Prestasi
Nadia
Oleh:
Wardie Pena
Dimuat di Media Solo Pos, Edisi Minggu 28 Januari 2018 |
Siang ini Nadia pulang sekolah dengan mimik cemberut. Seperti
biasa, Mama selalu bertanya mengenai pelajaran-pelajaran sekolah setiap dia
pulang. Tapi melihat wajah Nadia, pertanyaan Mama jadi berbeda.
“Kamu kenapa, nak? Kok tumben sekali nggak ngucapin salam?” sambut
Mama dari pintu.
Nadia tak langsung menyahut. Ia menyalami Mama, lalu membuka sepatu
dan menaruhnya di atas rak sepatu.
“Eitz, anak Mama kok begitu? Kenapa?” tanya Mama lagi.
“Nadia kesal Ma,” jawab Nadia singkat.
“Makanya ada apa sayang?”
“Nih hasil ulangan Nadia hari ini!”
Mama langsung mengambil selembar kertas yang diulurkan Nadia. Di
sana ada angka 75 yang dilingkari. “Loh, ini kan nilai Nadia sudah lumayan
bagus,” lanjut Mama.
“Iya Ma, tapi ada yang lebih tinggi dari itu.”
“Nah, itu artinya kamu harus belajar lebih giat lagi, nak.”
“Masalahnya yang dapat nilai tertinggi itu nyontek, Ma.”
“Jangan berpikir negatif gitu dong, sayang.”
“Nadia lihat sendiri kok, Ma.”
“Terus kenapa kamu nggak tegur dia?”
“Nadia takut diancam, Ma. Beni itu kan anak paling ditakuti di
kelas Nadia.”
Mendengar alasan Nadia, Mama lantas tersenyum.
“Kenapa Mama malah tersenyum?” Nadia tambah kesal.
“Karena dengan sikap kamu seperti itu malah akan merugikan banyak
pihak. Pertama, Beni itu sendiri, kamu, teman-temanmu yang lain, Bapak dan Ibu
guru juga. Nah, jadi sebaiknya kamu ngomong secara baik-baik kepada Beni dan
juga kepada Bapak atau Ibu guru. Siapa tahu dengan begitu Beni akan mengakui
kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi.”
“Ah, nggak Ma. Biarin aja dah. Nggak mungkin Beni mau mengakui
kesalahannya.”
“Kok pesimis gitu? Kamu kan belum coba, nak.”
“Tapi Ma…?”
“Sudaaah, jangan tapi-tapian lagi. Begini, kalau tindakan teman
kamu itu terus-terusan kamu biarin, apa artinya sebuah prestasi? Yakin saja, semua
masalah bisa diselesaikan jika dibicarakan dengan baik-baik.”
Nadia mendengus. Ia mendongakkan pandangan ke wajah Mama.
“Jadi, gimana? Ingat, anak pintar harus berani bela kebenaran dan
pandai menyelesaikan masalah.” Mama memastikan.
Nadia akhirnya mengangguk. Dilihatnya lagi wajah Mama yang masih
menyimpul senyum sambil mengusap-usap rambutnya.
***
Esok harinya, Nadia
melakukan semua saran Mama. Ia berbicara dengan Beni secara baik-baik dan
meminta dia mengakui perbuatannya kepada Bu Zaida, wali kelas IV. Namun, Beni
sempat marah dan tidak mengakui perbuatannya sendiri. Nadia pun memancing Beni
dengan menanyakan soal yang mirip seperti soal ulangan kemarin.
“Ayo saja, siapa takut? Enak aja nuduh-nuduh aku nyontek?” ucap
Beni agak geram.
“Berapa FPB dari 24?” tanya Nadia.
“Loh, soalnya kan bukan yang itu kemarin?” Beni coba berkilah.
“Ya tapi masih dalam materi yang sama.”
“Ah nggak bisa gitu, dong?”
“Tuh kan kamu nggak tahu, bilang aja kamu beneran nyontek?”
Beni menggaruk kepalanya. Entah kenapa kenakalannya seolah tertelan
keberanian Nadia. Ia pun akhirnya mengakui perbuatannya, dan setuju menghadap
Bu Zaida. Di hadapan Bu Zaida dan kepala sekolah, Beni meminta maaf atas
perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Bu Zaida kagum atas sikap Beni yang telah mengakui kesalahannya.
Tentu juga kepada Nadia yang telah berani menyatakan kebenaran.
“Jadi anak-anakku, di sekolah, selain menghargai prestasi kita juga
harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,” ucap Bu Zaida.
Sejak saat itu, Nadia dan
Beni berteman baik dan sering belajar bareng. Mereka berdua dijadikan teladan
siswa yang baik di sekolah.
Lombok
Tengah, 10 Januari 2018.
Wardie
Pena, Menulis Cerpen, Esai dan Resensi.
Pesan
moral dalam cerita ini adalah: menanamkan mental kejujuran pada anak. Dan
bagaimana menghargai sebuah prestasi dan integritas dalam melaksanakan hal yang
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar