Kamis, 17 April 2025

Narapos

 

Waspadai Konten Ujaran Kebencian Menjelang Pilpres 2024

Marzuki Wardi

Sumber: https://www.theindonesianinstitute.com/waspada-ujaran-kebencian-menjamur-di-tahun-politik-ini-alasannya/

Pak Diki berangkat ke bandara dengan menumpangi satu mobil bersama tiga orang temannya. Ia baru selesai menghadiri acara di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek). Kebetulan, ia adalah salah satu dari 32 nominasi pemenang sayembara kepenulisan yang diselenggarakan lembaga tersebut. Jadi, bisa dipastikan keempat penumpang mobil tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Tepatnya, satu orang dari Kalimantan Barat, Manado, Aceh, dan Pak Diki sendiri dari Mataram.

Selama perjalanan ke bandara yang memakan waktu sekitar dua jam, mereka membicarakan berbagai macam topik mulai kesibukan sehari-hari sebagai pendidik, keluarga, ciri khas daerah, toleransi, hingga beberapa tokoh di tanah air dengan kontribusinya masing-masing.

“Saya mengajar di sekolah, salah satu lembaga dari yayasan, yang didirikan oleh Pak Yasir,” kata Bu Azizah, seorang guru yang berasal dari Aceh.

Pak Diki sedikit tersentak sekaligus penasaran. “Pak Yasir ketua partai A itu?” selidiknya memastikan.

“Betul.”

Oh, ternyata dia punya lembaga pendidikan juga, gumam Pak Diki. Salah satu hal yang mendorongnya memastikan informasi tentang bapak tersebut ialah rasa tidak suka kepadanya. Ya, betul, bahkan ketidaksukaan Pak Diki bisa disebut sudah sampai pada level benci. Padahal, ia hanya mengetahui tokoh itu dari televisi dan dari sejumlah sumber berita. Itu pun bukan berita tentang kehidupan secara objektif dan lengkap. Jangankan berbincang secara langsung, bertemu pun Pak Diki tidak pernah.

Namun, tentu saja laki-laki yang berprofesi sebagai guru itu punya alasan, yakni perbedaan pandangan politik. Ia memang bukan politisi, tetapi ia tidak suka pilihan politik Pak Yasir yang dinilai tidak pro-Islam. Ia ingat betul, ketika umat muslim berkumpul untuk mengadakan aksi bela Islam beberapa tahun silam, politisi ulung tersebut keesokan harinya menggelar semacam acara tandingan. Sejak saat itulah kebencian di hati Pak Diki mulai tumbuh subur, ditambah lagi dengan koalisi partai sang grand designer pada pemilihan presiden 2019 jatuh pada calon yang bukan pilihan Pak Diki.

Hal yang terjadi berikutnya ialah setiap kali tokoh tersebut muncul di televisi, Pak Diki selalu mengalihkan channel televisinya. Rasa benci membuatnya secara otomatis menolak apa saja yang keluar dari mulut tokoh itu, baik berupa gagasan atau orasi. Tidak sekadar itu, ketika pembicaraan dengan temannya sesekali menyentuh tokoh tersebut dan partainya, ia selalu membahas sisi buruknya. Pak Diki seolah hapal betul sisi buruk pribadi tokoh tersebut beserta partainya.

“Bapak kalau sudah mau nyumbang, tidak tanggung-tanggung, sekali nyumbang ratusan juta. Apalagi kalau lagi sakit, minta doa anak-anak, beliau pasti nyumbang ratusan juta ke yayasan. Dan, satu lagi yang membuat saya kagum, beliau tidak pernah mencampur adukkan hal itu dengan dunia politik, meskipun beliau sendiri punya partai. Pernah suatu kali beliau datang ke yayasan. Sebelum hadir, beliau memastikan terlebih dahulu agar jangan ada bendera politik di sekitar lembaga,” lanjut Bu Azizah menceritakan tokoh yang berasal dari daerah yang sama dengannya itu.

Pak Diki terdiam sejenak. Cerita kedermawanan Pak Yasir yang baru saja didengar secara langsung seakan menghadirkan cermin besar di depannya. Benar, cermin itulah yang membuat Pak Diki mulai berpikir mengenai sikapnya sendiri selama ini. Pak Yasir menyumbang uang ratusan juta ke lembaga pendidikan. Sementara, saya yang membencinya, apa hal berharga yang pernah saya berikan untuk bangsa ini? Jangankan membiayai (pendidikan) orang lain, saya sendiri masih butuh uang untuk membiayai hidup sendiri, gumamnya.

Obrolan mereka perlahan berkurang seiring tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Sebenarnya, Pak Diki masih berkeinginan mengulik informasi lebih jauh mengenai Pak Yasir. Mereka pun turun dan berpisah menuju gate masing-masing. Dada Pak Diki serasa dilempar sebongkah batu yang memecahkan gelembung kebencian yang selama ini tersimpan di sana. Rasa simpatinya terhadap Pak Yasir mulai tumbuh sejak saat itu meskipun tetap memiliki perbedaan arah politik.

***

Kebencian adalah salah satu perasaan negatif yang berdampak buruk pada diri sendiri dan orang lain. Sebab, perasaan benci akan mengganggu pikiran sehat kita sehingga tidak jarang mendorong kita melakukan hal-hal buruk. Seperti kisah di atas, Pak Diki tidak pernah tahu pasti seperti apa hidup Pak Yasir di dunia nyata. Ia hanya tahu sisi negatif yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Kesimpulan tersebut dibuatnya berdasarkan informasi dari beragam sumber. Tentu saja hal itu tidak dapat dijadikan bahan generalisasi.

Dalam hal ini, Pak Diki sendiri belum merasakan dampak negatif dari sikapnya sendiri. Namun, coba kita bayangkan bisa saja perasaan benci itu mendorongnya menyebar informasi hoaks dan hate speech tentang tokoh tersebut. Kemudian, hal tersebut menyebabkannya kena delik pengaduan. Pada akhirnya, ia akan berurusan dengan hukum. Tidak sekadar itu, jika informasi yang disebarkan ternyata terbukti hoaks dan provokatif, tentu saja citra diri Pak Diki sebagai seorang guru akan rusak. Itu karena perbuatannya sendiri. Adapun, dampak negatif yang akan didapatkan oleh Pak Yasir ialah berupa pencemaran nama baik hingga merusak martabatnya sebagai tokoh besar.

Demikianlah dampak negatif dari sikap benci kita. Namun, saat ini banyak juga tokoh besar, khususnya tokoh politik, yang memiliki nasib tak jauh berbeda dengan Pak Yasir. Sebut saja para calon presiden dan wakil presiden kita (capres-cawapres). Menjelang pilpres, penggalan video singkat atau konten yang berisi informasi hoaks, kebencian, dan provokatif semakin banyak menyebar. Video-video itu dipotong, diedit, dicocok-cocokkkan, disatukan, lalu disebarluaskan ke media sosial. Tidak jarang, potongan video-video tersebut mengesankan tingkah konyol sang capres dan cawapres. Padahal, banyak yang tidak sesuai konteks yang sebenarnya.

Parahnya, isi video tersebut kemudian dicerna dan diterima begitu saja oleh para warganet, terutama mereka yang awam. Sebab, mereka tidak terlatih mengklarifikasi dan menelaah suatu informasi secara kritis sehingga wajar mereka menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Mereka berkomentar buruk kepada tokoh-tokoh tersebut seolah diri mereka lebih hebat. Para pendukung lain pun tidak tinggal diam, mereka membalas hinaan yang dilontarkan oleh para pendukung capres-cawapres pesaing. Kekacauan warganet di media sosial pun tak terhindarkan.

Begitulah, konten-konten tersebut terus tersebar dari beranda medsos yang satu ke yang lain sehingga kebencian-kebencian baru bertumbuhan. Perkataan lisan yang dilakukan secara langsung mungkin bisa berakhir atau ditutup pada seseorang yang pandai menyimpan rahasia. Namun, perkataan yang sudah terekspos di media sosial, apakah bisa dirahasiakan? Kalau kondisinya sudah seperti ini, siapa kira-kira yang bertanggung jawab? Pada posisi inilah kita menyadari bahwa di zaman yang serba cepat dan praktis ini terkadang berbanding lurus dengan cepatnya kita berbuat dosa.

Karena itu, kita perlu berhati-hati sebelum menyebar informasi atau video singkat di media sosial. Cek terlebih dahulu kebenarannya. Jika memang itu bermuatan mendidik, informatif, dan positif, tentu tidak masalah. Jika tidak, maka sebaiknya kita tahan diri menyebarkannya. Jangan sampai karena didasari rasa benci kepada orang lain akan mendorong kita melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Mari kita ingat bahwa kebencian termasuk penyakit (hati) dalam agama Islam. Bahkan, Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi mengategorikan kebencian sebagai pengaruh luar yang dapat menimbulkan kesombongan.[1] Sementara, sombong adalah dosa besar. Nauzubillah.

Lagi pula, mari kita menengok diri kita. Apakah kita sudah memberikan kontribusi banyak bagi negeri ini? Jangan-jangan mereka yang kita olok-olok sudah berbuat jauh lebih banyak daripada kita. Apalagi jika kita tidak pernah mengenal mereka secara langsung. Karena itu, jika belum bisa berbuat banyak seperti mereka, setidaknya kita bisa menahan tangan dari mengekspos keburukan mereka. Kita berhak punya pilihan capres dan cawapres masing-masing, tetapi kita tidak berhak mengekspos keburukan pasangan calon lain.

***

 

 

 

Jendela Inspirasi:

a.         Jangan menilai seseorang secara sekilas kemudian mengambil kesimpulan buruk dari apa yang kita lihat. Sebab, boleh jadi banyak hal baik yang dilakukannya dan tidak kita ketahui dari orang tersebut.

b.         Kalau kita tidak bisa menghindari membenci seseorang, setidaknya kita mampu menghindari menularkan kebencian kepada orang lain.

c.         Cermati terlebih dahulu video singkat di media sosial sebelum kita bagikan. Pastikan video tersebut bukan hoax, hate speech, fitnah, atau konten provokatif yang membahayakan.

***

Marzuki Wardi, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, resensi buku, dan buku. Aktivitas sehari-harinya ialah mengajar di SMP Islam Al-Ikhlashiyah, sebuah sekolah swasta yang terletak di Lombok Tengah. Ia bermukim di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Penulis dapat dihubungi melalui email marzukiwardi5@gmail.com, Facebook Marzuki Wardi.

 

 



[1] Syekh Muhammad Pir Ali al-Birkawi, The Book of Character (edisi terjemah bahasa Indonesia), (Jakarta, Penerbit Zaman, 2015) halaman 169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Buku

  Mengenal Filosofi Pendidikan Progresif Oleh: Marzuki Wardi Sumber: dokumen pribadi Judul Buku        : Pendidikan Berbasis Pengalaman ...