Bagaimana Memaknai Frasa “Menghamba pada Anak”?
Sumber gambar: https://sekolahmenyenangkan.or.id/pendidikan-yang-berhamba-pada-anak/ |
Seorang
teman CGP saya dari kelas lain tidak sepakat dengan kata menghamba pada anak (murid) yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara
(selanjutnya disebut KHD). Sebenarnya, ia mendengar kata itu dari instruktur
yang mengutip pernyataan KHD saat menyampaikan materi. Menurutnya, kata menghamba itu agak kurang pas untuk
kondisi pendidikan saat ini. Sebab, anak-anak sekarang banyak yang kurang
hormat pada guru. Perilaku siswa zaman
ini jauh berbeda dari zaman dulu. Sudah begitu, eksistensi HAM seakan menjadi
perisai ketika mereka diberi hukuman (secara fisik) oleh guru. Begitu
kira-kira kritiknya.
Hal
itu ia sampaikan pada acara sinkronus elaborasi pemahaman modul.1.1 beberapa saat lalu. Padahal, waktu itu instruktur
sudah meminta salah seorang peserta untuk melakukan pernyataan penutup. Artinya, acara sinkronus hendak
selesai. Tetapi, pernyataan itu lantas menjadi pemantik diskusi kembali. Seakan
pertandingan sepakbola pada menit-menit injury
time, diskusi kami kembali jual beli serangan. “Banyak siswa yang disentuh
sedikit saja, mereka langsung melaporkan guru tersebut. Karena itu saya lebih
suka dengan kurikulum zaman dulu yang memberikan hak dan wewenang guru sepenuhnya
untuk mendidik anak dengan caranya sendiri,” sambungnya lebih lengkap.
Sebagai
kawan satu profesi, saya memahami apa yang disuarakan teman itu. Kasus
lapor-malapor guru ke aparat penegak hukum memang sudah jamak kita saksikan
akhir-akhir ini. Bahkan hal itu acap kali memancing amarah kita. Tetapi, apakah
ini berkaitan secara langsung dengan kurikulum? Saya kira tidak demikian. Persoalan
ini lebih bersifat pedagogis. Sebab, cakupan kurikulum lebih luas dari sekadar itu:
ada seperangkat rencana, visi, standar kompetensi, pendidik, media pembelajaran,
alokasi waktu, daya dukung, dan berbagai komponen lainnya. Sepertinya kurang
pas bila dikaitkan dengan dinamika perubahan kurikulum. Lagi pula, HAM bukan
termasuk sistem pendidikan, melainkan supra-sistem.
Lantas,
bagaimana kita maknai kata menghamba pada
frasa menghamba pada anak dalam
konteks ini? Apakah ini tidak terbalik? Kenapa guru yang menghamba? Bukankah
seharusnya murid yang menghamba pada guru?
Barangkali karena pemakaiannya cenderung dilekatkan pada istilah keagamaan,
teman itu merasa kata menghamba tidak
cocok dalam konteks ini. Misalnya, hamba
Allah, menghamba pada Allah, menghambakan diri pada Tuhan, dan seterusnya. Atau,
setidaknya dulu ia juga dipakai pada zaman perbudakan, dan di lingkungan kerajaan:
oleh rakyat atau pelayan kepada raja, keluarga, dan pejabat kerajaan (tuturan
mendaki). Tetapi, seperti yang kita tahu, saat ini zaman perbudakan dan sistem
kerajaan sudah tidak ada sehingga pemakaiannya pun terkesan tidak berterima
lagi.
Meskipun
demikian, ada baiknya kita tengok sedikit ke belakang. Sebab, bagaimanapun
juga, mempelajari makna bahasa berarti mempelajari latar (waktu) kapan suatu bahasa,
khususnya kata, digunakan dalam komunikasi. KHD, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, memang memakai diksi menghamba/berhamba. Dan, ini termasuk
juga pada beberapa buku biografi beliau.
Bila kita amati secara sinkronis, boleh jadi itulah lema yang hidup pada masa
itu untuk merealisasikan totalitas kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya, khususnya dalam mendidik anak.
Namun,
saya tidak berani mengambil kesimpulan buru-buru terhadap hal ini. Saya tidak
punya cukup banyak ilmu dalam sub-disiplin ilmu linguistik tersebut (lingusitik
sinkronik). Hanya, ini pandangan spekulatif setelah saya mencoba membandingkannya
dengan kasus (pada tataran lema) lain. Kata cacat,
misalnya, pada era 90-an atau sebelumnya masih terkesan lumrah untuk
menggambarkan kondisi fisik seseorang. Kata itu cukup intens dipakai baik dalam
ragam tulis maupun lisan. Beberapa tokoh bangsa yang pernah memakai kata ini di
antaranya Prof. Daoed Joesoef (dalam sebuah tulisannya),[1]
Presiden Soeharto (dalam pidatonya),[2]
dan sejumlah tokoh lainnya.
Seiring
waktu kata ini dirasa tidak layak dipakai (peyoratif) sehingga diganti dengan disabilitas atau difabel (different ability). Bahkan, itu diperkuat dengan rekayasa
korpus bahasa melalui Undang-Undang.[3] Mungkin saja saat ini kita mendengar seseorang terpelajar
memakai kata tersebut, tetapi itu cenderung untuk menggambarkan kondisi yang bertentangan
dengan nilai tertentu, bukan fisik seseorang. Misalnya, cacat hukum, cacat moral, cacat naskah, dan sebagainya.
Kata
menghamba memang bukan bermakna
peyoratif, dan tidak ada upaya rekayasa korpus untuk mengganti pemakaiannya di lingkup formal. Dan, memang ada
beberapa orang atau tokoh (pendidikan) memakai kata itu saat ini, termasuk pada
Mars Guru Penggerak, misalnya. Tetapi, itu cenderung mengacu atau merujuk
ungkapan atau pemikiran KHD di atas. Karenanya, kata ini saya kira lebih kepada
ungkapan khas tokoh pendidikan kita untuk menunjukkan kesakralan hubungan guru
dengan murid dalam pendidikan.
Hal
ini tampak jelas bila kita membaca pemikiran atau paradigma pendidikan KHD, khususnya
yang berkaitan dengan praktik mendidik atau interaksi guru dengan anak. Salah satunya
ialah konsep “Tiga Mong”. Mong yang
pertama ialah momong yaitu merawat
dengan tulus dan penuh kasih sayang. Mong
yang kedua ialah among yakni memberi contoh
tentang baik dan buruk tanpa mengambil hak anak agar bisa tumbuh dan berkembang
secara merdeka sesuai dasarnya. Terakhir, ngemong
berarti proses mengamati, menjaga dan merawat agar anak bisa mengembangkan
dirinya, bertanggung jawab, dan disiplin berdasar nilai-nilai yang diperolehnya
sesuai kodratnya.[4]
Jadi,
menghamba di sini tidaklah bisa
disamakan dengan konteks hubungan pembantu dengan majikan. Seorang pembantu
melayani segala keperluan majikan sebagai bentuk tugasnya, sedangkan guru tidak
demikian adanya. Ia melayani segala hal yang diperlukan murid untuk mendukung
tumbuh kembangnya sebagai bentuk tanggung jawab moral keilmuan. Seorang pembantu
harus tunduk pada keinginan majikan, sementara guru tidak memiliki kewajiban
tunduk pada apa yang dikehendaki murid. Ia hanya tunduk atau terikat pada nilai
pedagogis (pedagogical value) yang berlaku
dalam pendidikan.
Intinya
kita tidak bisa mengartikan frasa menghamba
pada anak secara literal. Jika dengan memakai kata menghamba kita merasa khawatir mengarah pada upaya destruktif pada
istilah keagamaan, maka kita bisa saja mengucap mengabdi pada anak sebagai alternatif. Apakah masih terkesan sama? Mungkin
ya, tetapi setidaknya itu lebih terdengar eufemistis. Lagi pula, meminjam kalimat
Prof. Fatimah Djajasudarma, hanya orang awam yang melihat makna kata dari kamus
atau secara leksikal.
Lombok Tengah, 2 November 2022
[1] Daoed Joesoef, Bangunlah Jiwanya
Bangunlah Badannya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018), hal. 237.
[2] Dikutip
dari buku berbahasa indonesia dengan
logis dan gembira karya Iqbal Aji Daryono.
[3]
Holy Adib, Perca-Perca Bahasa, (Yogyakarta: Diva Press, 2020), hal. 109
[4]
Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara; Biografi singkat 1889-1959, (Yogyakarta: Penerbit
garasi, 2014), hal. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar