Waspadai Konten Ujaran Kebencian Menjelang Pilpres 2024
Marzuki
Wardi
![]() |
Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/waspada-ujaran-kebencian-menjamur-di-tahun-politik-ini-alasannya/ |
Pak Diki berangkat ke bandara dengan
menumpangi satu mobil bersama tiga orang temannya. Ia baru selesai menghadiri
acara di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).
Kebetulan, ia adalah salah satu dari 32 nominasi pemenang sayembara kepenulisan
yang diselenggarakan lembaga tersebut. Jadi, bisa dipastikan keempat penumpang
mobil tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Tepatnya, satu orang dari Kalimantan
Barat, Manado, Aceh, dan Pak Diki sendiri dari Mataram.
Selama perjalanan ke bandara yang memakan waktu sekitar dua jam,
mereka membicarakan berbagai macam topik mulai kesibukan sehari-hari sebagai
pendidik, keluarga, ciri khas daerah, toleransi, hingga beberapa tokoh di tanah
air dengan kontribusinya masing-masing.
“Saya mengajar di sekolah, salah
satu lembaga dari yayasan, yang didirikan oleh Pak Yasir,” kata Bu Azizah,
seorang guru yang berasal dari Aceh.
Pak Diki sedikit tersentak sekaligus
penasaran. “Pak Yasir ketua partai A itu?” selidiknya memastikan.
“Betul.”
Oh, ternyata dia punya lembaga pendidikan juga, gumam Pak Diki. Salah satu hal yang
mendorongnya memastikan informasi tentang bapak tersebut ialah rasa tidak suka
kepadanya. Ya, betul, bahkan ketidaksukaan Pak Diki bisa disebut sudah sampai pada level benci.
Padahal, ia hanya mengetahui tokoh itu dari televisi dan dari sejumlah sumber
berita. Itu pun bukan berita tentang kehidupan secara objektif dan lengkap.
Jangankan berbincang secara langsung, bertemu pun Pak Diki tidak pernah.
Namun, tentu saja laki-laki yang
berprofesi sebagai guru itu punya alasan, yakni perbedaan pandangan politik. Ia
memang bukan politisi, tetapi ia tidak suka pilihan politik Pak Yasir yang
dinilai tidak pro-Islam.
Ia ingat betul, ketika umat muslim berkumpul untuk mengadakan aksi bela Islam
beberapa tahun silam, politisi ulung tersebut keesokan harinya menggelar
semacam acara tandingan. Sejak saat itulah kebencian di hati Pak Diki mulai
tumbuh subur, ditambah lagi dengan koalisi partai sang grand designer
pada
pemilihan presiden 2019 jatuh pada calon yang bukan pilihan Pak Diki.
Hal yang terjadi berikutnya ialah
setiap kali tokoh tersebut muncul di televisi, Pak Diki selalu mengalihkan channel televisinya. Rasa
benci membuatnya secara otomatis menolak apa saja yang keluar dari mulut tokoh
itu, baik berupa gagasan atau orasi. Tidak sekadar itu, ketika pembicaraan
dengan temannya sesekali menyentuh tokoh tersebut dan partainya, ia selalu
membahas sisi buruknya. Pak Diki seolah hapal betul sisi buruk pribadi tokoh
tersebut beserta partainya.
“Bapak kalau sudah mau nyumbang,
tidak tanggung-tanggung, sekali nyumbang ratusan juta. Apalagi kalau lagi
sakit, minta doa anak-anak, beliau pasti nyumbang ratusan juta ke yayasan. Dan,
satu lagi yang membuat saya kagum, beliau tidak pernah mencampur adukkan hal
itu dengan dunia politik, meskipun beliau sendiri punya partai. Pernah suatu
kali beliau datang ke yayasan. Sebelum hadir, beliau memastikan terlebih dahulu agar jangan ada
bendera politik di sekitar lembaga,” lanjut Bu Azizah menceritakan tokoh yang
berasal dari daerah yang sama dengannya itu.
Pak Diki terdiam sejenak. Cerita
kedermawanan Pak Yasir yang baru saja didengar secara langsung seakan
menghadirkan cermin besar di depannya. Benar, cermin itulah yang membuat Pak
Diki mulai berpikir mengenai sikapnya sendiri selama ini. Pak Yasir menyumbang uang ratusan juta ke lembaga pendidikan.
Sementara, saya yang membencinya, apa hal berharga yang pernah saya berikan
untuk bangsa ini? Jangankan membiayai (pendidikan) orang lain, saya sendiri
masih butuh uang untuk membiayai hidup sendiri, gumamnya.
Obrolan mereka perlahan berkurang
seiring tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Sebenarnya, Pak Diki masih
berkeinginan mengulik informasi lebih jauh mengenai Pak Yasir. Mereka pun turun dan berpisah menuju gate masing-masing. Dada Pak Diki serasa
dilempar sebongkah batu yang memecahkan gelembung kebencian yang selama ini
tersimpan di sana. Rasa simpatinya terhadap Pak Yasir mulai tumbuh sejak saat itu meskipun
tetap memiliki perbedaan arah politik.
***
Kebencian adalah salah satu perasaan
negatif yang berdampak buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sebab, perasaan
benci akan mengganggu pikiran sehat kita sehingga tidak jarang mendorong kita
melakukan hal-hal buruk. Seperti kisah di atas, Pak Diki tidak pernah tahu
pasti seperti apa hidup Pak Yasir di dunia nyata. Ia hanya tahu sisi negatif yang
tidak sejalan dengan pemikirannya. Kesimpulan tersebut dibuatnya berdasarkan informasi dari
beragam sumber. Tentu saja hal itu tidak dapat dijadikan bahan generalisasi.
Dalam hal ini, Pak Diki sendiri
belum merasakan dampak negatif dari sikapnya sendiri. Namun, coba kita
bayangkan bisa saja perasaan benci itu mendorongnya menyebar informasi hoaks dan hate speech tentang
tokoh tersebut. Kemudian, hal tersebut menyebabkannya kena delik pengaduan. Pada akhirnya, ia akan berurusan
dengan hukum. Tidak sekadar itu, jika informasi yang disebarkan ternyata
terbukti hoaks dan provokatif, tentu
saja citra diri Pak Diki sebagai seorang guru akan rusak. Itu karena
perbuatannya sendiri. Adapun, dampak negatif yang akan didapatkan oleh Pak
Yasir ialah berupa pencemaran nama baik hingga merusak martabatnya sebagai
tokoh besar.
Demikianlah dampak negatif dari
sikap benci kita. Namun, saat ini banyak juga tokoh besar, khususnya tokoh
politik, yang memiliki nasib tak jauh berbeda dengan Pak Yasir. Sebut saja para
calon presiden dan wakil presiden kita (capres-cawapres). Menjelang pilpres,
penggalan video singkat atau konten yang berisi informasi hoaks, kebencian,
dan
provokatif semakin banyak menyebar. Video-video itu dipotong, diedit,
dicocok-cocokkkan, disatukan, lalu disebarluaskan ke media sosial. Tidak
jarang, potongan video-video tersebut mengesankan tingkah konyol sang capres
dan cawapres. Padahal, banyak yang tidak sesuai konteks yang sebenarnya.
Parahnya, isi video tersebut
kemudian dicerna dan diterima begitu saja oleh para warganet, terutama mereka
yang awam. Sebab, mereka tidak terlatih mengklarifikasi dan menelaah suatu
informasi secara kritis sehingga wajar mereka menerimanya sebagai sebuah
kebenaran. Mereka berkomentar buruk kepada tokoh-tokoh tersebut seolah diri
mereka lebih hebat. Para pendukung lain pun tidak tinggal diam, mereka membalas
hinaan yang dilontarkan oleh para pendukung capres-cawapres pesaing. Kekacauan
warganet di media sosial pun tak terhindarkan.
Begitulah, konten-konten tersebut terus tersebar dari
beranda medsos yang satu ke yang lain sehingga kebencian-kebencian baru bertumbuhan. Perkataan lisan yang dilakukan
secara langsung mungkin bisa berakhir atau ditutup pada seseorang yang pandai
menyimpan rahasia. Namun, perkataan yang sudah terekspos di media sosial,
apakah bisa dirahasiakan? Kalau kondisinya sudah seperti ini, siapa kira-kira
yang bertanggung jawab? Pada posisi inilah kita menyadari bahwa di zaman yang
serba cepat dan praktis ini terkadang berbanding lurus dengan cepatnya kita berbuat
dosa.
Karena itu, kita perlu berhati-hati
sebelum menyebar informasi atau video singkat di media sosial. Cek terlebih
dahulu kebenarannya. Jika memang itu bermuatan mendidik, informatif, dan
positif, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka sebaiknya kita tahan diri
menyebarkannya. Jangan sampai karena didasari rasa benci kepada orang lain akan
mendorong kita melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Mari kita ingat bahwa kebencian termasuk penyakit (hati) dalam agama Islam.
Bahkan, Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi mengategorikan kebencian sebagai
pengaruh luar yang dapat menimbulkan kesombongan.[1] Sementara, sombong adalah dosa besar.
Nauzubillah.
Lagi pula, mari kita menengok diri kita. Apakah kita sudah
memberikan kontribusi banyak bagi negeri ini? Jangan-jangan mereka yang kita
olok-olok sudah berbuat jauh lebih banyak daripada kita. Apalagi jika kita
tidak pernah mengenal mereka secara langsung. Karena itu, jika belum bisa
berbuat banyak seperti mereka, setidaknya kita bisa menahan tangan dari
mengekspos keburukan mereka. Kita berhak punya pilihan capres dan cawapres masing-masing,
tetapi kita tidak berhak mengekspos keburukan pasangan calon lain.
***
Jendela Inspirasi:
a.
Jangan menilai
seseorang secara sekilas kemudian mengambil kesimpulan buruk dari apa yang kita
lihat. Sebab, boleh jadi banyak hal baik yang dilakukannya dan tidak kita
ketahui dari orang tersebut.
b.
Kalau kita tidak
bisa menghindari membenci seseorang, setidaknya kita mampu menghindari
menularkan kebencian kepada orang lain.
c.
Cermati terlebih
dahulu video singkat di media sosial sebelum kita bagikan. Pastikan video
tersebut bukan hoax, hate speech, fitnah, atau konten provokatif
yang membahayakan.
***
Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen,
esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP
Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia
bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis
dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.
[1] Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi, The Book of Character (edisi terjemah
bahasa Indonesia), (Jakarta, Penerbit Zaman, 2015) halaman 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar