Kepulangan
Jupri
Oleh:
Wardie Pena
Dimuat di Radar Lampung Edisi 3 Desember 2017 |
Ketika malam datang, Arimi selalu teringat pada Jupri. Keping
saat-saat kebersamaan yang hampir usang di kepalanya, sesekali berurai
menggores rindu di dadanya. Dan kerinduan itu akan semakin membuncah manakala
ia melihat tetangganya berkumpul dengan anak cucu; makan bersama, bercengkrama,
tertawa bersama, sedih bersama, bahkan mungkin mati akan terasa menggembirakan
bila bersama-sama. “Kapan aku bisa seperti itu lagi?” lirihnya dalam hati.
Seketika perasaan itu muncul, ia merasa
bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang istri. Dulu, momen-momen itulah yang selalu
ia nantikan dengan Jupri, suaminya.
“Bagaimana kabar Bang Jupri, Mak? Kapan pulangnya?” tanya Yem,
seorang warga kampung yang membeli sayur.
Pagi ini Arimi berjualan keliling ke rumah-rumah warga seperti
biasanya. Mendengar pertanyaan itu, mulutnya menyungging senyum kecut,
menyembunyikan rasa kecewa pada Jupri yang akhir-akhir ini belum ada angin
menghembuskan kabarnya.
“Ah, kalau tak ada halangan, tak lama ini dia akan pulang. Tahulah
Yem, ongkos dari luar negeri ke sini kan mahal. Belum lagi beli oleh-oleh dan
ini itu.” Kalimat yang diucapkan Jupri beberapa tahun lalu, seketika berkelebat
dalam kepala Arimi.
“Wah, pasti bawa banyak duit,
dong? Kan perginya udah lama gitu,” balas Yem menyelidik, sebagaimana kebiasaan
ibu-ibu rumah tangga lain pada umumnya.
“Ya, semoga aja Yem. Oh ya,
Mak keliling dulu ya? Sudah hampir jam sembilan ini.” Arimi sengaja menebas
pembicaraan dengan Yem untuk menghindari pertanyaan lanjutan. Ia pun segera
merenggang dari rumah perempuan beranak satu itu.
Di perjalanan, Arimi masih meraba-raba kalimat terakhir yang
diucapkan suaminya bertahun-tahun lalu, yang barusan jadi perisainya di depan
Yem. Kalimat yang dirasakan cukup menusuk hati itu selalu membuatnya menghindari
pembicaraan dengan orang lain. Karena hingga saat ini, bertahun-tahun lamanya, janji
itu belum jua terwujud. Sementara, dirinya harus menanggung dua beban
sekaligus: beban rindu dan malu atas stigma buruk suaminya sebagai laki-laki
tak bertanggung jawab.
Arimi kesal. Andai waktu seperti sebuah jalan yang kapan saja boleh
dilalui kembali, ia tentu akan menelusuri pori-pori waktu meski sejauh apapun,
hingga menemukan sebuah titik yang memisahkannya dulu dengan Jupri. Kemudian,
di titik itulah ia akan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak membiarkan
suaminya pergi. Tapi sayang, waktu adalah waktu dan jalan tetaplah sebuah
jalan, sehingga ia tak berdaya melakukan semua itu.
Kondisi itu pun menyeret pikiran Arimi ke masa lalu. Sembilan tahun
silam, Jupri pergi merantau ke tanah jiran. Bersama tiga orang teman kampung, Sukri,
Tarman dan Nasri, dia berangkat dengan membawa segudang mimpi dan rencana besar.
Dan Arimi sendiri melepaskan kepergian sang suami dengan harapan kelak ia akan
kembali dalam kondisi berbeda. Meski sebenarnya waktu itu ia merasa berat
melepas kepergian laki-laki tersayangnya, namun kondisi ekonomi yang menghimpit
ditambah dua tanggungan yang harus dihidupi memaksanya harus rela hidup jauh
dari suami.
Tapi, kenyataan hidup memang terkadang senyatanya. Di tanah rantau Jupri
menemukan selimutnya. Beberapa tahun di negeri rantau, ia merasakan kenyamanan
yang seolah tak didapati di kampung halaman. Di sana ia menghabiskan
hari-harinya bagai tiada lagi yang perlu dicari di rumah. Sehingga teman-temannya
sudah pulang beberapa kali dan berhasil membuat rumah dan menyekolahkan anak, Jupri
hilang kabar.
Sementara, di rumah, Arimi menunggu-nunggu kabar darinya, akan tetapi
kenyataan telah menipu harapan Arimi. Jupri terlena dengan kehidupan di negeri seberang.
Seringkali Arimi menengok ke langit jika ada pesawat terbang lewat. Kalau-kalau
itu pesawat yang membawa Bang Jupri pulang, pikirnya. Terkadang sesekali sore
ia menengok ujung gang di depan rumah yang menghubungkan ke jalan umum. Hati
kecilnya berkata; siapa tahu Bang Jupri tiba-tiba muncul di sana, dan sengaja
tak memberikan kabar kepulangan dengan tujuan memberi kejutan. Tapi, tetap saja
jasad suami tercintanya itu berada di bawah langit rantauan.
***
“Mak kenapa?” tanya Birin, anak pertama Arimi yang baru beranjak
usia remaja, ketika melihat raut wajahnya pulang dalam keadaan kuyu.
Arimi bergeming dan segera meletakkan ranjang yang dipakai menjual sayur
ke meja dapur.
“Mak capek, ya?” Leni yang baru saja pulang sekolah, mengekori
pertanyaan kakaknya.
“Ndak kok, nak. Biasa saja.”
Birin melihat ada sesuatu yang beda dari raut wajah Maknya. Semacam
rahasia yang sulit untuk diungkapkan, membuatnya tak mau bertanya lebih lanjut.
Birin takut jikalau pertanyaannya nanti malah menyinggung perasaan Mak.
“Oh, ya, Ayah kapan pulangnya, ya?” Leni menyahut lagi, “sudah lama
sekali Ayah tak menelpon.”
“Ah, sudahlah. Besok juga kalau Ayah kangen, pasti telpon dan
bicara sama kalian.” Arimi membuang mata ke pohon mangga di halaman rumah
sambil mengerutkan dahi. Barangkali ia berusaha menyandarkan ingatannya di
sana, lalu mengurai usia pohon tersebut dengan kepergian suaminya. Seingatnya,
tiga bulan setelah Bang Jupri meninggalkan rumah, pohon itu di tanam dan kini
ia sudah pandai berbuah.
“Tapi firasatku kok tidak enak ya, Mak?” Birin menimpal lagi
setelah tadi terdiam. Pertanyaan Leni seolah memancingnya untuk mengeluarkan perasaannya.
“Tidak enak bagaimana maksud kamu, Rin?”
“Ya, aku khawatir saja terjadi apa-apa dengan Ayah. Semalam aku
bermpimpi ia dikejar seekor burung raksasa. Dan semakin Ayah berlari, burung itu
terus-menerus mengejarnya, hingga akhirnya dia tertangkap dan tak bisa
memberontak. Sampai di situ aku bangun.”
“Ah, biasa, mimpi kan kadang bunga tidur, Rin.”
“Yah, semoga Ayah baik-baik
saja.”
Arimi kemudian menyeret kakinya ke dapur yang tak jauh dari ruang
tengah tempat mereka tidur. Rumah itu memang tidak besar. Dan barangkali lebih
tepat disebut gubuk ketimbang rumah. Meski dindingnya terdiri dari bahan bata,
tapi ia tampak hampir roboh. Warna catnya, selain sudah kusam, juga sudah
melepuh hampir di semua sisi. Daun pintu, kusen dan bingkai jendela sebagian
telah mengelupas digrogoti rayap. Kehadiran beranda di depannya tak mampu
memperindah arsitektur bangunan.
Tiba-tiba langkah Arimi tercekat dengan kedatangan Pak Sadri,
tetangganya yang datang membawa HP dan mengabarkan bahwa Jupri baru saja menelpon
dan ingin berbicara dengannya. Arimi segera meraih HP tersebut dari tangan Pak Sadri.
Wajahnya sekonyong-konyong menunjukkan roman riang, seakan apa yang
dinanti-nantinya selama ini telah terjawab. Benda itu pun mampu menarik sudut
bibir Arimi menjadi senyum, sampai-sampai rengekan dua anaknya yang ingin
berbicara dengan Ayah tak ia hiraukan sama sekali. Dua bocah itu kemudian
menempeli tubuh Maknya, menguping pembicaraan dalam HP. Namun, selang beberapa
saat, alat komunikasi canggih itu dimatikan. Arimi berlunjak-lunjak riang dan
merengkuh tubuh Birin dan Leni. Mereka heran dan menatap wajah Mak dengan penuh
tanda tanya.
***
Esok harinya Arimi memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin
mengadakan sedikit acara penyambutan atas kepulangan suaminya. Juga sebagai
luapan rasa syukurnya. Tak sabar rasanya ia bertemu lalu memeluk suami
tercintanya. Betapa perpisahan selama bertahun-tahun membuat Arimi seolah
menyambut tamu kehormatan. Padahal, Jupri tak lain adalah belahan hatinya yang dengannya
ia menjalani hidup selama berpuluh-puluh tahun.
Menjelang senja, semua masakan ala kadarnya sudah berceceran di
atas tikar. Ini adalah makan bersama setelah berpuluh tahun berpisah, pikir Arimi.
Ia pun mulai menengok-nengok ujung gang, tempat di mana tubuh Jupri akan mulai
tampak. Berkali-kali ia menengok dan celingukan, tapi Jupri masih berstatus
makhluk gaib di gang itu. Hanya, orang-orang hilir mudik dan beberapa pedagang
es buah dan pentol mangkring di sana. Andai kakinya masih seenergik saat
kepergian suami dan punya kendaraan tentunya, barangkali sudah dari siang tadi ia
menyusul laki-lakinya ke bandara. Sementara, dua buah hatinya terus-terusan
mengungkapkan satu pertanyaan: ayah mana?
Barulah beberapa saat kemudian, tubuh Jupri tampak menyeruak dari
keramaian gang itu. Ia melangkah agak gontai digayuti tas ransel besar di
punggungnya. Tangan kirinya dikepit oleh seorang perempuan tiga puluhan tahun,
dan tangan kirinya menuntun seorang bocah perempuan seumuran anak TK.
“Siapa perempuan ini, Bang?” tanya Arimi ketika Jupri sampai di
depan rumah.
Mulut Jupri tampak berat terbuka, “Dia yang akan membantu kamu
mengerjakan pekerjaan rumah, Mi,” jawabnya beberapa detik geming. Sebaliknya, perempuan
di samping Jupri terlihat bingung melihat Arimi, Birin dan Leni.
“Maksud, Abang?”
Jupri melepas ranselnya dan mendekatkan wajah ke telinga Arimi. Ia
membisikkan sesuatu yang tak dapat dideteksi oleh empat pasang telinga di
sampingnya. Tubuh Arimi seketika limbung dan luruh ke lantai setelah tak lama bisikan
itu sampai ke telinganya. Jupri segera meraih tubuh Arimi. Sementara, empat
pasang mata menatap dengan penuh keheranan.
Lombok
Tengah, 30 Nopember 2017.
Wardie
Pena, menulis Cerpen, Esai dan Resensi. Buku tunggalnya, Negeri Antah
Berantah (2016). Bulan Agustus lalu, artikel opininya di bidang pendidikan
masuk nominasi 10 besar dan mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar