Romantika Sepucuk Edelweis
Oleh: Wardie Pena
Dimuat di Info Timur edisi Sabtu, 22 Desember 2017
Jam dinding sudah menginjak angka 8. Di luar hujan mulai turun.
Beberapa menu makanan yang kumasak tadi sudah berjejeran di atas meja saji. Aku
duduk sendirian di sofa, mengelus-elus perutku yang semakin hari kian membuncit
sambil menunggu kepulangan suamiku, Mas Pandi. Sesekali aku melirik keluar dan
menyingkap tirai jendela dengan harapan dia sudah berada di depan gerbang. Akan
tetapi, beberapa jam aku sudah menunggu, tubuhnya yang jangkung itu belum jua
hinggap di mataku.
Akhir-akhir ini, dia memang sering pulang terlambat. Bahkan, dia
sesekali pulang larut malam. Tentu saja aku tahu dia tak pergi hura-hura,
poya-poya, atau entah aktifitas lain yang tidak bermanfaat. Melainkan, Mas
Pandi pergi bekerja untukku dan seorang anak yang masih kukandung dalam perutku.
Dan barangkali, saat ini dia sedang banyak job sehingga jadwal kerjanya jadi
sedikit berantakan.
Tetangga-tetanggaku bilang aku beruntung menikah dengan dia. “Pandi
itu selain orangnya ganteng dan baik hati, dia juga pekerja keras,” kata
mereka. Tentu, sebagai seorang istri, aku senang mendengar hal itu. Namun, di
sisi lain, ketidak hadiran Mas Pandi di sampingku saat ini membuat pikiranku
bukan merasa seperti wanita beruntung itu. Bagaimanapun, ada satu hal yang
lebih penting dari sekedar soal materi, yaitu kebersamaan. Dan orang-orang tahu
itu. Apalagi, kami masih tergolong pasangan baru.
Aku kembali menghempaskan tubuh ke atas sofa dan membuka WA lalu menulis
pesan, tapi tampaknya WA Mas Pandi aktif beberapa jam yang lalu. Kucoba
jejaring sosial yang lain seperti BBM, fecbook, twitter, dengan pikiran kali
saja Mas Pandi sedang istirahat lalu berkesempatan membuka salah satu diantara
media sosial tersebut. Namun, hasilnya tetap sama. Berkali-kali aku juga sudah menghubungi
nomor ponselnya, tapi masih tetap tidak aktif. Aku pun resah dan bosan
menghadapi situasi seperti ini.
Mataku kini terseret ke sepucuk edelweis yang terletak di atas
almari ruang tamu. Hanya benda itu satu-satunya yang dapat membuatku sedikit
tenang dan tersenyum saat ini. Sebenarnya aku tidak suka bunga atau mengoleksi
bunga-bunga lain. Akan tetapi, karena bunga itu pemberian dari Mas Pandi saat
kami pacaran dulu, aku jadi menyukainya. Kau tahu, salah satu hal yang pasti
kau cari di saat orang yang kau sayangi tak berada di sisimu adalah benda yang
paling berkesan saat kau bersamanya. Dan itulah kenapa, beberapa tangkai edelweis
yang direndam air dengan vas transparan itu, mampu mengobati rinduku sementara
waktu Mas Pandi tak di sisiku.
“Bunga ini tak bisa mati, Na. Karena itu, dia adalah pelambang keabadian.
Jadi, kau paham kenapa aku kasih bunga ini padamu, bukan mawar yang harum?” tulis
Mas Pandi pada secarik kertas suatu sore. Aku ingat, waktu itu adalah
akhir-akhir masa kuliah kami.
Senyumku tambah melebar mengingat itu. Yang membuatku tersenyum
sebetulnya bukan kata-kata Mas Pandi, akan tetapi lebih kepada caranya
menyampaikan perasaannya padaku. Dulu Mas Pandi memberikan bunga itu bukan secara
langsung berhadapan. Tapi, dia mengirimiku melalui jasa post kilat lengkap
dengan cap post di sampulnya. Tentu aneh, bukan? Kau tahu, aku bilang itu aneh
karena hampir setiap hari kami bertemu di kampus. Namun, kenapa Mas Pandi tak
memberiku secara langsung saja?
Siang menjelang sore itu aku baru pulang kuliah ketika seorang laki-laki
berkumis dengan seragam oranye mendatangiku dan mengulurkan sebuah kotak
terbungkus kertas berwarna cokelat muda polos. Seperti kotak kado ulang tahun,
tapi minim dekorasi. Aku penasaran. Waktu kutanya juru antar post itu isinya
apa? Dia bilang tidak tahu, karena tugasnya hanya mengantar barang-barang saja
tanpa mengetahui detail isi barang. Dan setelah kubuka, baru kutahu rupanya
kotak itu dari Mas Pandi dan berisi sepucuk edelweis di dalamnya disertai
selembar kertas.
Mulutku tak henti-hentinya mengulum senyum sehingga apabila ada orang
yang melihatku waktu itu, pastilah mengganggapku alumni rumah rehabilitasi
jiwa. Maka, kulanjutkan senyumku ke dalam kamar dengan membaca secarik kertas
yang menyertai bunga edelweis itu sendirian. Di sana Mas Pandi menuliskan
segala tentang perasaannya padaku. “Maaf ya, aku melakukannya dengan cara ini?
Kamu boleh tak suka, asal kamu jangan murka padaku,” tulisnya di bagian awal.
Aku tahu dia melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Mas Pandi
itu adalah satu-satunya mahasiswa paling pemalu di kampus. Tapi, pemalunya
hanya pada saat berhadapan dengan wanita yang dia sukai, katanya. Barangkali itulah
alasan Mas Pandi selalu merah mukanya jika berbicara denganku saat kami
sesekali mendiskusikan tugas kampus. Kata-katanya putus-putus layaknya seorang bayi
yang masih cadel belajar ngomong. Lalu tak tahan lama-lama duduk di dekatku, lalu
tiba-tiba dia sudah beralih ke dekat teman lain yang cowok. Di saat-saat
seperti itu, teman-teman selalu tertawa dibuatnya. Maka semakin Mas Pandi
ditertawai, makin pucatlah wajahnya seperti orang habis kena setrum.
Kami memang sudah berteman cukup lama. Dia adalah seorang teman
kelas di kampus. Namun, layaknya teman-teman cowok lain di kelas, kami hanya
berteman dan bahkan sulit untuk dikatakan akrab. Sebab, begitulah adanya sikap
Mas Pandi padaku. Kemudian, mengenai kenapa dia memberikanku setangkai bunga
edelweis, bukan bunga mawar atau bunga-bunga lainnya yang asri, adalah tidak
lain karena Mas Pandi itu seorang pemuncak. Ya, dia sangat suka memuncak. Jadi,
setiap kali berbicara, kata-kata perihal gunung pastilah sesekali terucap dari
mulutnya yang tipis.
Dan sejak Mas Pandi mengirimiku edelweis itu, entah kenapa sikapnya
jadi sedikit berubah padaku. Dia semakin jarang kutemui di kampus. Kecuali
hanya pada saat belajar, kemudian dia keluar entah ke mana? Aku sering
menghubunginya melalui sms, telpon, tapi seringkali tak terbalas. Kondisi itu
membuatku jadi penasaran dan bertanya-tanya, ada apa dengannya? Aku pun selalu
menghampiri dan mengajaknya bicara seolah aku yang benar-benar membutuhkan Mas
Pandi, tapi dia suka berkelit sambil tersenyum tanpa alasan yang pasti. Itulah saat-saat
pertama di mana aku tak sadar diriku telah terjerambab cinta laki-laki pemalu.
Kau tahu, orang pemalu itu ternyata berbahaya. Karena dia suka
menyatakan sesuatu yang membuatnya malu dengan cara yang tak sama dengan orang
lain yang percaya diri. Hal tersebutlah yang kemudian membuatnya unik dan
berbeda dan membuat seorang wanita terkesan. Sebab itu, kawan, hati-hatilah
dengan orang pemalu. Ia pandai membuat kejutan dengan seribu cara yang tak
diduga. Dan itulah yang kualami pada Mas Pandi. Aku yang selalu mengajaknya
untuk bicara lebih dahulu. Aku yang setiap pagi menunggu kedatangannya di dekat
gerbang kampus. Diam-diam aku mulai benci bila melihatnya bicara dengan gadis
lain. Padahal dia sendiri tak pernah melakukan itu padaku.
Hingga suatu hari di penghujung semester, aku mengajak Mas Pandi
bertemu empat mata di sudut taman kota. Aku ingin tahu alasan kenapa hal itu
dilakukannya padaku.
“Maafin aku, Gina…” katanya terputus mengawali percakapan kami sore
itu, yang kuduga kalimat lanjutanya seperti ini: aku sudah punya tunangan atau
aku sudah punya pacar, atau kalimat-kalimat lain yang serupa.
“Aku tahu, mungkin kamu tak
suka dengan caraku atau malah tak suka dengan bunga itu sehingga kamu ngajakin
ketemu lebih dulu. Kau tahu sendiri kan aku ini hanyalah seorang laki-laki pemuncak.
Eh, tapi kau tahu, memetik bunga itu sekarang resikonya berat, bisa dipidana,
karena itu bunga langka dan dilindungi pemerintah,” katanya melanjutkan pembicaraan.
“Wah, kalau begitu kita bisa dipidana dan dipenjara, dong?”
jawabku.
“Ah, nggak apa-apa, kok. Tenang saja, yang penting di penjara kita
bisa bersama. Hehe.”
Runtuhlah rasanya langit di atasku dengan kalimat Mas Pandi. Ingin
saja kugeser tempat dudukku lalu bicara lebih dekat tanpa jarak dengannya.
Tapi, kursi yang kududki dibuat permanen dengan bahan beton, sehingga aku tak
mungkin bisa melakukan itu. Aku hanya bisa menunduk dengan mulut bungkam. Dia juga
turut menunduk. Kami sama-sama saling melihat ujung sepatu yang berkutik-kutik
di bawah meja taman. Untuk pertama kalinya aku tertunduk dengan kata-kata yang
keluar dari mulut seorang pemalu. Dan mulutku seketika serasa berpindah fungsi
menjadi telinga, yang hanya siap menerima, tak mampu mengeluarkan kata-kata.
“Lalu…apa jawabanmu, Gina?” balasnya menyerangku dengan pertanyaan.
Sepertinya kepercayaan dirinya mulai menguar.
“Jawaban?” tanyaku mengulangi.
“Iya, j…a…w…a…b…a…n,” katanya perlahan mendekatkan wajahnya, “kamu ngerti
apa maksud surat yang kukirim berasama dengan edelweis itu?” lanjutnya.
Aku benar-benar merasa tidak sedang berbicara dengan Mas Pandi. Ia tampak
bukan seperti yang kupikir sebelumnya. Selain jago membuat penasaran, cowok
pemalu ternyata bisa romantis juga, pikirku. Dan kalimat yang dimaksud tentu perihal
kata-kata “abadi” di surat itu.
“Aku nggak tahu mesti jawab apa, Pan.”
“Aku ingin seperti edelweis
itu, Na. Aku ingin abadi untukmu.”
Tak berkedip mata Mas Pandi menatapku. Demikian juga aku, kulihat mataku
di sana, menyatu dengan matanya. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah dia
mengungkapkan keinginannya untuk memilikiku sepenuhnya. Dan kami pun mengikat sebuah
janji untuk saling setia selamanya.
***
Tak terasa, edelweis yang kini sudah berada di genggamanku, telah
membawaku mengembara selama satu jam lebih ke masa lalu. Sementara, Mas Pandi
masih belum juga sampai rumah. Hujan pun sudah mulai reda. Perasaanku semakin
tak menentu. Untuk kesekian kalinya kubuang mata keluar jendela. Jalanan di
depan rumah tampak mulai lengang. Bau khas tanah yang telah diguyur hujan
menguar, menusuk indra penciumanku.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Muncul nama Mas Retno di
sana, teman sekantor Mas Pandi.
“Maaf, ini dengan Gina?” tanyanya. Suaranya sedikit tersendat dan
kurang jelas. Barangkali ia sedang berada di jalan sehingga jelas terdengar suara
angin.
“Iya, kenapa, Mas?”
“Begini, Gina…kamu…”
“Iya, kenapa, Mas, tolong jangan buat saya penasaran begitu?”
“Pandi mengalami kecelakaan saat pulang dari kantor. Dan sekarang kami
sedang dalam perjalanan pulang…” kata-kata Mas Retno yang seterusnya tak begitu
jelas kudengar. Karena selain bunyi sirine ambulance yang bertalu-talu, handphone-ku
juga spontan terjatuh ke lantai. Bunga-bunga edelweis melorot dari tanganku.
Ketika aku terbangun, Mas Pandi sudah kutemukan dalam keadaan tak
bernyawa. Air mataku tumpah ruah tanpa bisa melakukan gerakan yang berarti.
Karena selain berusaha menahan perutku, tubuhku serasa kaku dan sudah tak bisa
digerakkan lagi. Ini semua sungguh terlalu cepat. Tapi, aku berjanji untuk
mengabadikan cinta pada Mas Pandi pada sepucuk edelweis yang diberikannya.
Lombok
Tengah, 19 Desember 2017.
Wardie
Pena, menulis Cerpen, Esai, dan Resensi.
Pada awal Agustus 2017 lalu, ia meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayan RI sebagai nominator juara artikel opini tentang pendidikan yang
diselenggarakan oleh Sahabat Keluarga Kemdikbud RI. Bukunya, Kado Pernikahan
(Antologi Cerpen, 2016), Negeri Antah Berantah (Kumpulan Cerpen, 2016), Tata
Krama (Antologi Cerpen, 2017).
Keren...saya nangis nih pak wardi...kenapa nggak dibuat happy ending
BalasHapus