Honorer
Dihapus, Asa Mahasiswa Keguruan Pupus?
Marzuki Wardi
Dimuat di SKH Radar Mandalika Lombok pada 28 Juni 2022
Pegawai Negeri
Sipil (PNS) tampaknya masih menjadi profesi yang didewakan oleh sebagian besar
masyarakat di Indonesia, khususnya kaum terpelajar. Faktanya, setiap rekrutmen
CPNS diselenggarakan, pelamarnya selalu saja membeludak. Bagaimana tidak,
pekerjaan santai, berseragam rapi, gaji mencukupi, status sosial diakui, dan adanya
jaminan hari tua ialah sekelumit gambaran empuknya profesi tersebut. Siapa
kiranya yang tidak tergiur? Jadi, tidak mengherankan banyak orang dari sejak
masuk kuliah sudah menetapkan cita-cita jadi PNS.
Di satu sisi,
keserba enakan tersebut berbanding lurus dengan proses yang demikian rumit untuk mendapatkannya. Untuk mencapai nilai ambang batas (passing grade) pada saat tes saja tidaklah
semudah memenangkan kuis iklan produk di televisi. Selain harus menjawab
soal-soal yang menguras otak, ketatnya persaingan juga membuat peluang meraih
profesi ini bagai menangkap semut hitam di gelapnya malam. Saking ketatnya
persaingan, tidak sedikit orang memilih merangkak jadi honorer sejak jauh-jauh
hari. Bahkan, mereka rela digaji sekadarnya asal nama bisa terdaftar di
instansi terkait.
Betul, ini
bukan kabar burung belaka. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang
menjabat kepala sekolah. Konon, banyak sarjana lulusan baru (fresh graduate) rela tidak digaji asalkan namanya bisa masuk sebagai tenaga
honorer di sistem (dapodik). Hal seperti ini tentu terjadi karena mereka menganggap
honorer seperti sebuah pintu gerbang menuju status PNS. Ketika menyandang status
honorer setidaknya mereka sudah berupaya menggedor pintu yang suatu waktu
terbuka.
Jujur saja,
saya sendiri dulu juga berpikir begitu. Karena memang pada saat kuliah strata
satu saya sudah menjadi
guru sukarela (honorer) di dua sekolah sekaligus; negeri dan swasta. Sehingga sedari
awal saya sudah merencanakan, setelah lulus kuliah nanti, untuk mengikuti
program sertfikasi guru melalui sekolah swasta. Kalaupun tidak, saya bisa
mendaftarkan nama pada pendataan (data base) di sekolah negeri agar bisa diangkat
menjadi guru PNS. Karena, pada saat itu pengangkatan PNS masih melalui jalur
pengkategorian; kategori I dan II. Tetapi, karena jumlah jam tidak memenuhi
syarat dan mata pelajaran yang saya ampu bukan pelajaran wajib, saya tidak bisa
masuk pendataan.
Malangnya,
pintu gerbang itu kini ditutup rapat oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun 2022 tentang
penghapusan honorer. Karena itu, ketika mendengar berita tersebut beberapa hari
yang lalu, pikiran saya tidak langsung tertuju pada honorer aktif saat ini—tetapi bukan berarti saya tidak bersimpati. Lebih-lebih setelah
menggali informasi dan mencermati peraturan itu labih jauh lagi, mereka akan diusahakan
untuk direkrut menjadi ASN secara bertahap melalui jalur PNS dan PPPK sampai
November 2023. Pikiran saya justru tersita pada mereka yang kini masih ngampus (duduk di bangku kuliah); bagaimana
mereka menyikapi Permen tersebut berkaitan dengan asa mewujdkan cita-cita
mereka? Ke mana mereka mau menjajakkan kaki selepas kuliah nanti jika honor pun
tak boleh?
Pada suatu
kesempatan saya mencoba mewawancarai beberapa mahasiswa jurusan keguruan semester
akhir. Saya meminta tanggapan mereka mengenai Permen tersebut. Benar saja,
jawaban mereka ternyata tidak jauh dari perkiraan saya. Mereka rata-rata merasa
khawatir tidak punya cukup peluang untuk masuk ke instansi atau sekolah negeri setelah
lulus kuliah. Mereka merasa prospek kerja di bidang studi yang diambil menjadi
kurang cerah. Singkatnya, asa atau cita-cita mereka terganggu dengan informasi
tentang Permen itu.
Kekhawatiran
mereka tentu merupakan hal yang wajar. Apalagi, persaingan kerja di sektor lain
juga demikian ketat. Selain belum begitu pulih akibat hantaman pandemi Covid-19
lalu, banyak peran dan tenaga manusia juga tergantikan dengan teknologi mesin.
Sebagaimana dikatakan Prof. Sulistyowati Irianto, pergeseran pekerjaan
konvensional besar-besaran terjadi karena diganti oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).[1]
Jadi, sempitnya peluang menerapkan ilmu baru yang didapat di bangku kuliah
wajar dipersepsi sebagai sebuah momok yang
cukup menakutkan.
Saya bisa merasakan
apa yang mereka pikirkan ketika mereka mengutarakan harapan. Sewaktu masih duduk
di bangku kuliah memang kita cenderung menganggap semua rencana bakal mulus. Lulus
dengan IP memuaskan kemudian bekerja sesuai dengan jurusan merupakan bayangan
masa depan yang pasti berjalan lancar. Tetapi, bayangan itu lindap manakala kita
bergulat dengan realitas dunia kerja yang demikian keras. Karenanya, ketika faktor
penghambat skenario itu terdeteksi sejak dini, boleh jadi mereka merasa diintai
status pengangguran. Apalagi, pekerjaan
berseragam (pegawai) cenderung dianggap pekerjaan ideal kaum terpelajar yang
terkadang menjelma bak desakan kultural di tengah masyarakat.
Tentu saja
hasil wawancara kasar saya ini tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan
pemerintah yang memang bukan ditujukan kepada mahasiswa. Untuk apa juga saya
ikut-ikutan nimbrung mengurus kebijakan? Memangnya saya ini siapa? Saya juga tidak bermaksud menggeneralisasi
respon segelintir mahasiswa itu sebagai sikap mahasiswa pada umumnya. Hanya
saja, respon mereka setidaknya bisa menjadi topik diskusi kami mengenai
peluang-peluang penghidupan yang bisa dipilih setelah lulus. Kami bisa bertukar
pengalaman dan merancang peta masa depan dalam dunia kerja.
Memang,
pemerintah bukan menutup sama sekali peluang bagi sarjana lulusan baru (fresh graduate) untuk menjadi ASN. Peluang
itu suatu waktu meski terbuka menyesuaikan dinamika mekanisme rekrutmen
kepegawaian. Tetapi, sembari menunggu peluang itu terbuka, mereka bisa
menciptakan peluang sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya membentuk
lembaga non-formal atau komunitas edu-preneur
(bisnis edukasi), sosi-preneur
(bisnis berbasis sosial), pengembangan ilmu pengetahuan, pengelolaan
lingkungan, dan semacamnya.
Komunitas
seperti itu memang tidak murni berorientasi pada penghasilan. Namun, mereka malah
bisa mengembangkan program berbasis kepedulian (manusia dan lingkungan). Dengan
konsep seperti itu mereka justru bebas menggandeng intansi pemerintah,
perusahaan, dan lembaga lain yang menyediakan dana donor atau Corporate Social Responsibility (CSR)
yang memang ditujukan sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial pada masyarakat
dan dampak lingkungan. Mereka bisa menjadi mitra dalam rangka menjembatani
program lembaga-lembaga tersebut. Dengan begitu, mereka memiliki kiprah yang justru
jauh dari pada sekadar menjadi pekerja seragaman.
Satu lagi, sebagai
seorang guru, hasil komunikasi dengan para mahasiswa itu setidaknya bisa saya
jadikan sebagai bahan renungan dalam memetakan potensi siswa. Sehingga saya dapat
memberi bayangan mengenai profesi yang mereka inginkan ke depan. Saya juga bisa
memberikan mereka gambaran bahwa bekerja di instansi pemerintah bukanlah
standar baku kesuksesan dalam pendidikan. Tentu saja bukan untuk menghalau
cita-cita mereka, melainkan untuk menata mindset
mereka sejak dini agar lebih terbuka.
Wallahua’lam bissawab
Lombok Tengah, 26
Juni 2022
Marzuki Wardi,
selain berprofesi sebagai guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah Desa Sisik,
Pringgarata, Lombok Tengah, hingga saat ini dia aktif menulis cerpen, esai,
resensi buku di berbagai media cetak dan daring. Selain itu, ia juga menulis
sejumlah buku di antaranya “5 Langkah Mudah Menyusun Kalimat Bahasa Inggris” “Bocah
Penakluk Badai” (Kumpulan Cerita Anak, Intan Pariwara). Naskah buku cerita
berbahasa Sasak Silaq Temaen Pekakas masuk
sebagai finalis Sayembara Dikbud NTB 2021 dan dibukukan oleh lembaga tersebut. Laki-laki
penikmat kalimat ini bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok
Tengah. Ia bisa dihubungi di nomor ponsel/WA 08175780736. Facebook https://web.facebook.com/wardie.pena.
[1] Dikutip dari tulisan Guru Besar
Hukum UI Sulistyowati Irianto dengan judul Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di
Era 4.0 pada kolom opini Kompas edisi 04 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar