Menerawang Peluang
Bahasa Sasak Dipelajari Khalayak Internasional
Oleh: Marzuki
Wardi
Esai ini pernah dimuat di SKH Radar Mandalika pada 24 Februari 2022
Masyarakat
Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok sedang gegap gempita menyambut event balap tingkat dunia MotoGP yang tinggal menghitung hari. Bagaimana tidak, dulu kita hanya bisa
menyaksikan ajang bergengsi tersebut melalui layar televisi. Kini kita bisa
saksikan langsung di depan mata. Betul. Bukan mimpi lagi bagi para penggemar
untuk bertatap muka dengan pembalap idolanya. Kalaupun tidak, aroma semaraknya sedikit
tidak bisa kita rasai.
Ini tentu saja
menambah popularitas pulau Lombok yang memang sudah dikenal dengan keindahan objek
wisatanya. Tidak heran, terdapat lonjakan drastis wisatawan sejak
digelarnya WSBK pada November 2021 lalu. Data yang dilansir NTB Satu Data,
misalnya, angka kunjungan wisatawan baik wisman (wisatawan mancanegara) dan
wisnus (wisatawan nusantara) tidak kurang dari 87 ribu pada akhir Desember 2021
lalu.[1]
Mande Pariwijaya selaku Head Operational the Mandalika juga memperkirakan jumlah
penonton mencapai 160 ribu orang pada ajang balap MotoGP yang akan digelar bulan
Maret 2022 itu.[2]
Membanggakan?
Tentu saja. Bukan sekadar membanggakan, tapi juga memaslahatkan. Dan, itu tidak
hanya bagi pelaku usaha atau industri pariwisata. Tapi siklus perekonomian
masyarakat pada umumnya kena imbas. Jadi, tidak berlebihan jika masyarakat Lombok
ber-euforia menyambutnya.
Namun, dalam
suasana euforia tersebut, saya justru memikirkan hal yang jauh dari topik
tersebut. Entah kenapa pikiran liar saya melesat ke hal-hal yang boleh dibilang
bersifat ilusif. Misal saja, dari sekian jumlah taksiran penonton atau
katakanlah pengunjung barusan, adakah kiranya yang tertarik belajar bahasa
Sasak? Ini memang agak absurd, atau mungkin saja ini efek dari euforia itu. Tapi
mau bagaimana lagi, namanya juga pikiran terkadang berseliweran begitu saja
tanpa diundang. Sebentar, tapi ada baiknya kita terawang dulu, siapa tahu
bahasa tuan rumah memang punya potensi itu.
Menurut
seorang cendekiawan muslim, Prof. Azyumardi Azra, setidaknya ada lima syarat
yang harus dipenuhi oleh suatu bahasa untuk dijadikan bahasa internasional;
punya banyak penutur, mudah dipelajari, digunakan di banyak negara, negara
penuturnya punya stabilitas ekonomi dan politik, dan sikap warga negara
terhadap bahasanya.[3]
Syarat di atas
memang untuk bahasa internasional. Meskipun demikian, setidaknya dari situ kita
bisa melihat untuk apa seorang warga negara asing mempelajari sebuah bahasa.
Dan, baiklah mari kita lihat apakah lima item di atas dimiliki oleh bahasa
Sasak yang merupakan salah satu dari sekian ratus bahasa daerah di tanah air
ini? Dari segi jumlah penutur, tentu saja ia tidak sebanding dengan bahasa
daerah lain dengan jumlah penutur besar. Karena Lombok memang tergolong pulau
kecil. Dari segi kompleksitas, meskipun daerah Lombok tidak begitu luas, tapi
ia punya khazanah dialek, idiolek, dan logat yang jamak sehingga sedikit
menyulitkan bagi pembelajar asing. Begitu juga dengan syarat ketiga sampai
kelima, boleh dikatakan tidak satu pun dimiliki bahasa Sasak.
Lantas potensi
apa kira-kira yang dapat menjawab pikiran absurd saya tersebut? Kalau kita
cermati aspek lain seperti keunikan kegiatan, upacara, maupun pegelaran budaya
Sasak misalnya, para wisatawan pada umumnya memiliki kesan yang mengagumkan.
Akan tetapi, apakah itu cukup menguatkan tekad mereka untuk mempelajari bahasa
Sasak? Saya pikir ini mungkin saja terjadi. Bisa saja keinginan untuk memahami
lebih jauh berangkat dari ketertarikan mereka, dan menjadi medium untuk
memahami budaya itu satu-satunya ialah bahasa.
Namun, rata-rata
para wisatawan tidak tinggal dalam jangka waktu yang lama sehingga memerlukan
interaksi atau komunikasi intens dengan masyarakat sekitar. Kalaupun ya, mereka
bisa saja menggunakan jasa pemandu wisata. Saya rasa begitu juga adanya dengan
penonton MotoGP yang diprediksi membeludak itu.
Lagi pula, ada
bahasa Indonesia yang lebih akomodatif untuk berbagai keperluan komunikasi
interaksional maupun transaksional. Kantor Bahasa sebagai lembaga fungsional Kemdikbud
di wilayah Provinsi NTB, misalnya, telah merintis materi bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing (BIPA) sejak 2008. Materinya mencakup konteks muatan lokal
seperti sosial budaya, adat, seni, kerajinan, agama, serta mitos atau legenda
masyarakat NTB.[4] Artinya,
kalau ada wisman yang berkeinginan mengetahui wawasan lokal dan nusantara, belajar
bahasa Indonesia akan cukup menjawab keingin tahuan mereka terhadap khazanah
budaya Sasak. Disamping itu, jauh lebih sederhana mempelajari satu bahasa yang bisa
digunakan untuk semua kepentingan selama tinggal di tanah nusantara.
Kemudian, jika
bahasa Sasak digunakan sebagai pengantar untuk menyambut tamu wisman di hotel
atau di tempat wisata, rasanya agak meruwetkan karena harus diterjemah minimal
ke dalam bahasa Inggris. Jangankan bahasa Sasak, bahasa Indonesia pun sangat
jarang digunakan untuk keperluan itu. Seorang teman saya yang bekerja di sebuah
hotel berbintang pernah saya tanya mengenai hal ini. Katanya, itu adalah hal
yang sulit untuk diwujudkan, karena memang tamu rata-rata tidak paham bahasa Indonesia.
Padahal, bisa saja dengan menggunakan dwibahasa; Inggris-Indonesia.
Bercermin dari
kondisi ini, maka wajar bahasa Indonesia terkesan berlutut di hadapan sang raja
bahasa (Inggris). Lihat saja pada hal-hal lain seperti penulisan papan nama,
baliho, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan
wisata pun terkesan begitu kental dengan istilah asing atau bahasa Inggris. Di
sisi lain, ini adalah hal yang wajar. Pasalnya, semua itu bisa dikatakan sebagai
upaya memudahkan raja yang berkunjung ke rumah kita. Lagi pula, memahami bahasa
Indonesia bukanlah prasyarat tertentu untuk memasuki Indonesia. Seperti bahasa
Inggris yang menjadi prasyarat wajib bagi WNI yang hendak kuliah ke luar negeri,
misalnya.
Saya tidak
bermaksud mengatakan ini permasalahan yang menohok perhatian kita. Hanya saja
ini menunjukkan ketidak siapan komparatif kita dari segi kultural. Dengan
demikian, apakah berkah di sektor ekonomi itu bisa juga menjadi berkah bagi bahasa
kita, khususnya bahasa Sasak? Secara teoritis kita bisa saja menyimpulkan mustahil.
Tapi, pada pratiknya tidak menutup kemungkinan ada segelintir yang tertarik
untuk mempelajarinya. Mengingat beberapa saat lalu, saya sempat kaget sekaligus
takjub setelah membaca berita seorang warga negara Amerika bernama Andrew Friend
berhasil menyusun kamus bahasa Sasak-Indonesia-Inggris setelah beberapa lama
tinggal di Lombok. Ide menyusun kamus itu konon bermula sejak ia melihat
potensi objek wisata Lombok yang demikian menarik.[5]
Jadi,
ringkasnya, peluang itu saya kira tetap ada meskipun persentasenya sangat
kecil. Karena minat dan ketertarikan seseorang belum dapat kita pastikan. Lebih
tepatnya, barangkali diperlukan sebuah survei untuk menaksirnya. Apakah Anda setuju?
Lombok Tengah, 20 Februari 2022
Marzuki
Wardi, seorang penikmat kalimat. Selain mengisi waktu sebagai
seorang guru di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, ia juga menikmati hari-harinya dengan
membaca buku dan koran. Tulisannya berupa cerpen, esai, dan resensi buku sudah
tersebar di berbagai media cetak dan daring.
[1] https://data.ntbprov.go.id/dataset/jumlah-kunjungan-wisatawan-ke-provinsi-nusa-tenggara-barat-ntb, diakses pada 19 Februari 2022
[2] https://www.indosport.com/otomotif/20201221/pengunjung-motogp-mandalika-diprediksi-capai-160-ribu-penonton, diakses pada 19 Februari 2022
[3] Surat Kabar Harian (SKH) Kompas
edisi Sabtu 23 November 2019
[4] Artikel Materi Ajar BIPA Konteks
Lokal (Sasak). Diterbitkan pada Oktober 2012
[5]
https://www.antaranews.com/berita/2029349/ketika-bule-as-mencintai-bahasa-sasak,
diakses pada 20 Februari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar