyesuaikan pembelajaran dengan media digital. Benar saja KBM tetap berjalan,
tetapi banyak juga sekolah yang terlunta-lunta. Salah satu alasannya ialah
kurangnya fasilitas dan daya dukung belajar. Pada akhirnya, kondisi karut-marut
tak dapat terelakkan.
Pada kondisi
inilah saya kira perhatian orang tua tersita pada sekolah-sekolah yang terlihat
adem-ayem menerapkan sistem belajar tradisional (tanpa teknologi). Dalam
hal ini ialah sekolah di bawah naungan pondok pesantren. Di satu sisi, kondisi
ini diperparah dengan kegamangan mereka melihat anak-anak yang semakin
keranjingan bermain gawai di rumah. Banyak orang tua mengeluhkan hal ini. Benda
canggih yang mulanya dianggap sebagai solusi praktis KBM itu justru menjelma
bak demon[2]
yang menjerumuskan anak jadi pemalas dan manja. Mereka sering kali
menyalahgunakan gawai untuk bermain game dan
media sosial berlebihan.
Lambat laun,
perubahan perilaku itu memengaruhi interaksi anak dengan orang tua. Dari sini
mereka menyadari bahwa mengendalikan pemanfaatan teknologi rupanya lebih utama
dari pada menguasainya. Karena hidup di ruang realitas banyak persoalan yang
tidak selamanya bisa dipecahkan dengan teknologi. Untuk itulah anak membutuhkan
bekal kepribadian (akhlak) yang matang untuk membentengi pengaruh buruk dunia
maya. Akhirnya, orang tua berbondong-bondong memilih pondok pesantren yang
memberi porsi lebih pada pembinaan akhlak.
Saya tidak
ingin menjadikan gawai sebagai kambing hitam, juga tidak bermaksud menafikan
upaya sekolah negeri dalam memberikan pendidikan akhlak. Namun, tidak dapat
dimungkiri, banyak orang tua memilih memasukkan anak mereka ke pondok pesantren
dengan alasan itu. Apalagi jumlah pondok pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal semakin tumbuh subur. Bahkan hampir di setiap kampung saat
ini ada pondok pesantren sehingga opsi orang tua memenuhi pendidikan anak cukup
mudah.
Kondisi ini
tentu saja memperketat persaingan sekolah-sekolah dalam meraih simpati
masyarakat. Karena itu, meningkatkan standar mutu merupakan sebuah keniscayaan.
Jika tidak, perlahan-lahan besar kemungkinan dominasi pondok pesantren bisa
melumat eksistensi sekolah negeri. Mungkinkah nasib sekolah negeri kemudian
sama dengan perguruan tinggi negeri di India? Menurut Prof. H.A.R Tilaar mutu
lulusan pendidikan swasta di negera tersebut jauh lebih bagus dari pada
pendidikan tinggi negeri. Karena itu, pemerintahnya menyediakan beasiswa bagi
mereka yang berkeinginan memasuki perguruan tinggi swasta berkualitas.
Tentu saja tujuannya untuk menyetarakan kualitas pendidikan di dua jalur
tersebut.[3]
Haruskah
sekolah negeri juga menuruti tuntutan pasar?[4]
Saya kira mustahil sekolah negeri menerapkan sistem pondok pesantren. Di
samping mereka memiliki dimensi ideologis yang berbeda, sistem pendidikan
pondok pesantren juga cenderung lebih leluasa dan fleksibel dalam mengelola
kurikulum. Hanya saja mereka diikat oleh, meminjam istilah Prof. Tilaar, Akuntabilitas Vertikal yang sama yakni
berupa kurikulum nasional, sistem akreditasi, dan evaluasi nasional.[5]
Namun
demikian, bukan berarti mereka tidak bisa menawarkan program unggulan yang
dilirik masyarakat. Ada beberapa contoh kegiatan ekstra kurikuler pilihan yang
bisa diselenggarakan seperti English camp, workshop kepenulisan
(sastra), pelatihan jurnalistik, pembinaan olimpiade, bahkan program keagamaan
seperti seni baca-tulis Al-Qur’an, tilawah,
pidato, dan program bagi siswa agama lain. Kepala sekolah bisa menggandeng
masyarakat sekitar, menjalin kerja sama lintas instansi, lintas profesi, dan
lintas komunitas untuk menyediakan dan mendukung program-program tersebut.
Pandemi memang
menyisakan elegi bagi banyak kalangan, termasuk bagi sekolah negeri. Karenanya,
diperlukan orang-orang yang mampu mengadakan resilience[6]
untuk memimpin sebuah lembaga. Yaitu
pemimpin yang membuka diri terhadap perubahan, visioner, dan kolaboratif.
Karenanya, pemimpin-pemimpin sekolah−bukan hanya
berarti jabatan formal seperti kepala sekolah−harus memiliki
hal ini dalam rangka menjaga eksistensi dan kualitas sekolah mereka. Bukan
hanya bagi empat sekolah di atas, melainkan semua sekolah negeri. Terlebih,
beberapa hari yang lalu, saya mendengar kabar dari beberapa teman yang mengajar
di sekolah negeri. Katanya, sekolah mereka juga mengalami penurunan jumlah
siswa baru. Saya kira ini adalah alarm yang cukup nyaring untuk melakukan
berbagai pembenahan dan perubahan.
[1]
https://radarmandalika.id/empat-smp-di-lombok-tengah-terancam-tutup/, diakses
pada 30 Juli 2022, pukul 17:33
[2]
Setan
[3] H.A.R Tilaar,
Kaleideskop Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), hal. 372.
[4] Pasar dalam
hal ini bukan dalam makna komersial, tapi lebih kepada makna suatu hal yang
menjadi trend atau yang diminati
sebagian besar masyarakat saat ini.
[5] Ibid.
[6] Kemampuan
untuk bangkit dan memulai sesuatu dari nol lagi. Hal ini membutuhkan individu
dengan kapasitas untuk menyesuaikan diri dan bahkan menghadapi stres (SKH
Kompas edisi Sabtu 24 Agustus 2019, hal. 9 Karier
Experd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar