The Learning Law of Interaction
Sebuah renungan
sumber gambar: https://cermin-dunia.github.io/denah/post/gambar-guru-dan-murid/
Sudah
beberapa kali saya menjadi pemateri pada kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah
(PLS) di sekolah kami. Bukan sombong, boleh jadi rekan-rekan guru melihat rekam
jejak (prestasi) saya yang bagi mereka mungkin lebih tinggi dari pada guru
lainnya. Sehinga mereka merekomendasikan saya mengisi materi dengan topik bimbingan belajar efektif, meskipun saya
sendiri belum merasa maksimal dalam hal itu. Tetapi, mau bagaimana lagi, tidak
mungkin juga, kan, saya tolak permintaan itu? Singkat cerita, akhirnya saya
iya-kan saja.
Hal
pertama yang kemudian muncul dalam benak saya ialah bagaimana membuat
siswa-siswa itu terkesan dengan saya sejak pertemuan pertama. Bukankah pepatah
mengatakan kesan pertama paling lama diingat? Saya pun berupaya mengail kesan
mereka dengan memajang foto-foto prestasi yang pernah saya raih di PPT
presentasi: dari foto saat menerima penghargaan di Jakarta, beberapa karya
tulis yang pernah muat media, buku, hingga beberapa capaian lainnya. Dan, itu
saya bumbui dengan cerita-cerita yang sedap-sedap
pedas layaknya seorang motivator betulan. Di samping untuk menarik kesan,
sebagai seorang guru baru di mata mereka, saya tentu ingin terlihat berwibawa
juga. Dengan begitu, mereka percaya bahwa saya guru yang mampu membawa mereka
berhasil pada mata pelajaran yang saya ampu.
Namun,
apa yang terjadi? Rupanya tanggapan mereka biasa-biasa saja, bahkan terkesan
dingin. Sebagian memang mengangguk-angguk sambil memerhatikan, tetapi mereka
tidak tampak tertarik dengan opening
story (cerita pembuka) yang saya kira mengagumkan. Ada tepuk tangan, juga kesannya
tidak lepas dan cenderung untuk menghargai saja. Saya jadi berpikir apakah ada
yang salah dengan cara penyampaian saya? Apakah gaya bicara saya kurang asyik? Ataukah
mereka memang kurang tertarik dengan topik yang saya sampaikan? Padahal saya
sudah berusah-payah menyiapkan materi presentasi yang menurut saya menarik.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan hingga saya memutuskan mengulanginya
di kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar (KBM). Dan hasilnya ternyata tidak
jauh berbeda, respon mereka tetap saja acuh tak acuh.
Di
sisi lain, seorang teman saya yang dari segi karier dan prestasi biasa-biasa
saja justru selalu dikerumuni siswa (baru) tersebut. Hampir setiap jadwal
mengajar kosong, dia selalu dihampiri siswa. Bahkan, ruangannya selalu ramai,
karena kebetulan dia juga seorang kepala perpustakaan. Intinya, banyak siswa
datang kepadanya dengan berbagai keperluan; dari meminta pendapat, penjelasan
materi, saran, hingga curhat soal masalah pribadi. Dan, semua itu pun dia
layani selama sempat dan mampu.
Ini
cukup mengejutkan. Saya sebagai guru yang digadang-gadang sejak awal sebagai
motivator, kok tidak dikejar-kejar siswa?
Kenapa hal ini bisa terjadi? batin saya.
Diam-diam saya jadi sering mengamati gerak-gerik teman tersebut. Saya sering
mencuri dengar dan pandang ketika berada di ruangannya. Saya memerhatikan pola
komunikasinya dengan siswa, termasuk gaya mengajarnya jika sesekali saya melewati
kelasnya. Dan, dari apa yang saya lakukan itu saya mengambil kesimpulan bahwa rahasia
rekan saya itu ialah “ketertarikan”.
Ya, betul, dia memiliki ketertarikan yang cukup besar pada siswa.
Rupanya
benar apa yang dikatakan Dale Carnegie, kita bisa mendapat lebih banyak teman
dalam dua bulan dengan secara murni menaruh perhatian kepada orang lain
dibandingkan dengan dua tahun berusaha membuat orang lain tertarik pada diri
kita.[1] Ya, jadi kuncinya adalah ketertarikan. Tentu saja ketertarikan
dalam arti yang positif. Terdengar sederhana, bukan? Tetapi, lihat, dengan
ketertarikan seseorang jadi punya perhatian kepada orang lain. Dengan
ketertarikan kita jadi peduli dengan orang lain. Dengan ketertarikan,
komunikasi jadi berlangsung hangat, cair, dan mengalir.
Demikian
yang saya lihat pada diri rekan saya itu. Ketertarikan mendorongnya untuk
menggali minat, potensi, bahkan masalah siswa. Ketertarikan membuatnya enggan
menolak ketika dia dibawakan seabrek masalah sekalipun. Ketertarikan itu
melahirkan kepedulian yang akhirnya mendorong dirinya untuk mencarikan mereka
solusi atas permasalahan yang mereka keluhkan. Ketertarikan pada (dunia) siswa
membuatnya menjadi pribadi terbuka bagi mereka yang ingin menyampaikan keluh
kesahnya, Singkatnya, pada orang seperti dialah saya melihat law of interaction,[2]
yakni hukum ketertarikan dalam interaksi: seorang akan cenderung tertarik pada
orang yang tertarik (menaruh perhatian) padanya.
Dalam
law of attraction, semesta akan
mendukung apa yang benar-benar pikiran kita pusatkan. Sebab, dengan begitu
segala energi yang kita miliki akan kita curahkan padanya. Dalam hal interaction (interaksi), seseorang yang
dari dalam hatinya sudah ada ketertarikan kepada orang lain, perhatiannya cenderung
tertaut padanya. Sehingga tanpa disadari dia juga akan mengalirkan sebagian
besar energi padanya. Ketika hal itu dia lakukan maka orang lain akan memberi
reaksi yang sama. Sederhananya, seseorang akan membalas apa yang telah kita
lakukan padanya, yang dalam hal ini berupa perilaku, bukan sebatas imbalan atau
jasa.
Sejak
saat itu saya memahami bahwa siswa ternyata tidak memerlukan sosok guru yang
membesar-besarkan diri di hadapan mereka. Melainkan mereka tertarik dengan guru
berjiwa besar yang bebesar hati memahami mereka. Karena mereka percaya sosok
guru seperti itulah yang mampu memberinya solusi atas persoalan yang mereka
hadapi. Mereka memang tidak akan pernah menanggalkan rasa bakti kepada guru, tetapi hati mereka tertambat
pada tipikal guru seperti itu.
Saya
tentu tidak perlu berubah menjadi rekan saya itu untuk mendapat simpati siswa.
Hanya, dari dia saya belajar makna law of
interaction, bahwa menjalin interaksi hangat dan intens dengan siswa
merupakan hal yang penting dalam menunjang ekosistem pembelajaran di sekolah. Sebentar,
apakah kondisi ini berdampak pada keberhasilan KBM?
Lombok Tengah, 8 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar