Radikalisme
Berita
mengenai pelarangan pemakaian cadar bagi mahasiswi di lingkungan kampus UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, telah menjadi sorotan ummat muslim di Nusantara.
Bahkan, kebijakan internal pihak universitas tersebut telah menjadi topik hangat
yang bersaing dengan sederet berita aktual lainnya.
Jika
kita simak lebih jauh, kebijakan yang diambil oleh Rektor UIN tersebut sebenarnya
berakar pada upaya pencegahan radikalisme yang belakangan ini kerap menjadi
perhatian pemerintah. Sebagaimana menurut Yudian Wahyudi, Rektor UIN Sunan
Kalijaga, beberapa tahun lalu hanya terdapat sekitar satu hingga dua mahasiswi
yang bercadar di kampus yang dipimpinnya tersebut. Peningkatan jumlah pemakai
cadar menjadi puluhan orang, menurutnya, merupakan gejala peningkatan
radikalisme (Jurnalindonesia.co.id. 8 Maret 2018).
Rupanya,
radikalisme tak henti-hentinya dipersoalkan.
Beberapa saat yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Februari 2018, sejumlah
perwakilan Organisasi Masyarakat Islam (Ormas Islam) dari FPI, HTI, MMI, dan
Laskar Jihad, juga mendatangi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor. Tujuan
mereka tidak lain merupakan reaksi dari penggunaan istilah radikal yang dinilai sepihak dalam makalah yang ditulis oknum
pejabat Kemenag tersebut. Dikatakan dalam makalah milik Ujang Ruhiat—Kepala
Seksi Penerangan Agama Islam Zakat Wakaf Kemenag Bogor yang juga
berprofesi sebagai seorang dosen—yang berjudul “Penanganan Radikalisme Islam di
Lembaga Pendidikan Tinggi”, ia mencatat empat organisasi di atas sebagai
kelompok islam radikal.
Apa
yang bisa digaris bawahi dari dua peristiwa di atas seakan-akan islam dan
radikalisme tidak dapat terpisahkan, atau islam memang identik dengan
radikalisme. Sehingga relevansi ini akan membawa konotasi negatif pada kata radikal
dan stigma terhadap ummat islam pada umumnya.
Sejauh
ini, kata radikal memang seringkali dialamatkan ke sejumlah kelompok yang berpakaian
serba arab atau islami seperti celana cingkrang,
berbaju koko, bercambang lebat, dan memakai cadar (perempuan). Lebih jauh lagi,
radikal seringkali diidentikkan dengan kelompok garis keras, anti pancasila,
suka mengkafirkan kelompok lain, dan sering berbuat teror di berbagai wilayah
di Nusantara. Jika radikal dalam pengertian ini, maka dalam konteks Negara yang
sudah berdaulat dan majemuk seperti Indonesia, upaya pencegahannya mestilah
terus-menerus digalakkan. Namun, apakah cap radikal yang kita alamatkan ke
kelompok bercadar dan beratribut serba islam sudah tepat?
Jika
kita runut secara etimologis, kata radikal
akan kita temukan berasal dari bahasa latin, yaitu radix yang berarti akar. Kemudian dalam bahasa Inggris tidak
jauh berbeda, istilah ini diserap menjadi radical
yang berarti akar, sampai ke akar-akarnya. Dalam KBBI
sendiri, radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip):
perubahan yang mendasar, amat keras menuntut perubahan (undang-undang
pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak.
Dari
pengertian di atas, jelas bahwa yang membedakan radikal dengan tidak radikalnya
seseorang atau suatu kelompok adalah pikiran dan tindakannya. Bukan dinilai dari
aspek lahiriah semata seperti gaya pakaian. Seseorang yang tidak memakai cadar,
celana cingkrang, dan atribut serba islam pun tidak menjadi jaminan ia bukan
kelompok radikal. Boleh jadi mereka yang tidak bercirikan serba islam juga
beridealisme radikal. Lagi pula, radikal adalah sebuah kata netral yang
maknanya tidak melekat hanya pada satu kata tertentu, yakni islam. Maka,
mengacu pada pengertian tersebut, satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menilai
seseorang radikal atau tidak adalah, memahami bagaimana idealisme (pikiran) dan
tindakan seseorang.
Lombok
Tengah, 11 Maret 2018.
Wardie Pena,
Menulis Cerpen, Esai dan Resensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar