Mengenal Filosofi Pendidikan
Progresif
Oleh: Marzuki Wardi
![]() |
Sumber: dokumen pribadi |
Judul
Buku : Pendidikan Berbasis
Pengalaman
Penulis : John Dewey
Penerbit : IRCiSoD
Terbit : Juli, 2025
Tebal : 108 halaman
Jenis : nonfiksi (buku teori)
Buku ini
diterjemahkan dari judul asli dalam bahasa Inggris Experience and Pedagogy. Buku
yang pertama kali (judul asli) diterbitkan pada tahun 1938 ini adalah karya seorang filsuf
kenamaan Amerika Serikat yang juga banyak mengkaji masalah psikologi,
pendidikan, dan sosial. Ia juga dikenal sebagai perintis pemikiran pragmatisme.
Buku yang cukup tipis ini adalah salah satu karya penting dan berpengaruh dalam
dunia pendidikan. Faktanya, meskipun telah berusia lebih dari seratus tahun, ia
masih menjadi rujukan di bidang pendidikan di berbagai negara, termasuk di
Indonesia. Karena itulah saya kira buku ini masih cukup relevan untuk diulas.
Secara garis besar
buku ini mengurai dua jenis pendidikan yang memiliki landasan yang berbeda⸺meskipun
porsinya lebih banyak mengenalkan pendidikan progresif⸺yaitu pendidikan
tradisional yang banyak diterapakan di lembaga pendidikan formal dan pendidikan
progresif. Menurut Dewey, pendidikan tradisional berangkat dari pandangan bahwa
perkembangan anak dibentuk dari luar (faktor eksternal). Dengan demikian,
kurikulum pendidikan terdiri dari kumpulan informasi dan keterampilan yang
telah dikembangkan di masa lalu, dan tugas sekolah ialah mewariskannya kepada
generasi baru. Sementara, pendidikan progresif berangkat dari pandangan bahwa
perkembangan berasal dari dalam diri (internal) anak. Karena itu, materi pelajaran
harus disusun berdasarkan pengalaman anak dalam kehidupan nyata (halaman 15).
Dewey berpandangan bahwa
pendidikan tradisional merupakan bentuk pemaksaan dari atas dan luar individu
anak. Tugas anak hanya menerima materi, cara belajar, dan apa saja yang sudah
ditetapkan oleh standar orang dewasa yang dalam hal ini adalah guru dan pemangku
kebijakan. Akibatnya, jika murid menolak menerimanya, baik dengan membolos
secara fisik maupun dengan membiarkan pikirannya melayang hingga akhirnya
menimbulkan rasa muak terhadap materi pelajaran tersebut, maka kesalahan
terletak pada diri murid itu sendiri, bukan pada materi atau cara penyampaian
guru. Karena itu, keberhasilan pendidikan model ini diukur dari siapa yang
lebih banyak menguasai materi pelajaran yang bersifat hapalan.
Pendidikan progresif,
di sisi lain, berangkat dari pengembangan internal anak. Aspek yang menjadi
prioritas dalam pendidikan ini ialah ekspresi dan pengembangan individualitas. Terhadap
disiplin eksternal ditawarkan aktivitas bebas, terhadap pembelajaran dari buku
dan guru diganti dengan pengalaman, terhadap penguasaan keterampilan dan teknik
secara terpisah lewat hapalan dan latihan ditawarkan penguasaan keterampilan
tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang secara langsung memiliki
daya tarik dan penting bagi kehidupan…(halaman 19). Singkatnya, pendidikan ini
bercorak demokratis; dari, oleh, dan untuk pengalaman.
Namun demikian, tentu
saja pengalaman harus punya kriteria. Dalam hal ini Dewey menyebutkan bahwa
pengalaman haruslah bersifat edukatif dan mendukung pengembangan individual
anak secara berkelanjutan (kesinambungan). Pertumbuhan saja tidak cukup,
melainkan seorang pendidik juga mesti memastikan ke mana arah pertumbuhan itu
berlangsung, dan apa tujuan akhirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat saja
berkembang ke arah negatif seperti mencuri, terlibat gangster, atau perilaku
buruk lainnya. Namun, hal tersebut tentu saja tidak mendukung perkembangan individu,
melainkan justru menghambat. Oleh karenanya, itu tidak termasuk pengalaman,
sebab pengalaman harus diukur dari aspek kebermanfaatan.
Pertanyaannya,
bagaimana mendesain dan menentukan materi pelajaran dalam pendidikan progresif
sebagaimana layaknya pendidikan tradisional? Saya kira inilah yang menjadi
kesulitan kita dalam menerapkan pendidikan progresif, terlebih jikalau kita
belum memahami sepenuhnya landasan filosofi yang mendasari pendidikan ini. Dewey
sendiri mengakui bahwa titik terlemah dari sekolah-sekolah progresif terletak
pada pemilihan dan pengorganisasian materi pelajaran secara intelektual. Suatu
kurikulum tunggal untuk semua sekolah progresif adalah hal yang mustahil,
karena hal itu mengingkari prinsip dasarnya (halaman 89).
Namun, ia menekankan pentingnya
partisipasi murid dalam merumuskan tujuan yang mengarahkannya dalam proses
belajar. Berkaitan dengan ini, Dewey memandang bahwa perumusan tujuan merupakan
proses intelektual yang cukup kompleks dengan melibatkan (1) pengamatan
terhadap kondisi sekitar; (2) pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dalam
situasi serupa di masa lalu, pengetahuan yang diperoleh sebagian dari ingatan
dan sebagian dari informasi, nasihat, dan peringatan dari orang-orang yang
telah memiliki pengalaman yang lebih luas; dan (3) penilaian yang menyatukan
apa yang diamati dan apa yang diingat untuk melihat apa maknanya (halaman 76-77).
Buku ini memang
bersifat teoritis. Artinya, ia tidak mengurai filosofi pendidikan progresif mulai
teori hingga praktik⸺dalam arti desain kurikulum. Namun, Dewey memberi kita pandangan
yang mendalam mengenai hakikat pendidikan progresif yang berbasis pengalaman.
Ia juga seakan mengajak kita menanyakan sejauh mana pendekatan pendidikan
tradisional berhasil mengembangkan individu anak? Di samping itu, ia juga
mengajak kita, khususnya pendidik, untuk merenungi apakah selama ini kita sudah
menyajikan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhan individu anak atau justru
kita cenderung memandang anak dengan ukuran kecerdasan orang dewasa alih-alih
memerhatikan pengalaman (perkembangan individual) mereka? Untuk itulah buku ini
saya kira penting untuk dibaca, khususnya bagi pendidik, baik yang sudah senior
maupun yang baru mulai meniti kariernya sekalipun.
Sintung, 6 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar