Pariwisata Sebagai Sebuah Strategi Internasionalisasi Bahasa
Indonesia
Oleh: Wardie Pena
Dalam suatu kesempatan, saya pernah berkunjung ke beberapa objek
wisata yang terdapat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang akan saya
ceritakan ini adalah bukan panoramanya, jumlah pengunjung, pelayanan, ataupun kenyamanan
berwisata di tempat-tempat tersebut. Karena hal-hal semacam itu tak perlu
diragukan lagi. Akan tetapi, yang saya maksud ini adalah atmosfir lingkungan
yang terdapat di sana, di mana dominasi bahasa Inggris yang demikian terasa.
Mulai dari papan nama tempat wisata, nama rumah makan, menu masakan,
petunjuk arah, hingga buku panduan wisata, yang terkesan sangat kental dengan
istilah asing atau bahasa Inggris.
Saya berpikir, kalau terus-menerus seperti ini, kapan bahasa
Indonesia akan mampu bersaing menjadi bahasa internasional? Jikapun
penggunaan-penggunaan istilah tersebut ditujukan agar memudahkan wisatawan
mancanegara (wisman), lalu untuk apa mereka berkunjung jauh-jauh bila suasana
yang mereka temukan justru persis seperti di kampung halaman mereka?
Artinya, saya bukan berarti anti terhadap bahasa Inggris. Karena
memang kita tidak bisa pungkiri peranannya sebagai bahasa Internasional saat
ini. Namun hal ini menunjukkan masih belum siapnya mental kita untuk
mengomunikasikan budaya kita menggunakan bahasa Indonesia ke masyarakat
internasional. Dengan kata lain, kita masih belum percaya diri untuk bersanding
di panggung rivalitas global.
Sektor pariwisata, yang berperan mengantarai interkasi verbal antara
masyarakat dengan para wisman, pada dasarnya memiliki potensi besar menjadi
bagian dalam upaya internasionalisasi bahasa Indonesia. Mengingat, para wisman
tersebut dapat secara langsung menyaksikan budaya yang kita miliki. Bahkan,
salah faktor ketertarikan mereka disamping keindahan alam adalah keunikan dan
keragaman budaya kita. Terlebih, branding Wisata Halal Dunia (World
Halal Tourism) yang diraih beberapa objek wisata NTB di Abu Dhabi tahun
lalu, bisa menjadi daya tarik dalam peningkatan jumlah wisman. Lantas
apalagi yang kita ragukan?
Namun, untuk mendukung agenda besar tersebut, gagasan yang perlu
dikemukakan saat ini adalah bagaimana membekali anak bangsa dengan fondasi
kultural yang kuat, dan merancang sebuah strategi kebudayaan melalui sektor
pariwisata, yang tentunya dengan misi internasionalisasi bahasa Indonesia.
Revitalisasi kearifan (budaya) lokal
Hampir semua daerah di NTB memiliki kearifan (budaya) lokal yang
menarik di mata masyarakat internasional. Dalam masyarakat Sasak
misalnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari praktik-praktik
sosial seperti berolem,[1] betabeq,[2] bebase,[3] saling tulung,[4] dan sebagainya.
Demikian juga dengan masyarakat Mbojo. Mereka punya rimpu,[5] rawi rasa,[6] cafi sari[7], dan beragam
tradisi lainnya.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini,
tradisi-tradisi dimaksud tampak semakin memudar. Sebut saja tradisi berolem pada
masyarakat Sasak. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat
kekeluargaan, juga mencerminkan tingginya penghormatan masyarakat Sasak
atas tamu yang akan menghadiri acara tertentu. Namun, kehadiran teknologi handphone
(HP) telah mengganti peranan tradisi ini dalam tatanan masyarakat.—meskipun
tidak sepenuhnya. Tradisi ngayo (silaturrahmi ke tetangga) misalnya,
juga telah terwakili dengan kehadiran media sosial.
Pengaburan nilai-nilai kearifan (budaya) lokal ini tentu menjadi
ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas
budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang
dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali pelajaran budaya lokal di sekolah, menuangkan
wawasan budaya lokal dalam bentuk karya tulis, pagelaran festival atau pameran
budaya, dan cara-cara lain yang dapat melestarikan budaya lokal.
Maka, revitalisasi kearifan (budaya) lokal dalam hal ini dimaksudkan
untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan
budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan
membangun budaya sendiri sejak dini.
Pendidikan bahasa yang lebih visioner
Salah satu dampak yang kemungkinan muncul dari pemberdayaan budaya
di atas adalah primordialisme. Tapi, hal ini bukanlah sebuah ancaman
serius. Kebinekaan tidak akan terurai hanya karena soal primordialisme.
Bahasa Indonesia masih dapat dijadikan sebagai magnet perekat bangsa. Jadi,
pertanyaannya adalah, bagaimana mengomunikasikan budaya yang sudah terbentuk di
atas dengan budaya asing?
Mau tidak mau, untuk mengejawantahkan tawar menawar budaya, bahasa
asing memang harus dipelajari. Dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional.
Tidaklah mungkin interakasi kultural tersebut akan berlansung tanpa perantara
media komunikasi. Namun, selama ini bahasa Inggris cenderung dipelajari hanya
karena adanya tuntutan dari isntitusi pendidikan (sekolah), dunia kerja, atau
sebatas keperluan untuk memenuhi syarat melamar pekerjaan saja. Mentok sampai
di sana. Sangat jarang kemudian kita temukan seseorang belajar bahasa Inggris
atau bahasa asing lainnya dengan tujuan lebih dari sekedar memenuhi tuntutan
tersebut. Misalnya, mengenalkan atau mengajari bahasa Indonesia kepada para
wisman.
Selain karena sudah diserahkan ke lembaga penyelenggara kursus
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing (BIPA),
kondisi ini menunjukkan kesadaran komparatif masyarakat kita masih
sangat rendah. Karenanya, meminjam istilah Profesor Alwasilah, pendidikan
bahasa dewasa ini harus mengusung visi “Keunggulan Komparatif”.
Orientasi pendidikan bahasa sudah seyogiyanya tak sekedar membentuk
keterampilan dan kecakapan berbahasa asing semata, tapi juga lebih kepada
membangun kesadaran generasi bangsa untuk mengomunikasikan budayanya sendiri ke
khalayak internasional. Saya memiliki mimpi besar ke depan, dari visi ini
terlahirlah kemudian kurikulum, khususnya dalam hal ini bahasa Indonesia, yang
mengakomodir pelajaran muatan (budaya) lokal bagi penutur asing. Ini cukup
prospektif mengingat semakin terbuka lebarnya interaksi sosial antar bangsa sebagaimana
yang telah saya utarakan sebelumnya. Peningkatan jumlah wisatawan asing dari
tahun ke tahun setidaknya jadi satu contoh.
Maka, apa yang saya maksud mengenai pariwisata, kearifan (budaya)
lokal dan pendidikan bahasa, jika dipandang secara holistik, merupakan sebuah
strategi kebudayaan dalam meng-internasionalisasikan bahasa Indonesia.
Pariwisata merupakan gerbang yang cukup potensial menuju panggung rivalitas
global. Bahasa Indonesia sebagai jembatan penghubung yang mengomunikasikan
kearifan-kearifan (budaya) lokal dengan budaya asing. Dengan begitu, khazanah
kebinekaan akan memenuhi ruang kebangsaan. Kemudian, di mata internasional,
patutlah kemudian Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan
kekayaan budaya.
Jika seorang guru besar bahasa Indonesia berkebangsaan Jerman,
Profesor Berthold Damshauser, sangat yakin akan peluang bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional karena kekayaan budaya dan keluhuran budi penuturnya,
lantas kenapa kita tidak percaya diri?
Lombok
Tengah, 22 Oktober 2017.
[1] mengundang
dengan cara menyampaikan lansung (lisan) ke rumah-rumah.
[2] cara
mengatakan permisi dengan menundukkan tubuh dan menurunkan tangan kanan saat
lewat di depan orang.
[3] Dalam
interaksi sosial, seseorang yang lebih kecil tidak boleh menyebut nama orang
yang lebih tua. Sebagai gantinya adalah menyebut gelar usia seperti tuaq (paman),
saik (bibik), papuk (kakek atau nenek), Inak kake (tante),
amak kake (paman/kakak dari ayah atau ibu), dan sebagainya.
[4] Saling bantu
setiap ada orang bangun rumah, bercocok tanam, pesta, meninggal, dan
sebagainya.
[5] Memakai sarung
dengan melingkarkannya pada kepala di mana yang terlihat adalah sepasang mata
pemakainya.
[6] Semua kegiatan
yang dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat.
[7] Berarti
upacara menyapu lantai yang dilakukan untuk menyampaikan puji syukur karena
seorang ibu telah berhasil melahirkan seorang anak dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar