Menilik
Pemakaian Kiasan dalam Tindak Tutur Masyarakat Sasak
Marzuki
Wardi
Esai ini pernah dimuat di kolom Selasa Bahasa SKH Lombok Post pada 4 Oktober 2022
Masyarakat
Sasak sangat suka memakai kiasan dalam tindak tutur sehari-hari. Untuk memahami
ungkapan mereka, diperlukan kejelian dan kemampuan (pengalaman) berbahasa yang
cukup memadai. Karenanya, tidak heran seorang teman saya yang masih cukup muda,
bila hari, sontak kaget ketika ditanya, “Ye
tabah kupi, ne?”[1]
oleh teman saya yang lebih senior. Kebetulan pagi itu dia membuat dua gelas
kopi: satu untuknya sendiri dan satunya lagi untuk teman yang lain. Pagi itu
hanya ada kami bertiga di dalam ruang perpustakaan sekolah, dan saya sendiri
tidak sedang minum kopi.
Setelah
cukup lama melongo, dia menimpali, “Ape
kenem? (Maksudnya apa?)”
“Ndeq araq baturn ne? (Ndak ada temannya
ini?),” balas teman satunya lagi. Namun, lagi-lagi teman yang membuat kopi
tersenyum, belum bisa memahami pertanyaan tersebut. Sontak saya tertawa. Teman
yang sudah dua kali bertanya itu juga tertawa. Tidak ketinggalan, si pembuat
kopi juga, meskipun lebih tepatnya ia menertawai kedongkolannya.
Teman
saya itu bukanlah penutur bahasa daerah lain. Dia juga seorang penutur bahasa
Sasak. Bahkan, dia tergolong penutur Sasak tulen. Saya bilang begitu karena
kami berdialek sama meriak-meriku, tapi
aksen dialeknya nyangket (sangat
kental). Kalau di Jawa mungkin disebut medok.
Maksud saya, bagaimana mungkin dia tidak memahami ungkapan itu? Tetapi, dia
memang masih relatif muda dari kami berdua. Lagi pula, kesamaan bahasa, lebih
khusus dialek, saya kira bukan berarti otomatis menunjukkan kesamaan kompetensi
berbahasa seseorang. Lebih-lebih kalimat di atas memang berupa kiasan.
Hal
ini saya kira cukup menarik untuk dibahas. Sejauh pengamatan saya, ciri khas
tindak tutur masyarakat Sasak memang sangat lekat dengan penggunaan bahasa
sindiran, majas, dan peribahasa dalam menyampaikan pesan atau tujuannya. Dan,
itu berlaku hampir di semua ragam kondisi tutur atau komunikasi. Dalam
interaksi jual beli misalnya, sering kita mendengar seorang pembeli
mengungkapkan segerah maraq paku Belande
laloq[2]
untuk menyindir sikap kukuh seorang penjual yang mempertahankan harga penjualan
barang.
Pertanyaannya,
kenapa mesti paku Belanda? Kenapa bukan
paku Indonesia, paku Jerman, paku
Inggris, dan lainnya? Tentu saja karena ini merujuk ke pengetahuan
masyarakat Sasak mengenai paku Belanda yang
kuat dan kokoh. Dari mana mereka tahu kuat dan kokoh? Mungkin saja karena
mereka melihat banyak sekali bangunan peninggalan Belanda yang saat ini masih
berdiri kokoh di gumi Sasak.
Salah
satu contoh ungkapan dalam konteks bertamu yang lebih mirip dengan pertanyaan ye tabah kupi ne? adalah ye dalem sumur leq te? ‘apa di sini
sumurnya dalam’. Pertanyaan ini sering
kali digunakan sebagai gurauan atau sindiran manakala tuan rumah tidak
menyuguhkan air atau kopi kepada tamunya. Sumur
yang dalam berarti airnya sulit dijangkau. Karena sulit dijangkau, jadi
wajar air tak disediakan di sana. Barangkali maknanya bisa ditafsirkan seperti
ini.
Mari
kita amati konsekuensi yang mungkin terjadi pada dua contoh ungkapan di atas.
Pada ungkapan paku Belande, andai
saja si penjual baru pertama kali mendengar ungkapan tersebut, dan tidak
mengetahui sifat paku Belande yang
kuat dan kokoh, bisa saja pesan yang dia tangkap ialah kualitas barang
dagangannya dipuji bagus sehingga boleh jadi dia semakin mempertahankan
harganya. Apakah ini mungkin? Mungkin saja ya, mungkin juga tidak. Tetapi,
kalau si penjual tidak memahinya, kemungkinan dia tidak akan menggubrisnya.
Pada
pertanyaan ye dalem sumur leq te? maknanya
dapat dengan mudah dipahami si pendengar. Akan tetapi, karena terdengar mudah
dan biasa, bisa saja dia akan menyahut ya
atau tidak tanpa beranjak
mengambil minuman atau kopi. Artinya, dia memahami kalimat itu sebagai makna literal
atau harfiah, bukan sebagai sebuah sindiran agar dia segera menyuguhkan air
minum. Jika kondisi ini terjadi, lawan bicara biasanya akan memilih
menyampaikan maksud yang sebenarnya secara langsung, yakni meminta air secara
terang-terangan. Itu pun kalau hubungan mereka cukup akrab.
Artinya,
jika kita tidak bisa menangkap pesan yang disampaikan oleh penutur, baik pada
contoh satu maupun dua, maka komunikasi tidak dapat berjalan efektif. Dalam
kaitannya dengan kasus teman saya di atas, jika posisinya sebagai seorang
penutur, barangkali kasus ini termasuk kategori mistake. Artinya, dia memang betul-betul tidak memahami ungkapan
itu. Bukan berarti dia lupa atau kurang perhatian. Sebab, ketika ditanya kupi doang, ndeq araq sedaq? (hanya
kopi, tidak ada jajan?), dia baru ketawa dan tahu bahwa maksud pertanyaan
pertama itu ialah menanyakan penganan atau kudapan untuk menyertai kopi.
Mengamati
fenomena berbahasa seperti ini, seketika hal-hal yang muskil terbayang di benak
saya. Misalnya, kenapa pada saat penganan atau kudapan yang tidak disertai
kopi, kita tidak mengatakan la tabah jaje ne.[3]
Saya yakin Anda pasti juga tidak pernah mengatakan hal tersebut, atau minimal
pernah mendengarnya. Apakah ini menandakan bahwa kopi merupakan sajian wajib
bagi tamu? Saya kira demikian adanya. Mengingat orang Sasak lebih cenderung
mengatakan ngupi ne[4]
ketimbang bejaje ne[5]
untuk menawari orang yang lewat di depan rumahnya, meskipun dua-duanya
tersedia di depannya: kopi dan jajan.
Apakah
Anda sepakat? Kalau tidak, dan kalau Anda penutur Sasak cobalah sesekali
menawari orang dengan ungkapan bejaje ne,
atau katakan pada tamu Anda silaq
keloran jaje tie, laguq ye tabah[6]
ketika tidak ada kopi atau minuman
lain di sampingnya. Bukankah itu terdengar aneh, asing, dan lucu? Tentu masih banyak
contoh ekspresi seperti ini yang acap dipakai dalam tindak tutur keseharian
masyarakat Sasak. Namun, karena keterbatasan ruang pada media, kita akan
membahasnya di lain kesempatan.
Lombok Tengah, 4
September 2022.
12:20 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar