Campur Kode (Code Mixing) dalam Berbahasa
Oleh: Wardie Pena
Beberapa
saat yang lalu, dalam sebuah acara kontes musik dangdut terbesar di tingkat
Asia (Dangdut Academy), seorang komentator dari Indonesia, Soimah, mengkritik pedas
penampilan salah seorang peserta yang juga berasal dari Indonesia. Sehingga
sontak penonton di tempat itu tercengang, seakan tak menduga bahwa peserta yang
(mungkin) mereka idolakan akan dikritik habis-habisan
oleh sang komentator. Termasuk, si kontestan sendiri yang tengah disaksikan
ribuan bahkan mungkin jutaan mata masyarakat Indonesia, hanya bisa tertegun dan
menunduk. Sementara, Soimah, sebagai seorang komentator, sampai meneteskan air
mata meluapkan semua isi kepalanya.
Yang
menarik perhatian saya untuk membahas tindakan penyanyi sekaligus artis senior
tersebut adalah bukan komentarnya yang cukup frontal. Karena hal itu beliau
lakukan sesuai dengan kapasitasnya dalam acara yang disiarkan oleh stasiun
televisi swasta nasional itu. Akan tetapi, satu kata yang berungkali disebut
yaitu kata perform, baik dalam
penggunaannya sebagai kata benda maupun kata kerja (pasif). Sebut saja, pada
pernyataan beliau yang kurang lebih berbunyi, “Di perform yang lalu…” untuk menyebut “penampilan” atau “pertunjukan”.
Kemudian, sebagai kata kerja, beliau menyatakan sebuah kalimat yang kurang
lebih berbunyi, “…Sekarang di-perform lagi…”
sebagai ganti dari ungkapan “sekarang ditampilkan lagi”.
Kata
perform yang diucapkan beliau di
atas, tentu sama-sama kita ketahui bukan Bahasa Indonesia. Melainkan, murni kosakata
dalam Bahasa Inggris yang berfungsi sebagai kata kerja. Kecuali jika kata
tersebut dirubah dengan kata “performa”. Maksud
saya, selain terkesan penggunaan kurang tepat, kenapa dalam acara-acara publik
kita hampir selalu melakukan campur kode atau code mixing dalam berbahasa Indonesia?
Tidak
hanya pada acara bergengsi tersebut, fenomena campur kode memang bukanlah
sebuah hal yang baru dalam tindak tutur berbahasa Indonesia. Dalam film-film,
terutama sinetron remaja, pun seringkali kita mendengar kata atau istilah-istilah
asing diselipkan dalam beberapa adegan. Sebut saja kata atau ungkapan-ungkapan
seperti: please, tell me, thanks, help
me, sorry, shut up, come on, oh God, I think, dan lain sebagainya, hampir
pasti Anda dengar, bukan?
Sejauh
ini, tidak ada larangan memang dalam melakukan campur kode. Setiap orang bebas
dan berhak berbicara dengan gayanya sendiri sesuka hati. Tapi, bagaimana jika
itu terjadi di acara-acara umum yang disaksikan khalayak dan kemudian penuturnya
adalah seorang figur publik? Bukan tidak mungkin para penggemarnya akan
mengikuti gaya bertutur idolanya. Lain ceritanya bila yang berbicara adalah seorang
awam atau orang yang tidak punya pengaruh secara langsung di lingkungan
sehari-hari.
Maka,
dalam kasus ini, jika saja Soimah punya penggemar seribu orang, kemudian
setengah dari mereka mengikuti gaya bicaranya, besar kemungkinan kata “pertunjukan” dalam keseharian penggemar
tersebut akan bergeser menjadi “perform”.
Itu baru terjadi pada satu orang dan satu kosakata, bagaimana jika dua,
tiga, empat, bahkan ratusan orang selebritis dengan beragam kosakata? Cikal
bakal pergeseran bahasa (language shift)
sangatlah mungkin berawal dari tindakan sederhana yang kita anggap biasa itu.
Saya
tentu tidak bermaksud menjustifikasi atau menghakimi tindakan berbahasa
tersebut. Dan ada kalanya memang suatu kosakata atau frasa bahasa asing sulit
untuk disesuaikan dengan (arti) kosakata dalam Bahasa Indonesia. Sebagai contoh,
kata “in-service” dalam Bahasa
Inggris, yang digunakan untuk
menunjukkan suatu kegiatan yang berlangsung pada saat atau jam (masa) kerja. “Pertichor” yang belum memiliki istilah Bahasa
Indonesia, yang berarti bau khas yang bersumber dari tanah setelah diguyur
hujan, dan kosakata atau frasa lainnya yang secara leksikal sulit untuk disesuaikan
ke dalam bahasa Indonesia. Maka, hal ini mensyaratkan penuturnya untuk
melakukan campur kode dengan menyisipkan kosakata asli dimaksud ke dalam
kalimat atau ungkapan Bahasa Indonesia.
Disamping
karena kesulitan menemukan kosakata yang sesuai di atas, faktor yang bisa saja
menyebabkan terjadinya campur kode adalah ketika lawan bicara kita seorang
penutur asing. Penutur bahasa Inggris yang belum terlalu fasih berbahasa
Indonesia, misalnya. Maka, dalam suatu perbincangan, kita bisa saja mengalih
bahasa (dalam tataran leksikal ataupun sintaksis) ke dalam Bahasa Inggris
dengan tujuan untuk menjelaskan maksud ungkapan yang tidak dipahami oleh lawan
bicara tersebut.
Artinya,
dalam konteks tindak tutur kita sehari-hari, campur kode bukanlah sebuah
kemurtadan berbahasa. Namun, terlepas dari persoalan boleh atau tidaknya, selama
kita bisa menggunakan Bahasa Indonesia sutuhnya dengan baik dan benar, kenapa
harus melakukan campur kode? Apalagi pada acara-acara yang disaksikan khalayak dengan
penutur seorang figur publik yang memiliki pengaruh besar secara langsung ke
khalayak umum.
Wardie Pena,
selain berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris pada jenjang SMP di Lombok
Tengah, NTB, ia juga aktif menulis Cerpen, Esai dan Resensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar