Dimuat di Harian Duta edisi Sabtu, 27 Januari 2018 |
Mencegah Korupsi Melalui Karya
Sastra
Oleh: Marzuki Wardi
Judul Buku : Lelucon Para Koruptor
Penulis : Agus Noor
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Pertama, Desember 2017
Tebal : 272 Halaman
ISBN : 978-602-391-472-2
Ukuran : 14 x 20 cm
Ketika
orang-orang di dunia maya sibuk menghujat, merundung, mencaci maki para pelaku
korupsi (koruptor) kita belum lama ini, Agus Noor malah sebaliknya. Ia sibuk menghimpun
dan mengemas kata-katanya untuk (seolah) membela mereka melalui beberapa cerita
pendeknya. Sayangnya, pembelaan tersebut bukanlah pembelaan murni. Anda mungkin
pernah mendengar pepatah yang mengatakan “menjunjung seseorang dengan bambu
muda”, bukan? Itulah kiranya yang
dilakukan Agus Noor dalam buah pikiran terbarunya yang berjudul “Lelucon Para
Koruptor” ini. Apalah artinya dijunjung jika alat yang dipakai itu justru
mencelakai kita.
Sedikit
berbeda dengan Edy Mulyono. Dalam pengantarnya, ia menyebut dagelan, gojekan,
lelucon, yang diselipkan dalam setiap cerpen di buku ini adalah upaya mimikri dari seorang Agus Noor. Yakni
upaya penyesuaian diri dengan lingkungan atau keadaan untuk melindungi diri
dari bahaya.
Entah
apapun istilahnya. Yang pasti Agus Noor telah mampu menghadirkan bacaan menarik
yang dapat mengubah cerita menjadi ceria. Sehingga dua belas cerpen dalam buku
ini tak terasa dapat terselesaikan dalam (barangkali) waktu sekali duduk.
Pada
cerpen berjudul “Koruptor Kita Tercinta” (hal. 65), misalnya. Siapa kiranya
yang tak akan terhibur bahkan tertawa geli dengan ungkapan seperti ini?
“Para
koruptor itu tidak menyadari bahwa korupsi itu sebuah seni. Perlu imajinasi
seperti seorang seniman menghasilkan karya yang memesona. Korupsi itu seni
tingkat tinggi. Emm, seperti apa itu…eee…istilah dalam seni?” kata seorang
koruptor yang diwawancarai seorang wartawan (tokoh aku). Lalu, si wartawan
menjawab dengan datar, “Seni adiluhung.” Dan si koruptor menukas kembali, “Ya,
seni adiluhung. Korupsi itu perlu kehalusan budi. Dengan halus mengambil
sesuatu tanpa seorang pun tahu. Mencuri, tapi yang dicuri tak pernah merasa
kalau dirinya dicuri. Jadi, sekali lagi, korupsi itu seni…”
Lebih
kocak dan ironis lagi pada cerpen berjudul “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”
(hal. 140). Konon, seorang warga miskin di suatu kampung sangat bahagia ketika
mengetahui dirinya resmi menjadi orang miskin sejak ia memiliki Kartu Tanda
Miskin. Suatu hari ia bercerita tentang temannya yang sukses menjadi orang miskin.
“Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier
jadi pengemis, untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB,
satu di UI, satu di UGM, dan satunya di UNDIP.”
Lalu
si tokoh “aku” yang diceritakan jadi terkagum-kagum, “Wah, hebat banget! Semua
kuliah, ya?” tanyanya. Dan si miskin pun dengan polos menjawab, “Tidak. Semua
jadi pengemis di kampus itu.”
Bukan
hanya tertawa, Anda mungkin akan merasa miris dan jengkel setelah membaca
cerita-cerita di atas. Pada cerita pertama, misalnya. Bagaimana mungkin
seseorang penjahat luar biasa (koruptor) bisa berkata dengan seenaknya bahwa
koruptor itu seni? Sedangkan kita tahu bahwa seni itu merupakan hal yang indah
dan estetik? Begitu juga pada cerita kedua. Kesuksesan si miskin “merintis
karier menjadi orang miskin” tentu bukanlah ungkapan yang biasa kita dengar.
Sehingga mengundang perasaan geli, getir, jengkel, kesal, miris, ironis, atas
fenomena ketimpangan ekonomi dan sosial di negeri ini. Sementara, di sisi lain,
para koruptor dengan seenaknya, tanpa rasa bersalah, dan makin terang-terangan
menguras kekayaan Negara.
Namun,
Agus Noor, sebagai seorang sastrawan kawakan tentu bukan tidak memahami hal-hal
tersebut. Di sinilah justru kepiawaiannya dalam melibatkan pembaca secara
emosional ke dalam cerita-ceritanya. Maka, semakin pembaca merasa jengkel pada
koruptor dalam cerita-cerita ini, semakin berhasil lah penulis mempengaruhi pembaca
untuk menghindari tindakan-tindakan koruptif. Oleh karena itu, bagi pencegahan
budaya anti-korupsi melalui karya sastra, buku ini layak direkomendasikan.
Lombok
Tengah, 04 Januari 2018.
Marzuki Wardi, selain
berprofesi sebagai guru di sebuah SMP swasta di Lombok Tengah (SMP Islam
Al-Ikhlashiyah), ia juga menulis cerpen, esai dan resensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar