Kamis, 03 April 2025

Esai Bahasa

Tekes, Dependensi Figur dan Sosial dalam Masyarakat Sasak 
Oleh: Marzuki Wardi 
(esai ini pernah dimuat di SKH Suara NTB pada 2023) 

    Antropolog Ralp Linton mengategorikan budaya menjadi dua yaitu constructed culture (kebudayaan yang dikonstruksi) dan realistic culture (kebudayaan realistis). Kebudayaan yang dikontruksi ialah kebudayaan abstrak yang dibangun, dimodifikasi, dan dipakai oleh manusia dalam interaksinya di dalam suatu masyarakat. Hal ini bisa berupa ide dan nilai yang dikehendaki dan disepakati bersama untuk diterapkan dalam suatu komunitas sosial atau masyarakat. Pancasila adalah salah satu manifestasi dari kebudayaan konstruksi ini. 

    Sementara, kebudayaan realistis mengacu pada kemampuan interaksi manusia dengan lingkungan fisik dan objektif mereka. Anasir kebudayaan ini tidak bisa terlepas dari manusia dengan alamnya, dengan kondisi geografis, dan sistem ekonomi dalam suatu masyarakat. Jadi, bagaimana manusia menyesuikan diri dengan kebutuhan hidupnya ialah ranah budaya ini. Alat rampek ialah salah satu contohnya. Dulu, para petani kita memakai alat ini untuk memanen padi. Tetapi, saat ini, seiring perkembangan teknologi, ia mungkin dinilai terlalu lamban sehingga tidak dapat menyesuaikan kebutuan yang serba cepat. Karena itu, petani cenderung memakai mesin rontok atau menyewa mesin lain yang lebih canggih.

    Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman, bangsa Sasak (Lombok) tidak terlepas dari dua konsep budaya tersebut, khususnya yang akan menjadi topik pembahasan tulisan ini ialah budaya yang dikonstruksi. Dalam skala lokal, manifestasi budaya ini dapat dilihat dari pemberlakuan awik-awik gubuk yang merupakan konsensus dalam suatu kampung. Biasanya kampung yang satu dengan yang lain punya awik-awik yang berbeda dalam beberapa hal yang bersifat spesifik, tetapi semuanya punya sisi subtantif yang sama; normatif dan etis. 

  Awik-awik kemudian menjelma sebagai sistem kontrol sosial yang erat kaitannya dengan pembentukan watak masyarakat. Aturan mengenai banjar, misalnya, akan menimbulkan adanya sifat ketergantungan sosial (dependensi sosial) sehingga seseorang kerap dinilai berdasarkan sejauh mana keterlibatannya dalam aktivitas sosial masyarakat. Misalnya, si A bisa saja dinilai asosial manakala ia dengan sengaja absen dalam prosesi adat seperti begawe, nyongkolan, dan lainnya. Orang akan bilang “endeqn taon caren batur” (tidak tahu cara masyarakat) untuk menunjukkan justifikasi tersebut. Bahkan, si A boleh jadi kena tegur pemuka kampung bila sudah terlalu sering kali absen. 

    Selain ketergantungan sosial, awik-awik tersebut juga melahirkan dependensi figur (ketergantungan tokoh). Biasanya figur seperti pemuka agama atau kiai diangkat oleh masyarakat secara resmi melalui prosesi tahallul. Kiai di sini bukan pemimpin pondok pesantren atau penceramah, tetapi lebih kepada sosok yang otoritatif memimpin ibadah dan berbagai acara sosial-keagamaan di masyarakat. Keberadaannya tidak sekadar menjadi pemimpin layaknya di lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara administratif, melainkan memiliki beban moral yang setiap sikap, ucapan, dan gerak-geriknya menjadi acuan atau sorotan anggota masyarakat. 

    Jadi, wajar kiai mendapat tempat yang tinggi di mata masyarakat. Pada acara-acara gawe adat atau ruwahan, dia akan diperlakukan istimewa. Acara belum boleh dimulai sebelum dia dipastikan datang. Masyarakat juga selalu mengutamakannya untuk memimpin acara meskipun di sana ada orang yang mampu menggantikan perannya, kecuali bila kiai betul-betul tidak bisa hadir. Dari segi jamuan, biasanya dia lebih didahulukan dari tamu biasa lainnya, dan masih ada lagi berbagai kekhususan lainnya. Karena itu, siapa pun yang mencoba bersikap, berperilaku, berpenampilan, atau mendahului posisi kiai tanpa legitimasi sosial-masyarakat, lebih-lebih jika usia, sikap, dan kemampuannya belum begitu matang, maka ia akan dilabeli tekes oleh masyarakat. 

    Secara leksikal, kata ini sebetulnya menunjukkan usia, yakni orang yang tampak tua. Dalam kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang diterbitkan kantor bahasa NTB, tekes berarti tua, menganggap diri tua. Tetapi, dalam tindak tutur sehari-hari jelas kata tersebut memiliki perluasan makna. Sejauh yang saya amati, kata ini acap kali dipakai dalam beberapa kondisi ujaran. Pertama, seseorang yang wajah atau penampilannya melampaui usia. Hal ini bisa kita tangkap dari ungkapan “tekes ruen kanak tie” (tua sekali kelihatannya anak itu) ketika melihat seseorang yang berwajah lebih tua dari usianya. 

   Kedua, ia merujuk pada orang yang pembicaraannya dianggap melampaui usianya. “Tekes laloq raosn kanak tie” (tua sekali pembicaraannya anak itu) adalah salah satu kalimat yang merealisasi makna ini. Ketiga, seseorang yang melampaui peran, perilaku, dan kedudukan dari pada usianya. Kata tekes memang dekat maknanya dengan tua. Tetapi ia bukan sekadar persoalan usia. Ia lebih kepada keselarasan atau kepantasan usia dengan sikap, perilaku, dan peran seseorang. 

    Justifikasi ini memang tidak mengarah pada perilaku amoral, asosial, atau pelanggaran norma. Tetapi, ia semacam kontrol sosial-kultural yang disampaikan secara simbolik agar seseorang menyadari posisi dan kedudukannya. Di sisi lain, kata tersebut cenderung bermakna konotatif. Sebab, orang yang dilabeli tekes boleh jadi merasa kebebasan berekspresinya diusik atau dihalangi. Tidak jarang ia akan menarik diri dari urusan sosial atau peran yang sebetulnya mampu ia lakoni. 

  Pada konteks tertentu, seperti obrolan anak-anak muda, ungkapan ini, terutama pada pemakaian pertama dan kedua, mungkin cenderung berbau gurauan. Misalnya, jika A mendengar rekannya berbicara tentang persoalan orang dewasa, maka ia akan mengingatkan dengan ungkapan “tekes laloq” atau “endaq tekes laloq (jangan terlalu tekes). Tetapi, situasinya berbeda bila anak muda itu berkata, bersikap, dan berperan layaknya sebagai kiai di acara-acara adat dan keagamaan seperti yang disampaikan di atas, maka ungkapan tersebut lebih berupa label sosial yang berbau streotipe. 

    Hal ini menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat terhadap figur yang sudah mendapat legitimasi sosial. Artinya, selama figur tersebut masih mampu mengembang tugasnya ia tidak boleh dilangkahi kecuali dengan alasan yang sangat mendesak. Dalam kaitannya dengan dua jenis kebudayaan yang telah disinggung di atas, kebudayaan yang dikonstruksi pada masayarakat Sasak cukup kompleks dan unik. Kompleks karena ia tidak hanya menyangkut konsensus sosial-masyarakat yang dapat diukur secara etis. Di sisi lain, ia masuk ke ranah interaksi individu dalam masyarakat yang tidak dinilai dari segi etis, tetapi lebih pada keselarasan dan kepantasan. Contohnya adalah pemakaian ungkapan tekes. Unik karena boleh jadi anasir budaya ini tidak terdapat dalam budaya daerah lain. Wallahua’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Narapos

  Tekad yang Kuat adalah Kunci Meraih Sukses Marzuki Wardi Tanpa tekad yang kuat dan sungguh-sungguh, impian atau cita-cita hanya akan m...